Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ketut Sudhana Astika
"ABSTRAK
Kehidupan masyarakat Bali mewujudkan adanya suatu organisasi sosial yang mengikat anggota masyarakat dalam suatu bentuk keterikatan pada banjar dan desa adat. Sebagai bentuk suatu penataan kehidupan yang berdasarkan pada adat dan agama, organisasi sosial ini mengikat anggotanya dalam suatu ikatan pada aktivitas kegiatan adat dan agama, yang mewujudkan pola-pola hubungan dalam bentuk interaksi, integrasi, partisipasi dan orientasi yang kuat pada unsur-unsur pembentuknya. Banjar dan desa adat kemudian menjadi ciri yang khas dari kehidupan masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu, baik didesa atau dikota.
Konsepsi Tri Hita Karana yang menjadi dasar dari pembentukan banjar dan desa adat, mengacu pada pelaksanaan adat dan tujuan dari kehidupan beragama bagi masyarakat Bali, dan merupakan ciri dari kehidupan masyarakat dalam kesatuan adat . Konsepsi ini memberi penekanan pada terwujudnya nilai dan azas keseimbangan dalam kehidupan, untuk mencapai tujuan agama, terciptanya kedamaian, dan tercapainya kesejahteraan hidup bagi umat manusia. Hakekat dasar dari konsepsi ini adalah kesadaran manusia untuk mewujudkan azas keseimbangan dalam kehidupannya, dengan wujud pola-pola hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan-nya, dengan alam lingkungannya dan dengan sesamanya. Tiga wujud pola hubungan yang disebut dengan Parhyangan, Palemahan, Pawongan; adalah manifestasi dari kehidupan dunia dengan segala isinya yang dibedakan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Dengan berlandaskan pada tujuan kehidupan beragama, yaitu menyatunya Atman dengan Paramaatman, dalam suatu bentuk penciptaan hubungan yang serasi dengan nilai keseimbangan dari hubungan antar ketiga unsur tersebut pada kehidupan.
Dengan menggunakan model pendekatan fungsional-struktural untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia dan fungsi sosial dari adat (Malinowski, 1944; dan Brown, 1922); maka organisasi banjar dan konsepsi Tri Hita Karana dilihat sebagai suatu reaksi budaya dari kebutuhan dasar manusia untuk menciptakan keseimbangan hubungan antara tiga unsur dasar kehidupan. Model pendekatan ini yang kemudian dikembangkan oleh Parson, 1937; dengan model teori tindakan sosial voluntaristik, dan Merton, 1968; dengan paradigma analisa fungsionalnya, memperkuat dugaan bahwa konsepsi Tri Hita Karana dan kehidupan banjar ada dalam suatu hubungan berfungsi. Adat dan kebiasaan berupacara dengan dasar agama yang diyakini, berfungsi untuk membentuk sistem sosial, yaitu banjar dan desa adat.
Fungsi unsur-unsur normatif bagi terwujudnya keteraturan sosial dari landasan institutional yang dikemukakan oleh Scott, 1970; dan acuan normatif bagi terbentuknya integrasi sosial dari Landecker, 1962. Hal ini menunjuk pada model keterikatan dan orientasi pada kerabat dan adat yang ada pada pola pelaksanaan konsep Tri Hita Karana oleh anggota banjar seperti ditemukan oleh Geertz, 1959; Korn, 1960; Geertz & Geertz, 1976 dan Eisseman, 1990; walaupun dalam tulisan mereka tidak terungkap secara nyata tentang integrasi yang dimaksud. Pola keterikatan dan orientasi pada kerabat, adat dan wujud upacara persembahan (yadnya) yang dikembangkan, menunjukkan adanya pola interaksi dan integrasi masyarakat yang khas dengan berdasar pada acuan normatif dari konsepsi tadi. Model keterikatan dan orientasi ini mengembangkan kehidupan masyarakat sebagai anggota banjar untuk mewuudkan pola-pola hubungan yang serasi antara manusia dengan Tuhan, dengan alam lingkungannya dan dengan sesamanya.
