Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rusman
Abstrak :
ELISA merupakan metode alternatif untuk mendeteksi residu tetrasiklin pada produk hewan. Síntesis imunogen tetrasiklin dan produksi antibodi anti tetrasiklin merupakan dua tahapan penting yang harus dilakukan jika ingin melakukan analisis residu tetrasiklin dengan metode ELISA. Metode tolidin dan metode NCS dapat digunakan untuk mensintesis imunogen tetrasiklin. Imunogen TC-Tolidin-BSA berwarna ungu dan menyerap pada dua λ maks yaitu 277 nm dan 491 nm, sedangkan imunogen TC-NCS-BSA berwarna kuning kecoklatan dan menyerap pada dua λ maks yaitu 278 nm dan 322 nm. Hasil KLT dan HPLC menunjukan bahwa kedua imunogen yang dihasilkan cukup murni. Dari hasil SDS-PAGE dapat diperkirakan BM dari TC-Tolidin-BSA adalah sebesar 71.219 Da sedangkan BM TC-NCS-BSA sebesar 70.501 Da. Nilai BM dari kedua imunogen tetrasiklin lebih besar dibandingkan BM dari BSA (berbanding terbalik dengan Rf), hal ini menunjukkan bahwa imunogen sudah terbentuk. Produksi antibodi anti tetrasiklin dilakukan dengan cara imunisasi imunogen TC-Tolidin-BSA dan TC-NCS-BSA pada perbandingan 1:75 terhadap kelinci white New Zealand berkelamin jantan. Purifikasi antibodi dilakukan dengan protein A sepharose yang spesifik mengikat IgG. Konsentrasi IgG tertinggi dari kedua imunogen terdapat pada fraksi 1, yaitu sebesar 10.93 mg/mL untuk imunogen TC-Tolidin-BSA dan 10.61 mg/ mLuntuk TC-NCS-BSA. Hasil SDS-PAGE terhadap antibodi menunjukkan bahwa IgG terurai menjadi 2 pita (rantai ringan dan rantai berat).
ELISA is an alternative method for detecting tetracycline residues in animal products. This method has been known as rapid, sensitive, specific, and cost-effective analysis. Synthesis of tetracycline immunogen and production of anti-tetracycline antibody are two important steps which must be done if we like to analysis of tetracycline residues with ELISA. Tolidine and NCS methods applicable to synthesis of tetracycline immunogens. Tolidine method produce a purple immunogen (TC-Tolidine-BSA) and absorb at two maximum wavelength (277 nm and 491 nm), while NCS method produce a yellowish-brown immunogen (TC-NCS-BSA) and absorb at two maximum wavelength (278 nm and 322 nm). TLC and HPLC result show that both of immunogens have good purity because have not contain free tetracycline and residue of reagent. From result of SDS-PAGE can be estimated molecular weight (MW) of TC-TOLIDINBSA equal to 71.219 Da while MW of TC-NCS-BSA equal to 70.501 Da. The value of MW from both of immunogens is higher than BSA (smaller Rf), this fact indicate that immunogen have been formed. Anti-tetracycline antibody produced by immunizing of immunogens at comparison of the same concentration BSA and Tetrasiklin ( 1:75) to male white New Zealand rabbit. The antibody purified by protein A sepharose that specific coating IgG. The highest concentration of IgG from both immunogen list on fraction 1 (10.93 mg/mL for TC-Tolidin-BSA dan 10.61 mg/ mL for TC-NCS-BSA). SDS-PAGE result show that IgG has been divided into two band (heavy chains and light chains).
