Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jay, Robert R.
Camridge: MIT Press, 1969
309.192 2 JAY j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"The research used multi cases study about the delvery of religious dialogue which bases on Islamic framework and the changes in the point of view of social culture in Salatiga
"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Laura Evelyn R.
"Masyarakat dunia saat ini sedang mengalami suatu perubahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang cepat. Perubahan ini terkait dengan fenomena globalisasi, khususnya ekonomi, yang ditandai dengan perdagangan bebas antar negara melalui persaingan tinggi dan tajam, serta tingginya laju teknologi komunikasi dan informasi. Globalisasi menuntut suatu bentuk pembangunan instan (cepat), yang dapat mengakomodasi perluasan investasi modal negara-negara maju di negara dunia ketiga. Hal ini membawa akibat terjadinya urbanisasi dan modernisasi besar-besaran, terutama di kota-kota besar Asia Tenggara.
Sebagai ibukota sekaligus kota terbesar, Jakarta merupakan jendela utama Indonesia dalam sistem ekonomi global. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, pembangunan kota Jakarta telah membawa arus urbanisasi besar dan menjadikannya sebagai tempat agglomerasi terbesar di Indonesia. Menarik untuk disimak, diantara gedung tinggi, mobil mewah, dan jalan lebar bebas hambatan yang terdapat di kota ini, ternyata hampir sekitar 67 persen dari total penduduk Jakarta ditampung dalam kantong-kantong pemukiman padat dan kumuh, yang dikenal dengan kampung. Tanpa memperhitungkan fungsi dan potensinya yang besar bagi kota Jakarta, tempat pemukiman penduduk berpenghasilan rendah ini dianggap mengganggu wajah kota oleh pemerintah dan akibatnya seringkali mengalami penggusuran.
Kampung Luar Batang merupakan salah satu kampung tua di Jakarta. Dari segi letak geografis dan historis kampung ini mempunyai potensi besar, namun pelaksanaan beberapa kebijakan pemerintah yang dilakukan di wilayah sekitar kampung telah membawa dampak buruk bagi kondisi sosio-ekonomi dan lingkungan fisik kampung. Keadaan ini tentunya memperbesar ancaman tergusurnya penduduk kampung yang sebagian besar berpenghasilan rendah. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memperlihatkan potensi yang dimiliki komunitas kampung Luar Batang, serta pemberdayaan komunitas kampung dalam segi ekonomi dan pengelolaan lingkungan, sehingga kampung tidak lagi dianggap mengganggu wajah kota. Pendekatan konsep modal sosial dipakai dalam penelitian untuk dapat memahami dan menggambarkan berbagai bentuk potensi/modal sosial yang dimiliki oleh komunitas, yang memungkinkan pemberdayaan komunitas kampung.
Janis penelitian ini bersifat dekriptif dan eksplanatif untuk dapat menggali dan memahami berbagai kenyataan/data lapangan, berupa sejarah dan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya kampung, sehingga diperoleh gambaran utuh mengenai bentuk modal sosial yang ada dalam komunitas. Adapun subyek penelitian adalah orang-orang (aktor) dan berbagai kelompok/institusi (formal dan informal) dalam kampung. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dalam bentuk studi lapangan (field research) sehingga memberikan kesempatan pada peneliti untuk mengadakan interaksi langsung, interaksi face-to-face dengan penduduk kampung dalam setting lapangan kampung. Sehubungan dengan itu, penelitian ini menekankan data kualitatif, namun jugs data sekunder sebagai pelengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan tata guna lahan di sekitar kampung sejak dilaksanakannya proyek Mohammad Hoesni Thamrin (MHT) yang pertama membawa banyak dampak negatif dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya komunitas, serta penurunan kualitas fisik kampung. Temuan lapangan memperlihatkan komunitas kampung memiliki potensi/modal sosial dalam bentuk kelompok keagamaan, ikatan sosial yang erat dan rasa kebersamaan, norma sosial (agama), hubungan timbal-balik, sifat proaktif, serta nilai sejarah kampung yang tinggi dan pengetahuan lokal yang dimiliki komunitas. Namun demikian, modal sosial yang dimiliki komunitas belum mampu membawa penduduk pada suatu taraf hidup yang lebih baik. Hal ini terkait dengan temuan lainnya yang memperlihatkan bahwa akar masalah penduduk Luar Batang saat ini adalah keterbatasan/tiadanya akses terhadap sumber-sumber daya strategis, yang memampukan mereka untuk keluar dari masalah kemiskinan dan buruknya kualitas fisik lingkungan kampung. Dengan demikian modal sosial yang dimiliki dapat digunakan dengan baik.