Dalam pelaksanaannya oleh masyarakat, konsepsi Tri Hita Karana diwujudkan dalam bentuk pola penataan pekarangan, perwujudan simbol-simbol fisik keagamaan, berpola tingkah laku berupacara dan berbagai penataan perilaku masyarakat untuk terciptanya keseimbangan dan keteraturan sosial. Pada kenyataannya, dalam kehidupan masyarakat sebagai anggota banjar dikota dimana heterogenitas masyarakat juga ikut berperan, maka berbagai aspek yang menentukan keberadaan banjar juga mempengaruhi pola pelaksanaan konsepsi tersebut.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa perbedaan status keanggotaan dalam banjar, perbedaan daerah asal, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan; menentukan pola tingkah laku masyarakat, pola-pola hubungan, interaksi dan integrasi sosial, dan partisipasinya pada kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan konsepsi Tri Hita Karana. Kesadaran manusia akan hakekat kehidupan, tentang adanya proses penciptaan, prinsip kebersamaan, dan hakekat perbuatan dalam hubungannya dengan waktu; mengarahkan manusia pada pola kehidupan yang berusaha untuk mewujudkan pemberian nilai dan pengembangan azas keseimbangan pada setiap aspek kehidupannya. Temuan tersebut belum pernah terungkap dari tulisan-tulisan sebelumnya, khususnya pada temuan tentang bagaimana masyarakat kota mewujudan pola pelaksanaan adat dan upacara agama serta penataan lingkungan kehidupannya dalam kerangka konsepsi tentang pemberian nilai dan makna keseimbangan hidup.
Perwujudan nilai dan pengembangan azas keseimbangan bagi kehidupan manusia, yang berbentuk kesadaran akan hakekat kehidupan dengan melaksanakan persembahan yadnya dan upacara oleh masyarakat sebagai anggota banjar dikota, berbeda bentuknya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap status keanggotaan banjar yang berlaku ditempat tinggal mereka, yang dibedakan atas anggota banjar adat dan anggota banjar dinas. Disamping itu perbedaan perlakuan dan pelayanan pimpinan/petugas banjar, pembatasan dalam sejumlah hak dan kewajiban, serta wujud penataan lingkungan yang berbeda; menyebabkan adanya perbedaan bentuk pelaksanaan yadnya diantara sesama anggota banjar. Juga ditemukan perbedaan pola interaksi sosial, partisipasi, integrasi dan orientasi terhadap kerabat, pura, dan banjar sebagai bentuk fanatisme kelompok dilingkungan banjar dalam bentuk 'banjarisme', antara penduduk asli dari banjar dengan penduduk pendatang dari luar banjar. Kenyatan ini ditemukan pada kehidupan masyarakat sebagai anggota banjar dikota Denpasar."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Gde Pujaastawa
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji model pengelolaan Desa Wisata Penglipuran yang dinilai telah membawa implikasi positif terhadap kesejahteraan ekonomi, kelestarian budaya dan lingkungan secara berkelanjutan. Tujuan penelitian in adalah untuk memformulasikan model pengelolaan daya tarik wisata berbasis Tri Hita Karana sebagai alternatif model pengembangan pariwisata berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan etnografi sebagai salah satu varian dari pendekatan kualitatif. Pengempulan data dilakukan dengan teknik wawancara, observasi, kepustakaan, dan pemeriksaan dokumen. Temuan penelitian ini menyatakan bahwa model pengelolaan daya tarik wisata berbasis Tri Hita Karana menjadikan ketiga aspek lingkungan (spiritual, sosial dan fisik) sebagai objek ssekaliogus subjek dari pembangunan pariwisata. Dalam posisinya sebagai objek, aspek parahyangan, pawongan, dan palemahan berfungsi sebagai tarik wisata yang cukup potensial. Sebaliknya sebagai subjek, nilai-nilai Tri Hita Karana berfungsi sebagai acuan sekaligus mengontrol kebijakan pengembangan pariwisata. Model ini membawa sejumlah implikasi berupa peningkatan kesejahteraan ekonomi, kelestarian budaya dan lingkungan secara berkelanjutan."