2007
T40099
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Firdaus Taufick
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuryalis
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian imt-uk mencari suatu metoda ana-li-r^. sa kualitatif yang sederhana untuk memkedakan enam antibiotik turu> nan tetrasiklin yaitu oksitetrasiklin,khlortetrasiklin,tetrasiklin, doksisiklin,minosiklin dan demetilkhlortetrasiklin.Metoda yang di lakukan adalah reaksi KTarna,fluoresensi,reaksi mikrokristal,kromatografi fcQrtaSjkroinatografi lapisan tipis dan spektrofotometri. Dari hasil percoba-an didapatkan bahwa tidak ada- catupun pereaksi warim yang dapa,t membedakan sekaligus keenam antibiotik tersebutjtetapi dapat dengan menggunakan korabinasi asam sulfat pekat dan, asam nitrat pekat,Reaksi mikrokristal aseton-air maupun etanol-air dapat dipakai untuk membedakan keenam antibiotik tersebut.Hasil kromatografi kertas yang terbaik diberikan oleh sistim dengan eluen butil asetat-metil isobutilketon-butanol-air (5:15s2:22) denga.n pen^ deteksi sinar ultraviolet jje.da p8,njang gelomba,ng 366 nm.Percobaan kromatografi lapisan tipis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Spektrofotometri ultraviolet dari larutan zat dalam asam khlorrda 0,1N dan natrium hidroksida 0,1N memberikan puncak maksimum pada panjang gelombang yang berdekatan.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Nurfaiza Anasih
Abstrak :
Limbah medis masih menjadi ancaman bagi manusia dan lingkungan, salah satunya adalah zat antibiotik tetrasiklin. Saat ini, penelitian terkait produksi hidrogen mulai meningkat di seluruh dunia. Namun, hidrogen yang ada di dunia diperoleh dari bahan baku gas alam yang menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan kombinasi teknologi fotokatalisis dan elektrokoagulasi. Fotokatalis yang digunakan pada penelitian ini adalah g-C3N4/WO3 dengan variasi pengujian berupa metode sintesis fotokatalis, rasio komposisi massa fotokatalis, dan jenis proses untuk memperoleh persentase degradasi tetrasiklin dan akumulasi hidrogen. Pengujian performa fotokatalis dilakukan dalam sebuah reaktor terintegrasi untuk elektrokoagulasi-fotokatalisis dengan sumber foton berupa lampu merkuri 250 W dan anoda aluminium (Al) dan katoda stainless steel (SS-316) dengan tegangan 5 V digunakan pada proses elektrokoagulasi. Metode sintesis yang optimal adalah kalsinasi langsung (DC), yang menghasilkan persentase degradasi sebesar 49,57% dan produksi hidrogen sebesar 2,54  mmol/g, dibandingkan dengan sonikasi langsung (UA) dan sonikasi prekursor (UB). Rasio massa fotokatalis optimal ditemukan pada g-C3N4/WO3 dengan perbandingan 3:1, yang mampu mendegradasi tetrasiklin sebesar 57% dan menghasilkan hidrogen sebesar 2,64  mmol/g, dibandingkan dengan rasio 1:1 dan 1:3. Hasil karakterisasi SEM/EDX menunjukkan bahwa morfologi g-C3N4 berupa lembaran dan WO3 berbentuk agregat. Fasa kristal g-C3N4 adalah heksagonal, sedangkan fasa kristal WO3 didominasi oleh monoklinik dengan ukuran kristal fotokatalis berkisar antara 0,3 - 36 nm. Karakterisasi UV-Vis DRS menunjukkan nilai energi band gap setiap katalis dalam rentang 2,64 - 2,86 eV, yang memungkinkan absorbansi sinar tampak. Fotokatalis g-C3N4/WO3 dengan rasio 3:1 yang disintesis terbukti memiliki laju rekombinasi yang lebih rendah dibandingkan dengan g-C3N4, dengan dugaan mekanisme transfer muatan berupa Z-scheme heterojunction berdasarkan karakterisasi photoluminescence. Selain itu, proses kombinasi elektrokoagulasi-fotokatalisis memberikan persentase degradasi tetrasiklin sebesar 62,02% dan akumulasi hidrogen sebanyak 49.982,20  mmol/g. ......Medical waste continues to pose a threat to humans and the environment, with one of the concerns being the antibiotic tetracycline. Currently, research on hydrogen production is increasing worldwide. However, existing hydrogen is predominantly derived from natural gas, which results in high carbon emissions. To address this issue, a combination of photocatalysis