Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rr Irma Roosyana Lestyowati
"Latar Belakang: Instruksi penggunaan reagen PPD RT 23 2 TU yang dibuat oleh Statens Serum Institut Denmark yang menyatakan bahwa reagen PPD tidak boleh disimpan dan digunakan kembali setelah dibuka lebih dari 24 sampai 48 jam sulit untuk dipatuhi karena harga satu vial reagen yang mahal dan jumlah pasien yang tidak selalu ada untuk dilakukan tes tuberkulin.
Tujuan: Untuk melihat apakah penggunaan reagen PPD RT 23 yang vialnya sudah dibuka lebih dari 24 jam mempengaruhi hasil tes tuberkulin dan aman digunakan.
Metode: Studi potong lintang, non-inferiority study bulan Juni hingga bulan November 2017 pada 150 subjek. Dua tes tuberkulin dilakukan secara bersamaan pada tiap lengan pasien anak tersangka TB, satu tes tuberkulin menggunakan reagen yang vialnya dibuka <24 jam (kontrol) dan tes tuberkulin yang lainnya menggunakan reagen yang sudah dibuka 1 minggu (kelompok studi pertama) atau 1 bulan (kelompok studi kedua). Diameter indurasi masing-masing lengan diukur setelah 72 jam.
Hasil: Jumlah subjek pada kelompok studi pertama sebanyak 64 anak, dengan rata-rata diameter indurasi 3,14 mm (SD 6,409) dan 3,41 mm (SD 6,732) untuk kontrol (p=0,364). Jumlah subjek pada kelompok studi kedua sebanyak 86 anak, dengan rata-rata diameter indurasi 3,33 mm (SD 5,491) pada perlakuan dan 3,41 mm (5,555) pada kontrol (p=0,559). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada jumlah subjek dengan hasil tes tuberkulin positif (diameter indurasi ≥10 mm) dan tidak ada perbedaan selisih diameter yang bermakna (p=0,000). Tidak didapatkan efek samping maupun tanda infeksi pada lokasi tempat penyuntikan.
Simpulan: Reagen PPD RT 23 2 TU tidak berkurang efektivitasnya walaupun sudah dibuka 1 minggu dan 1 bulan dan aman untuk digunakan.

