Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
Abstrak :
ABSTRAK
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cerna, terutama maldigesti, malabsorpsi, dan diare kronik. Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan masukan nutrien yang cukup. Apakah reatimentasi dapat memulihkan mukosa yang hipotrofi normoplasi menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250- 300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian. Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih; dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1) kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta, nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).

Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.

Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi pranatal.
Abstract
Background

Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and chronic diarrhea.

Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient, however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the adequate nutrient intake. Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The study aim to answer the above question.

Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004. Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post- weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2) physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight), (4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth, ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.

Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation group was higher than those without realimentation, but lower than control. While specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in realimentation group was lower than those without realimentation, but higher than control. After relimentation, percentage of increase from control values in some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.

Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes. Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally- induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values. Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition.
2005
D715
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cema, terutama maldigesti, malabsorpsi, dan diare kronik. Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan masukan nutrien yang cukup. Apakah reatimentasi dapat memulihkangmukosa yang hipotrofi normoplasi menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250- 300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian. Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih; dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1) kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta, nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).

Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.

Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi pranatal.
Abstract
Background

Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and chronic diarrhea.

Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient, however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the adequate nutrient intake. Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The study aim to answer the above question.

Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004. Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post- weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2) physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight), (4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth, ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.

Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation group was higher than those without realimentation, but lower than control. While specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in realimentation group was lower than those without realimentation, but higher than control. After relimentation, percentage of increase from control values in some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.

Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes. Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally- induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values. Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition.
2005
D753
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Gilang Edi
Abstrak :
Durian Durio zibethinus merupakan tumbuhan tropis yang terkenal dengan rasa buahnya yang khas dan bentuk yang berduri Terdapat dugaan di masyarakat bahwa mengkonsumsi durian dalam jumlah besar dapat mencetus munculnya penyakit kardiovaskular seperti stroke namun hingga saat ini belum terbukti kebenarannya Studi menunjukkan bahwa durian mengandung senyawa antioksidan dalam jumlah tinggi yang dapat mengurangi stres oksidatif dan berpotensi mencegah berbagai penyakit inflamasi dan degeneratif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsumsi durian terhadap kadar glutation GSH plasma darah sebagai biomarker stres oksidatif Tiga puluh dua Tikus Sprague Dawley dengan berat 100 150 mg dibagi menjadi 4 grup Grup kontrol hanya diberi makan dan minum ad libitum Grup minggu 1 minggu 2 dan minggu 3 berturut turut diberi 10 ml larutan durian 10 gram 10 ml pada pagi dan siang hari setiap hari per oral selama 1 minggu 2 minggu dan 3 minggu selain makan dan minum normal ad libitum Level GSH plasma diukur dengan metode Ellman menggunakan spektrofotometri Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kontrol kadar GSH plasma pada minggu 1 dan 2 meningkat sedangkan pada minggu 3 lebih rendah dengan selisih minimal Perbedaan kadar GSH antar grup tidak dapat dianalisis karena populasi sampel pada akhir studi tidak mencukupi.
Durian Durio zibethinus is a tropical fruit famous for its exotic taste and thorny shape There are a notion in the community that excessive consumption of durian can aggravate one rsquo s health and cause cardiovascular diseases which has no evidence yet Durian contains abundant amount of antioxidant beneficial in ameliorating oxidative stress promoting the potential to prevent cardiovascular and degenerative diseases This research aims to understand the effect of durian consumption to plasma glutathione GSH level as a biomarker of oxidative stress The study used 32 Sprague Dawley rats weighted 100 150 mg divided into 4 groups control 1 week 2 weeks 3 weeks treatment Control group was given water and normal diet ad libitum while 1 week 2 weeks 3 weeks group were given 10 ml diluted durian juice 10 gram 10 ml twice in the morning and the afternoon daily per oral with water and normal diet ad libitum for 1 week 2 weeks 3 weeks respectively Level of plasma GSH was measured using spectrophotometry following Ellman 39 s method Result showed increase of plasma GSH level in 1st and 2nd week compared to control while 3rd week level was minimally lower than control value The difference between each group was not statistically comparable due to low n number.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jody Felizio
Abstrak :
Stroke telah menjadi penyakit yang menduduki peringkat tiga sebagai penyebab kematian terbesar di dunia. Pasien yang telah sembuh dari stroke masih mengalami gejala neurologis sisa dari penyakit tersebut. Piracetam merupakan obat yang digunakan untuk mengobati gejala neurologis paska stroke, namun penggunaan piracetam menimbulkan banyak efek samping. Oleh karena itu, untuk mengurangi efek samping dari penggunaan piracetam, dilakukan penelitian mengenai efek neuroterapi dari kombinasi akar kucing dan pegagan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu kefektifan penggunaan kombinasi ekstrak 150 mg akar kucing (Acalypha indica Linn) dan 150 mg pegagan (Centella asiatica) terhadap neurogenesis neuron pasca hipoksia di hipokampus girus dentatus. Penelitian merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan kontrol positif berupa piracetam, dan kontrol negatif berupa akuades. Penelitian ini menggunakan uji One Way Anova yang dilanjutkan dengan Post Hoc. Didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada jumlah sel normal paska perlakuan dibandingkan dengan kontrol negatif (p=1,000), dan kontrol positif (p=0,184). Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa penggunaan kombinasi 150 mg akar kucing dan 150 mg pegagan tidak memiliki efek yang bermakna dibandingkan dengan pemberian akuades dan pirasetam.
