Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Quincy Romano Rompas
Abstrak :
Background: Acute type-A aortic dissection occurs when the inner layer of the ascending aorta tears and develops an intimal flap. Surgery is the main intervention for this condition, which can lead to complications and even death. Post-operative hyperglycemia is a significant indicator of poor outcomes, impacting renal and neurologic functions, and increasing mortality rates. Studies reveal that higher blood glucose levels, a hallmark of type II diabetes mellitus (type II DM), predict morbidity and mortality following type A aortic dissection surgery due to body stress, immune system response, and mitochondrial problems. Methods: A retrospective cohort analytic study was conducted from January 2024 to July 2024, analyzing patients with and without preoperative type II DM who had undergone surgery. to find risk of early outcome like mortality and morbidity (AKI and post-operative wound infection). Bivariate statistical analysis using Independent T-test, Chi-Square, Fisher, and Mann-Whitney. Result: Patients who have type II DM and without type II DM have similar average age (49.24 ± 2.921 years old and 49.47 ± 1.040 years old respectively). Patients with type II DM had a longer duration of surgery time, with a mean of 448.18 ± 54.17 minutes, compared to patients without type II DM (370.84 ± 12.61 minutes). Intrahospital mortality, acute kidney injury complications, and infections had no significant relationship with type II DM. Conclusion: Both patient with type II DM and patients without type II occurs in productive age. Type II DM is not a risk factor for intrahospital mortality, acute kidney injury complications and infections. ......Latar belakang: Diseksi aorta akut tipe A terjadi ketika lapisan dalam aorta ascenden robek dan mengembangkan flap intimal. Operasi adalah intervensi utama untuk kondisi ini, yang dapat menyebabkan komplikasi bahkan kematian. Hiperglikemia pasca-operasi merupakan indikator penting dari hasil yang buruk, berdampak pada fungsi ginjal dan neurologis, serta meningkatkan tingkat mortalitas. Studi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah yang lebih tinggi, yang merupakan ciri khas diabetes mellitus tipe II (DM tipe II), memprediksi morbiditas dan mortalitas setelah operasi diseksi aorta tipe A akibat stres tubuh, respons sistem kekebalan, dan masalah mitokondria. Metode: Sebuah studi analitik kohort retrospektif dilakukan dari Januari 2024 hingga Juli 2024, menganalisis pasien dengan dan tanpa DM tipe II pra-operatif yang telah menjalani operasi untuk menemukan risiko hasil awal seperti mortalitas dan morbiditas (gagal ginjal akut dan infeksi luka pasca-operasi). Analisis statistik bivariat dilakukan dengan menggunakan Uji T Independen, Chi-Square, Fisher, dan Mann-Whitney. Hasil: Pasien yang memiliki DM tipe II dan tanpa DM tipe II memiliki rata-rata usia yang serupa (masing-masing 49,24 ± 2,921 tahun dan 49,47 ± 1,040 tahun). Pasien dengan DM tipe II memiliki durasi waktu operasi yang lebih lama, dengan rata-rata 448,18 ± 54,17 menit, dibandingkan dengan pasien tanpa DM tipe II (370,84 ± 12,61 menit). Mortalitas intrahospital, komplikasi gagal ginjal akut, dan infeksi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan DM tipe II. Simpulan: Pasien dengan DM tipe II dan pasien tanpa DM tipe II terdapat pada usia produktif. DM tipe II bukanlah faktor risiko untuk mortalitas intrahospital, komplikasi gagal ginjal akut, dan infeksi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manami Teresa Uechi
Abstrak :
Terapi diet memegang peran penting dalam penatalaksanaan diabetes mellitus. Pada penyandang DM tipe 2 yang tidak terkontrol, glukosa tidak tersedia sebagai sumber utama energi, sehingga tubuh meningkatkan produksi asam lemak, dengan akibat meningkatnya produksi benda keton di hati. Salah satu komplikasi DM adalah ketoasidosis, yang merupakan akibat dari meningkatnya benda keton dalam darah. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki efek dari penambahan serat makanan dalam DM diet pada kadar benda keton serum penyandang DM tipe 2 di Jakarta Timur. Dua puluh penyandang diabetes tipe 2 dengan fungsi hati dan ginjal yang normal, dibagi menjadi dua kelompok dengan cara block randomization. Selama setiap tiga minggu tahapan penelitian, Kelompok Kontrol menerima diet DM sedangkan Kelompok Perlakuan menerima kudapan kedelai mengandung 6 gram serat yang tercakup dalam diet DM setiap harinya. IMT dan asupan makanan dari subjek penelitian dipantau selama penelitian. Kadar benda keton serum subjek, sebelum dan setelah setiap tahapan penelitian diukur dengan menggunakan Precision Xtra Blood Ketone Test Strips. Subjek terdiri dari lebih banyak wanita, usia rata-rata 51 tahun, memiliki tingkat pendidikan rendah-sedang dan tingkat aktivitas fisik rendah. Sebagian