Bali: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2017
902 JNANA 22:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Riantama Sulthana Fauzan
"Sebagai sistem pertanian kearifan lokal Bali, kedaulatan pangan Subak terancam dalam menjaga keberlanjutan pangan di wilayah Bali. Hal ini disebabkan karena para petani tidak lagi sepenuhnya menjalankan prinsip Tri Hita Karana dalam kegiatan usaha taninya dan beralih pada sistem pertanian Revolusi Hijau. Kabupaten Tabanan yang memiliki prestasi ketahanan pangan terbaik di Indonesia juga ikut terancam, karena Subak sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan pangannya sudah tidak seberdaya dulu. Maka dari itu, penilitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh apa Revolusi Hijau telah mendegradasi kedaulatan pangan Subak yang menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana sehingga, dapat mengetahui akar permasalahan dan solusi yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan pangan. Tesis ini menggunakan desain penelitian kualitatif dan metode Life History untuk memahami berbagai perubahan yang terjadi di Subak secara mendalam. Pengumpulan data menggunakan observasi, literatur dan melakukan wawancara secara langsung kepada tiga Subak di kabupaten Tabanan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran orientasi dari sistem pertanian berbasis manusia menjadi modal dan teknologi. Hasil dari pergeseran tersebut merubah beberapa aspek dalam Subak antara lain; sarana produksi yang mengandalkan input eksternal, sistem gotong royong yang tergantikan dengan upah, kesejahteraan petani yang memburuk, konsep pertanian yang menjadi tidak berkelanjutan, tradisi ritual yang mulai ditinggalkan dan perilaku petani yang individual membuat lemahnya posisi dan keberdayaan organisasi Subak. Tesis ini membuahkan temuan, bahwa Revolusi Hijau tidak secara langsung mempengaruhi kedaulatan pangan Subak, melainkan para petani yang terpengaruh oleh perubahan yang dibawa Revolusi Hijau menjadikan Subak menjadi tidak berdaulat. Kedaulatan pangan dapat tercapai dengan penerapan budaya yang kuat, salah satunya adalah menjalankan nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai instrumen kedaulatan pangan berbasis budaya.

As a Balinese local wisdom agricultural system, Subak's food sovereignty is threatened in maintaining food sustainability in the Bali region. This is because the farmers no longer fully implement the principle Tri Hita Karana in farming activities and switch to the Green Revolution agricultural system. Tabanan Regency, which has the best food security achievements in Indonesia, is also under threat, because Subak, as the front line guard for food sovereignty, is no longer as empowered as before. Therefore, this research aims to find out to what extent the Green Revolution has degraded the food sovereignty of Subak which applies the values of Tri Hita Karana hence, can find out the root of the problem and solutions that can be done to maintain food sovereignty. This thesis uses a qualitative research design and methods Life History to understand the various changes that occurred in Subak in depth. Data collection used observation, literature and direct interviews with three subaks in Tabanan district. The results showed that there was a shift in orientation from human-based agricultural systems to capital and technology. The results of this shift changed several aspects of Subak, including; production facilities that rely on external inputs, mutual assistance systems that are replaced by wages, deteriorating farmer welfare, agricultural concepts that are becoming unsustainable, ritual traditions that are starting to be abandoned and individual farmer behavior weaken the position and organizational empowerment of Subak. This thesis led to the finding that the Green Revolution did not directly affect Subak's food sovereignty, but farmers who were affected by the changes brought about by the Green Revolution made Subak non-sovereign. Food sovereignty can be achieved through the implementation of a strong culture, one of which is by upholding the values of Tri Hita Karana as a culturally-based instrument for food sovereignty."
