Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rini Asriasni
"Isu Bisnis dan Hak Asasi Manusia merupakan isu global yang menjadi perhatian negara dan sektor bisnis dalam melindungi, menghormati, dan remidiasi hak asasi manusia. Oleh karena itu, berbagai aktor baik negara, sektor bisnis, dan organisasi non-pemerintah (NGO) melakukan inisiatif dalam meningkatkan tanggung jawab sosial tentang pemenuhan hak asasi manusia. Indonesia sebagai negara anggota PBB dalam memenuhi hak asasi manusia, mengadopsi Prinsip-prinsip Panduan tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia menjadi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 dan diperbaharui dalam Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021-2025. Namun, inisiatif tersebut tidak bekerja secara efekti sebagai payung dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh aktivitas bisnis di Indonesia, khususnya dalam kasus tambang pasir laut oleh Perusahaan asal Belanda (PT. Royal Biskalis) di Perairan Spermonde tahun 2020 yang berdampak pada masyarakat nelayan Pulau Kodingareng di Makassar, Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, kehadiran NGO seperti WALHI Sulawesi Selatan memilki peran penting dalam mengadvokasi isu tersebut. Penelitian ini fokus dalam menganalisis peran WALHI Sulawesi Selatan dalam mengadvokasi kasus penambangan pasir laut di Periaran Spermonde tahun 2020. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi kasus menggunakan pendekatan wawancara dan dokumen. Dalam menganalisis data, penelitian ini menggunakan konsep utama Transnational Advocacy Network (TAN) dari Kekck dan Sikkink (1998). Penelitian ini menemukan bahwa peran advokasi yang dilakukan oleh Walhi Sulwesi Selatan dalam kasus tersebut ada tiga, yaitu coordinating roles, enabling roles, dan berperan sebagai lawan. Secara akademis dan praktis, penelitian ini berkontribusi pada kajian hubungan internasional dalam menganalisis inisiatif boomerang pattern dan opportunity structures dalam mengadvokasi kasus secara transnasional. Secara praktis penelitian ini berkontribusi untuk meningkatkan peran advokasi NGO khususnya dalam hubungan transnasional.

Business and Human Rights are global issues that are of concern to countries and the business sector in protecting, respecting and remedying human rights. Various actors, including the state, business sector and non-governmental organizations (NGOs), are taking initiatives to increase social responsibility regarding the fulfilment of human rights. Indonesia as an UN member country in fulfilling human rights, adopted the Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) into Presidential Regulation Number 75 of 2015 concerning the National Human Rights Action Plan for 2015-2019 and updated in Presidential Regulation Number 53 of 2021 concerning National Human Rights Action Plan 2021-2025. However, this initiative does not work effectively as a regulation in cases of human rights violations caused by business activities in Indonesia, especially in the case of sea sand extraction by the Dutch company (PT. Royal Biskalis) in Perairan Spermonde in 2020 which had an impact on fishing communities in Kodingareng Island, Makassar, South Sulawesi. Therefore, the presence of NGOs such as WALHI South Sulawesi has an important role in advocating for this issue. This research focuses on analyzing the role of WALHI South Sulawesi in advocating for the case of sea sand extraction in the Perairan Spermonde in 2020. This research is qualitative research with a case study using an interview and document approach. In analyzing the data, this research uses the main concept of Transnational Advocacy Network (TAN) from Keck and Sikkink (1998). This research found that the advocacy roles carried out by WALHI South Sulwesi in this case were three, namely coordinating roles, enabling roles, and acting as opponents. Academically and practically, this research contributes to international relations studies in analyzing boomerang pattern initiatives and opportunity structures in advocating cases transnationally. Practically, this research contributes to increasing the advocacy role of NGOs, especially in transnational relations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dias Khadijah Kinanthi
"Tesis ini menjabarkan mengenai jejaring advokasi transnasional yang membentuk forum masyarakat sipil dan berfokus pada proses pembentukannya, serta strategi-strategi yang dijalankan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Pada saat ini, penyelesaian permasalahan HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara, melainkan juga oleh masyarakat sipil yang semakin memiliki ruang untuk berekspansi secara ide dalam era globalisasi. Menurut Keck dan Sikkink dalam konsep Transnational Advocacy Network (TAN), masyarakat sipil suatu negara yang mengalami hambatan dalam saluran aspirasinya dengan pemerintah dapat beraliansi dengan kekuatan dari luar untuk menekan pemerintah negara yang bersangkutan. Hambatan seperti ini terjadi dalam penyelesaian sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, termasuk peristiwa pembantaian terhadap masyarakat yang diduga terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965. Hambatan yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam kasus ini dikarenakan oleh adanya perbedaan pandangan mengenai mekanisme penyelesaian. Hal ini mendorong Komnas HAM sebagai norm entrepreneur untuk melakukan penyelidikan. Hasil penelitian, bahwa negara bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di tahun tersebut menjadi pemahaman bersama dan kesamaan nilai yang melandasi terbentuknya jejaring. Dengan dipromotori oleh para pegiat HAM, akademisi, serta NGO HAM, dibentuklah jejaring masyarakat sipil IPT 1965 yang mengadakan forum masyarakat sipil dengan bentuk pengadilan rakyat yang dihadiri oleh masyarakat dari berbagai negara. Strategi yang dilakukan oleh jejaring ini ditujukan lebih untuk meningkakan kesadaran publik terhadap kasus pelanggaran HAM tahun 1965, ketimbang untuk melakukan lobbying kepada pemerintah. Meskipun telah mengoptimalkan keempat taktik dalam TAN, keberhasilan jejaring ini masih mencapai tahap awal. Hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya solidaritas jejaring, melainkan tingginya kompleksitas kasus yang diusung.