Kata kunci: hipoksia, Acalypha indica Linn, Centella asiatica, piracetam, neurogenesis, hipokampus girus dentatus ......Stroke has become a disease that was ranked third as a cause of death in the world. Patients who have recovered from the stroke still experience residual neurological symptoms from stroke. Piracetam is a drug used to treat post-stroke neurological symptoms. However, its usage cause many side effects. Therefore, to reduce side effects from the usage of piracetam, a research on the effect of combination of 150 mg akar kucing (Acalypha indica Linn) extract with 150 mg pegagan (Centella asiatica) extract for hippocampus neuron regeneration of Sprague Dawley mouse is conducted. This research aims to find out the effectiveness of the usage of 150 mg akar kucing (Acalypha indica Linn) extract with 150 mg pegagan (Centella asiatica) on neurogenesis in the hippocampus gyrus dentatus. This research is an experimental study using a piracetam as the positive control, and aquades as the negative control. This research uses One Way Anova test followed by Post Hoc test to determine the results. Results showed that there was no significant difference in the number of normal cells post-treatment compared to negative controls (p=1.000) and positive controls (p=0,184). The conclusion to be drawn is that the use of combination of 150 mg akar kucing (Acalypha indica Linn) extract with 150 mg pegagan (Centella asiatica) has no significant effect compared with the provision of aquades and piracetam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Angelica
Abstrak :
Latar Belakang Peningkatan konsumsi diet tinggi fruktosa kolesterol (DTFK) pada masa ini telah memicu obesitas yang menyebabkan berbagai gangguan kesehatan. Pada kondisi obesitas, Interleukin-10 (IL-10) merupakan mediator inflamasi yang akan mengalami penurunan di jaringan adiposa. Tanaman Acalypha indica (Ai) merupakan salah satu tanaman yang terbukti memiliki beberapa senyawa yang menghambat inflamasi yang terjadi dalam kondisi obesitas. Penelitian ini menganalisis senyawa dalam akar Ai yang memiliki ikatan dengan IL-10 menggunakan metode molecular docking dan mengukur kadar IL-10 di jaringan adiposa viseral tikus obesitas. Metode Studi molecular docking dilakukan pada 17 senyawa ekstrak akar Ai untuk membuktikan afinitasnya dengan IL-10 (PDB: 2H24) sebagai protein target. Kemudian, studi eksperimental dilakukan pada 23 ekor tikus Sprague-Dawley jantan yang dibagi ke dalam empat kelompok, yakni kelompok diet normal, kelompok DTFK (kontrol negatif), DTFK+Ai, dan kelompok DTFK+Gemfibrozil (kontrol positif). Setelah 28 hari, tikustikus tersebut diterminasi dan diukur kadar IL-10 pada jaringan adiposa viseral menggunakan ELISA dan Bradford Protein Assay. Hasil Hasil studi molecular docking menunjukkan bahwa keseluruhan senyawa memiliki ikatan terhadap IL-10 dengan afinitas tertinggi dimiliki oleh stigmasterol (ΔG: -7,95 kkal/mol; Ki: 1,49 mikromolar) dan stigmast-5-en-3-ol (ΔG: -6,86 kkal/mol; Ki: 9,31 milimolar). Pemberian Ai terbukti memberikan hasil peningkatan kadar IL-10 sebesar 3x terhadap kelompok DTFK (DTFK = 0,157+0,041; DTFK+Ai = 0,485+0,021) yang berbeda bermakna (p<0,05). Kesimpulan Pemberian ekstrak akar Ai dapat meningkatkan kadar IL-10 pada jaringan adiposa viseral tikus obesitas yang diperkirakan melalui interaksi utama ligan stigmasterol dan stigmast- 5-en-3-ol dalam senyawa Ai. ......Introduction Increasing consumption of a high fructose corn syrup (DTFK) diet during this period has triggered obesity, which causes various health problems. In obesity-related diseases, Interleukin-10 (IL-10) is an inflammatory mediator that decreases in adipose tissue. The Acalypha indica (Ai) plant is one that has been proven to have several compounds that inhibit inflammation that occurs in obesity-related conditions. This study analyzed compounds in Ai roots that bind to IL-10 using the molecular docking method and measured IL-10 levels in the visceral adipose tissue of obese mice. Method Molecular docking was performed on 17 ligands of Ai root extract to prove their affinity with IL-10 (PDB: 2H24) as a target protein. Then, an experimental study was conducted on 23 male Sprague-Dawley rats, which were divided into four groups: normal diet, DTFK (negative control), DTFK+Ai, and