Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Ismail Suny
Abstrak :
Penelitian ini merupakan studi implikasi hukum komitmen GATS terhadap otonomi pengaturan jasa arsitektur nasional Indonesia. Jasa arsitektur merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pengembangan infrastruktur, peningkatan alih teknologi serta dalam menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Pada umumnya, jasa arsitektur sesuai dengan karakteristiknya, merupakan industri berbasis lokal yang sangat teregulasi. Karena itu komitmen liberalisasi perdagangan jasa dalam kerangka GATS suatu negara dapat mengurangi otonomi negara tersebut dalam meregulasi sektor jasa arsitektur nasionalnya. Dalam penelitian ini ketentuan-ketentuan GATS akan dianalisa untuk melihat dampak obligasi tersebut terhadap pengaturan jasa arsitektur transnasional dan otonomi pengaturan jasa arsitektur nasional. Penelitian diawali dengan tinjauan umum tentang globalisasi jasa arsitektur. Kemajuan teknologi telah mengubah jasa arsitektur yang berbasis lokal menjadi suatu industri global. Namun, perdagangan transnasional jasa arsitektur dipenuhi oleh berbagai hambatan-hambatan domestik maupun eksternal. GATS merupakan perjanjian multilateral pertama untuk mengurangi hambatan-hambatan tersebut. Penelitian dilanjutkan dengan tinjauan umum GATS dan aplikasinya dalam perdagangan jasa arsitektur transnasional untuk mempelajari pengaruh GATS terhadap liberalisasi jasa arsitektur. Analisa ketentuan-ketentuan GATS dan komitmen-komitmen negara-negara berkaitan dengan jasa arsitektur menunjukkan peningkatan liberalisasi perdagangan transnasional jasa arsitektur. Namun, fleksibilitas GATS dalam hal pembatasan-pembatasan aplikasinya, pada akhirnya mengurangi tingkat liberalisasi tersebut. Hal yang sama ditemukan dalam pembahasan implikasi GATS terhadap otonomi pengaturan jasa arsitektur nasional Indonesia. Ketentuan-ketentuan GATS berpontensi untuk mempengaruhi dan mengurangi otonomi Pemerintah dalam meregulasi sektor jasa arsitektur nasional. Tapi, berdasarkan komitmen GATS Indonesia saat ini, dampak obligasi GATS terhadap pengaturan jasa arsitektur nasional tersebut adalah minimal. Terakhir, sebagai pemikiran ke depan, harus diusahakan peningkatan kompetensi profesi arsitek maupun profesi hukum Indonesia, untuk dapat menghadapi dan mengambil manfaat sebaik-baiknya dari perundingan-perundingan lanjutan GATS yang bertujuan untuk mengadakan liberalisasi progresif di sektor jasa arsitektur.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17331
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufani Sukmana Evandri
Abstrak :
Krisis perbankan yang terjadi di tanah air, disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah lemahnya sistem pengawasan perbankan dari Bank Indonesia terhadap system perbankan nasional, dan faktor eksternal adalah liberalisasi jasa sektor keuangan oleh GATS/WTO. Banyak para sarjana berpendapat bahwa terdapat hubungan dan pengaruh yang kuat antara liberalisasi jasa keuangan (financial service liberalization) dalam kerangka GATS/WTO dengan reformasi perbankan di negara-negara berkembang. Beberapa sarjana mencoba melihat bahwa negara berkembang dapat meningkatkan pertumbuhan dan simpanan domestik, dan mengurangi ketergantungan terhadap aliran modal luar negeri, melalui liberalisasi keuangan. Beberapa sarjana berpendat lain, mereka berpendapat bahwa liberalisasi keuangan semakin menciptakan krises perbankan bagi negara-negara berkembang dan berpotensi memunculkan bahaya yang lebih besar bagi institusi-institusi negara yang berfungsi mendukung pasar keuangan (financial market). Para sarjana yang menyambut positif liberalisasi keuangan melakukan penelitian lebih lanjut dan menyatakan bahwa krisis perbankan bukan karena liberalisasi perbankan, namun sistem insitusi perbankan yang lemah yang menggiring suatu negara kepada krisis perbankan, yaitu suatu negara dimana penegakan hukumnya masih lemah, korupsi yang tersebar luas, birokrasi yang tidak efesien dan mekanisme penegakan hukum yang tidak efesien. Berdasarkan pendapat-pendapat para sarjana tersebut, maka penulis berusaha untuk melihat bahwa lebih jauh upaya-upaya Bank Indonesia untuk menciptakan system perbankan yang kuat dan transparan, melalui pemberdayaan fungsi pengawasan (supervision) di dalam menghadapi liberalisasi jasa sektor keuangan sebagaimana diatur di dalam General Agreemenef on Trade and Services.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armeity Rossi Triwahyuni