This thesis explores the transnational advocacy network, which formed a civil society forum and focuses on the formation process, as well as the strategies undertaken to solve human rights violation cases. Nowadays, the human rights issues can not only be solved by the state government, but also by the civil society, which has more space to expand ideas in this globalization era. According to Keck and Sikkink in the concept of Transnational Advocacy Network (TAN), the civil society in a certain country that has blockage to express their aspirations to the government can ally with external power to give pressure to their government. Such obstacle has been happening in the effort to solve nine identified severe human rights violations happened in Indonesia, including the massacre against people who were allegedly involved in the Communist Party of Indonesia (PKI) in 1965. The obstacle that arose in this case between Indonesian government and civil society was caused by the difference in perspectives to see the right mechanisms to resolve the case. This encouraged the National Human Rights Commission of Indonesia (Komnas HAM) as a norm entrepreneur to conduct investigation. The investigation result that the government is responsible for the crimes against humanity happened in that year has become a shared understanding and value that underlie the formation of network. Civil society network was then formed with the human rights activists, academicians and NGOs as the norm promotors. The network, which is entitled as IPT 1965 created a civil society forum in the form of people’s tribunal that was attended by people from different countries. The strategies undertaken by the network are prior to raise public awareness to this case, rather than to lobby the government. Even though this network has optimalized the typology of tactics in TAN, it has just reached the first level of its threshold point. This is not caused by its loose solidarity, but the high complexity of case this network carries."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinny Afifi Elfinur
"Tesis ini bertujuan untuk menganalisis upaya ilmuwan diaspora (scientific diaspora) Indonesia dalam pembingkaian terminologi brain drain di Indonesia. Kerangka ilmu hubungan internasional yang digunakan untuk mengkaji topik ini adalah perspektif konstruktivisme dan liberalisme dari pemikiran Yossi Shain dan Aharon Barth. Adapun analisis bentuk upaya tersebut akan dijelaskan menggunakan tipologi taktik Transnational Advocacy Network (TAN) dari Keck dan Sikkink. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara (data primer) dan teks berupa artikel media masa, jurnal, laporan, serta dokumen terkait (data sekunder). Hasil temuan penelitian ini menunjukkan 4 hal. Pertama, peran sebagai TAN yang juga menjalankan fungsi komunitas epistemik memudahkan ilmuwan diaspora mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kedua, relasi antar aktor ini bersifat politis dan sangat dipengaruhi oleh motif ilmuwan diaspora dan rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Ketiga, relasi ilmuwan diaspora Indonesia dengan negara menggeser perspektif nasionalisme ke perspektif globalisasi yang membingkai brain drain sebagai brain circulation. Terakhir, dari empat taktik yang digunakan taktik politik informasi dan politik pengaruh adalah yang paling dominan dilakukan dan mempengaruhi upaya ilmuwan diaspora Indonesia dalam membingkai terminologi brain drain di Indonesia.