DTFK+ Gemfibrozil (positive control). After 28 days, these rats were terminated and IL-10 levels were measured using ELISA and Bradford Protein Assay. Results The results of molecular docking studies show that all compounds bind to IL-10 with the highest affinity in stigmasterol (ΔG: -7.95 kcal/mol; Ki: 1.49 micromolar) and stigmast- 5-en-3-ol (ΔG: -6.86 kcal/mol; Ki: 9.31 millimolar). The administration of Ai was proven to increase 3x IL-10 levels in the DTFK group (DTFK = 0.157+0.041; DTFK+Ai = 0.485+0.021), which was significantly different (p<0.05). Conclusion Administration of Ai root extract can increase IL-10 levels in visceral adipose tissue of obese mice which is thought to be through the main interaction of the stigmasterol and stigmast-5-en-3-ol ligands in the Ai compound.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
John Christian
Abstrak :
Saat hipoksia, tubuh memproduksi radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh. Radikal bebas, salah satunya, dapat menyerang protein sehingga menghasilkan dikarbonil. Namun, terdapat mekanisme adaptasi tubuh yang mungkin diinduksi hipoksia hipobarik intermiten, termasuk antioksidan yang melindungi tubuh dari radikal bebas dan dapat dilihat, salah satunya dengan penurunan produksi dikarbonil. Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimental dengan melibatkan 25 ekor tikus yang dibagi ke dalam 5 kelompok, yakni kelompok Hipoksia Hipobarik Intermiten (HHI) 7 kali, kelompok HHI 14 kali, kelompok HHI 21 kali, kelompok HHI 28 kali, dan kelompok kontrol. Terjadi fluktuasi kadar dikarbonil dan dapat terlihat tren perubahan kadar dikarbonil antara kelompok-kelompok perlakuan walaupun hasil uji statistik tidak memiliki perbedaan signifikan. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dari kadar dikarbonil pada jaringan hati tikus di kelompok yang diberikan perlakuan hipoksia hipobarik intermiten dengan kelompok kontrol sehingga hipotesis “jumlah paparan hipoksia hipobarik intermiten yang berbeda mengakibatkan perbedaan kadar dikarbonil yang bermakna pada jaringan hati tikus” dan adanya efek perlindungan HHI terhadap radikal bebas tidak terbukti. ......During hypoxia, the body produces free radicals which are harmful to the body. Free radicals can attack proteins to produce dicarbonyl. However, there are body adaptation mechanisms that may be induced by intermittent hypobaric hypoxia, including antioxidants that protect the body from free radicals and can be seen, one of which is by decreasing dicarbonyl production. This study was conducted using an experimental design involving 25 rats which were divided into 5 groups, namely the Intermittent Hypobaric Hypoxia (HHI) group 7 times, the HHI group 14 times, the HHI group 21 times, the HHI group 28 times, and the control group. Fluctuations in dicarbonyl levels occurred and a trend of changes in dicarbonyl levels could be seen between the treatment groups, although the results of the statistical tests did not have a significant difference. The results showed that there was no significant difference in dicarbonyl levels in rat liver tissue in the group that was given intermittent hypobaric hypoxia treatment with the control group so that the hypothesis "different amounts of intermittent hypobaric hypoxia exposure resulted in significant differences in dicarbonyl levels in rat liver tissue" and there was an effect HHI's protection against free radicals is not proven.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yusuf
Abstrak :
Latar belakang: Penuaan adalah penurunan fungsi tubuh secara progresif yang melibatkan akumulasi kerusakan oleh stres oksidatif. Secara alami, antioksidan endogen diproduksi tubuh untuk mengatasi kondisi ini. Glutathion (GSH) adalah salah satu antioksidan endogen yang mencegah kerusakan pada komponen sel penting. Ketika tua, GSH akan meningkat untuk melawan kadar radikal bebas yang meningkat. Dalam kondisi ini, asupan antioksidan eksogen dapat membantu kerja dari GSH. Tanaman herbal memiliki peran penting dalam pencegahan dan pengendalian suatu penyakit dengan sifat antioksidan dari konstituen fitokimia yang dikandungnya. Salah satu herbal Indonesia yang kaya akan sumber antioksidan eksogen adalah Centella asiatica (CA). Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol CA terhadap kadar GSH hepar tikus Sprague-Dawley (SD) tua. Metode: Dua puluh satu ekor tikus tua (20-24 bulan) dibagi menjadi tiga kelompok: kontrol negatif, CA 300 mg/kgBB, kontrol positif (vitamin E 6 IU), serta enam ekor tikus muda (8-12 minggu) sebagai kontrol pembanding. Hewan coba diberi perlakuan selama 28 hari. Kadar GSH diukur menggunakan metode spektrofotometri dan data dianalisis dengan one-way ANOVA. Hasil: Pemberian ekstrak CA mengakibatkan penurunan kadar GSH hepar tikus tua yang tidak signifikan (29.025 ± 6.410 μM/mg pada kelompok CA, sedangkan 35.495 ± 12.809 μM/mg pada kelompok kontrol negatif, p > 0.05). Hasil tersebut mendukung efek antipenuaan ekstrak CA dengan membantu GSH melawan radikal bebas, walau tidak signifikan. Simpulan: CA tidak menurunkan kadar GSH di hepar tikus SD tua. ......Background: Aging is a progressive decline in body functions that involves damage accumulation by oxidative stress. Naturally, endogenous antioxidants are produced to overcome this condition. Glutathione (GSH) is one of endogenous antioxidants that prevents damage in important cellular components. In old age, GSH will increase according to increasing free radical levels. In this condition, intake of exogenous antioxidants could help GSH. Herbal plants play an essential role in disease hindrance and control with their phytochemical constituents' antioxidant properties. Centella asiatica (CA) is one of these herbal plants. Objective: This study aims to find CA ethanol extract's effect on the liver GSH level of aged Sprague-Dawley (SD) rats. Method: Twenty one aged (20-24 months) rats are divided into three groups: negative control, CA 300 mg/kgBW, positive control (vitamin E 6 IU), and six young rats (8-12 weeks) as comparison control group. They were treated for 28 days. GSH concentration was measured by spectrophotometry and the data was analyzed by one-way ANOVA. Result: Administration of CA resulted in an insignificant decrease in liver GSH level of aged rats (29.025 ± 6.410 μM/mg in CA treated while 35.495 ± 12.809 μM/mg in negative control). The result supports the anti-aging effect of CA extract by helping GSH in fighting free radicals, even though insignificantly. Conclusion: CA doesn’t decrease GSH levels in the liver of aged SD rats.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kenny Augusto
Abstrak :
Pam adalah organ yang berfungsi untuk memfasilitasi pemlkaran oksigen dari lingkungan ke dalam tubuh. Oksigeo yang digunakan untuk proses metabolism rentan terhadap reduksi menjadi spesies oksigen reaktif (SOR) yang dapat merusak makromolekul di dalam sel seperti lipid, protein, dan DNA. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, diperlukan antioksidan. Katalase adalah salah satu antioksidan enzimatik yang terdapat di dalam tubuh. Pada kondisi hipoksia, jumlah oksigen yang dapat digunakan tubuh menurun, sehingga fentan terbentuk SOR dalam jumlah banyak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai aktivitas spesifik katalase pada kondisi hipoksia yang berkeianjutan. Metode: Sarnpei paru diambil dan tikus Sprague-Dawley jantan berusia 6-8 minggu dengan berat badan 150-200 g, yang dibagi menjadi lima gmp yaitu, kontrol dan perlakuan (10% 02, 90% N z) selama I, 3, 5, dan 7 hari. Kemudian, aktivitas spesifik kata1ase diukur dan dihitung dari janngan paru tersebut. Hasil: Hasil analisis data menunjukkan adanya perbedaan bennakna antara grup kontrol dan grup I han dan 3 han perlakuan hipoksia (p=0.014 dan p=O.OOl). Namun, perbandingan antara grup 3 han perlakuan hipoksia dengan 7 hari perlakuan hipoksia juga menghasilkan perbedaan hasil yang signifikan (p=O .028). Kesimpulan: Hipoksia sistemik berkelanjutan menunmkan aktifitas spesifik di jaringan pam pada tikus diikuti dengan kenaikan mendekati level normal.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70451
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Rachmanita, auhtor