Melihat kenyataan di lapangan, penulis merekomendasikan pembentukan suatu Forum Warga Kampung sebagai suatu wadah memanfaatkan modal sosial yang dimiliki komunitas. Forum Warga Kampung ini berfungsi sebagai dewan kontrol kampung yang memiliki kompetensi dalam mengelola dan memecahkan berbagai masalah atau konflik yang dihadapi komunitas (baik sosial, budaya, ekonomi, dan politik)."
Lengkap +
2001
T7727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rieke Diah Pitaloka
"Disertasi ini merupakan deskripsi, analisis dan interpretasi atas data dan pendataan perdesaan pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Penulis mengusulkan tujuh tujuan penelitian saat ini. Pertama mengungkap kualitas data perdesaan, berupa data birokrat dan data warga yang menjadi basis data kebijakan publik. Kedua, mengungkap kekerasan simbolik pada pendataan perdesaan top down yang berpedoman pada norma yuridis melalui rekonstruksi genesis data birokrat. Ketiga, mendeskripsikan afirmasi simbolik pada pendataan perdesaan bottom up yang berpedoman pada norma sosiologis melalui rekonstruksi genesis data warga. Keempat, memetakan arena dan aktor pada pendataan perdesaan top down dan bottom up, serta relasinya dengan meta kapital perdesaan. Kelima, mengungkap kekerasan simbolik pada pendataan perdesaan top down yang mereproduksi kebijakan rekolonialisasi Keenam, mendeskripsikan dan menganalisis afirmasi simbolik pada pendataan perdesaan bottom up memproduksi kebijakan afirmatif. Ketujuh, menginterpretasikan kebijakan afirmatif sebagai implementasi amanat konstitusi untuk mencapai lima aspek kesejahteraan rakyat. Area studi: Desa Sibandang, Desa Pantai Bakti dan Desa Tegalallang. Penelitian menggunakan Mixed Methods Research (MMR) dengan Nesting Quantitative Data in Qualitative Designs. Data kualitatif diperoleh melalui in-depth interview dan Focus Group Discussion (FGD, diskusi terpumpun). Data kuantitatif dari Kementerian Dalam Negeri dan dari Badan Pusat Statistik, serta data mandiri dari praktik pendataan perdesaan bottom up. Pisau analisisnya menggunakan konsepkonsep Pierre Bourdieu dan Nick Couldry. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan rekolonialisasi dan 'the vicious circle' kebijakan rekolonialisasi yang mengonfirmasi terbuktinya hipotesis, yaitu: semakin kuat doxa kekerasan simbolik pada norma yuridis pendataan, semakin kuat pseudo data, semakin kuat pseudo kebijakan publik; semakin kuat pseudo kebijakan publik, semakin kuat pseudo otoritas, semakin buruk perencanaan, pemrograman, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan kebijakan publik, semakin buruk pencapaian lima aspek kesejahteraan rakyat; semakin buruk pencapaian lima aspek kesejahteraan rakyat, perdesaan semakin termarginalkan; semakin kuat doxa kekerasan simbolik norma yuridis mereproduksi pseudo data, semakin berkesinambungan kekerasan simbolik; dan semakin berkesinambungan kekerasan simbolik, semakin dibutuhkan heteredoxa afirmasi simbolik, yang digambarkan dengan antitesa 'the truth circle' kebijakan afirmatif. Sintesa yang diusulkan dari disertasi ini adalah bagaimana membangun sistemik kebijakan publik berdasarkan pendataan desa berbasis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga memungkinkan lebih banyak ruang untuk komunikasi dan partisipasi penduduk desa.