and electrocoagulation technologies is utilized. The photocatalyst used in this study is g-C3N4/WO3, with variations in the synthesis methods of the photocatalyst, the mass composition ratio of the photocatalyst, and the types of processes employed to achieve the degradation percentage of tetracycline and hydrogen accumulation. The photocatalyst performance tests were conducted in an integrated reactor for electrocoagulation-photocatalysis, with a 250 W mercury lamp as the photon source, an aluminum (Al) anode, and a stainless steel (SS-316) cathode used at a voltage of 5 V during the electrocoagulation process. The optimal synthesis method was direct calcination (DC), yielding a degradation percentage of 49.57% and hydrogen production of 2.54 mmol/g, compared to direct sonication (UA) and precursor sonication (UB). The optimal photocatalyst mass ratio was found to be g g-C3N4/WO3 at 3:1, which degraded tetracycline by 57% and produced 2.64 mmol/g of hydrogen, compared to the ratios of 1:1 and 1:3. SEM/EDX characterization showed that the morphology of g-C3N4 was nanosheets, while WO3 formed aggregates. The crystal phase of g-C3N4 was hexagonal, whereas the crystal phase of WO3 was predominantly monoclinic, with photocatalyst crystal sizes ranging from 0.3 to 36 nm. UV-Vis DRS characterization indicated that the band gap energy of each synthesized catalyst ranged from 2.64 to 2.86 eV, enabling visible light absorption. The synthesized g-C3N4/WO3 photocatalyst with a 3:1 ratio demonstrated a lower recombination rate compared to g-C3N4, with a proposed charge transfer mechanism involving a Z-scheme heterojunction based on photoluminescence characterization. Additionally, the electrocoagulation-photocatalysis combination process resulted in a tetracycline degradation percentage of 62.02% and hydrogen accumulation of 49,982.20 mmol/g.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvia Tri Widyaningtyas
Abstrak :
Ruang lingkup dan Cara penelitian: Berdasarkan laporan peningkatan resistensi S.enteritidis dari beberapa negara dan kemampuan gen resisten terhadap antibiotika untuk berpindah dari isolat resisten kepada isolat sensitif, maka ingin diketahui bagaimana pola resistensi S.enteritidis yang berhasil diisolasi dari peternakan ayam dari beberapa wilayah di Indonesia selama periode 1994-1999 dan bagaimana kemampuan sifat resisten ini untuk berpindah dari isolat resisten ke sensitif. Untuk itu dilakukan uji sensitivitas S.enteritidis terhadap antibiotika ampisilin, tetrasiklin dan siprofloksasin yang dilakukan dengan menggunakan metode makradilusi. Pemindahan sifat resisten dilakukan dengan metode uji transformasi dengan menggunakan sel bakteri kompeten E.coli sure cell, E.coli ATCC 25922 dan S.enteritidis sensitif yang dibuat kompeten dengan metode kimia rubidiumkiorida dan plasmid yang diisolasi dari S.enteritidis resisten. Pemindahan sifat resisten juga diamati melalui uji konjugasi dengan metode bi- dan three-parental mating. Bakteri yang digunakan dalam uji konjugasi adalah S.enteritidis resisten, E.coli sure cell dan E.coli ATCC 25922. Hasil dan Kesimpulan: Semua isolat (50) yang diuji sensitif terhadap siprofloksasin dengan nilai konsentrasi hambat minimal (KHM) berkisar antara 0,015-0,03µg/ml. Tiga isolat (6%) monoresisten terhadap ampisilin, dengan nilai KHM berkisar antara 32-1024µg/ml. Delapan isolat (17%) multiresisten terhadap ampisilin dan tetrasiklin dengan nilai KHM untuk masing-masing antibiotika berkisar antara 2064-5120.µg/ml dan 512-1024 µg/ml, Sifat resisten terhadap ampisilin, tetrasiklin dan multiresisten terhadap ampisilin dan tetrasiklin dapat dipindahkan melalui transformasi, namun sifat resisten ini tidak dapat dipindahkan melalui konjugasi. Gen resisten yang terdapat dalam isolat S.enteritidis terdapat dalam plasmid yang dapat dipindahkan melalui transformasi. Kemungkinan pemindahan plasmid melalui konjugasi belum dapat dibuktikan.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T9973