Abstrak :
Tesis ini membahas menganai Analisa Terhadap Jasa e-commerce atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia dan Ketentuan General Agreement on Trade in Services. Pada saat ini WTO belum mengatur e-commerce, namun beberapa investor asing telah berinvestasi dalam industri e-commerce di Indonesia. Tesis ini menggunakan kajian hukum normatif dengan tipologi penelitian presktiptif. Hasil penelitian ini menunjukkan telah terjadi liberalisasi jasa e-commerce di Indonesia, walaupun adanya persyaratan pendaftaran perusahan asing dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan pembatasan kepemilikan modal asing dalam Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Saran untuk penelitian ini adalah apabila WTO akan mengatur e-commerce sebaiknya tetap menerapkan ketentuan yang berlaku dalam GATS dan menerapkan pengaturan e-commerce dari FTA negara-negara yang telah berkomitmen dalam sektor e-commerce. Pemerintah Indonesia dapat membuat pembatasan-pembatasan mengenai kepemilikan modal asing di dalam SoC yang terdapat dalam ketentuan GATS.
The Focus of this thesis is about analysis of e-commerce base on Indonesia Act and Provision of General Agreement on Trade on Services. At this time the WTO has not been set up e-commerce, but some foreign investors have invested in e-commerce industry in Indonesia. This thesis uses a typology of normative legal analysis prescriptive research. The results of this study indicate there has been a liberalization of services of e-commerce in Indonesia, although the requirements for registration of foreign companies in Act No. 7 of 2014 on Trade and the restrictions on foreign equity ownership in Presidential Regulation No. 44 Year 2016 concerning List of Closed and Opened Business Field with Requirement in the Field of Investment. Suggestions for this research is that if the WTO will set up e-commerce should continue to implement the applicable provisions of GATS and implementing e-commerce arrangements of FTA countries that have been committed in the e-commerce sector. Indonesian Government can make borders for foreign investment on SoC in Provision of GATS.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46497
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Rina
Abstrak :
Waralaba merupakan salah satu bentuk distribusi yang memiliki peran penting dalam perluasan pasar, termasuk perluasan pasar ke luar negeri. Waralaba menjadi salah satu subsektor yang termasuk dalam sektor distribusi yang diatur dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yaitu dalam General Agreement of Trade in Services (GATS). Masing-masing negara memiliki hak untuk membentuk regulasi domestik terkait dengan perdagangan jasa untuk diterapkan di negaranya masing-masing. Namun, setiap negara anggota WTO memiliki kewajiban untuk menyesuaikan aturan-aturan terkait perdagangan jasa sesuai dengan komitmenya dalam prinsip-prinsip perdagangan jasa yang telah disepakati dalam GATS. Sehingga, sebagai salah satu negara anggota WTO, Indonesia juga diwajibkan untuk menyesuaikan aturan domestiknya agar sesuai atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan jasa yang diatur dalam GATS. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki aturan khusus mengenai waralaba dalam bentuk peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Perlu diperhatikan bahwa untuk menentukan apakah suatu negara telah menerapkan prinsip-prinsip perdagangan jasa, harus pula mengacu pada komitmen spesifik masing-masing negara anggota. Sehingga, untuk menilai bagaimana pengaturan penyelenggaraan waralaba di Indonesia dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam GATS, harus tetap mengacu pada komitmen spesifik Indonesia dalam sektor-sektor perdagangan jasa.