This dissertation describes, analyzes, and interprets big data within village data collection, following the ratification of Law of the Republic of Indonesia, Number 6 of 2014, concerning Village. The author proposes seven aims of current research. First, to unveil the quality of village data collection composed of bureaucratic data and villagers' data, which serves as the foundation of current public policy. Second, to reveal the symbolic violence found in the top-down model of village data collection, which refers dominantly to the juridical norms, by performing a bureaucratic data genesis reconstruction process. Third, to describe the symbolic affirmation of the bottom-up model of village data collection, which refers to sociological norms, by performing villagers' data genesis reconstruction process. Fourth, to design a map of the arena and actors involved in both models of village data collection, top-down and bottom-up, by relating them with a metacapital of the Village. Fifth, to expose the symbolic violence found in the top-down model of village data collection, which reproduces recolonization policy. Sixth, to describe and analyze the symbolic affirmation of the bottom-up model of village data collection, which produces affirmative policy. Seventh, to interpret the affirmative policy perceived as the implementation of the Constitutional mandate to finally achieve five dimensions of people's welfare. The research area comprises three distinct villages: Sibandang village in North Sumatera, Pantai Bakti village in West Java, and Tegallalang village in Bali. The author employs Mixed Methods Research (MMR) with Nesting Quantitative Data in Qualitative Designs. Qualitative data was obtained through in-depth interviews and Focus Group Discussions. Quantitative data was obtained from The Ministry of Internal Affairs and the Central Bureau of Statistics (BPS), supporting data from the researcher's independent enterprise and the bottom-up village data collection practices. The data was analyzed using conceptual tools from Pierre Bourdieu and Nick Couldry. The research findings show that recolonization policy and the vicious circle of derivative rules confirm the following hypotheses: the stronger symbolic violence doxa on the juridical norms of village data collection, the stronger pseudo data becomes and the stronger grips of pseudo-public policy; the stronger pseudo-public policy exists, the stronger pseudo authority exercises power, the worse planning, programming, budgeting, implementation, monitoring and surveillance of public policy becomes, and the further to achieve the five dimensions of people's welfare; the worse achievement of the five dimensions of people's welfare, the more marginalized villages become; the stronger symbolic violence doxa on the juridical norms reproduces pseudo data, the more sustainable symbolic violence becomes; and the more sustainable of symbolic violence, the more heteredoxa of symbolic affirmation needed—portrayed as the antithesis of 'the truth circle' of affirmative policy. The synthesis proposed from this dissertation would be how to build the systemic public policies based on the constructed version of science and technology's village data collection, allowing more space for villagers' communication and participation. "
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Balqis Salsabila Damanta
"Meskipun sebuah negara kecil, Belanda memiliki daerah pedesaan yang hingga abad 20 masih tetap bercirikan sebagai kawasan yang kaya akan berbagai macam jenis pertanian dan adat istiadat lokal. Daerah pedesaan di Belanda tergolong unik. Setiap desa memiliki beraneka ragam keindahan alam serta falsafah hidup penduduknya yang berbeda-beda. Ada sebuah karya sastra berupa cerita pendek yang mengangkat kisah tentang sosok orang desa di Belanda. Cerpen tersebut berjudul Oogst karya Jacqueline Servais yang terbit pada tahun 2013. Permasalahan dalam penelitian ini adalah representasi sosok orang desa di Belanda dalam cerpen Oogst. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan representasi sosok orang desa di Belanda dalam cerpen Oogst. Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra yang digagas oleh Sapardi Djoko Damono. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosok orang desa di Belanda dalam cerpen Oogst digambarkan naif dan menganggap alam sebagai bagian dari kehidupan, hidup dalam lingkungan yang sunyi dan asri, mendukung pendidikan, bekerja dengan giat, serta menjunjung tinggi nilai kejujuran dan ketulusan. Dari kelima representasi tersebut, terdapat representasi yang sesuai dan tidak sesuai dengan kenyataannya. Berdasarkan analisis makna simbol, simbol gandum dan bunga poppy menandakan bahwa alam mengajarkan kebaikan dan keburukan yang selalu hidup berdampingan. Simbol rambut pirang yang dimiliki gadis desa dan bayi perempuannya menandakan kebodohan. Simbol kejahatan tercermin dari representasi sosok pemuda asal Mediterania.

Despite being a small country, the Netherlands has a rural area which until the 20th century was still characterized as an area that has rich in various types of agriculture and local customs. The village in the Netherlands is unique. Each village has a variety of nature beauties and different philosophies of life for its inhabitants. There is a literary work in the form of a short story that tells the story of the figures of villagers in the Netherlands. The short story is entitled Oogst by Jacqueline Servais which was published in 2013. The problem of this research is representation of the figures of villagers in the Netherlands in Oogst's short story. The purpose of this research is to explain the representation of the figures of villagers in the Netherlands in Oogst's short story. This study using the sociology of literature theory proposed by Sapardi Djoko Damono. The results showed that the figures of villagers in the Netherlands in Oogst's short story is depicted as naïve and considers nature as part of life, lives in a quiet and beautiful environment, supporting education, working hard, and upholding the values of honesty and sincerity. From the five representations, there are representations that are appropriate and not appropriate with the reality. Based on the analysis of the meaning of symbols, the symbols of wheat and poppies indicate that nature teaches good and bad always coexist. The symbol of blonde hair indicates that the village girl and her baby girl have a sign of ignorance. The symbol of crime is reflected in the representation of a young man from the Mediterranean."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Djioe Let Beng
"Fokus penelitian ini adalah peer-group society orang Italia di West End, Boston pada pertengahan abad ke-20, yang dipaparkan dalam buku The Urban Villagers karya Herbert J. Gans. Tulisan ini juga mengungkapkan bagaimana pola pergaulan mereka sulit dirubah oleh caretakers atau pemerhati kota dalam upaya mendidik West Enders menjadi pelaku-pelaku kebudayaan kota industri Boston.
