Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartika Ajeng K.
"Maraknya penyalahgunaan bahan kimia melamin dalam suatu produk makanan impor dewasa ini bukanlah merupakan hal yang baru lagi. Penggunaan melamin tersebut terbukti berdampak buruk bagi kesehatan konsumen, seperti mengkakibatkan gagal ginjal hingga yang paling parah adalah menyebabkan kematian. Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, melihat telah menyebar dan maraknya penyalahgunaan bahan kimia tersebut di tanah air, sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dirasakan belum efektif. Untuk itu penulis mencoba melakukan penelitian dalam hal ini. Penulisan ini dibuat dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu suatu penelitian terhadap norma atau hukum, Cara pengumpulan data yaitu dengan menggunakan metode studi pustaka, dan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Penggunaan melamin yang ditemukan pada produk-produk makanan impor belakangan ini, menimbulkan keresahan masyarakat sebagai konsumen. hal ini disebabkan karena apabila kandungan melamin yang masuk kedalam tubuh manusia, melebihi ambang batas, maka akan menyebabkan kematian. Namun hingga saat ini pemerintah Indonesia, belum menetapkan kadar toleransi untuk melamin, sehingga masih wajar apabila dikonsumsi oleh manusia. Penetapan ambang batas tersebut, tidak terlepas dari adanya perbandingan dengan negara-negara lain. Sehingga dapat ditemukan ambang batas yang selaras. Selain itu juga, kewenangan BPOM dalam melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran produk makanan bermelamin ini perlu ditegakkan. Hal ini mengingat bahwa BPOM merupakan lembaga yang memahami mengenai maraknya peredaran produk makanan bermelamin, sebagai pengawas obat dan makanan. Dalam hal penyidikan ini, tentu saja BPOM bekerjasama dengan instansi kepolisian serta kejaksaan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T26751
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Trihardjanto
"Direksi sebagai organ Perseroan Terbatas yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar diangkat oleh para pendiri (sebelum berbadan hukum) dan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (setelah berbadan hukum), dimana Pemegang Saham dan UUPT memberikan kewenangan, tugas, kewajiban dan tanggung jawab kepada Direksi. Dalam pelaksanaan perannya Direksi memiliki masa jabatan yang terbatas guna bertindak atas nama Perseroan Terbatas. Masa jabatan Direksi dalam UUPT ditegaskan harus tertentu, namunlamanya masa jabatan tersebut bervariasi sesuai dengan pertimbangan dan kebutuhan masing-masing Perseroan. Direksi yang telah berakhir masa jabatannya jika tetap menjalankan segala tugas, kewenangan dan pengurusan yang dilakukannya menjadi tidak sah dikarenakan Direksi tersebut tidak berwenang secara hukum mewakili untuk dan atas nama perseroan yang diwakilinya. Akibat hukum yang timbul atas tindakan Direksi yang telah berakhir masa jabatannyaakan menyebabkan risiko-risiko hukum di kemudian hari. Apabila dapat dibuktikan tindakan hukum yang dilakukan Direksi yang telah berakhir masa jabatannya karena semata-mata menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengurus perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, maka Pemegang Saham dapat melakukan upaya terakhir yang bersifat pemulihan melalui ratifikasi guna mengesahkan atas tindakan hukum dimaksud sehingga tindakan hukum beralih menjadi tanggung jawab perseroan serta mengikat secara hukum ke dalam dan ke luar Perseroan.

Director of Limited Liability Company as an organ that is fully responsible for the management to the interests and objectives of the Company and to represent the company, both inside and outside the court in accordance with the provisions of the articles of association shall be appointed by the founders (before lawfully embodied) and by the General Meeting of Shareholders (after lawfully embodied), where the shareholders and the Company Law gives powers, duties, obligations and responsibilities of the Board of Directors. Role in the implementation of the Board of Directors has a limited tenure to act on behalf of the Limited Liability Company. The term is defined in the Company Law to be certain, but the term varies accordance with the considerations and the needs of each company. Directors whose term of office has expired if it stays running all the duties, authority and management does become invalid because the Board of Directors is not authorized by law to represent for and on behalf of the company it represents. Legal consequences arising from actions that the Board of Directors has ended his term will lead to legal risks in the future. If it can be proven legal action taken Directors has ended his term as merely performing their duties and obligations as a board member company in good faith and full responsibility, then the shareholders can do a last resort recovery through ratification in order to ratify that the above mentioned legal action which will be switched as the responsibility of the company as well as legally binding in and outside the Company subsequently.