Background: Recommendations that purified protein derivative (PPD) RT-23 tuberculin should not be kept and used more than 24 to 48 hours after opening are rarely complied with because of the high price of a vial PPD tuberculin and there are not always patients to administer the test to.
Objective: To examine whether keeping opened vials of PPD RT-23 tuberculin for longer than 24 hours could affect the results of the test and safe.
Methods: A cross-sectional study, non-inferiority study was conducted during June to November 2017 at 150 subjects. Two tuberculin tests were simultaneously administered one in each forearm, to pediatric patient with suspect tuberculosis, one test using a recently opened vial of tuberculin (control) and the other using tuberculin that had been opened a week before (first phase of study tuberculin) or a month before (second phase of study tuberculin) then we measure diameter of the induration of each forearm after 72 hours.
Results: Total subject 64 patients in the first group (tuberculin opened 1 week), the mean (SD) diameter of the induration was 3.14 (6.409) mm and 3.41 (6.732) mm for the control (P=.3). Total subject 86 patients in the second group (tuberculin opened 1 month), the mean diameter of the induration was 3.33 (5.491) mm and 3.41 (5.555) mm for the control (P=.5). There were no differences between the number of positive tests (diameter of induration ≥10 mm) found and there were no significant differences of the difference of diameter of induration between the study tuberculin and control (P=.0). No adverse reaction and none sign of infection on the site of injection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kenyorini
"Penyakit TB masih merupakan masalah kesehatan kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. Upaya diagnostik TB paru masih terus ditingkatkan. Pemeriksaan penunjang diagnosis TB yang sekarang digunakan masih mempunyai sensitiviti dan spesitiviti yang rendah. Tujuan penelitian mengetahui tingkat akurasi uji tuberkulin dan PCR terhadap penegakkan diagnosis TB serta hubungan uji tuberkulin dan PCR dengan BTA mikroskopis dan biakan M. Tb dalam diagnosis TB paru.
Metode penelitian cross-sectional, uji diagnostik dan analisa data menggunakan Chi-Square. Kriteria inklusi penderita terdapat gejala klinik riwayat batuk 3 minggu disertai atau tanpa batuk darah, nyeri dada, sesak napas dan riwayat minum obat TB dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan serta bukan TB (kontrol). Seluruh sampel dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, lekosit, LEDI/II, foto toraks, uji tuberkulin, PCR, BTA mikroskopis 3X dan biakan M. Tb mctode kudoh. Baku emas yang digunakan biakan M. Tb metode kudoh. Data diolah menggunakan SPSS versi 11.00.
Berdasar 127 sampel masuk kriteria inklusi 121. Sampel berjumlah 121 terdiri dari 61 sampel tersangka TB dan 60 sampel kontrol Sensitiviti dan spesivisiti uji tuberkulin terhadap biakakn metode Kudah menggunakan cut-off point 15,8 mm 33% dan 93%. Sensitiviti PCR terhadap biakab metode Kudoh 100%, spesitiviti PCR 78%. Didapatkan perbedaan bermakna dan hubungan lemah uji tuberkulin dengan biakan M. Tb dan PCR serta didapatkan perbedaan dan hubungan bermakna PCR dengan BTA mikroskopis biakan M. Tb.
Kesimpulan basil keseluruhan penelitian mendapatkan basil 39 sampel biakan positif, 36 sampel BTA mikroskopis positif, 57 sampel PCR positif dan 18 sampel uji tuberkulin positif. Ditemukan sensitiviti basil uji tuberkulin lebih rendah daripada PCR, BTA mikroskopis dan biakan M. Tb mctode Kudoh. Meskipun terdapat perbedaan bermakna basil uji tuberkulin pada biakan positif clan negatif, BTA mikroskopis positif dan negatif, serta PCR positif dan negatif, akan tetapi uji tuberkulin (menggunakan cut-off point 15.8 mm) kurang dapat membantu penegakan diagnosis TB para. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa diantara keempat pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru PCR mempunyai nilai sensitivit dan spesitiviti tinggi ( 100% dan 78%). sehingga PCR dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru apabila didapatkan klinis dan radiology mendukung TB paru. Menggunkan pemeriksaan PCR akan didapatkan metode penegakan diagnosis TB paru yang cepat ( 1 hari ) dibandingkan dengan menunggu hasil biakan M. Tb hingga 8 minggu.