This thesis aims to analyze the eforts of Indonesian scientific diaspora in framing the terminology of brain drain in Indonesia. The perspective of constructivisme and liberalism from Yossi Shain dan Aharon Barth is applied to explain diaspora in international relation studies, whilst the efforts of scientific diaspora will be analyzed by typology tactics of Transnational Advocacy Network (TAN) from Keck and Sikkink. This thesis used a qualitative descriptive method with data collection techniques through interviews (primary data) and texts in the form of mass media articles, journals, reports, and related documents (secondary data). The findings of this research indicate four points of result. First, the role of a TAN which also carries out the function of the epistemic community makes it easier for diaspora scientists to influence government policy. Second, the relations between these actors are political in nature and are strongly influenced by the motives of diaspora scientists and the ruling government regime. Third, the relations between Indonesian diaspora scientists and the state shift the perspective of nationalism to the perspective of globalization, framing brain drain as brain circulation. Last, information politics and leverage politics are the most dominant and influenced tactics used by Indonesian scientific diaspora in framing the terminology of brain drain in Indonesia"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arivia Tri Dara Yuliestiana
"Tesis ini menganalisis tentang studi kasus aneksasi Timor Timur dan jejaring advokasi transnasional, the East Timor and Indonesia Action Network (ETAN dengan menggunakan konsep pola bumerang (Keck dan Sikkink, 1998) dan siklus hidup norma (Finnemore dan Sikkink, 1998). Tesis ini menyimpulkan bahwa norma yang diinternalisasi tidak dapat berjalan dikarenakan adanya benturan antara norma internasional dan struktur domestik. Benturan ini terjadi ketika norma internasional yang menghendaki hak untuk menentukan nasib sendiri ditantang pada kepentingan negara untuk menjaga kedaulatan. Oleh sebab itu, aktor transnasional membutuhkan kemampuan non-material yakni, kekuatan diskursus untuk melawan nilai dan norma yang dianggap tidak sejalan dengan kesepakatan internasional. Selain itu, juga dibutuhkan satu mekanisme yang simultan antara aktor domestik dan transnasional untuk menekan dan mempengaruhi kebijakan maupun perilaku negara.

This thesis analyzes the study case of East Timor annexation and transnational advocacy network, the East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) by using the concept of boomerang pattern (Keck and Sikkink, 1998) and norm lifecycle (Finnemore and Sikkink, 1998). This thesis concluded that internalized or cascading norms may eventually fail to reach because of the clash between international and domestic structure. These norms clash occur when the right of self-determination is challenged by the norm of state sovereignty. Hence, transnational actors need the immaterial capability as power in discourse to counter the existing logic of appropriatness and also by creating a simultaneous mechanism between domestic and transnational actors to pressure and influence on policy change and state behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T49048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyfitha Dea Khairunnisa
"Perkembangan informasi dan teknologi yang pesat mendorong fenomena globalisasi yang ditandai dengan semakin kaburnya batas-batas negara dalam interaksi global dan menjadikan intensitas hubungan antar aktor meningkat. Munculnya praktik pasar bebas merupakan salah satu dampak globalisasi di mana kegiatan produksi dan konsumsi terjadi untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Salah satu praktik yang dilakukan adalah perdagangan limbah plastik dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Namun, perdagangan limbah plastik dinilai merugikan negara-negara berkembang terutama dalam aspek lingkungan. Tiongkok sebagai importir limbah plastik terbesar menghentikan kebijakan impor limbah plastik pada tahun 2017. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara pun terkena dampak kebijakan ini dan menjadi tujuan baru pengiriman limbah plastik. Melihat urgensi limbah plastik di Asia Tenggara, Greenpeace Southeast Asia melakukan advokasi terhadap ASEAN sebagai institusi regional Asia Tenggara untuk mengeluarkan regulasi menghentikan perdagangan limbah plastik. Penelitian ini menganalisis strategi advokasi Greenpeace Southeast Asia dengan menggunakan konsep TAN dan inverse boomerang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Dalam penelitian ini, kita dapat melihat bagaimana Greenpeace bekerja sama dengan NGO lokal di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina dalam mengadvokasi isu perdagangan limbah di Asia Tenggara.

