Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imam Wahyudi
Abstrak :
Pemberian nama-nama geografi pada suatu tempat atau wilayah di permukaan bumi mi umumnya diberikan karena ciri khas atau karakteristjk yang dimiliki wilayah atau daerah dengan daerah yang bersarigkutan. Untuk masing-masing tempat atau daerah dengan bahasa yang berbeda-beda akan rnemberikan suatu nama terhadap objek geografi tersebut sesuai dengari bahasa yang bersangkutan. Kota Jakarta merupakari wilayah yang memiliki banyak tempat dengan toponhrni atau nama-nama geografi dari bahasa yang bermacammacam. Begitu juga dengan toponimi yang berasal dari bahasa Sunda, cukup banyak dijumpai dalam wilayah DKI Jakarta. Dari latar belakang di atas, maka masalah yang akan dicari jawabnya adalah, bagairnanakah gambaran mengenai batas-batas yang mempengaruhi penggunaan nama-nama geografi (toponimi), terutama yang berbahasa Sunda di Jakarta. Sehubungan dengari masalah tersebut, maka langkah-langkah yang dilakukan adalah mencari sejarah later belakang pertumbuhan kota Jakarta berupa peta lama daerah Batavia tahun 1627 dan peta 1992 dengan maksud memberikan gambaran perubahan dalarn toponimi berbahasa Sunda. Kemudian, dicari persebaran nama-nama tersebut dengan acuan kamus bahasa Sunda-Indonesia. Untuk mengetahui region toponimi, dibuat garis yang merupakan generalisasi dari letak toponimi berbahasa yang Sunda yang mendominasi di wilayah Jakarta. Langkah selanjutnya adalah menganalisis pola persebaran toponimi berbahasa Sunda. Analisis ml dilakukan dengan cara mengamati batas-batas region toponimi berbahasa Sunda dengan batas-batas region toponimi bahasa non Sunda. Dari hasil analisis diperoleh hasil penelitian berikut 1.Toponimi atau nama-nama tempat dengan nama geografi berbahasa Sunda penyebarannya sernakin bariyak ke Selatan. Hal mi dapat dilihat dari peta penyebaran toponimi berbahasa Sunda (kurang lebih 15 km dari Pasar Ikan ke arah kota Bogor. 2.Tempat-tempat dengan nama geografi yang berasal dari bahasa Sunda yang ada di wilayah DKI Jakarta sekarang urnumnya diawali dengan kata Ci. 3.Batas region toponimi berbahasa Sunda berada di sekitar batas tanah partikelir terutama dibagian selatan Jakarta (disekitar daerah Cipinang). 4.Ada tiga indikator yang mempengaruhi toponirni di wilayah Jakarta yaitu perigaruh etnis Sunda, pengaruh pernenintahan kolonial Belanda, dan pengaruh dibukanya tanah-tanah partikelir.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inayah Wardany
Abstrak :
[ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian toponimi yang bertujuan untuk mendapatkan asal usul penamaan tempat yang saat ini dijadikan nama stasiun kereta api Commuter Jabodetabek. Selain itu, penelitian juga bertujuan untuk menemukan apakah suatu penandaan toponim telah menjadi mitos. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan sumber data didapatkan dari lapangan dan literatur. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 60 data dari 51 titik pengamatan. Data toponimi didapatkan dari 78 narasumber yang terdiri atas 1 narasumber utama dan 77 narasumber dari masyarakat. Sementara itu, literatur didapatkan dari peta sejak abad 16 hingga abad 20 serta naskah Perjalanan Bujangga Manik. Teknik analisis data menggunakan kajian etimologi dan semiotik Barthes. Hasil menunjukkan bahwa terdapat 12 toponim yang mengalami proses menuju mitos. Hasil lain yang ditemukan terdapat 15 bahasa yang menjadi sumber penamaan stasiun kereta api, yaitu Arab, Bandan, Belanda, Bali, Betawi, Hokkian, Indonesia, Inggris, Jawa, Jawa Kuna, Melayu, Manggarai, Portugis, Sunda, dan Sunda Kuna.