Objective. In an attempt diagnosis pulmonary tuberculosis still increased continuously. Now additional examination pulmonary tuberculosis have been lack sufficient sensitivity and sensitivities. The aim of this study was to determine the validity of tuberculin skin testing (TST) and PCR toward assessment diagnosis pulmonary of tuberculosis with correlation between tuberculin skin testing to PCR with AFB microscopic and solid media culture of M. tuberculosis for the diagnosis of pulmonary tuberculosis.
Method. A cross-sectional study, diagnostic test and analysis with Chi-Square test. Inclusion criteria patient with pulmonary symptom include chronic cough 3 weeks with or without hemoptysis, chest pain, breathlessness and past history of ATA less than 1 month with non-tuberculosis patient (control). The general samples was examination Ro thorax, tuberculin skin testing, PCR, AFB microscopic and conventional culture. The golden standard is conventional culture test using Kudoh method. Analyze of the data with SPSS version 11.0.
Result. The study material comprised 121 samples from 127 samples. These samples include 61 samples from patient with probably active pulmonary tuberculosis and 60 control comprising healthy individuals. The sensitivity and specificity of tuberculin skin testing with cut-off point 15.8 mm greater was 33% and 93% on conventional culture test using Kudoh method. PCR sensitivity was 100% and spesitivity was 78%. It was showed the positivity correlation between pulmonary tuberculosis and conventional culture as well as PCR and AFB microscopic, the conventional culture test.
Conclusion. The sensitivity of tuberculin skin testing less than PCR, AFB microscopic and conventional culture test. So that not enough to assessment diagnosis pulmonary tuberculosis. The sensitivity and specificity PCR was I00% and 78%. With the use of PCR test, we were able to detect diagnosis pulmonary tuberculosis more rapidly in less than I day, compared to average 8 week required for detection by conventional culture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dianova
"Latar Belakang : Infeksi TB laten didefinisikan sebagai kondisi individu yang terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis M.tb tetapi saat ini individu tersebut tidak sakit, tidak ada gejala dan gambaran foto toraks normal.
Tujuan : Mengetahui proporsi TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh, Mengetahui karakteristik subjek dan hubungan antara usia, masa kerja, lokasi kerja dan status gizi dengan kejadian TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dan mengidentifikasi TB laten menggunkan pemeriksaan uji tuberkulin TST pada petugas kesehatan di RSUDZA serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan pada bulan November 2015. Sampel terdiri dari petugas kesehatan di unit infeksi RS Zainoel Abidin yaitu : Poli DOTS, Poli Paru, Ruang Rawat Infeksi Paru PTT , Respiratory High Care Unit RHCU , Unit Bronkoskopi, Laboratorium Mikrobiologi dan Radiologi. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan tehnik consecutive sampling.
Hasil : Enam puluh lima petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh dilakukan uji TST. 35 53,8 TST positif dan 30 46,2 TST negatif. Proporsi TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh adalah 53,8. Tidak terdapat hubungan bermakna antara usia dengan kejadian TB laten p=0.727. Terdapat hubungan bermakna antara masa kerja dengan kejadian TB laten p=0,0001. Tidak terdapat hubungan bermakna antara lokasi kerja dengan kejadian TB laten p=0,324 dan tidak didapatkan hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian TB laten p=0,522.
Kesimpulan : Kejadian TB laten pada petugas kesehatan yang bekerja di tempat risiko tinggi TB di RSUDZA tidak dipengaruhi oleh usia, lokasi kerja, status gizi namun dipengaruhi masa kerja. Proporsi TB laten pada petugas kesehatan di RSUDZA Banda Aceh adalah 53,8.

Background : Latent TB infection is defined as the condition of individuals who are infected with Mycobacterium tuberculosis M.tb but this time the individual is no sick, no symptoms and have normal chest X ray.
Objective : To determine the proportion of latent TB among healthcare workers in RSUDZA Banda Aceh, knowing the characteristics of the subjects and the relationship between age, length of employment, work location and the nutritional status and the incidence of latent TB among healthcare workers at RSUDZA.
Methods : This research is an analytic observational study using cross sectional design. Sampling was conducted at RSUDZA during November 2015. The sample consisted of healthcare workers at Directly Observed Short Course Therapy Clinic, Pulmonary Clinic, Integrated Tuberculosis Care PTT, Respiratory High Care Unit RHCU, Bronchoscopy Unit, Microbiology Laboratory and Radiology at RSUDZA.
Results : The proportion of latent TB among healthcare workers in RSUDZA Banda Aceh was 53.8. There was no significant relationship between age and incidence of latent TB infection p 0.727. There is a significant relationship between length of employment incidence of latent TB infection p 0.0001. There was no significant relationship between work location and incidence of latent TB infection p 0.324 and there is no significant relationship between nutritional status and incidence of latent TB infection p 0.522.
Conclusion : The incidence of latent TB infection in health care workers who work in a high risk of TB at RSUDZA is not affected by age, location of work, nutritional status but affected with length of employment. The Proportion of latent TB among healthcare workers in RSUDZA Banda Aceh was 53.8.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kinanta Imanda
"Latar Belakang: Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan penunjang utama yang membantu diagnosis tuberkulosis anak di Indonesia. Jenis TB yang diderita pasien ternyata dapat mempengaruhi hasil negatif palsu dari uji tuberkulin.
Tujuan: Menganalisis hubungan antara hasil uji tuberkulin dan jenis tuberkulosis pasien TB paru dan ekstraparu pada pasien tuberkulosis anak.
Metode: Penelitian potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari-Oktober 2018 dengan melihat data usia, jenis kelamin, penyakit komorbid, hasil uji tuberkulin, dan jenis tuberkulosis dari formulir TB-01 dan rekam medis dari 230 pasien anak yang terdiagnosis tuberkulosis selama periode 2014-2018.
Hasil: Tidak terdapat hubungan bermakna antara hasil uji tuberkulin dengan jenis tuberkulosis (nilai p = 0,607; RR = 0,937; IK95% = 0,729 sampai 1,203).
Kesimpulan: Hasil uji tuberkulin tidak berhubungan dengan jenis tuberkulosis yang dimiliki pasien anak. Pada kasus yang diduga mengalami anergi, diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan dengan gambaran klinis pasien, pemeriksaan radiologis, dan hasil uji bakteriologis.

