Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lalu Suryade
Abstrak :
Kunjungan Ariel Sharon ke Masjid Al Aqsa di Yerusalem pada 28 September 2000 menimbulkan gelombang kekerasan Israel-Palestina. Peristiwa tersebut mendorong munculnya gerakan perlawanan Intifadah II yang lebih dikenal dengan sebutan "Intifadah Al-Aqsa". Meskipun terjadi gelombang kekerasan dan memunculkan gerakan Intifadah Al Aqsa, Sharon justru mencapai puncak karirnya dengan menjadi perdana menteri setelah memenangkan pemilu 6 Pebruari 2001. Selama masa pemerintahannya, Sharon tidak melanjutkan proses perundingan damai dengan Palestina, sebagaimana yang pernah diupayakan perdana menteri sebelumnya, sejak Yitzhak Rabin hingga Ehud Barak. Kebijakan politik luar negerinya dalam menghadapi Palestina bersifat unilateral dan menggunakan kekerasan militer (use of force). Tetapi, dalam pemilu yang dipercepat pada 28 Januari 2003, Sharon kembali mengalahkan kandidat Partai Buruh dalam perebutan jabatan perdana menteri. Kebijakan unilateral dan penggunaan kekerasan militer yang dilakukan PM Ariel Sharon didukung setidaknya oleh lima faktor, yaitu: pertama, ideologi Zionisme yang mematok target mendapatkan "Eretz Yisrael" dengan Yerusalem sebagai ibukota abadi dan tak terbagi. Kedua, adanya tekanan politik domestik dengan kecendrungan menguatnya kelompok kanan dan bangkitnya fundamentalisme Zionis Yahudi yang tidak menghendaki pemberian konsesi apapun bagi Palestina, termasuk tanah yang diduduki pada perang 1967. Ketiga, adalah efek kampanye "Global War against Terrorism". Kampanye yang dikumandangkan oleh Presiden AS, George W. Bush menjadi legitimasi dan pembenaran yang lebih kuat bagi Israel untuk melakukan tindakan unilateral dan "use of force". Keempat, merupakan faktor politik strategis Israel untuk meningkatkan bargaining politik, dan melemahkan posisi politik Palestina. Dan, faktor kelima adalah adanya hambatan psikologis antara Ariel Sharon dengan Yasser Arafat yang sejak lama terlibat dalam permusuhan politik.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11838
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Metha Ramadita
Abstrak :
Sejak awal kemunculan space era, masyarakat internasional telah mendorong secara keras penggunaan ruang angkasa untuk tujuan damai (peaceful purposes). Namun, pengertian peaceful belum ada yang pasti hingga kini. Apakah kegiatan militer diperbolehkan atau tidak. Pada faktanya, sejak peluncuran Sputnik I, satelit tersebut sudah digunakan untuk tujuan militer. Sehingga, penjelasan mengenai kegiatan militer apa saja yang diperbolehkan di ruang angkasa menjadi sangatlah penting. Selain itu, mengingat semakin bergantungnya negara dengan teknologi ruang angkasa, dimulaui pengembangan teknologi anti-satellite untuk melindungi aset-aset nasional di ruang angkasa. Sejak tahun 1950an, sudah dilaksanakan uji coba anti-satellite weapons oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet yang mana banyak menimbulkan pertanyaan apakah kegiatan tersebut sesuai dengan prinsip peaceful purposes atau tidak. Oleh karena itu, juga perlu diketahui bentuk dari threat atau use of force dan pengecualiannya di ruang angkasa. ......Since the dawn of space era, international community has voiced the use of outer space for peaceful purposes. However, there is no authoritative definition regard of peaceful until today. In fact, since the launced of Sputnik I, its objective was military purposes. Thus, it is important to know which one of military activity in outer space is permissible. Moreover, the increasing of national's dependency on space-based asset, make the states develope the anti-satellite to protect their national space asset. The employment of anti-satellite began since the late of 1950s by United States and Union of Soviet Socialist Republics. The test raised questions on its compliance with peaceful purposes principle. Therefore, it is also important to know the form of threat and use of force and its execptions in space.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65247
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Binanda Afia Millenia
Abstrak :
Perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara pantai sama rumitnya dalam hukum internasional dan juga mendasar dalam praktiknya. Putusan arbitrase kasus Guyana/Suriname serta putusan pengadilan kasus M/V Saiga (No. 2) dan M/V Virginia G menjadi sangat signifikan dalam hal ini karena pengadilan-pengadilan tersebut harus mempertimbangkan beberapa pertanyaan penting yang melibatkan kategorisasi tindakan paksa di laut. Penelitian skripsi ini akan menawarkan beberapa refleksi awal tentang apa yang dianggap sebagai aspek kunci dari perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara serta bagaimana seharusnya implementasi penegakan hukum yang diatur di dalam 1982. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, tindakan use of force pada penegakan hukum di wilyayah yurisdiksi negara merupakan suatu hal yang tidak dilarang, namun harus sesuai dengan prinsip-prinsip necessity, unavoidability, dan reasonableness. Use of force dalam konteks ini juga harus dianggap sebagai kasus lex specialis dan tidak termasuk dalam lingkup larangan umum use of force di bawah pasal 2 (4) Piagam PBB. ......The distinction between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state is as complex in international law as it is fundamental in practice. The Guyana/Suriname arbitration award and the judgments of the M/V Saiga (No. 2) and the M/V Virginia G cases have been significant in this regard since the tribunal had to consider several important questions involving the categorization of forcible action at sea. This thesis research will offer some initial reflections on what are considered the key aspects of the difference between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state and how law enforcement should be implemented as regulated in the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Based on normative legal research conducted, use of force in law enforcement in the jurisdiction of a coastal state is something that is not prohibited, but must comply with the principles of necessity, unavoidability, and reasonableness. The use of force in this context must be considered as a lex specialis case and does not fall within the scope of the general prohibition of use of force under article 2 (4) of the UN Charter.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Fitriyanti
Abstrak :
Tesis ini membahas politik luar negeri Amerika Serikat yang mengkaji use of force AS terhadap Afghanistan dalam upaya self-defense akibat serangan teroris 1 I September 2001, Analisisnya dilakukan berdasarkan Piagani PBB dan Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001) yang dikaitkan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Unit analisa yang digunakan dalam tesis ini adalah negara (state) yang merupakan bagian dari perspektif Realis. Penulis tertarik pada persoalan serangan udara AS terhadap Afghanistan yang dilakukannya secara sepihak tanpa persetujuan dan perintah dari PBB sehingga AS dapat dikatakan melanggar Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001). Kerangka berpikir dalam tesis ini berupa kerangka konseptual. Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep politik luar negeri, use of .force, self-defense, terorisme, serta pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa AS berupaya memperluas ruang lingkup perang terhadap terorisme yang tidak hanya ditujukan terhadap Afghanistan saja. Tujuan AS yang sebenarnya adalah mengubah bentuk pemerintahan suatu negara yang dianggapnya dapat membahayakan eksistensi AS sebagai kekuatan tunggal dalam sistem internasional serta yang dapat menghalangi kepentingan nasionalnya. Hal ini dilakukan AS melalui politik Inn negerinya yang semakin agresif, cenderung unilateral, dan bersifat impulsit Use of.force AS terhadap Afghanistan hanyalah merupakan salah satu bagian dari strategi AS dalam rangka menegakkan demokrasi, pasar bebas, perdagangan bebas, dan sebagainya guna menginfiltrasi urusan dalam negeri anggota PBB yang dilakukan dengan memanfaatkan momentum 11 September. Oleh karena itu, tujuan politik luar negeri AS melalui operasi militernya terhadap Afghanistan harus dapat dibedakan dengan jelas. Serangan yang dilakukan AS itu benarbenar bertujuan memerangi terorisme internasional ataukah untuk menggulingkan pemerintahan Taliban demi kepentingan nasional AS yang sebenarnya sama sekali tidak berkaitan dengan Tragedi 11 September 2001 . Dalam hal ini, politik luar negeri AS cenderung memanfaatkan islilah self defense guna membenarkan use of ,force yang dilakukannya demi mengejar kepentingan nasionalnya terhadap suatu negara meskipun negara yang diserangnya