ABSTRACT
This research uses toponymy to obtain the origin of placenames that currently are used as station names of Commuter train stations in Jabodetabek. Besides, this research also aims to find out signification among toponyms that has developed into myth. The method that has been used for this research was qualitative with data from informants and literature. Data of 60 toponyms have been collected from 51 locations. The toponym data was taken from 78 informants who consist of 1 primary informant and 77 informants from local people. The literature is based primarily on map from 16th until 20th century and The Story of Bujangga Manik: a pilgrim?s progress manuscript. Etimology and Barthes?s semiotic theory were used as techniques to analyze the data. The result shows that there are 12 toponyms that under process becoming myth. Another result shows that there are 15 languages as station naming sources which are Arabic, Bandanese, Dutch, Balinese, Betawi, Hokkian, Indonesian, English, Javanese, Old Javanese, Malay, Manggarai, Portuguese, Sundanese, and Old Sundanese., This research uses toponymy to obtain the origin of placenames that currently are used as station names of Commuter train stations in Jabodetabek. Besides, this research also aims to find out signification among toponyms that has developed into myth. The method that has been used for this research was qualitative with data from informants and literature. Data of 60 toponyms have been collected from 51 locations. The toponym data was taken from 78 informants who consist of 1 primary informant and 77 informants from local people. The literature is based primarily on map from 16th until 20th century and The Story of Bujangga Manik: a pilgrim’s progress manuscript. Etimology and Barthes’s semiotic theory were used as techniques to analyze the data. The result shows that there are 12 toponyms that under process becoming myth. Another result shows that there are 15 languages as station naming sources which are Arabic, Bandanese, Dutch, Balinese, Betawi, Hokkian, Indonesian, English, Javanese, Old Javanese, Malay, Manggarai, Portuguese, Sundanese, and Old Sundanese.]
2015
T44734
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suharianto Permana
Abstrak :
Tulisan ini membahas mengenai penamaan dan sejarah penamaan masjid-masjid kuno di Jakarta dan relasi sejarah penamaan masjid pada masjid-masjid kuno di Jakarta dengan bangunan atau bentuk masjid tersebut dengan menggunakan dua puluh tiga masjid sebagai objek kajian. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian arkeologi menurut Sharer dan Ashmore (2003, hlm. 156) yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu formulasi, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, interpretasi, dan publikasi. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa dari dua puluh tiga masjid yang dijadikan objek penelitian diketahui delapan cara atau pengambilan nama pada masjid-masjid kuno di Jakarta, yaitu berdasarkan vegetasi, berdasarkan bersejarah, berdasarkan pemberian, berdasarkan wilayah, berdasarkan nama tempat atau unsur rupa bumi, berdasarkan nama- nama asing, berdasarkan arsitektur bangunan, dan berdasarkan akronim. Selain itu, diketahui pula bahwa dari dua puluh tiga masjid yang dijadikan objek kajian, hanya ada dua masjid yang memiliki relasi antara bentuk bangunan masjid dengan sejarah penamaannya, yaitu Masjid Langgar Tinggi dan Masjid Agung Sunda Kelapa. ......This paper discusses the naming and history of the naming of ancient mosques in Jakarta and the historical relation of the naming of mosques to ancient mosques in Jakarta and the buildings or forms of these mosques by using twenty-three mosques as the object of study. The research method used is archaeological research according to Sharer and Ashmore (2003, p. 156) which consists of several stages, namely formulation, data collection, data processing, analysis, interpretation, and publication. This research resulted in the conclusion that of the twenty-three mosques that were used as research objects, there were eight ways or names of ancient mosques in Jakarta, namely based on vegetation, based on history, based on gift, based on area, based on place names or elements of the earth, based on foreign names, based on building architecture, and based on acronyms. In addition, it is also known that of the twenty-three mosques that were used as the object of study, there were only two mosques that had a relationship between the shape of the mosque building and the history of its name, namely the Langgar Tinggi Mosque and the Sunda Kelapa Grand Mosque.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Titius Kurnia Dinata
Abstrak :
ABSTRAK
Propinsi Jawa Barat secara umum mewakili bentang Budaya Sunda dan Jawa Tengah mewakili bentang budaya Jawa. Namun Kabupaten Kuningan, Cirebon dan Brebes yang berada di Perbatasan perbatasan, ternyata bentang budaya tidak selalu sesuai dengan kondisi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui batas bentang budaya, dan menjelaskan terjadinya keunikan bentang budaya tersebut. Metode yang digunakan dengan melakukan eksplorasi, wilayah topografi, toponimi dan sejarah, serta wawancara dan menyimak, bahasa yang digunakan. Metode tersebut bertujuan untuk mencari dan menemukan masalah-masalah baru dalam mengisi kekosongan atau kekurangan dari pengetahuan, baik yang belum maupun yang telah ada sehingga sangat cocok digunakan untuk mencari sebuah pola bentang budaya suku Jawa dan suku Sunda di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa daerah berbukit dengan akses yang tertutup dan dalam sejarah merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Sunda, masih menunjukkan kecenderungan bentang budaya Sunda, meskipun letaknya di Jawa Tengah. Wilayah yang relatif datar dengan akses yang terbuka, pengaruh sejarah menunjukkan pernah berhubungan dengan kerjaan Jawa, meskipun letaknya di Jawa Barat cenderung memiliki bentang budaya Jawa.