besar subjek dengan berat badan lebih dan obes, dan tidak dapat mengikuti anjuran diet diabetes. Perubahan kadar benda keton serum sebelum dan sesudah intervensi tidak berbeda secara bermakna antara kelompok Kontrol dan Perlakuan. Asupan makanan dengan kandungan serat yang lebih tinggi dan penggunaan placebo disarankan untuk penelitian selanjutnya. ...... Dietary fibers have beneficial effects on glycemic control in type II DM. In uncontrolled DM, blood glucose as the primary energy source becomes unavailable, causing increased fatty acid oxidations and eventually an accelerated hepatic ketogenesis. One of the serious complications of type II DM is diabetic ketoacidosis, which results from an abnormally high concentration of ketone bodies in the blood. The aim of this research was to investigate the effects of additional dietary soy fibers on serum ketone concentrations of the type II DM patients in East Jakarta. The study involved 20 diabetic patients with normal hepatic and kidney functions. Subjects were divided into two groups by a block randomization method. During three weeks of each intervention period, the Control Group received a DM diet only, while the Treatment Group received soy snacks containing 6g of dietary fibers daily in addition to the DM diet. The subjects’ BMI and dietary intake from food records were assessed. The serum ketone body concentrations of the subjects were measured before and after each intervention period using Precision Xtra Blood Ketone Test Strips. Subjects consisted of more females with an average age of 51 years, and low educational and physical activity levels. Most subjects were either overweight or obese and they were unable to comply with their diabetic regimen diet. Changes in the serum ketone body concentrations before and after the intervention did not significantly differ between the Control and Treatment Groups. Further studies with higher fiber contents and use of placebo were suggested.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anies Dewi Wirati Indraswari
Abstrak :

Hambatan kontrol berat badan dan hiperlipidemia menjadi masalah yang sulit diselesaikan oleh pasien  diabetes melitus tipe 2 (DMT2) . Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu fungsi fisiologis dan kognator.  Studi cross sectional ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan faktor kognator yaitu konsep diri dengan hambatan kontrol berat badan pada pasien DMT2. Sebanyak 72 orang pasien DMT2 dengan rerata indeks massa tubuh 27.3 kg/m2 direkrut dari Pusat Layanan Diabetes Terpadu dari sebuah rumah sakit tersier Jakarta. Konsep diri yang terdiri atas persepsi, evaluasi diri,   dan self resilience  dinilai melalui kuesioner health belief models, illness identity, dan Health Hardiness Inventory (HHI).  Sedangkan hambatan kontrol berat badan yaitu hambatan motivasi dinilai melalui kuesioner The TREatment MOtivation and Readiness (TRE-MORE) test dan hambatan perilaku dinilai melalui kuesioner Barriers to Healthy Eating Scale (BHE scale). Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan evaluasi diri dengan hambatan perilaku dalam kontrol berat badan, terdapat hubungan yang signifikan self resilience dengan hambatan motivasi, tidak ada hubungan persepsi dengan hambatan motivasi dan perilaku dalam kontrol berat badan, dan tidak ada hubungan self resilience dengan hambatan  perilaku dalam kontrol berat badan. ......Challenges in controlling body weight and hyperlipidemia pose significant problems for patients with Type 2 diabetes mellitus (T2DM). These issues may be influenced by various factors, including physiological and cognitive functions. This cross-sectional study aims to identify the relationship between cognitive factors, specifically self-concept, and barriers to weight control  management in T2DM patients. A total of 72 T2DM patients with a mean body mass index of 27.3 kg/m² were recruited from a Comprehensive Diabetes Center at a tertiary hospital in Jakarta. Self-concept, encompassing perception, self-evaluation, and self-resilience, was assessed using the Health Belief Models questionnaire, Illness Identity questionnaire, and Health Hardiness Inventory (HHI). Barriers to weight control, including motivational barriers, were evaluated using the TREatment MOtivation and Readiness (TRE-MORE) test, while behavioral barriers were assessed using the Barriers to Healthy Eating Scale (BHE scale). The findings indicated a significant relationship between self-evaluation and behavioral barriers in weight control, either between self resilience and motivational barriersin weight control.  However, no significant relationships were found between perception and motivational or behavioral barriers in weight control, nor between self-resilience and behavioral barriers in weight control.

Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library