"
Depok: Fakultas Hukum universitas Indonesia, 2014
T41544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Adiwinata Damanhuri
"Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bumi air dan seluruh kekayaan alam yang ada di dalamnya diperuntukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu kekayaan alam yang dimaksud adalah minyak dan gas bumi, dimana sumber daya alam migas dikonsepkan sebagai Public Ownership (kepemilikan rakyat secara kolektif). SKK Migas sebagai badan khusus yang melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi mempunyai beberapa tugas, salah satunya yaitu mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama, dimana dalam Hukum Administrasi Negara, setiap badan pemerintahan dapat melakukan tindakan hukum bersegi publik dan tindakan hukum bersegi privat. Maka, tindakan SKK Migas dalam mengadakan Kontrak Kerja Sama tersebut melahirkan pertan yaan, apakah tindakan tersebut termasuk tindakan hukum bersegi publik atau bersegi privat? lantas bagaimana peraturan perundang- undangan mengatur kewenangan SKK Migas tersebut? Penelitian ini mencoba menjawabnya dengan metode Yuridis normatif – kualitatif, dimana pada akhir penelitian ditemukan bahwa Tindakan SKK Migas tersebut merupakan Tindakan Hukum Pemerintah bersifat Publik bersegi dua. Diharapkan penelitian ini memberikan jawaban dan gambaran bagi para praktisi dan akademisi bagaimana kedudukan badan pemerintah ketika mengadakan Kontrak yang menyangkut kepentingan banyak orang yaitu minyak dan gas bumi.

Based on Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, this earth and all natural resources in it are intended for the greatest prosperity of the people. One of the natural resources referred to is oil and natural gas, where the natural resources of oil and gas are conceptualized as Public Ownership (collective ownership of the people). SKK Migas as a special agency that manages upstream oil and gas business activities has several tasks, one of which is to enter into Cooperation Contracts with Cooperation Contract Contractors, where in State Administrative Law, every government agency can take public legal action and legal action. private side. So, SKK Migas' action in entering into the Cooperation Contract raises the question, is this action a legal action on a public or private side? So how do the laws and regulations regulate the authority of SKK Migas? This research tries to answer it with a normative - qualitative juridical method, where at the end of the study it was found that the SKK Migas Action was a two-sided Public Law Action. It is hoped that this research will provide answers and descriptions for practitioners and academics about the position of government agencies when entering into contracts that concern the interests of many people, namely oil and natural gas."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Wenas
"Paksaan pemerintah merupakan sanksi administratif dalam kasus lingkungan yang paling banyak digunakan di Indonesia. Terlepas banyaknya perubahan pengaturan lingkungan melalui UU Cipta Kerja, paksaan pemerintah ternyata masih berlaku di Indonesia. Tetapi bila pengaturan dan konsepnya dari awal sudah tidak tepat, hal ini berarti pemerintah layaknya menggunakan pisau yang tumpul untuk menyelesaikan pelanggaran lingkungan hidup. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap konsep dan pengaturan, pelaksanaan hingga memberikan solusi permasalahan dari paksaan pemerintah di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan penelitian yuridis-normatif dan analisis kualitatif terhadap berbagai jenis data. Data penelitian yang diperoleh berasal dari data sekunder, seperti peraturan maupun literatur jurnal atau buku. Selain itu, penelitian ini juga diperkuat dengan data lapangan melalui putusan maupun surat keputusan, serta wawancara dengan pihak KLHK. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pemerintah selama ini keliru mengerti dan menerapkan paksaan pemerintah. Konsep yang ada tidak tepat, seperti tindakan hukum belaka yang diperintahkan kepada pihak pelanggar. Pengaturannya juga tidak jelas dan tidak konsisten, seperti kapan paksaan pemerintah dapat diterapkan. Penerapan oleh pemerintah pusat juga bisa berbeda dengan pemerintah daerah. Belum lagi pemerintah keliru mengerti denda keterlambatan, uang paksa maupun eskalasi sanksi paksaan pemerintah. Terhadap berbagai permasalahan ini, pemerintah secara konseptual harus menggunakan tindakan nyata maupun mengubah payung hukum dan instrumen yang ada. Penyamarataan dan penegasan penerapan paksaan pemerintah antara pemerintah pusat dan daerah juga penting untuk memperbaiki dan memperkuat penegakan hukum lingkungan hidup kedepannya di Indonesia.