Background: Tuberculin skin test is one of the primary diagnostic tools for diagnosing tuberculosis in children. Objective: This research analyse the association between the result of tuberculin skin test and the type of tuberculosis in children with pulmonary and extrapulmonary tuberculosis.
Methods: This research is a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusomo Hospital, Jakarta in January to October 2018 by reviewing 230 data of age, gender, comorbidities, result of tuberculin skin test, and type of tuberculosis from TB-01 form and medical records of children diagnosed with tuberculosis from 2014 until 2018.
Result: There is no significant correlation between the result of tuberculin skin test and type of tuberculosis in children with pulmonary and extrapulmonary tuberculosis (p value = 0.607; RR = 0.937; CI 95% = 0.729 to 1.203).
Discussion: The result of tuberculin skin test does not have significant correlation with the type of tuberculosis in children with pulmonary and extrapulmonary tuberculosis. In cases with suspected anergy, the diagnosis can be formed by patients clinical features, radiology examination and the result of biological testing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Wahyudini
"ABSTRAK
Tuberkulosis merupakan salah satu tantangan masalah kesehatan dunia dengan perkiraan sepertiga populasi dunia terinfeksi MTB. Anak usia 0-5 tahun dengan kontak TB BTA positif berisiko tinggi untuk terinfeksi TB. Pemeriksaan skrining pada anak dengan risiko terjadinya infeksi TB laten merupakan langkah penting dalam program eliminasi dan kontrol penyakit TB. Ketersediaan tuberkulin yang sangat terbatas memicu pencarian alternatif lain untuk mendiagnosis infeksi TB. Penggunaan IGRA telah direkomendasikan WHO untuk mendiagnosis TB laten, tetapi belum banyak penelitian yang membandingkan ketiga modalitas yang tersedia di lapangan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui perbandingan antara QFT-Plus, T-SPOT.TB dan uji tuberkulin dalam mendiagnosis infeksi TB laten pada anak usia 0-5 tahun dengan kontak TB BTA positif. Sebanyak 104 anak berusia 1-60 bulan dari 87 kasus index dihubungi untuk melakukan pemeriksaan QFT-Plus, T-SPOT.TB dan uji tuberkulin dengan hasil 51% merupakan infeksi TB laten. Perbandingan antara pemeriksaan QFT-Plus dan T-SPOT.TB menunjukkan kesesuaian baik dengan kappa 0,638. Perbandingan antara uji tuberkulin dengan kedua pemeriksaan QFT-Plus dan T-SPOT.TB menunjukkan kesesuaian cukup dengan hasil uji kappa hampir sama yaitu 0,528 dan 0,527. Berdasarkan hasil di atas, pemeriksaan QFT-Plus, T-SPOT.TB, dan uji tuberkulin mempunyai kesesuaian cukup baik dan dapat dijadikan pertimbangan untuk mendiagnosis infeksi TB laten pada anak 0-5 tahun.

