"Latar Belakang: Penelitian luas dalam literatur sosial dan psikologi tentang reaksi terhadap daya tarik fisik menunjukkan dampak signifikan terhadap harga diri dan kesejahteraan individu. Dalam praktik estetika, keberhasilan prosedur terutama ditentukan oleh kepuasan pasien, yang hanya dapat dinilai secara akurat oleh pasien itu sendiri. Hal ini mengharuskan klinisi untuk mempertimbangkan perspektif pasien saat mengevaluasi hasil prosedur. FACE-Q© Aesthetics adalah alat penilaian yang divalidasi secara psikologis untuk individu yang menjalani prosedur estetika, mencakup tiga domain: penampilan wajah, kualitas hidup, dan efek samping. Menerjemahkan kuesioner pasien yang dilakukan sendiri untuk berbagai negara dan budaya, terutama di negara multikultural seperti Indonesia, memerlukan pertimbangan yang cermat untuk memastikan kesetaraan antara versi asli dan versi target. PenerjemahanFACE-Q© Aesthetics ke dalam bahasa Indonesia menekankan proses validasi lintas budaya, dengan mempertimbangkan perbedaan pemahaman bahasa dan perbedaan sosio-kultural selama fase cognitive debriefing.
Metode: Kuesioner ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mengikuti pedoman terbaik dari International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) melalui empat tahap. Selama proses penerjemahan dan diskusi, fokus diberikan pada memastikan kesetaraan antara versi asli dan versi Indonesia dalam empat aspek: kesetaraan semantik (mempertahankan makna), kesetaraan idiom (mengadaptasi ungkapan idiomatik), kesetaraan empiris (menggunakan istilah yang relevan secara budaya), dan kesetaraan konseptual (memastikan konsistensi makna lintas budaya). Wawancara cognitive debriefing dilakukan untuk menilai pemahaman pasien dan kesesuaian budaya dari kuesioner yang diterjemahkan. Proses penerjemahan mencakup 39 skala dan 315 item pertanyaan, melewati proses ketat penerjemahan–ulang– penerjemahan, serta wawancara cognitive debriefing pada pasien berusia 18-75 tahun yang menjalani prosedur estetika oleh ahli bedah plastic minimal satu minggu setelah prosedur. Wawancara bertujuan memastikan kuesioner yang diterjemahkan mudah dipahami, relevan secara budaya, dan mempertahankan makna yang dimaksudkan dari instrumen asli. Tanggapan peserta tentang pemahaman bahasa dan relevansi sosio- kultural dikumpulkan dan dianalisis.
Hasil: Studi ini melibatkan 38 peserta dan wawancara menunjukkan bahwa hampir semua peserta memahami versi bahasa Indonesia dari kuesioner FACE-Q© Aesthetics. Permasalahan yang ditemui meliputi masalah tata bahasa, makna yang ambigu, makna ganda, kata yang mirip, dan ketidakbiasaan dengan pengalaman subjektif, dengan sedikit penyesuaian yang diperlukan untuk kesesuaian budaya. Pasien mengonfirmasi bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan dengan pengalaman estetika mereka dan secara efektif menangkap kepuasan mereka terhadap hasil dan kualitas hidup. Istilah dan frasa utama disesuaikan untuk menyesuaikan dengan nuansa sosio-kultural Indonesia, memastikan integritas konseptual instrumen tetap terjaga.
Kesimpulan: Dengan mengintegrasikan umpan balik dari wawancara cognitive debriefing, kami memastikan bahwa versi Indonesia dari kuesioner ini sesuai secara budaya dan siap digunakan dalam praktik klinis. Artikel ini memberikan penjelasan rinci tentang prosescognitive debriefing, menyoroti perannya yang penting dalam mengadaptasi kuesioner untuk budaya beragam di Indonesia.
Background: Extensive research in social and psychological literature exploring reactions to physical attractiveness reveals a statistically significant impact on individuals' self-esteem and overall well-being. In aesthetic practice, the success of a procedure is primarily determined by patient satisfaction, which can only be accurately assessed by the patients themselves. This requires clinicians to consider their perspectives when evaluating procedural outcomes. FACE-Q© Aesthetics is a psychologically validated assessment tool for individuals undergoing aesthetic procedures, covering three domains: facial appearance, quality of life, and adverse effects. Translating self-administered patient questionnaires for different countries and cultures, especially in a multicultural country like Indonesia, requires careful consideration to ensure equivalence between the original and target versions. The translation of FACE-Q© Aesthetics into Indonesian emphasizes a transcultural validation process, considering variations in language comprehension and socio-cultural differences during the cognitive debriefing phase. Method: The tools were translated into Indonesian following best-practice guidelines by the International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) and took place in four stages. During translation and discussion, emphasis was placed on ensuring equivalence between the original and the Indonesian version in four areas: semantic equivalence (maintaining meaning), idiom equivalence (adapting idiomatic expressions), empirical equivalence (using culturally relevant terms), and conceptual equivalence (ensuring consistent meanings across cultures). Cognitive debriefing interviews were conducted to assess patient understanding and cultural appropriateness of the translated questionnaire. The translation process involved 39 scales and 315 question items, underwent a strict translation–back–translation process, and included cognitive debriefing interviews among patients aged 18-75 who had aesthetic procedures by a plastic surgeon in a leading aesthetic clinic at least one-week post-procedure. The interviews aimed to ensure that the translated questionnaire is easily understood, culturally relevant, and maintains the intended meaning of the original instrument. Participants' feedback on language comprehension and socio-cultural relevance was collected and analyzed. Result: This study involved 38 participants and the interviews showed that almost all participants understood the Indonesian version of the FACE-Q© Aesthetics questionnaire, Issues encountered included grammatical problems, ambiguous meanings, multiple meanings, similar words, and unfamiliarity with subjective experiences, with minimal adjustments needed for cultural appropriateness. The patients confirmed that the questions were relevant to their aesthetic experiences and effectively captured their satisfaction with outcomes and quality of life. Key terms and phrases were adapted to suit Indonesian socio-cultural nuances, ensuring the instrument's conceptual integrity was maintained.Conclusion: Through incorporating feedback from cognitive debriefing interviews, we have ensured that the Indonesian version of the questionnaire is culturally appropriate and ready for use in clinical practice. This article provides a detailed account of the cognitive debriefing process, highlighting its critical role in adapting the questionnaire for Indonesia's diverse culture."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024