ABSTRACT
West Java Province in general represent landscapes and Culture in Central Java Java represents a cultural landscape. However Regency Kuningan, Cirebon and Brebes who were in Border border, turns cultural landscape does not always correspond with the condition. This study aims to determine the boundary cultural landscape, and explain the uniqueness of the cultural landscape. The method used to carry out exploration, the area topography, toponymy and history, as well as interviews and listening, the language used. This method aimed to search and find new problems in filling the void or lack of knowledge, either has not or who have been there so it is suitable to look for a pattern of cultural landscape Javanese and Sundanese in the border region of Central Java and West Java. The result shows that the hilly area with access to the closed and in the history of the Sunda kingdom 39 s territory, it still shows a tendency Sundanese cultural landscape, even though it is located in Central Java. Areas that were relatively flat with open access, influence history has shown once associated with Java work, even though it is located in West Java Java tend to have cultural landscape.
2017
S65793
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zarmahenia Muhatta
Abstrak :
Penelitian ini adalah tentang toponimi tujuh kota bandar di Jalur Rempah Pantai Utara Pulau Jawa yang terkenal pada abad ke-15 sampai ke-19. Metode penelitian kualitatif, digunakan untuk pengumpulan data berdasarkan studi literatur atas sumber tertulis filologi, arkeologi-sejarah, sejarah, dan geografi. Penelitian ini dilakukan sebagai studi multidisiplin melalui analisis semantik, semiotik dan toponimi untuk mengeksplorasi toponimi tujuh bandar Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya itu dari sudut pandang trans-linguistik dan arkeologi. Sumber data penelitian. Nama bandar-bandar di wilayah pesisir pantai Utara Pulau Jawa yang dikumpulkan dari sumber tertulis kuno berupa peta geografi, prasasti kuno, naskah kuno, dan hasil wawancara, dalam kaitannya dengan fitur arkeologi yang merupakan lanskap sosial budaya maritim di Jalur Rempah Pantai Utara Pulau Jawa. Toponim merupakan data rekaman yang dapat memperlihatkan sejarah, kontak budaya, dan perkembangan bahasa. Hasil penelitian ini memperlihatkan kaitan hasil kajian toponimi dengan representasi budaya yang diperlihatkan melalui kajian mengenai peran nama tempat dalam kebudayaan sezaman dan pemaknaannya dalam sejarah yang melatarbelakangi bandar pelabuhan kuno pesisir pantai utara Jawa. Melalui sudut pandang linguistik dan arkeologi-sejarah, makna ketujuh toponim sepanjang pantai utara pulau Jawa dilihat sebagai kesinambungan dari siklus kebudayaan. Toponimi dari aspek linguistik memberikan petunjuk terhadap ciri sejarah dan kebudayaan dari suatu wilayah. Kemudian, ilmu sejarah berkontribusi dalam memberikan justifikasi dari temuan arkeologis dan temuan linguistik yang ada. Ilmu arkeologi juga menjadi data pendukung yang kuat untuk memberikan bukti fisik adanya kebudayaan yang pernah hidup dan kontak yang terjadi di bandar-bandar sepanjang pantai utara pulau Jawa. Fitur-fitur arkeologis yang ada menunjukkan konteks budaya berbagai bangsa yang melingkupi setiap bandar, dalam kaitannya dengan sebutan Nusantara sebagai poros maritim dunia pada masa dahulu. Istilah maritim merujuk kepada segala kegiatan manusia yang berhubungan dengan laut dalam menyangga kehidupan mereka. Dengan mempelajari budaya masyarakat pada masa lalu yang menyatukan Nusantara di masa kejayaan Jalur Rempah sebagai jalur perdagangan internasional, diharapkan kelak dapat memperkuat identitas bangsa Indonesia kembali sebagai poros maritim dunia.