ABSTRACT
Tuberculosis is one of the world's health burden with an estimated one-third of the world's population infected with MTB. Children aged 0-5 years with positive AFB contact has higher risk to get TB infected. Screening tests in children with risk of latent TB infections are an important step to eliminate and control TB disease. Availability of very limited tuberculin skin test triggers another alternative test to diagnose TB infections. WHO has recommended the use of IGRA to diagnose latent TB infection, but lack of research that compares all of three modalities. This study aimed to determine the comparison between QFT-Plus, T-SPOT.TB and tuberculin skin test in diagnosing latent TB infection in children aged 0-5 years with positive AFB contacts. A total of 104 children aged 1-60 months from 87 index cases was contacted to perform QFT-Plus, T-SPOT.TB and tuberculin skin test with 51% diagnosed with latent TB infections. The comparison between QFT-Plus and T-SPOT.TB has kappa 0.638 indicating substantial suitability. The comparison of tuberculin skin test with QFT-Plus and T-SPOT.TB showed moderate suitability with kappa 0.528 and 0.527, respectively. Based on the results, QFT-Plus, TSPOT.TB, and tuberculin skin test have good suitability and can be considerate to diagnose latent TB infections in children less than 5 years old."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Wahyudini
"

Tuberkulosis merupakan salah satu tantangan masalah kesehatan dunia dengan perkiraan sepertiga populasi dunia terinfeksi MTB. Anak usia 0-5 tahun dengan kontak TB BTA positif berisiko tinggi untuk terinfeksi TB. Pemeriksaan skrining pada anak dengan risiko terjadinya infeksi TB laten merupakan langkah penting dalam program eliminasi dan kontrol penyakit TB. Ketersediaan tuberkulin yang sangat terbatas memicu pencarian alternatif lain untuk mendiagnosis infeksi TB. Penggunaan IGRA telah direkomendasikan WHO untuk mendiagnosis TB laten, tetapi belum banyak penelitian yang membandingkan ketiga modalitas yang tersedia di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara QFT-Plus, T-SPOT.TB dan uji tuberkulin dalam mendiagnosis infeksi TB laten pada anak usia 0-5 tahun dengan kontak TB BTA positif. Sebanyak 104 anak berusia 1-60 bulan dari 87 kasus index dihubungi untuk melakukan pemeriksaan QFT-Plus, T-SPOT.TB dan uji tuberkulin dengan hasil 51% merupakan infeksi TB laten. Perbandingan antara pemeriksaan QFT-Plus dan T-SPOT.TB menunjukkan kesesuaian baik dengan kappa 0,638. Perbandingan antara uji tuberkulin dengan kedua pemeriksaan QFT-Plus dan T-SPOT.TB menunjukkan kesesuaian cukup dengan hasil uji kappa hampir sama yaitu 0,528 dan 0,527. Berdasarkan hasil di atas, pemeriksaan QFT-Plus, T-SPOT.TB, dan uji tuberkulin mempunyai kesesuaian cukup baik dan dapat dijadikan pertimbangan untuk mendiagnosis infeksi TB laten pada anak 0-5 tahun.