Rapid development in information and technology have crucial contributions in globalization, which marked by blurred national boundaries in global interactions and increasing intensity of relations between actors. The emerging of free market practices is one of the impacts of globalization in which production and consumption activities occur to seek the maximum profit. One of the occuring practices is plastic waste trade where developed countries trade their waste to developing countries. However, plastic waste trade is considered detrimental to developing countries, particularly in environmental aspect. China, as the biggest plastic waste importer, has stopped its regulation in importing plastic waste since 2017. As the impact, countries in Southeast Asia have become new plastic waste trade destination from the developed countries. As the plastic waste problem in Southeast Asia becomes more urgent, Greenpeace Southeast Asia has been advocating ASEAN to issue regulations to stop plastic waste trade in the region. This article examines Greenpeace Southeast Asia’s advocacy strategies using TAN and inverse boomerang concept. The research method used in this study is qualitative method using primary and secondary data. In this study, we can see how Greenpeace Southeast Asia is cooperating with local NGOs in Indonesia, Malaysia, Thailand, and the Philippines in advocating plastic waste trade issue in Southeast Asia"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Susanti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Susanti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T51837
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Pujianto
"Proyek pembangunan PLTU-B 35.000 MW oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2015 ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional dan meningkatkan perekonomian negara. Namun, mega proyek tersebut menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang besar. Hal ini tidaklah selaras dengan komitmen iklim Indonesia dalam Perjanjian Paris. Selain itu, penggunaan batu bara melalui proyek tersebut juga memberikan dampak negatif yang dapat merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat. Melihat keadaan ini, beberapa NGO lingkungan di Indonesia yaitu Greenpeace Indonesia, 350.org Indonesia, WALHI, dan JATAM berjejaring satu sama lain dan membentuk Koalisi NGO Break Free From Coal. Koalisi ini dibentuk dengan tujuan untuk melepaskan Indonesia dari ketergantungan penggunaan batu bara dan menekan pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah yang sesuai dengan komitmen iklim Indonesia dalam Perjanjian Paris. Untuk mencapai tujuan itu, Koalisi NGO Break Free From Coal melancarkan aksi dan kampanye dari tahun 2016 hingga 2018. Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana peran Koalisi NGO Break Free From Coal dalam perlawanan terhadap proyek pembangunan PLTU-B 35.000 MW. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis merujuk pada teori Transnational Advocacy Network dan Boomerang Pattern milik Keck dan Sikkink (1998). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Koalisi NGO Break Free From Coal telah berhasil menerapkan empat strategi advokasi (Information Politics, Symbolic Politics, Leverage Politics, dan Accountability Politics) dengan baik namun hasil yang didapatkan belum efektif karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ketergantungan pemerintah Indonesia terhadap batu bara yang masih sangat tinggi, banyaknya musuh yang dihadapi, dan struktur pergerakan koalisi yang belum spesifik. Meskipun begitu, Koalisi NGO Break Free From Coal telah berhasil dalam menghambat proyek pembangunan PLTU-B 35.000 MW, mengeskalasi gerakan dan menghimpun kekuatan, serta meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap isu perubahan iklim terkait dampak buruk batu bara.

The 35,000 MW Coal-Fired Power Plant construction project by the Indonesian government in 2015 is aimed at meeting national electricity needs and improving the countrys economy. However, this mega project produces large amounts of greenhouse gases.This is not in line with Indonesias climate commitment in the Paris Agreement. In addition, the use of coal through the project also gives negative impacts that can damage the environment and threaten peoples lives. Seeing this situation, several environmental NGOs in Indonesia, namely Greenpeace Indonesia, 350.org Indonesia, WALHI, and JATAM networked with each other and formed Break Free From Coal Coalition. This coalition was formed with the aim of releasing Indonesia from dependence on coal use and to pressure the Indonesian government to take steps in accordance with Indonesias climate commitment in the Paris Agreement. To achieve this goal, Break Free From Coal Coalition launched actions and campaigns from 2016 to 2018. The research question in this research is how the role of Break Free From Coal Coalition in fighting againts 35,000 MW Coal-Fired Power Plant construction project. To answer this question, the author refers to Keck and Sikkinks (1998) Transnational Advocacy Network theory and Boomerang Pattern. The method used in this research is qualitative method with case study approach. The results of this study indicate that Break Free From Coal Coalition has successfully implemented four advocacy strategies (Information Politics, Symbolic Politics, Leverage Politics, and Accountability Politics) but the results but the results obtained were not effective due to several influencing factors, namely high dependence of the Indonesian government on coal use, a number of enemies faced, and the unspecific structure of the coalitions movement. Even so, the NGO Coalition Break Free From Coal has succeeded in inhibiting the 35,000 MW PLTU-B construction project, escalating the movement and gathering strength, and increasing public awareness and concern for the issue of climate change related to the bad effects of coal. However, Break Free From Coal Coalition has succeeded in inhibiting the 35,000 MW 35,000 MW Coal-Fired Power Plant construction project, gathering strength and escalating the movement, and increasing public awareness and concern for climate change issue related to negative effects of coal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library