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan meneliti ekstrak etanol Curcuma aeruginosa Roxb. yang dihipotesakan menjadi terapi alternatif komplementer kanker payudara. Ekstrak dibuat dengan maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Hewan yang digunakan adalah tikus putih betina strain Sprague-Dawley dibagi dalam 9 kelompok yaitu kontrol normal, kontrol DMBA, kontrol doksorubisin, kelompok perlakuan kuratif dan kelompok perlakuan adjuvan. Setiap tikus, kecuali kontrol normal, diinduksi dengan 7-12-dimetilbenz(a)antrasena (DMBA) 20 mg/kgBB sebanyak 5 kali, dua kali seminggu. Masa inkubasi tumor 8 minggu. Kelompok perlakuan mendapatkan ekstrak dalam 3 variasi dosis yaitu 40 mg/200gBB, 80 mg/200gBB dan 160 mg/200gBB. Palpasi dilakukan seminggu sekali. Pada minggu terakhir perlakuan dilakukan pembedahan. Tumor dibuat preparat histopatologi hematoksilin-eosin dan AgNOR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kelompok kuratif dan kelompok adjuvan (2 dan 3) berat tumornya lebih rendah secara signifikan (P<0.05) dibandingkan DMBA. Volume tumor kelompok kuratif dosis 1 dan 3 serta adjuvan 2 lebih rendah secara signifikan (P<0.05) dibandingkan DMBA. Skor HE kelompok kuratif dosis 1 dan 3 lebih rendah signifikan (<0.05) dibandingkan DMBA. Nilai mAgNOR dan pAgNOR seluruh kelompok lebih rendah secara signifikan (P<0.05) dibandingkan DMBA. Secara keseluruhan disimpulkan bahwa ekstrak temu hitam dapat menghambat pertumbuhan tumor payudara tikus khususnya kelompok perlakuan kuratif dosis 3 (160 mg/200gBB), meskipun tidak sebanding dengan doksorubisin.
The aim of this study is to investigate the ethanolic extract of Curcuma aeruginosa Roxb. which hypothesised to become complementary alternative therapies for breast cancer. Extracts were made by maceration using ethanol 96%. Animals used were female white rats of Sprague-Dawley strain which divided into nine groups: normal control, DMBA control, doxorubicin control, curative treatment groups and adjuvant treatment groups. Each rat, except for the normal controls, induced by 7-12-dimetilbenz(α)anthracene (DMBA) 20 mg/kgBW 5 times, twice a week. The incubation period of tumors was 8 weeks. Extract in the treatment group were given 3 variant of doses, 40 mg/200gBW, 80 mg/200gBW and 160 mg/200gBW. Palpation done once a week. Surgery was done in the last week of treatment. Histopathological slides of tumor in hematoxylin-eosin and AgNOR staining was made. The results showed that tumor weight of all curative groups and adjuvant groups (2 and 3) was significantly lower (P <0.05) than DMBA. Tumor volume of curative groups dose 1 and 3 and adjuvant 2 significantly lower (P <0.05) than DMBA. HE score of curative groups dose 1 and 3 significantly lower (<0.05) than DMBA. The value of mAgNOR and pAgNOR of the whole group was significantly lower (P <0.05) than DMBA. Overall can be concluded that the extract of temu hitam can inhibit the rat breast tumors growth particularly the curative treatment dose 3 (160 mg/200gBW) although not comparable to doxorubicin.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
T42797
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihsan Oesman
Abstrak :
Pendahuluan: Efek hiperglikemik dan produk Advanced Glycation Endproduct (AGE) dari diabetes mellitus (DM) sering dikaitkan dengan komplikasi muskuloskeletal seperti neuropati perifer dan tendinopati Achilles pada regio pergelangan kaki. Hal ini beresiko menimbulkan efek lanjutan berupa perubahan struktur berjalan, kekakuan sendi hingga luka tukak telapak kaki. Tatalaksana tendinopati DM hingga saat ini terbatas pada pengurangan gejala lanjutan tanpa meningkatkan proses regenerasi tendon, sehingga dibutuhkan penelitian untuk menilai efek terapi dari sekretom dan eksosom SPM dalam hal perbaikan struktur tendon. Hal ini diwakili oleh penggunaan hewan coba tikus SD yang telah terinduksi menjadi tendinopati DM. Metode: Studi ini melibatkan fase studi pilot pertama, kedua, dan penelitian utama. Tikus SD diperoleh dan diberikan diet tinggi lemak (HFD) dan pemberian larutan fruktosa 55% selama delapan minggu. Diabetes diinduksi menggunakan injeksi streptozotocin (STZ) intraperitoneal berbagai dosis. Studi pilot pertama bertujuan untuk menentukan volume cairan yang dapat diinjeksikan ke area peritendon. Sementara itu, studi pilot kedua bertujuan untuk mengidentifikasi dosis STZ yang efektif. Dalam fase penelitian utama, tikus diabetes menerima injeksi lokal eksosom, sekretom, atau kombinasinya. Setelah perawatan, tikus dieutanasia, dan tendon Achilles dianalisis secara histopatologi dan imunohistokimia. Hasil dan Diskusi: Studi pilot pertama menyimpulkan bahwa 0,8 ml merupakan volume cairan optimal yang dapat diinjeksikan ke area