"Tulisan ini mengkaji praktik umpatan dalam kelompok suporter sepakbola Indonesia melalui pendekatan fenomenologi dan metode etnografi. Selama tiga tahun (2022–2024), peneliti mengamati 52 pertandingan di 10 stadion wilayah Jabodetabek, menggunakan observasi lapangan, wawancara, eksperimen sosial, dan keterlibatan langsung dalam kehidupan komunitas suporter. Hasil tulisan menunjukkan bahwa umpatan tidak semata merupakan ekspresi marah atau agresif, melainkan juga saluran emosi kompleks seperti frustasi, kecewa, sedih, dan euforia. Umpatan berfungsi sebagai ritus emosional yang kolektif, membangun atmosfer, serta memperkuat solidaritas kelompok. Penggunaan umpatan dalam komunitas suporter, juga menjadi kode budaya yang diwariskan dan dipelajari, serta penanda identitas dan loyalitas kelompok. Chant yang mengandung umpatan tampil dalam bentuk lisan dan visual, dikoordinasi oleh capo, menciptakan struktur emosional yang teratur dan menyatukan massa. Praktik ini menjadi bagian dari ritual suporter sebelum, saat, dan sesudah pertandingan. Selain fungsi afektif dan sosial, umpatan juga memuat dimensi simbolik, terutama melalui penggunaan metafora binatang seperti ‘Anjing’ untuk mendehumanisasi lawan. Adapun dalam konteks ini, umpatan dapat bersifat terencana, menjadi strategi simbolik untuk membangun dominasi terhadap kelompok lain. Umpatan ‘Anjing’ juga terbukti situasional dan temporer, bermakna karena dirasakan secara kolektif, bukan sekadar dimengerti secara literal. Temuan lain juga menjelaskan umpatan ‘Anjing’ di stadion adalah praktik situasional yang arbitrer dan temporer, berfungsi sebagai ritus emosional yang bermakna karena dirasakan, bukan dimaksudkan untuk dimengerti pihak lain. Tulisan ini merekomendasikan pendekatan edukatif dan kontekstual dalam memahami ekspresi verbal suporter, melalui konsep “Umpatan Kolektif sebagai Strategi Atmosferik”, yang menegaskan bahwa umpatan dalam konteks stadion bukan sekadar ujaran verbal yang bersifat individu dan spontan, tetapi sebuah bentuk komunikasi performatif yang dirancang untuk membentuk atmosfer emosional yang khas.
This study explores swearing practices among Indonesian football supporter groups using a phenomenological and ethnographic approach. Over three years (2022–2024), the researcher observed 52 matches across 10 stadiums in the Greater Jakarta area, employing field observations, interviews, social experiments, and direct involvement with supporter communities. Findings reveal that swearing is not merely an expression of anger or aggression, but a release of complex emotions, like frustration, disappointment, sadness, and euphoria. Swearing acts as a collective emotional ritual, shaping atmosphere and reinforcing group solidarity. Within supporter culture, swearing serves as a learned and inherited code, marking loyalty and identity. Chants that include swearing, often led by a capo, are expressed both verbally and visually, forming structured emotional rhythms before, during, and after matches. These expressions also carry symbolic power, particularly the use of animal metaphors like ‘Anjing’ (dog) to dehumanize rival groups. In this context, swearing can be strategic, aimed at asserting symbolic dominance. The word ‘Anjing’ is shown to be situational and temporary, meaningful not in its literal sense, but as a shared emotional experience. This study introduces the concept of “Collective Swearing as Atmospheric Strategy,” highlighting that swearing in stadiums is not purely individual or spontaneous, but a performative act designed to generate emotional intensity. This study recommends a culturally grounded and educational approach to understanding supporter expressions, contributing to the anthropology of sports and offering insights for public policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025