A franchise is one of the distributions methods that have an important role in expanding markets, including expanding markets overseas. A franchise is one of the subsectors that is classified in the distribution sector stipulated in the World Trade Organizations (WTO), namely in General Agreement of Trade in Services (GATS). Each country has the right to form domestic regulations related to trade in services to be implemented in their respective countries. However, each WTO member country has an obligation to adjust any domestic regulations relating to trade in services with the principles of trade in services agreed in the GATS. Therefore, as a member of the WTO, Indonesia is also required to adjust any domestic regulation relating to trade in services with the principles of trade in services set out in the GATS. Indonesia is one of the countries that have specific regulation regarding franchising in the form of government regulations, namely Government Regulation No. 42 of 2007 concerning Franchising and regulated further in the Minister of Trade Regulation (Permendag) No. 71 of 2019 concerning the Implementation of Franchising. It should be noted that to determine whether a country has applied the principles of trade in services, it must also refer to the specific commitments of each member country. Therefore, in order to assess the regulation of the implementation of franchising in Indonesia related to the principles set out in the GATS, it must still refer to Indonesia's specific commitments in the service trade sectors.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54439
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vini Aliya Yusriya
Abstrak :
Peraturan multilateral mengenai perdagangan jasa keuangan diatur oleh World Trade Organization (WTO) dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) semenjak berakhirnya Uruguay Round pada tahun 1995. TKA ini bertujuan untuk memetakan perkembangan debat liberalisasi jasa keuangan yang diatur oleh GATS dalam perspektif negara maju dan berkembang, yang sering kali memiliki kepentingan berbeda. Adapun periode yang digunakan yaitu semenjak dimulainya negosiasi liberalisasi jasa keuangan pada Putaran Uruguay tahun 1993 hingga tahun 2016. Pengelompokkan literatur ini dilakukan melalui metode kronologi yang dibagi menjadi tiga periode yakni Periode I(Negotiation Period, 1993-1997), Periode II (Adaptation Period, 1998-2008), dan Periode III (Development Period, 2009-2016). Dengan metode taksonomi, penulis mengklasifikasikan 6 isu yang muncul dalam literatur, yaitu tata kelola GATS, kesiapan negara, komitmen negara, pandangan negara, kepentingan negara, dan perubahan pada GATS. Dari keenam isu tersebut, isu komitmen negara dan kepentingan negara merupakan isu dominan di setiap periode. Debat terkait komitmen negara menunjukkan bahwa upaya meningkatkan komitmen negara berdasarkan ketentuan GATS menjadi debat yang terus muncul terutama dalam 15 tahun sejak awal negosiasi GATS (1993-2008). Sementara terkait isu kepentingan negara didasari oleh kentalnya negosiasi dalam hal tata kelola GATS atas dasar kepentingan negara maju dan berkembang. Pada intinya, negara berkembang mendukung prinsip-prinsip GATS dengan komitmen yang minim dan tetap mengutamakan regulasi domestik, sementara negara maju mendukung prinsip liberalisasi di GATS dengan minim regulasi. ......The multilateral regulation on financial trade is regulated by the World Trade Organization (WTO) in the General Agreement on Trade in Services (GATS) since the end of the Uruguay Round in 1995. This paper aims to map the development of the financial services liberalization debate provided by GATS in the perspective of developed and developing countries which often have different interests. The period used is since the commencement of financial service liberalization negotiations in the Uruguay Round of 1993 to 2016. This grouping of literature is done through chronological methods which are divided into three periods which are Period I (Negotiation Period, 1993-1997), Period II ( Adaptation Period, 1998-2008), and Period III (Development Period, 2009-2016). With the taxonomy method, the author classifies 6 issues that appear in the literatures, namely GATS governance, state readiness, state commitment, state views, state interests, and changes to GATS. Of the six issues, the issue of state commitment and state interests are the dominant issues in each period. Debates related to state commitment show that efforts to increase state commitment based on GATS provisions have become debates that continue to emerge, especially in the 15 years since the beginning of the GATS negotiations (1993-2008). While the issue of state interests is based on the thickness of negotiations in terms of GATS governance on the basis of the interests of developed and developing countries. In essence, developing countries support the GATS principles with minimal commitment and continue to prioritize domestic regulations, while developed countries support the principle of liberalization at GATS with minimal regulation.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyana Tresnawan
Abstrak :
General Agreement on Trade in Services (GATS) has made significant impact on telecommunication industry in Indonesia. It ended the monopoly of telecommunication services provided for decades by two of State Owned Enterprises (SOE), PT Telkom and PT Indosat. After the GATS agreement, anyone can be a telecommunication services provider in Indonesia. Furthermore, the GATS agreement also describe that the protection toward domestic provider must be ended and gradual liberation must be accomplish in certain reasonable period reflected to the schedule of commitments in WTO. Due to this condition, Indosat must anticipate by re-planning, repositioning and reform its core business and organization in order to survive and gain some advantage from this new telecommunication platform policy that strongly support free competition. And so, the purposes of this paper are to examine and describe the anticipation of Indosat toward the new telecommunication platform and the Indosat participation toward the obligation to provide universal services. By using the description method with qualitative approach and back up fundamentally by service trade theories and GATS General principles along with obligation in telecommunication industry sets by WTO, this research is to find out how far that Indosat used its potentiality such as