Jakarta: Sekolah Kajian dan Stratejik Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riantama Sulthana Fauzan
"Sebagai sistem pertanian kearifan lokal Bali, kedaulatan pangan Subak terancam dalam menjaga keberlanjutan pangan di wilayah Bali. Hal ini disebabkan karena para petani tidak lagi sepenuhnya menjalankan prinsip Tri Hita Karana dalam kegiatan usaha taninya dan beralih pada sistem pertanian Revolusi Hijau. Kabupaten Tabanan yang memiliki prestasi ketahanan pangan terbaik di Indonesia juga ikut terancam, karena Subak sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan pangannya sudah tidak seberdaya dulu. Maka dari itu, penilitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh apa Revolusi Hijau telah mendegradasi kedaulatan pangan Subak yang menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana sehingga, dapat mengetahui akar permasalahan dan solusi yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan pangan. Tesis ini menggunakan desain penelitian kualitatif dan metode Life History untuk memahami berbagai perubahan yang terjadi di Subak secara mendalam. Pengumpulan data menggunakan observasi, literatur dan melakukan wawancara secara langsung kepada tiga Subak di kabupaten Tabanan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran orientasi dari sistem pertanian berbasis manusia menjadi modal dan teknologi. Hasil dari pergeseran tersebut merubah beberapa aspek dalam Subak antara lain; sarana produksi yang mengandalkan input eksternal, sistem gotong royong yang tergantikan dengan upah, kesejahteraan petani yang memburuk, konsep pertanian yang menjadi tidak berkelanjutan, tradisi ritual yang mulai ditinggalkan dan perilaku petani yang individual membuat lemahnya posisi dan keberdayaan organisasi Subak. Tesis ini membuahkan temuan, bahwa Revolusi Hijau tidak secara langsung mempengaruhi kedaulatan pangan Subak, melainkan para petani yang terpengaruh oleh perubahan yang dibawa Revolusi Hijau menjadikan Subak menjadi tidak berdaulat. Kedaulatan pangan dapat tercapai dengan penerapan budaya yang kuat, salah satunya adalah menjalankan nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai instrumen kedaulatan pangan berbasis budaya.

As a Balinese local wisdom agricultural system, Subak's food sovereignty is threatened in maintaining food sustainability in the Bali region. This is because the farmers no longer fully implement the principle Tri Hita Karana in farming activities and switch to the Green Revolution agricultural system. Tabanan Regency, which has the best food security achievements in Indonesia, is also under threat, because Subak, as the front line guard for food sovereignty, is no longer as empowered as before. Therefore, this research aims to find out to what extent the Green Revolution has degraded the food sovereignty of Subak which applies the values of Tri Hita Karana hence, can find out the root of the problem and solutions that can be done to maintain food sovereignty. This thesis uses a qualitative research design and methods Life History to understand the various changes that occurred in Subak in depth. Data collection used observation, literature and direct interviews with three subaks in Tabanan district. The results showed that there was a shift in orientation from human-based agricultural systems to capital and technology. The results of this shift changed several aspects of Subak, including; production facilities that rely on external inputs, mutual assistance systems that are replaced by wages, deteriorating farmer welfare, agricultural concepts that are becoming unsustainable, ritual traditions that are starting to be abandoned and individual farmer behavior weaken the position and organizational empowerment of Subak. This thesis led to the finding that the Green Revolution did not directly affect Subak's food sovereignty, but farmers who were affected by the changes brought about by the Green Revolution made Subak non-sovereign. Food sovereignty can be achieved through the implementation of a strong culture, one of which is by upholding the values of Tri Hita Karana as a culturally-based instrument for food sovereignty."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Rina Apriani
"Perdebatan mengenai kedudukan Desa Adat di Bali kembali mencuat pasca lahirnya UU Desa 2014. Bali menilai penormaan Pasal 6 sebagai pertanyaan retoris bagi mereka dan berbalik memperkuat eksistensi Desa Adar melalui Perda Desa Adat, 2019. Perda tersebut kembali menekan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali dengan karakternya yang khas dan dikelola berdasarkan filosofi Hindu, Tri Hita Karana yang bersumber dari Sad Kerti. Penelitian ini akan melihat tata hubungan antara Desa Adat Ubud yang memiliki otonomi saat bertemu dengan Kelurahan Ubud yang berposisi sebagai fungsinya. Observasi serta wawancara mendalam membuktikan bangwa Desa Adat Ubud dan Kelurahan Ubud membangun pola hubungan yang sinergis melalui asa Desa Mawacara dan Bali Mawacara dalam pemahaman bahwa manusia harus menjalin hubungan yang baik dengan Penccipta, sesama dan lingkungan sekitarnya. Hubungan yang sinergis ini tentunya perlu dipertahankan dan dapat menjadi model hubungan antara Desa Adat lain di Bali dalam rangka menciptakan relasi yang baik antara sesama Desa Adat dan pemerintah.

