Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mandagi, Sofia B.
Abstrak :
Hari Harganas yang dirayakan Lapangan Merdeka Ambon dan di hadiri Presiden diwarnai dengan aksi tarian cakalele (tanpa jadwal) oleh sekelompok orang yang diakhiri dengan pembentangan bendera tak sebagaimana mestinya karena terjatuh, yang dilansir Pemerintah itu adalah bendera RMS. Makar(aanslag) berarti serangan, yang lebih jelasnya dalam pasal 87 KUHP disebutkan bahwa makar (aanslag) suatu perbuatan dianggap ada apabila kehendak si pelaku sudah tampak berupa permulaan pelaksanaan dalam arti yang dimaksud dalam pasal 53 KUHP. Pasal 53 KUHP ini mengenai percobaan melakukan kejahatan yang dapat dihukum. Dan membatasi penindakan pidana pada suatu perbuatan pelaksanaan. Namun untuk tindak pidana makar tidak berlaku apa yang termuat dalam pasal 53 KUHP. Dalam makar yang dilindungi adalah keamanan Negara yang meliputi (1) Keamanan Kepala Negara, (2) Keamanan Wilayah Negara, (3) Keamanan Bentuk Pemerintahan Negara. Tindak Pidana Makar di dalam KUHP yaitu pasal 104, 106, 107, 108, 110. Terdapat kontroversi antara Tindak Pidana Makar dengan Kebebasan berekspresi setiap orang yang dijamin oleh setiap Negara melalui undang-undang. Di Indonesia kebebasan berekspresi diatur dalam pasal 28, 28E ayat (3) UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengeluarkan Pendapat di Muka Umum, sedangkan berdasarkan instrument internasional diatur di dalam International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) yang memiliki kekuatan mengikat kepada Negara anggota PBB pada tahun 1976. Di satu sisi pemerintah ingin menjaga keutuhan Negara dari serangan-serangan yang hanya menyebabkan terganggunya keutuhan/kedaulatan wilayah Negara baik sebagian atau seluruhnya, tetapi di pihak lain kebebasan berekspresi setiap warga Negara merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan karena dijamin oleh undang-undang untuk dapat menyalurkan aspirasi, pesan, protes kepada Pemerintah. Untuk itu dalam memutuskan suatu perkara pidana khususnya tindak pidana makar, hakim harus lebih hati-hati agar pelanggaran hak asasi manusia dalam hal ini kemerdekaan berekspresi setiap warga Negara tidak terganggu dan dihalangi, tetapi memiliki tanggung jawab dan batasan yang hanya diatur oleh undang-undang, karena sifatnya yang derogable.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22429
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Basuki Heru Yuwono
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang penerapan doktrin permulaan pelaksanaan terhadap beberapa perkara makar untuk mengetahui bagaimana corak permulaan pelaksanaannya sehingga sudah dianggap merupakan perbuatan makar, yang selanjutnya atas kecenderungan tersebut peneliti juga akan melakukan penelitian terhadap penegak hukum untuk mengetahui pemahaman penegak hukum atas permulaan pelaksanaan sehingga diharapkan terdapat korelasi antara keduanya. Penelitian ini beranjak dari tidak diaturnya secara jelas batas-batas suatu permulaan pelaksanaan perbuatan makar sehingga rentan bertentangan dengan asas legalitas, mengingat pasal-pasal makar juga tidak memberikan rumusan yang jelas mengenai perbuatan-perbuatan yang bagaimana yang dilarang untuk dilakukan. Dari penelitian yang sifatnya yuridis normatif yang dilengkapi dengan wawancara, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach) serta dianalisa secara deskriptif analisis, diperoleh kesimpulan bahwa dengan menggunakan pendekatan doktrin-doktrin permulaan pelaksanaan, kecenderungan permulaan pelaksanaan dalam penanganan perkara makar adalah bercorak subyektif, yakni memandang bahwa sudah ada permulaan pelaksanaan melakukan makar ketika sudah ada niat untuk itu yang telah diwujudkan dalam perbuatan. Dari hasil wawancara terhadap penegak hukum ternyata diperoleh kesimpulan bahwa kecenderungan penegak hukum dalam memahami permulaan pelaksanaan adalah memang bercorak subyektif. Secara keseluruhan dapat dipahami bahwa kecenderungan permulaan permulaan pelaksanaan dalam perkara makar adalah bercorak subyektif karena sikap penegak hukum dalam memahami permulaan pelaksanaan dalam perbuatan makar juga subyektif ......This thesis discusses the application of fhe doctrine of commencement of the implementation on several treason cases to identify what patterns of commencement of the implementation considered as treason. Then, based on those tendencies, a research regarding how good law enforcers understood the commencement of the implementation was done. Therefore, it is expected that there is a correlation between them. This research started from the fact that there is no clear regulation about the lines of commencement of the implementation on treason cases so that it is likely to be against the principle of legality because treason articles do not clearly define the formula about what kinds of actions that are prohibited to commit A conclusion obtained from a juridical normative research supported with interviews using statue approach and conceptual approach which then descriptively analyzed showed that by using the doctrine of commencement of the implementation approach, the tendency of commencement of the implementation in handling treason cases was subjective. It means that there is a commencement of the implementation to commit treason when someone has an intention to commit an offense and the person performs any act that constitutes a substantial step toward the commission of that offense. The result of the interviews on the law enforcer showed that the law enforcer had a tendency to be subjective in understanding the commencement of the implementation. In a whole, it is understandable that the tendency of the commencement of the implementation in a treason case is subjective because the attitude of law enforcer in understanding commencement of the implementation on a treason case is also subjective.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T42730