This research is about the toponymy of the seven ancient port cities on the Spice Route of the North Coast of Java which were famous in the 15th to 19th century. Qualitative research methods were used to collect data based on literature studies on written sources of philology, archeology-history, history, and geography. This research is conducted as a linguistic trans-disciplinary study through semantic, semiotic and toponym analysis to explore the topography of the seven ancient port cities of Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Jepara, Tuban, Gresik, and Surabaya in a linguistic and archaeological approach. Names of ancient ports in the north coast region of Java Island are collected from ancient written sources in the form of geographic maps, ancient inscriptions, ancient manuscripts, and interview results, in relation to archeological features which constitute the social landscape of maritime culture on the Spice Route Ancient Ports in North Coast of Java. Toponyms are the recorded data that show history, cultural contact, and language development. The results of this study show the link between the results of toponymy studies and cultural representations, as it is shown through the study of the role of place names in contemporary culture and its meaning in history. Through a linguistic and archaeological-historical perspective, the seven toponyms meaning along the North Coast of Java Island is seen as a continuation of the cultural cycle. Toponymy from the linguistic aspect provides clues to the historical and cultural characteristics of a region. Then, history contributes to justifying existed archeological and linguistic findings. Archeology is also a strong supporting data to provide physical evidence of the cultural existence that has lived and the cultural contact which occurred in the ports along the North Coast of Java Island. The existing archeological features show the various cultural contexts of the nations that surround each city, in relation to the term Nusantara as the world's maritime axis in the past. The term maritime refers to all human activities related to the sea in supporting their lives. By studying the culture of society in the past that united the archipelago in the glory of the Spice Route as an international trade route, it is hoped that in the future it can strengthen the identity of the Indonesian nation again as the world's maritime axis.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2603
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Griselda Raissya Putri Prastomo
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemaknaan nama kelurahan di Kota Tangerang Selatan yang menggunakan kata pondok. Pendekatan toponimi digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan makna dari nama-nama kelurahan tersebut berdasarkan tiga aspek yaitu, makna kategorial, makna asosiatif, dan makna emotif (Nyström, 2016). Data diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung dengan masyarakat setempat serta, dari analisis berdasarkan kamus bahasa Indonesia dengan KBBI VI Daring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaknaan nama kelurahan didominasi oleh kategori tanaman, yang mencakup 8 dari 13 kelurahan, diikuti oleh kategori bangunan, tokoh, sejarah, dan harapan. Secara asosiatif, beberapa kelurahan berhubungan positif dengan aspek lingkungan dan sejarah, sementara yang lain memiliki asosiasi negatif terkait masalah kemacetan dan banjir. Dari aspek emotif, namanama kelurahan mencerminkan perasaan bangga dan nyaman dari masyarakat terhadap perkembangan infrastruktur dan lingkungan mereka, meskipun ada beberapa wilayah yang menghadapi tantangan emosional akibat masalah lingkungan. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam memahami latar belakang budaya dan sejarah penamaan kelurahan di Tangerang Selatan, serta memperluas pengetahuan tentang toponimi di Indonesia. ......This study aims to examine the meanings behind the names of sub-districts in South Tangerang City that use the word "pondok." A toponymic approach is employed to identify and classify the meanings of these sub-district names based on three aspects: categorical meaning, associative meaning, and emotive meaning (Nyström, 2016). Data were obtained through interviews and direct observations with local residents, as well as analysis based on the Indonesian dictionary KBBI VI Online. The results of the study indicate that the meanings of the sub-district names are predominantly categorized as plant-related, encompassing 8 out of 13 sub-districts, followed by categories of buildings, notable figures, history, and aspirations. Associatively, some sub-districts are positively related to environmental and historical aspects, while others have negative associations related to traffic congestion and flooding issues. From an emotive aspect, the sub-district names reflect the residents' feelings of pride and comfort regarding the development of infrastructure and their environment, although some areas face emotional challenges due to environmental problems. This study contributes to the understanding of the cultural and historical background of sub-district naming in South Tangerang, as well as expanding the knowledge of toponymy in Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Amalina Shomami
Abstrak :
ABSTRAK
Nama suatu tempat dapat berubah dari masa ke masa karena penamaannya bergantung pada pertimbangan manusia yang mendiami tempat tersebut. Penamaan sebuah tempat dapat menggambarkan suatu harapan masyarakat setempat, peristiwa sejarah peradaban, dan identitas masyarakat yang hidup pada tempat tersebut Rais, 2008 . Sebelum berubah menjadi nama yang digunakan saat ini, dahulu Cilacap bernama Tlatjap yang memiliki artian tanah yang menjorok kelaut. Kemudian nama ini berubah penulisannya menjadi Cilacap yang masih digunakan hingga saat ini. Secara etimologis, awalan Ci- yang memiliki arti lsquo;air rsquo; dan kata tlatjap atau lacap yang berarti lsquo;tanah yang menjorok ke laut rsquo; dalam bahasa Sunda. Selain bahasa Sunda, terdapat pula kata cacab lsquo;mencebur di air rsquo; dalam bahasa Jawa. Hal ini kemudian menjadi indikasi adanya pengaruh kebudayaan Sunda dan/atau Jawa. Penelitian ini membatasi pemaknaan berdasarkan makna semantis yaitu; makna kategorial, makna asosiatif, dan makna emotif Nystr m, 2016 . Sebanyak dua puluh nama desa digunakan sebagai percontoh yang mana desa-desa ini merupakan wilayah tutur bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Temuan makna penamaan pada penelitian ini berkaitan dengan bentang alam, hasil bumi, sejarah, tokoh, dan harapan masyarakat. Penelitian ini membuktikan bahwa nama bukan hanya berfungsi sebagai rujukan, melainkan berkaitan dengan berbagai makna yang dapat memengaruhi perkembangan suatu tempat.