human resources, infrastructures, financial power, and its clusters to deaf with the trade liberation drive by GATS and to gain some advantage from the four Mode of Supply. The anticipation of Indosat toward the impact of GATS is done by focusing in wireless telecommunication business and by convergent the telecommunication sector with multimedia sector particularly in the advanced of Internet technology. Furthermore, Indosat is also gain some fundamental benefit from Mode of Supply and from lndosat cooperation along with other subsidiary of STT Telemedia Group. While in the obligation to provide universal services, Indosat have a quite limited participation by providing telecommunication infrastructures in several Java regions and rely heavily on government initiative. Indosat also less satisfactory to community due to the case that it only heavily provide personal services through its wireless technology rather than providing services for community or group. The Indosat's wireless technology on communal based is not affordable because it's costly. Actually Indosat can and should participated more than what it has been done by developed a co-partnership with people to provide a win-win solution in expanding the universal service obligation and by built affordable services for community (communal based). A thorough and integrated understanding of telecommunication industry and services in Indonesia is very important due to benefit that society will gain from it. The telecommunication industry will open many new opportunities and create information society, which is a pra-requirement for advanced, and knowledge based society.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chorfiranda Nije Marantauna
Abstrak :
Netflix merupakan Perusahaan yang berasal dari amerika serikat yang bergerak di bidang penyewaan film dan serial Televisi dengan sistem subscribe yang didistirbusikan secara digital atau online. Saat ini rezim internasional yang mencakup jasa adalah General Agreement on Trade in Services (GATS), dimana Netflix termasuk lingkup instrumen internasional tersebut. Secara garis besar GATS mengatur jasa-jasa yang telah melintasi batas wilayah Negara dan Schedule of Commitment (SoC) setiap anggota World Trade Organization (WTO) untuk memperlakukan setiap jasa yang masuk ke wilayah masing-masing negara tersebut berdasarkan prinsip-prinsip GATS. Penelitian ini menggunakan kajian hukum normatif dengan sifat penelitian presktiptif dan pendekatan Konseptual. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Jasa Netflix termasuk dalam mode Cross Border Supply (Mode 1) dan diklasifikasi pada sektor Communication sub sektor Audiovisual Services berdasarkan Klasifikasi MTN.GNS/W/120. Dari sisi SoC Indonesia menyatakan bahwa sektor audiovisual service untuk mode 1 ialah Unbound, dimana dibolehkan mengaturĀ  jasa yang termasuk mode 1 dan dapat mengecualikan ketentuan GATS. Kehadiran Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informasi No 3 Tahun 2016 tentangĀ  Penyediaan Layanan Aplikasi Dan/Atau Konten Melalui Internet (Over The Top) telah digunakan untuk mengatur jasa Netflix, salah satu substansi pasalnya mengatur untuk mendirikan badan usaha tetap (BUT) dapat dilaksanakan berdasarkan SoC Indonesia, namun implementatifnya kurang karena tidak mempunyai sanksi. Preskripsi untuk penelitian ini adalah Kementrian Komunikasi dan Informasi dapat membuat Peraturan Menteri dengan substnasi pasal seperti pengenaan pajak tanpa harus mendirikan BUT yang seyogyanya selaras dengan ketentuan GATS. ...... Netflix is a company originating from the United States that is engaged in television movie and serial rentals with a subscription system that is distributed digitally or online. At present international regulations covering services are the General Agreement on Trade in Services (GATS), where as GATS has regulate the Schedule of Specific Commitment (SoC) of each member of the World Trade Organization (WTO) to handle every service that enters the territory of each country in accordance with GATS principles. This study uses normative legal studies with the nature of prescriptive research and conceptual search. The results of this study indicate that Netflix Services are included in the Cross Border Supply (Mode 1) and classified in the Audiovisual Service sub-sector Communication sector based on the MTN.GNS/W/120 Classification. From the Indonesian SoC`s perspektif declaring audiovisual services for mode 1 is Unbound, where services that in scope mode 1 can exclude GATS provisions. The presence of Circular Letter of the Minister of Communication and Information No. 3 of 2016 concerning the provision of Over the Top Application and/or Content Services has been used to provide Netflix services, one of the substance of the article issued to obtain a permanent establishment (BUT) can be implented, but the implementation is lacking because it does not have sanctions. The prescription for this study is that the Ministry of Communication and Information can make a Ministerial Regulation with article subtitles such as taxation without having to make a BUT which should be in line with GATS provisions.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52816
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
banking liberalization process has begun since retification of General Agreement on Trade in Services (GATS) Possibly access for foreign investor into Indonesia banking open through such ways as: establishing a new bank, purchasing of bank's share and erecting of bank's branch and representative. According to current regulation foreigners who want to open a new bank should not be in form of bank as formerly regulated, but it can be as individual and as foreign non-bank entity. No more restriction regarding foreign ownership of mayority bank's shareholder. Through Government Regulation No. 29 year of 1999 concerning of purchasing general bank's share and Bank of Indonesia regulation No.2/27/PBI/2000 regarding general bank have arranged that maximum foreign ownership over general bank is 99% of the capital paid by general bank. The foreign ownership of bank is not only open through stock market but also by direct purchasing of share. Foreign domination on national bank is now rampant through such ways as acquisition, merger and or consolidation. The question is what's the relevancy amongst banking consolidation policy, single presence policy and foreign domination on Indonesia national bank?