The debate about position of Desa Adat in Bali resurfaced after the birth of 2014 Village in Law. Bali considers the norm of Article 6 as a rhetorical question and turn to strengthen the existence of Desa Adat as a unity of customary law communities in Bali with its distinctive character and is managed based on Hindu Philosophy, Tri Hita Karana which comes from Sad Kerthi. This research will look at the relationship between Desa Adat Ubud which has autonomy when meeting with Kelurahan Ubud which is positioned as a sub-district apparatus and no longer has autonomy in carrying out its functions. In-depth observations and interviews prove that Desa Adat and Kelurahan Ubud build a synergistic relationship pattern through the principles of Desa Mawacara and Bali Mawacara in the understanding that humans must establish a good relationship with the Creator, others and the surrounding environment. This synergistic relationship certainly needs to be maintained and can be a model of relations between other Desa Adat in Bali in order to create good relations between Desa Adat and the government."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathia Nurul Haq
"Tesis ini membahas tentang proses pembentukan BUM Desa Segara Giri di Desa Sanur Kauh yang memiliki konteks adat yang kuat. Wilayahnya mencakup pelemahan adat Intaran ditinggali oleh komunitas adat Sanur yang sudah memiliki sistem pembangunan yang mapan. Pakraman Intaran juga sudah membentuk BUMDas Intaran sebelum BUM Desa Segara Giri terbentuk. Konteks ini menjadikan proses pembentukan BUM Desa di Sanur Kauh sangat dinamis dengan diwarnai oleh kesamaan identitas pelakunya sebagai sesama anggota komunitas adat Sanur. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses itu terdiri atas lima tahapan, yakni musyawarah desa, sungkem pada otoritas adat, kesepakatan pembagian bidang usaha, implementasi usaha dan pembagian keuntungan. Analisis temuan penelitian mengungkap bahwa proses ini merupakan proses pembangunan lokal yang didasari oleh nilai lokal yang dimiliki oleh anggota komunitas. Meskipun BUM Desa merupakan konsep pembangunan nasional, namun pelaku pembangunan di level desa yang semuanya merupakan bagian dari komunitas adat Sanur menerjemahkannya dalam nilai-nilai adat setempat yang berdasarkan pada tri hita karana. Hal ini juga mengindikasikan adanya kesamaan identitas pelaku pembangunan yang membuat dualisme berjalan dengan baik di Desa Sanur Kauh.

Tesis discussed about development process of BUM Desa segara Giri in Sanur Kauh Village whom had strong customary context. In its territory of Sanur Kauh, locals also recognized customary village named Pakraman Intaran. Indigenous peoples of pakraman Intaran also part of customary law community of Sanur that has developed social development planning based on local values in terms of Tri Hita karana. Pakraman Intaran has already had their own BUM Desa named BUMDas Intaran 3 years before the development of BUM Desa Segara Giri started. This context of development process brought dynamics in early stages of BUM Desa Segara Giri. The results if this research concluded that the process went in five stages started in early 2016 with village forum held by Sanur Kauh Village, head of BUM Desa Segara Giri went to seek permission from customary authorities after this forum concluded that establishment of their own BUM Desa needed. Result of their meetings were an agreement to not running business on field already taken by customary authorities. This agrement adressed on business implementation of BUM Desa Segara Giri. Research also discovered of their sharing profit scheme to each authorities. These findings analyzed came to conclusion that the process of developing BUM Desa Segara Giri was part of local development held in local values with local process. Development actors of these process shared the same social identity as part of local customs. With this single identity they were conquered the threats of being divided with dualism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaya Ishwari
"Penelitian ini mengeksplorasi pengaruh budaya Tri Hita Karana terhadap dynamic capabilities, entrepreneurial leadership, dan kinerja hotel (dimoderasi oleh Critical Success Factors) di Bali. Data penelitian diperoleh dari 130 hotel bintang tiga, empat, dan lima yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Partial Least Squares Structural Equation Modeling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tri Hita Karana berpengaruh positif terhadap dynamic capabilities dan entrepreneurial leadership, tetapi tidak mempengaruhi kinerja hotel secara positif dalam jangka pendek. Namun, integrasi nilai-nilai budaya THK ke dalam pengoperasian hotel akan meningkatkan daya saing dan kinerja hotel dalam jangka panjang.