In Indonesia, administrative coercion is the first choice by governments when dealing with environmental offences. Despite huge amendments of environmental regulations through the Job Creation Act (UU Cipta Kerja) in 2020, administrative coercion itself remained unchanged. However, if the concepts and regulations are already flawed to begin with, that means the government is metaphorically sending someone on a fool’s errand to solve environmental enforcement. This research will try to provide answers to the real concepts and regulations, implementations and solutions for the problems facing administrative coercion in Indonesia. This will be done though normative-legal research and qualitative analysis on a variety of data. The data will be secondary sources derived from current regulations, journal and texts. Additionally, this research will also be adding interview with the officials as well as rulings and administrative decision to strengthen the results. This research found that the government misunderstood and implemented an incorrect form of administrative coercion. The concepts were false, such as mere orders given to offenders assumed as concrete actions. The regulations were also faulty as it is unclear and inconsistent such as parameters of when administrative coercions should be implemented. Implementation between regional and central government varies, and there are misconceptions regarding ‘daily fine’ and other related instruments. The government conceptually, need to implement concrete actions and amend the current rules and regulations. Moreover, equal and bold implementation between the central and regional government will be the key in improving and strengthening future enforcement for a better environmental management in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steffani Cicilia
"Meningkatnya dinamika dan mobilitas masyarakat yang terus berkembang pada saat ini, mengakibatkan seseorang tidak dapat mengurus sendiri segala kepentingannya. Salah satu jalan keluar yaitu dengan adanya pemberian kuasa kepada pihak lain. Melalui kuasa ini, seseorang dapat diwakili oleh orang lain dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Hal mewakili dewasa ini dianggap sudah lumrah dilakukan. Pengaturan mengenai kuasa saat ini terdapat dalam pasal 1792 sampai dengan pasal 1819 KUHPerdata. Dalam beberapa pasal tersebut, mengatur mengenai pemberian kuasa hingga bagaimana suatu kuasa dapat berakhir. Dalam pasal 1813 KUHPerdata memberikan salah satu ketentuan berakhirnya kuasa yaitu dengan meninggalnya pihak pemberi kuasa maupun penerima kuasa. Dalam kasus yang dibahas oleh Penulis, pemberi kuasa dalam hal ini terdiri dari 3 (tiga) orang ahli waris dan penerima kuasa adalah seorang ahli waris lainnya. Pemberian kuasa ini melalui akta notaris yang bertujuan untuk menjual sebidang tanah warisan yang dimiliki bersama sama oleh para pihak pemberi kuasa dan penerima kuasa. Dalam perkembangannya beberapa pemberi kuasa meninggal dunia dan penerima kuasa baru melakukan jual beli setelah beberapa pemberi kuasa tersebut meninggal. Menurut penulis, akta kuasa untuk menjual ini batal demi hukum karena berdasarkan ketentuan pasal 1813 KUHPerdata dengan meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian pemberian kuasa, mengakibatkan berakhirnya kuasa. Selain itu, seluruh tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa setelah akta kuasa berakhir juga menjadi batal demi hukum, karena dianggap tidak ada alas hukum untuk melakukan tindakan penguasaan lagi.

Dynamics and mobility of society are always increased at nowdays, it give the result in a person can not take care themselves for all their needs. One way out is with the delegation of authority to another party. Through this power, a person can be represented by another person in performing a legal act. Representing another person authority for nowdays is commonplace. The regulation of the power contained in article 1792 to article 1819 of the Civil Code. In some article, the regulation provide the ends of power of attorney. In article 1813 of the Civil Code said that a mandate shall terminate as follows due to death either the mandator or the mandatary. In this case, the mandator are consists of 3 ( three ) persons heirs and the mandatary is one of the heirs too . This power made by a notarial deed which aims to sell a plot of inheritance land and shared equally for all the parties. The following years, 2 (two) persons of mandator was died and the mandatary recently sold that inheritance land after the death of mandator. According to the authors opinion , power to sell the deed is null and void because it is based on the provisions of Article 1813 of the Civil Code said that a mandate shall terminate as follows due to death either the mandator or the mandatary . In another way, all legal actions undertaken base of authorized certificate authority after ending also null and void, because there is no legal base for that action."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library