JUHUBIS
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfadilah
Abstrak :
Dokter adalah profesi yang terikat pada prinsip dalam etika kedokteran dan prinsip dasar yang tidak mengambarkan nilai atau tujuan komersil dari profesi kedokteran dalam melakukan praktik kedokteran. Akan tetapi tidak dipungkiri permintaan akan pelayanan jasa kedokteran semakin meningkat sehingga jumlah fakultas kedokteran maupun rumah sakit di Indonesia juga meningkat. Dalam lingkungan ASEAN profesi jasa kedokteran dalam perdagangan jasa dibentuk melalui MRA Praktisi Medis, yang dasar pembentukannya adalah Artikel VII GATS, yang lalu diatur kembali dalam Artikel V AFAS perihal pengakuan atas pendidikan dan pengalaman seseorang yang telah ditempuh atau diterima di suatu negara anggota oleh negara anggota lainnya yang menjadi negara tujuan. Meski MRA Praktisi Medis telah diakomodir oleh Perkonsil 157/2009 tentang Tata Cara Registrasi Dokter Warga Negara ASEAN yang akan Melakukan Praktik di Indonesia, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 44/2009 tentang Rumah Sakit dan aturan terkait lainnya di Indonesia, tidak semata-mata menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia membuka akses pasar bagi jasa kedokteran terutama dalam Modus 4 jasa kedokteran. Masing-masing negara anggota ASEAN telah mengatur persyaratan dan kualifikasi untuk mendapatkan registrasi bagi praktisi medis asing untuk melakukan praktik kedoteran di negara tujuan dengan mengacu kepada MRA Praktisi Medis dengan menambahkan persyaratan tambahan yang dirasa perlu (necessary) berdasarkan prinsip domestic regulation. Hal ini dapat menjadi hambatan dalam pelaksanaan MRA Praktisi Medis di Indonesia terutama kendala kemampuan bahasa. Akan tetapi diluar dari hambatan tersebut terdapat peluang pelaksanaan MRA Praktisi Medis yaitu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di wilayah-wilayah Indonesia dan lapangan pekerjaan di dalam maupun luar negeri. ......Doctor is a profession that is bound by principles in medical ethics and basic principles that do not reflect the value or commercial objectives of the medical profession in practicing medicine. However, it is undeniable that the demand for medical services is increasing so that the number of medical faculties and hospitals in Indonesia is also increasing. In the ASEAN environment, the medical services profession in the service trade is formed through the MRA of Medical Practitioners, the basis of which is Article VII GATS, which is then rearranged in Article V AFAS regarding the recognition of one's education and experience that has been taken or received in a member country by member countries. others which are the destination countries. Although the MRA of Medical Practitioners has been accommodated by Perkonsil 157/2009 concerning Procedures for the Registration of Doctors for ASEAN Nationals to Practice in Indonesia, Law 29/2004 on Medical Practice, Law 44/2009 on Hospitals and other related regulations in Indonesia, are not simply stated that the Indonesian government opens market access for medical services, especially in Mode 4 of medical services. Each ASEAN member country has regulated the requirements and qualifications to obtain registration for foreign medical practitioners to perform medical practice in the destination country by referring to the MRA of Medical Practitioners by adding additional requirements deemed necessary based on the principle of domestic regulation. This can be an obstacle in the implementation of MRA Medical Practitioners in Indonesia, especially language skills constraints. However, apart from these obstacles, there are opportunities for the implementation of MRA for Medical Practitioners, to meet the needs of health workers in Indonesian regions and employment opportunities at home and abroad.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library