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
U. Vonny Susanti M.
Abstrak :
Hidrogel merupakan suatu jenis polimer hidrofilik y ng mempunyai kerangka jaringan yang menyerap sejumlah air dan mengembang dalam air tetapi tidak dapat larut dalam air. Polietilen oksida (PEO) merupakan polimer yang dapat larut dalam air dengarl-struktur kimia yang relatif sederhana . . · Polietilen oksida (PJ;O) diiradiasi dengan variasi dosis 20, 30 dan 40 kGy serta variasi koqsentrasi 1, 3, 5 dan 7 %:-<"Metode yang digunakan spektrofotometri lnframerah untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam hidrogel, spektrofotometri UV-Vis untuk mengetahui monomer sisa dan imobilisasi tetrasiklin HCI serta fraksi gel untuk mengetahui banyaknya gel yang terbentuk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui imobilisasi sediaan obat tetrasiklin HCI pada hidrogel pcilietilen oksida (PEO) hasil iradiasi gamma. Hasil yang diperoleh untuk fraksi gel memiliki kisaran 71-95 %. HasiiiR menunjukkan terjadi ikatan silang PEO. Untuk hasil swelling PEO untuk variasi waktu mencapai konstan pada jam ke 20 dan 24 serta memiliki suhu maksimum 50 °C untuk masing-masing dosis dan konsentrasi. Sedangkan dalam variasi suhu, polimer sisa yang terdapat dalam hidrogel PEO berkisar 10-17% untuk setiap dosis dan konsentrasi. lmobilisasi tetrasiklin HCI terjadi pada jam ke-20 dan 24 untuk konsentrasi 7 % dan masing-masing dosis radiasi. Suhu maksimum tetrasiklin HCI dapat berimobilisasi adalah 40 °C.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahratul Umami Annisa
Abstrak :
Latar Belakang: Poket periodontal merupakan karakteristik periodontitis. Scaling dan root planing merupakan standar emas untuk perawatan periodontitis. Antimikroba lokal tambahan direkomendasikan pada pasien dengan kedalaman probing ≥5 mm. Tujuan: Untuk mengetahui efektivitas klorheksidin dibandingkan dengan antimikroba lokal lainnya pada periodontitis. Metode: Pencarian dilakukan dengan menggunakan panduan Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta Analysis (PRISMA). Meta-analisis dilakukan pada studi yang memenuhi kriteria inklusi setelah penilaian risiko bias. Hasil: Meta-analisis antara chip klorheksidin dan antimikroba lain menunjukkan perbedaan rata-rata kedalaman probing setelah satu bulan sebesar 0,58 mm (p<0,00001) sedangkan setelah tiga bulan perbedaan rata-rata kedalaman probing adalah 0,50 mm (p=0,001), indeks plak 0,01 (p=0,94) dan indeks gingiva -0,11 mm (p=0,02). Antara gel chlorhexidine dan antimikroba lainnya menunjukkan perbedaan rata-rata kedalaman probing 0,40 mm (p=0,30), indeks plak 0,20 mm (p=0,0008) dan indeks gingiva -0,04 mm (p=0,83) setelah satu bulan. Kesimpulan: Chip klorheksidin lebih efektif pada indeks gingiva dibandingkan antimikroba lainnya setelah tiga bulan. Antimikroba lainnya lebih efektif daripada chip klorheksidin pada kedalaman probing setelah satu dan tiga bulan, dan dari gel klorheksidin pada indeks plak setelah satu bulan. ......Background: Periodontal pockets are characteristic of periodontitis. Scaling and root planing is the gold standard for periodontitis treatment. Additional local antimicrobials are recommended in patients with a probing depth of ≥5 mm. Objective: To determine the effectiveness of chlorhexidine compared to other local antimicrobials in periodontitis. Method: Searches were conducted using the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta Analysis (PRISMA) guidelines. Meta-analysis was performed on studies that met inclusion criteria after risk of bias assessment. Results: Meta-analysis between chlorhexidine chips and other antimicrobials showed a mean difference in probing depth after one month of 0.58 mm (p<0.00001) whereas after three months the mean difference in probing depth was 0.50 mm (p=0.001), index plaque 0.01 (p=0.94) and gingival index -0.11 mm (p=0.02). Between chlorhexidine gel and other antimicrobials showed a mean difference in probing depth of 0.40 mm (p=0.30), plaque index of 0.20 mm (p=0.0008) and gingival index of -0.04 mm (p=0.83) after one month. Conclusion: Chlorhexidine chips were more effective on the gingival index than other antimicrobials after three months. The other antimicrobials were more effective than chlorhexidine chips on probing depth after one and three months, and than chlorhexidine gels on plaque index after one month.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommie Prasetyo U.W.