Peer-groups merupakan kelompok-kelompok keluarga Italia yang melakukan pertemuran rutin satu hingga tiga minggu sekali di West End. Pertemuan rutin ini dimotori oleh para pria dewasa yang telah menikah dan memiliki keluarga. Pertemuan ini merupakan sarana melanggengkan hubungan serta kedekatan anak-anak laki-laki Italia disana ketika mereka dewasa. Pergaulan semacam ini dianggap tidak conform dengan pola kebudayaan kota industri seperti Boston. Tesis Gans pada bukunya mengatakan bahwa pergaulan ini merupakan gejala kelas (class phenomenon) den dapat dianggap sebagai sebuah subculture.
Penelitian ini melihat gejala tersebut dari sisi yang lain. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa apa yang membentuk kelompok-kelompok peer-group adalah ikatan emosional yang disebut solidaritas. Solidaritas muncul jika ada perasaan senasib dan sama antar pelaku interaksi sosial. Kesamaan nilai-nilai yang dianggap penting merupakan kunci ikatan emosional ini. Individualisme ditekan supaya setiap anggota kelompok mampu secara maksimal conform terhadap nilai-nilai kelompoknya. Nilai-nilai yang sama ini dapat dikenali melalui habitus lokasi West End sendiri.
Habitus West End mampu menunjukkan bahwa solidaritas yang terwujud dalam kelompok-kelompok peer-group orang Italia di West End merupakan tanggapan lokalitas terhadap kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat kota Boston kelas menengah sebagai pelaku kebudayaan kota industri dengan orang Italia di West End yang kebanyakan lemah ekonominya.
The focus of this research is the peer-group society of the Italians in West End, Boston in the middle of the twentieth century, which is discussed in Herbert J. Gans' book, The Urban Villagers. This book also reveals how difficult it is for the caretakers to change the social habits of the West Enders in the process of the adoption of the Boston urban culture.
Peer-groups are groups of the Italian families who gather regularly one to three times a week in West End. The Italian family men promote these routine gatherings. These gatherings are believed to preserve the relation and cohesion among the male teenagers when they grow up. This sociability is considered not to conform to such an urban industrial culture as that of Boston. Gans' thesis is that this sociability is a class phenomenon and can be considered as a subculture.
This research tries to look at this phenomenon from a different perspective. In this research it is found that what constitutes those groups is emotional cohesion - that is solidarity. Solidarity occurs if there is a feeling of similar fates among the individuals. The similarity of the significant values is the key to the strong emotional cohesion. Individualism is suppressed so that each member of a group may totally conform to the collective values. Those values can be recognized through West End's habitués.
West End's habitués shows that solidarity in a form of peer-groups is the response of locality to the economic inequality between the Boston middle class as the urban industrial culture supporters and the Italian West Enders, who belong to the poor working class.
"
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11946
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pambudi Endah Karyati
"Penelitian ini dilakukan bertujuan mengupayakan pemberdayaan komunitas warga desa Tegalgede Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut. melalui program intervensi sosial. Kelompok melihat komunitas warga desa Tegalgede ini perlu mernbangun sumber daya manusia dan sumber alam sebagai potensi yang dapat menumbuhkan atau memberdayakan warga desa terutarna pada sektor perekonomian. Dalam melakukan program intervensi ini setiap anggota mempunyai target intervensi yang berbeda tetapi saling terkait saru sama lain. Untuk program individu intervensi yang dilakukan adalah pemberdayaan perempuan melalui program peningkatan ekonomi keluarga.
Dari observasi dan pengumpulan data yang dilakukan, diperoleh gambaran awal adanya fenomena helplessness yaitu adanya sikap apatis & hilangnya kreativitas pasrah pada keadaan, tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu bagi perubahan banyak terlihat pada para ibu - ibu wargadesa Dalam perencanaan program intervensi, penting diperhatikan kontribusi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di desa Tegalgede.
Sumber daya alam tidak terkembangkan sedangkan perubahan membutuhkan motor penggerak yang mampu menjadi pemimpin diantara mereka yang memlliki social influence yang tinggi tersedianya kapital sosial yang tidak terarahkan. Sasaran program ini adalah untuk membantu meningkatkan pengetahuan melalui program intervensi dengan melakukan strategi re-edukasi melalui cara - cara pendekatan persuasive. Re-edukasi dilakukan karena pembelajaran untuk orang dewasa lebih diutamakan belajar melalui pengalaman bersama orang lain, oleh karena itu program pembelajaran dilakukan untuk dapat mencapai tiga sasaran perubahan yaitu struktur kognitif dapat berubah, memperbaiki sikap dan yang terakhir menumbuhkan perilaku yang lebih baik.