This research explores how the influence of Tri Hita Karana culture on the dynamic capabilities, entrepreneurial leadership, and hotel performance (moderated by critical success factors) in Bali. This study gathered data from 130 hotels rated at three, four and five-stars that are then analysed using the method of Partial Least Squares Structural Equation Modelling. The results shows that while Tri Hita Karana does positively influenced dynamic capabilities and entrepreneurial leadership, it didn’t affect hotel performance positively in the short term. However, the research indicates the integration of THK culture into hotel operation will increase hotel performance in the long term."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Nabila Roxanne
"Isu sampah plastik kerap kali dilihat dari sisi kesehatan dan ada beberapa yang menyinggung terkait pariwisata, namun belum ada penelitian antropologis yang mempertanyakan konstruksi sosial-budaya tentang sampah plastik dalam masyarakat. Bagaimana sampah plastik di persepsikan dan sampai sejauh mana persepsi ini dibagikan? Apakah persepsi ini mendorong perwujudan pengelolaan sampah plastik pada tatanan sosial? Berangkat dari pertanyaan tersebut, dengan menggunakan metode etnografi dan partisipasi observasi selama hampir satu tahun di Bali. Penelitian ini mencoba untuk memaparkan uraian keterkaitan antara persepsi yang terbangun dalam benak masyarakat Bali yang menjadi bagian dari dua komunitas peduli pada isu lingkungan, Sungai Watch dan Trash Hero, dalam konteks nilai kepercayaan lokal dengan menggunakan pendekatan klasik dari Mary Douglas yang berfokus pada pembagian dualis dan makna simbolis akan sistem aturan berdasarkan dengan konsepsi the matter out of place. Secara garis besar, ditemukan bahwa hubungan antara klasifikasi sampah plastik yang dipersepsikan sebagai ‘kotoran’ pada tatanan sosial selain berpotensi merusak lingkungan juga dianggap mendistorsi keharmonisan yang harus dijaga dalam ajaran Tri Hita Karana. Ini membeberkan bukti empiris yang menunjukkan bahwa agama Hindu Bali merupakan sumber pembentukan persepsi yang potensial dan efektif tentang permasalahan sampah plastik dan proses pengelolaan sampah di Bali.

The issue of plastic waste is often viewed from a health perspective and some are related to tourism, but there has been no anthropological research that has questioned the socio-cultural construction of plastic waste in society. How is plastic waste perceived and to what extent is this perception shared? Does this perception encourage the realisation of plastic waste management in the social order? Based on these questions, using ethnographic methods and observation participation for almost a year in Bali. This study attempts to describe the relationship between perceptions that are built up in the minds of Balinese people who are part of two communities that care about the environmental issue, Sungai Watch and Trash Hero, in the context of local beliefs systems by using the classical approach of Mary Douglas which focuses on the dualistic and the symbolic meaning of the rule system based on the concept of the matter out of place. Broadly speaking, it was found that the relationship between the classification of plastic waste which is perceived as 'dirt' in the social order, apart from having the potential to damage the environment, is also considered to distort the harmony that must be maintained in the beliefs of Tri Hita Karana concept. This proves empirical evidence showing that Balinese Hinduism is a potential and effective source of perception formation to the problem of plastic waste and waste management processes in Bali"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library