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Hamidi
Abstrak :
Bahasa yang dituturkan merepresentasikan tindakan tertentu dari penuturnya, tidak terkecuali tindakan yang bermuatan pidana. Penelitian ini merupakan penelitian pragmatik berancangan linguistik forensik yang bertujuan untuk mengungkap dan mendeskripsikan unsur tindak pidana yang melingkupi lima belas data tuturan tertulis yang merupakan barang bukti tindak pidana ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan percobaan makar berdasarkan analisis terhadap asumsi dasar, realisasi, strategi, dan kesahihan tindak tutur atas tuturan-tuturan tersebut. Empat teori utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori praanggapan (Yule, 1975), teori tindak tutur (Searle, 1969), implikatur percakapan (Grice, 1975), dan kondisi felisitas (Austin, 1962 & Searle, 1969). Data dalam penelitian ini bersumber dari dua berita acara pemeriksaan (BAP) yang diperoleh dari Unit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Sumatera Barat (Ditreskrimsus Polda Sumbar), yaitu lima tuturan bersumber dari BAP dengan nomor laporan LP/A/57/V/2019/SPKT Lpk dan sepuluh tuturan bersumber dari BAP dengan nomor LP/194/VI/2016/SPKT-SBR. Secara metodologis, penelitian ini dikerjakan menggunakan ancangan kualitatif dan hasilnya disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa empat belas data tuturan telah memenuhi unsur-unsur yang termaktub dalam undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan percobaan makar. Namun demikian, berdasarkan analisis kondisi felisitas, satu tuturan dari barang bukti bernomor laporan LP/A/57/V/2019/SPKT Lpk tidak memiliki nilai bukti yang kuat untuk dapat dikatakan bahwa penuturnya telah melakukan tindak pidana, khususnya yang berkaitan dengan pencemaran nama baik dan percobaan makar. Selain itu, data-data tuturan dari laporan bernomor LP/194/VI/2016/SPKT-SBR yang mengandung satuan linguistis kanciang, sunekkan ang baliek, dan tumbuang juga tidak memiliki nilai bukti yang kuat untuk dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 45 Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 tentang kesusilaan. Analisis berdasarkan praanggapan dan kondisi felisitas justru menunjukkan intensi/niat/maksud (mens rea) penutur dalam menggunakan kata-kata tersebut adalah untuk merendahkan derajat (menghina dan/atau mencemarkan nama baik) mitra tuturnya―bukan untuk menyerang kehormatan mitra tuturnya dalam ranah seksual/kesusilaan. ......The language spoken represents a particular action from the speaker, no exception is criminal action. This study is a pragmatic study with forensic linguistics design. This study aims to uncover and describe the elements of crime that cover fifteen written speech data which constitute evidence of criminal acts of hate speech, defamation, and treason trials based on an analysis of basic assumptions, realizations, strategies, and felicity of speech acts of those utterances. Four main theories used in this study, namely presupposition (Yule, 1975), speech act (Searle, 1969), conversational implicature (Grice, 1975), and felicity conditions (Austin, 1962 & Searle, 1969). The data in this study were sourced from police investigation report (BAP) obtained from the Unit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Ditreskrimsus Polda Sumbar), namely five speeches sourced from the BAP with report number LP/A/57/V/2019/SPKT Lpk and ten speeches sourced from BAP with report number LP/194/VI/2016/SPKT-SBR. Methodologically, this study was conducted using a qualitative approach and the results are presented descriptively. The results of this study indicate that fourteen speech data have fulfilled the elements contained in the law governing criminal acts of hate speech, defamation, and treason trials. However, based on the analysis of felicity conditions, one of speech data from the report numbered LP/A/57/V/2019/SPKT Lpk does not have a strong evidence value to be able to say that the speaker has committed a criminal act, specifically relating to defamation and treason trials. In addition, the speech data from the report numbered LP/194/VI/2016/SPKT-SBR which contains linguistic units of kanciang, sunekkan ang baliek, and tumbuang also do not have a strong evidence value to be said to fulfill the criminal elements in Article 45 Section (1) of Law No. 19 of 2016 concerning decency. Analysis based on presuppositions and felicity conditions actually shows the intention (mens rea) of the speaker in using these words is to demean the degree (insulting and/or defaming) of the speech partner―not to attack the honor of the speech partner in the sexual/decency.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library