 


Tuberculosis is one of the worlds health burden with an estimated one-third of the worlds population infected with MTB. Children aged 0-5 years with positive AFB contact has higher risk to get TB infected. Screening tests in children with risk of latent TB infections are an important step to eliminate and control TB disease. Availability of very limited tuberculin skin test triggers another alternative test to diagnose TB infections. WHO has recommended the use of IGRA to diagnose latent TB infection, but lack of research that compares all of three modalities. This study aimed to determine the comparison between QFT-Plus, T-SPOT.TB and tuberculin skin test in diagnosing latent TB infection in children aged 0-5 years with positive AFB contacts. A total of 104 children aged 1-60 months from 87 index cases was contacted to perform QFT-Plus, T-SPOT.TB and tuberculin skin test with 51% diagnosed with latent TB infections. The comparison between QFT-Plus and T-SPOT.TB has kappa 0.638 indicating substantial suitability. The comparison of tuberculin skin test with QFT-Plus and T-SPOT.TB showed moderate suitability with kappa 0.528 and 0.527, respectively. Based on the results, QFT-Plus, T-SPOT.TB, and tuberculin skin test  have good suitability and can be considerate to diagnose latent TB infections in children less than 5 years old.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Wahyudini
"

Tuberkulosis merupakan salah satu tantangan masalah kesehatan dunia dengan perkiraan sepertiga populasi dunia terinfeksi MTB. Anak usia 0-5 tahun dengan kontak TB BTA positif berisiko tinggi untuk terinfeksi TB. Pemeriksaan skrining pada anak dengan risiko terjadinya infeksi TB laten merupakan langkah penting dalam program eliminasi dan kontrol penyakit TB. Ketersediaan tuberkulin yang sangat terbatas memicu pencarian alternatif lain untuk mendiagnosis infeksi TB. Penggunaan IGRA telah direkomendasikan WHO untuk mendiagnosis TB laten, tetapi belum banyak penelitian yang membandingkan ketiga modalitas yang tersedia di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara QFT-Plus, T-SPOT.TB dan uji tuberkulin dalam mendiagnosis infeksi TB laten pada anak usia 0-5 tahun dengan kontak TB BTA positif. Sebanyak 104 anak berusia 1-60 bulan dari 87 kasus index dihubungi untuk melakukan pemeriksaan QFT-Plus, T-SPOT.TB dan uji tuberkulin dengan hasil 51% merupakan infeksi TB laten. Perbandingan antara pemeriksaan QFT-Plus dan T-SPOT.TB menunjukkan kesesuaian baik dengan kappa 0,638. Perbandingan antara uji tuberkulin dengan kedua pemeriksaan QFT-Plus dan T-SPOT.TB menunjukkan kesesuaian cukup dengan hasil uji kappa hampir sama yaitu 0,528 dan 0,527. Berdasarkan hasil di atas, pemeriksaan QFT-Plus, T-SPOT.TB, dan uji tuberkulin mempunyai kesesuaian cukup baik dan dapat dijadikan pertimbangan untuk mendiagnosis infeksi TB laten pada anak 0-5 tahun.

 


Tuberculosis is one of the world's health burden with an estimated one-third of the world's population infected with MTB. Children aged 0-5 years with positive AFB contact has higher risk to get TB infected. Screening tests in children with risk of latent TB infections are an important step to eliminate and control TB disease. Availability of very limited tuberculin skin test triggers another alternative test to diagnose TB infections. WHO has recommended the use of IGRA to diagnose latent TB infection, but lack of research that compares all of three modalities. This study aimed to determine the comparison between QFT-Plus, T-SPOT.TB and tuberculin skin test in diagnosing latent TB infection in children aged 0-5 years with positive AFB contacts. A total of 104 children aged 1-60 months from 87 index cases was contacted to perform QFT-Plus, T-SPOT.TB and tuberculin skin test with 51% diagnosed with latent TB infections. The comparison between QFT-Plus and T-SPOT.TB has kappa 0.638 indicating substantial suitability. The comparison of tuberculin skin test with QFT-Plus and T-SPOT.TB showed moderate suitability with kappa 0.528 and 0.527, respectively. Based on the results, QFT-Plus, T-SPOT.TB, and tuberculin skin test  have good suitability and can be considerate to diagnose latent TB infections in children less than 5 years old.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library