tidak mengancam AS. Kesimpulan ini berkaitan dengan fakta yang ada dalam kasus use of force AS terhadap Afghanistan. Walaupun dalam kenyataannya 14 dari 19 pelaku serangan 11 September yang tertangkap adalah warga negara Arab Saudi, AS justru menyerang Afghanistan. Padahal, teroris adalah nonstate actor sedangkan Afghanistan merupakan state actor. Berdasarkan Piagam PBB, upaya self-defense hanya ditujukan terhadap aktor negara, yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya. Sehingga, upaya self-defense AS sebagai respon atas serangan 11 September yang menimpanya seharusnya ditujukan terhadap Arab Saudi karena mayoritas pelaku yang berhasil ditangkap merupakan warga berkebangsaan Arab Saudi. Selain itu, dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1368 dan 1373 (2001) sama sekali tidak menyebutkan tentang Afghanistan, Taliban, maupun Al-Qaidah. Tak ada satupun ketentuan dalam hukum internasional yang membenarkan serangan udara AS terhadap Afghanistan sehingga landasan hukum atas use of force AS terhadap Afghanistan sangat "kabur". Memang, meskipun penggunaan kekerasan oleh suatu negara terhadap negara lainnya sudah dilarang secara resntil oleh hukum internasional dan Piagam PBB, namun ada dua pengecualian scbagaimana yang terdapat dalam Pasul 51 dan 53 Piagam PBB. Dalam haI ini, AS telah menyalahgunakan konsep right of self-defense untuk kepentingannya sehingga dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri AS pasca 11 September 2001 yang berkaitan dengan serangan udaranya terhadap Afghanistan telah melanggar Pasal 2 ayat 1, ayat 3, ayat 4, dan ayat 7) Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001). Padahal, satu-satunya cara dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional adalah melalui jalur hukum internasional, bukan dengan menggunakan kekerasan sebagai upaya balas dendam.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kandou, Sheila Hillary
Abstrak :
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa melarang penggunaan kekuatan atau use of force. Pengecualian terhadap prinsip tersebut adalah apabila penggunaan kekuatan telah mendapatkan otorisasi dari Dewan Keamanan PBB atau dalam rangka pembelaan diri. Namun demikian, penggunaan hak bela diri tidak perlu didahului oleh persetujuan dari Dewan Keamanan PBB sehingga kerap kali disalahgunakan oleh negara untuk melakukan kekuatan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Skripsi ini akan membahas pengaturan hukum internasional mengenai hak bela diri serta penerapannya melalui praktik negara-negara, dan secara spesifik akan menganalisis penggunaan hak bela diri oleh Israel dalam Operation Pillar of Defense yang dilakukannya terhadap Palestina pada November 2012. Pembahasan permasalahan ini menggunakan penelitian hukum normative dengan analisis pendekatan yuridis normatif. Pada akhirnya, diungkapkan bahwa tindakan bela diri yang dilakukan oleh Israel sebagai negara anggota PBB tidak sesuai dengan Pasal 51 Piagam PBB maupun hukum kebiasaan internasional karena tidak memenuhi semua ketentuan yang mengatur tentang syarat dapat digunakannya hak bela diri tersebut. ...... The United Nations Charter explicitly prohibits the use of force. The exceptions to this principle are (i) if use of force has been authorized by the UN Security Council and (ii) self-defense. However, the right of self-defense has been abused by states as a justification to use of force against another stateā€˜s territorial integrity and political independence since it does not need a prior authorization from the UN Security Council. This thesis examines how international law regulates the right of self-defense along with how states apply it in their practices, and in particular analyses how Israel uses its right of self-defense against Palestine during Operation Pillar of Defense, conducted in November 2012. This thesis uses normative legal method of research as well as juridical normative analysis in addressing the issue. This study reveals that the self-defense done by Israel as a state member of the UN is not in compliance with Article 51 of the UN Charter nor customary international law because it did not fulfill all of the provisions concerning the requirements to use the right of self-defense.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56104
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library