Abstrak :
Sepsis, yang salah satunya ditandai dengan adanya bakteri dalam darah (bakteremia), merupakan keadaan klinis yang mengancam jiwa seseorang. Sehingga pemilihan antibiotik yang tepat sangatlah penting untuk mengurangi angka kecacatan dan kematian. Beberapa antibiotik yang dapat digunakan untuk menangani sepsis adalah kloramfenikol, kotrimoksasol, dan tetrasiklin. Oleh karena itu diperlukan pemantauan pola resistensi bakteri penyebab sepsis terhadap ketiga antibiotik tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari hasil uji resistensi bakteri dari spesimen darah terhadap berbagai antibiotik dari tahun 2001-2006 yang dikirim ke Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dari 791 isolat darah, didapatkan enam bakteri tersering yang diisolasi dari spesimen darah yaitu Staphylococcus epidermidis (25%), Acinetobacter anitratus (16%), Pseudomonas aeruginosa (13%), Klebsiella pneumoniae (8%), Staphylococcus aureus (6%), dan Salmonella Typhi (5%). Hasil uji resistensi keenam bakteri tersebut terhadap ketiga antibiotik di atas sangat bervariasi. Staphylococcus epidermidis sudah cukup resisten (37,4-51,9%) terhadap ketiga antibiotik di atas. Resistensi Acinetobacter anitratus dan Pseudomonas aeruginosa terhadap kloramfenikol dan kotrimoksasol masih rendah, masing-masing 10-16,2% dan 6,2-21,4%, sedangkan terhadap tetrasiklin resistensinya sudah cukup tinggi, 62,5% pada Acinetobacter anitratus dan 71% pada Pseudomonas aeruginosa. Klebsiella pneumoniae sudah cukup resisten (36,6-71,4%) terhadap ketiga antibiotik di atas. Resistensi Staphylococcus aureus masih cukup rendah (5,9-28,6%) terhadap ketiga antibiotik di atas. Resistensi Salmonella Typhi terhadap ketiga antibiotik di atas juga masih rendah (0-5,6%). Dapat disimpulkan bahwa resistensi bakteri yang diisolasi dari spesimen darah terhadap ketiga antibiotik di atas sudah cukup tinggi, kecuali pada Staphylococcus aureus dan Salmonella Typhi, serta pada Acinetobacter anitratus dan Pseudomonas aeruginosa terhadap kloramfenikol dan kotrimoksasol. ......Sepsis which is characterized by the presence of bacteria in bloodstream (bacteremia) is a harmful clinical state that can be life-threatening. Correct choice of antibiotics is a very important issue in reducing morbidity and mortality rates among sepsis patients. Some antibiotics that can be used to treat sepsis are chloramphenicol, co-trimoxazole, and tetracycline. Hence, it is necessary to monitor sepsis-causing bacteria resistance pattern to those three antibiotics mentioned before. The data utilized was a secondary one that was obtained from the result of blood-specimen bacterial resistance test against antibiotics in Clinical Microbiology Laboratory of Faculty of Medicine, University of Indonesia from 2001 to 2006. Of 791 blood isolates, six most frequent bacteria isolated from blood specimen were Staphylococcus epidermidis (25%), Acinetobacter anitratus (16%), Pseudomonas aeruginosa (13%), Klebsiella pneumoniae (8%), Staphylococcus aureus (6%), and Salmonella Typhi (5%), of which the results varied widely. Moderate resistance rates (37.4-51.9%) against those three antibiotics were observed from Staphylococcus epidermidis. Low resistance rates against chloramphenicol and co-trimoxazole were observed from Acinetobacter anitratus and Pseudomonas aeruginosa, each showed 10-16.2% and 6.2-21.4% respectively, while their resistance against tetracycline were already high, 62.5% in Acinetobacter anitratus and 71% in Pseudomonas aeruginosa. Klebsiella pneumonia showed moderate resistance against those three antibiotics mentioned above (36,6-71,4%). Low resistance rates (5.9-28.6%) against those three antibiotics were observed from Staphyhlococcus aureus. Very low resistance rates (0-5.6%) against those three antibiotics were also observed from Salmonella Tyhpi. It can be concluded that the resistance rates among bacteria isolated from blood specimen against those three antibiotics are already high, except Staphylococcus aureus and Salmonella Typhi, and Acinetobacter anitratus and Pseudomonas aeruginosa against chloramphenicol and co-trimoxazole.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library