peritendon. Sementara itu, studi pilot kedua menunjukkan bahwa setelah 8 minggu HFD, pemberian fruktosa, dan injeksi STZ, kelompok STZ 26 mg/kg memiliki kadar glukosa 220,54 ± 9,11 mg/dL, dan kelompok STZ 30mg/kg memiliki 213,88 ± 8,99 mg/dL dengan perbedaan paling signifikan dalam skor Bonar diamati di kelompok STZ 30mg/kg, hal ini menunjukkan keberhasilan induksi hewan coba. Pada penelitian utama setelah pemberian sekretom, eksosom, atau kombinasi, kadar TGF-β dan IL-6 dan skor Bonar tidak menunjukkan perbedaan signifikan antar kelompok. Analisis pasca intervensi mengungkapkan perbedaan signifikan dalam kadar IL-6 dan Col-1, dimana pada kelompok perlakuan terdapat penurunan IL-6 yang signifikan pada hari ke-14 dan peningkatan Col-1 yang signifikan pada hari ke-21 dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi diet HFD, pemberian fruktosa, dan dosis injeksi STZ 30 mg/kg efektif menciptakan hewan model tendinopati DM. Skor Bonar yang tinggi pada kelompok STZ mengindikasikan kerusakan tendon signifikan. TGF-β dan IL-6 tidak menunjukkan perbedaan signifikan antar kelompok, namun IL-6 meningkat pada hari ke-14 dan Col-1 pada hari ke-21 pada kelompok intervensi secara signifikan, menunjukkan potensi terapi eksosom dan sekretom pada penyembuhan tendon. ......Introduction: The hyperglycemic effects and Advanced Glycation Endproduct (AGE) of diabetes mellitus (DM) are often associated with musculoskeletal complications such as peripheral neuropathy and Achilles tendinopathy in the region of the legs and ankles. It is one of the risks of developing advanced negative effects such as changes in walking structure, stiffness of the joints to ulcer wounds on the the ankle. The management of DM tendinopathy to date is limited to reducing advanced symptoms without enhancing tendon regeneration process, therefore, further research is needed to assess the therapeutic effects of MSC secretomes and exosomes in terms of tendon structure improvement. It is represented by the use of SD rats induced into DM tendinopathy. Methods: This study involves two pilot study phases and the main research. SD mice were obtained and given a high-fat diet (HFD) and given 55% fructose solution foreight weeks. Diabetes is induced by injection of streptozotocin (STZ). The first phase of the pilot study aims to determine the volume of liquid injected into the peritendon area, and the second phase aims to identify an effective dose of STZ to induce DM. In the main study, diabetic mice received local injections of exosomes, secretomes, or a combination of them. After treatment, the rats were euthanazied, and the Achilles tendon was analysed histopathologically and immunohistochemically. Results and Discussion: The first pilot study concluded that 0.8 ml was the optimal fluid volume that could be injected into the peritendon area. Meanwhile, the second pilot study showed that after 8 weeks of HFD, fructose administration, and injection of STZ, the STZ 26 mg/kg group had a glucose level of 220.54 ± 9.11 mg/dL, and the STZ 30 mg/kg group had 213.88 ± 8.99 mg/dL with the most significant difference in Bonar score was observed in the STZ 30mg/kg group, this indicates successful induction of experimental animals. In the main study after administering secretome, exosome, or a combination of the two, the levels of TGF-β and IL-6 and the Bonar score did not show significant differences between groups. Post-intervention analysis revealed significant differences in IL-6 and Col-1 levels, in which the treatment group there was a significant decrease in IL-6 on day 14 and a significant increase in Col-1 on day 21 compared to the control group. Conclusion: This study shows that a combination of HFD, fructose administration, and STZ 30mg/kg are effective in creating animal model for diabetic Achilles tendinopathy. A high Bonar score in the STZ group indicates significant tendon damage. TGF-β and IL-6 did not show significant differences between the groups, but IL-6 increased on day 14 and Col-1 on day 21 in the intervention groups significantly, indicating the potential for exosome and secretome therapy on tendon healing. Keyword: diabetic Achilles tendinopathy, Sprague Dawley rats, exosome and secretome combination, bone marrow mesenchymal stem cel
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>