Strategi yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik ABCD(Kreztman & Mc.Knights.,1993) dan Five C?s (Kotler.,1974) dengan penekanan pada penggalangan Agent of Change, yaitu Ibu - Ibu kader - kader PKK, Ibu - Ibu Kader Posyandu serta Pengurus Majelis Taklim kelompok pengajian Ibu - ibu yang dapat menumbuhkan motivasi dan membangun kebersamaan karena adanya tujuan bersama ( goal settings) yang akan dicapai oleh penduduk desa Tegalgede.
Hasil evaluasi dari program intervensi ini adalah: goal setting telah mulai terlihat hasilnya, adanya perubahan perilaku para Ibu yang mulai aktif melakukan kegiatan hasil pelatihan/pembelajaran (adanya common goals dan reinforcement), peserta merasakan rnanfaat dalam mengikuti program yang diselenggarakan dan mendukung kelangsungan program secara berkelanjutan, peserta dengan sukareia berpartisipasi aktif menjadi anggota Pokja, para Ibu perwakilan warga desa yang memperoleh kesempatan melakukan studi banding ke Jakarta sangat puas dapat melihat kelompok lain yang sudah berhasil sukses dan mengetahui semuanya berawal sama seperti mereka. Sikap terhadap sampah tarnpak berubah dari yang dulunya abai menjadi berubah dengan menganggap sampah mempunyai potensi ekonomis dan mereka sangat antuasias melakukan daur ulang sampah, pemasaran tanaman obat dan antanan kering sudah terlaksana di tiga tempat di Jakarta Hal ini dapat diartikan adanya kepercayaan (trust)dari masyarakat atas hasil produk rnereka dan ini akan meningkatkan self-confidence para Ibu warga desa Tegalgede Garut.

The research is conducted as an effort to empower the community of Tegalgede villagers in the district of Pakenjeng, Garut regency through a social intervention program. The group find out that this community needs to build its human resources as well as natural resources as potentials that can trigger the development and empower the villagers, especially in the sector of economy. In conducting the intervention program, each member of the group is promoting different target of intervention but still relevant to one another. For the individual program, the intervention is done through women?s empowering by employing a program to improve the family economy condition.
From the observation and the data collection, there was a finding illustrated the phenomena of helplessness by behaving phlegmatically and showing lack of creativity, giving up to their condition, and less motivated to act or do something for a better changing that evidently can be seen on the women of the Tegalgede community. In planning the intervention program, therefore, it was an essential matter to consider the contribution of the human resources and natural resources potentials in Tegalgede village.
The natural resources of the village had not been developed well whereas the changing required a sort of motivator who had the capacity of leading people and possessing a high social influence. The social capital could be assumed as unbearable. The target of the program thus, was trying to help the women of Tegalgede improving their knowledge by conducting an intervention program through a kind of persuasive re-education approach. This re-education is done because learning process for mature women are mainly effective through experiences with other people. Therefore, the learning program was specifically aiming in achieving the three targets of changing, namely the changing of the cognitive-structure, improving behavior and finally initiating and developing a better attitude.
The strategy used in this research was the ABCD-technique (Kretzman & Mc.Knights., 1993) and Five C?s (Kotler.,1974) which stressed on strengthening the Agent of Change, they are the members of PICK (mothers), Posyandu, the reading of Qor?an-group, and also the leader of the Majelis Taklim that can motivate and develop togetherness because of the presence of goal settings that was going to be achieved altogether by Tegalgede villagers.
The results of the intervention program-evaluation are: the goal settings have started yielding something, mothers start to do the activity of the training-result (the existence of common goals and reinforcement), the training participants are experiencing the benefit of the program and supporting its continuation, the participants are also volunteering themselves to participate actively as Pokja-member (Work-Group), the women-representative of the villagers who have been given a chance to have an observational study in Jakarta are satisfied and are able to see that those who have succeed but come from the other group are also begin with the same start. The villagers? attitude toward waste is changing. They start to consider waste as economically potential resource and want to do the recycling, enthusiastically, the marketing of medicament plants has comprised in three places in Jakarta. It means that there is a sense of trust from the society to the villagers? products and eventually this will increase the self confidence of the women of Tegalgede, Garut regency.
"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18538
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library