ABSTRACT
Place names may change over time because naming reflects human perceptions and preferences. The naming of places can describe a local community rsquo s expectations, historical events, and the identity of communities that live there Rais, 2008 . Before taking its current name, Cilacap was named Tlatjap meaning lsquo promontory land that juts out into the sea rsquo . Later the name was spelled Cilacap which version is used up to this day. Etymologically, the affix Ci means lsquo water rsquo and the Sundanese word tlatjap or lacap means lsquo lands that juts out into the sea rsquo . In addition to this, there is also Javanese cacab meaning lsquo jump into the water rsquo . This later became the indication of Sundanese and or Javanese cultural influences in the Cilacap naming. This research restricts itself to naming based on semantic meaning ie categorical meanings, associative meanings, and emotive meanings Nystr m, 2016 . A total of twenty villages were surveyed in an area where Sundanese and Javanese spoken are spoken. The findings show that name meanings are related to the landscape, crops, history, figures, and community expectations. The implications of the research are likely to be of interest to those requiring data on place naming, and also those interested in the relation between human activity, development and culture.
2018
T49428
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Maulida Agustin
Abstrak :
ABSTRAK
Toponimi merupakan ilmu yang mempelajari tentang nama tempat. Salah satu nama tempat yang dapat dikaji adalah nama jalan. Nama jalan yang mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah daerahnya adalah nama jalan di Kabupaten Kediri. Hal itu dibuktikan dengan dimulainya pendataan nama jalan oleh pemerintah daerah di tahun 2017. Selain itu, nama jalan yang ada di Kabupaten Kediri pun bervariasi disebabkan kondisi geografis, sejarah Kediri, dan lingkungan masyarakat Kediri. Beberapa hal yang berkaitan dengan nama jalan di Kabupaten Kediri tersebut menarik untuk dikaji, terutama pada makna nama jalannya. Dengan demikian, penelitian ini difokuskan pada makna kategorial dan makna asosiatif pada nama jalan di Kabupaten Kediri. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi makna kategorial dan makna asosiatif yang ada pada nama jalan tersebut. Data nama jalan diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Kediri. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat lima belas makna kategorial berdasarkan USAS dan lima makna asosiasi pada nama jalan di Kabupaten Kediri. Dilihat dari makna kategorial, sebagian besar nama jalan di Kediri merupakan nama diri. Tambahan pula, nama jalan di Kabupaten Kediri juga dapat diasosiasikan dengan kondisi geografi, identitas, sejarah, budaya berbahasa, serta doa dan harapan masyarakat Kediri. Sementara itu, temuan dari penelitian ini adalah makna Kategori Lainnya. Kategori tersebut merupakan bentuk kearifan lokal dari masyarakat Kediri karena nama jalan tersebut tidak memiliki padanan kata dalam bahasa lain.
ABSTRAK
Toponymy is a study about the name of place. One of place names that can be studied is street names. The streets names that began to get attention from the local government is street names in Kediri Regency. It is evidenced by starting to collect the streets names data by local government in 2017. In the other hand, the street names that existing in Kediri Regency also have variation due to the geographical conditions, Kediri history, and the environment of Kediri community. Several things related to the street names in Kediri Regency is interesting to be analyzed, especially on the meaning of the street names. Thus, this research is focused on categorical meanings and associative meanings of the street names in Kediri Regency. This research aims to identify the categorical meanings and associative meanings that exist in its street names. The street names data gained from Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Kediri. This research used qualitative research method. The results show that fifteen categorical meanings based on USAS and five associative meanings on the street names in Kediri Regency. Refer to categorical meaning, mostly the street names in Kediri Regency is personal names. In addition, street names in Kediri Regency also can be associated by geographical conditions, identity, history, language culture, also wish and expectation of Kediri community. Meanwhile, invention of this research is the meaning of Other Categories. The category is a form of local wisdom from the Kediri community because the street names does not have a word equivalent in another language.
2017
S69383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library