Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rose Angel Alexandra Wantah
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kedudukan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Penyidikan di persidangan dan kedudukan saksi verbalisan sebagai pengganti
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Penyidik yang dicabut dalam persidangan.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia menganut asas inkuisitorial modern yang
memfokuskan pemeriksaan pada tahap penyidikan, namun tetap harus mengingat
prinsip nonself incrimination dan hak-hak Terdakwa. Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) Penyidik dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, jika dilakukan secara
sah, namun pembuktian sah belum diatur secara rinci oleh KUHAP. Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) Penyidik di Belanda disamakan dengan Alat Bukti karena
adanya Examinateur Magistrate atau Rechter Commisariss yang bersifat objektif
atau netral dan adanya bukti rekaman yang menyatakan proses pemeriksaan
dilakukan secara sah.

ABSTRACT
Minutes of Investigation in the trial and position of investigator?s testimony as a
substitute when investigator?s dossier is revoked in the trial. The Criminal Justice
System in Indonesia adheres to the principle of the modern inquisitor that not only
focuses at the investigation phase, but also focuses at principles of nonself
incrimination and the rights of the accused or defendand. Dossier can be
considered as valid evidence if it is done due of process. But the procedure has not
set in detail by the Code of Criminal Procedure in Indonesia. Dossier in
Netherlands equal with evidence for their Rechter Commissaris whose objective
and neutral, besides that there are record evidence as a prove to due of process."
2016
S64844
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deandra Hendra Maharani
"Munculnya beauty influencer di industri kecantikan, dapat mempengaruhi publik melalui iklan testimonial yang dibuatnya khususnya produk kosmetik. Namun dalam praktiknya, tidak semua beauty influencer melakukan iklan testimonial sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sehingga jika terjadi kerugian konsumen, influencer kecantikan dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, tesis ini bermaksud untuk menganalisis mengenai tanggung jawab beauty influencer atas hasil iklan testimonial yang dibuat di Instagram dengan terlebih dahulu mengkategorikan influencer kecantikan sebagai bisnis periklanan. Penelitian ini menunjukkan bahwa beauty influencer dapat dikatakan sebagai pelaku usaha periklanan jika memenuhi kategori sebagai berikut: tertentu. Hasil analisis mengenai konstruksi akuntabilitas menunjukkan bahwa influencer kecantikan dapat dimintai pertanggungjawaban iklan dibuat. Namun, tidak jelas sejauh mana tanggung jawabnya his yang harus dilakukan karena tidak ada pengaturan lebih lanjut. Berdasarkan hal-hal Oleh karena itu, perlu dibentuk undang-undang periklanan di Indonesia Indonesia yang secara khusus mengatur periklanan menurut definisinya bisnis periklanan yang diperluas
The emergence of beauty influencers in the beauty industry can influence the public through testimonial advertisements that they make, especially cosmetic products. However, in practice, not all beauty influencers do testimonial ads in accordance with applicable regulations. So that if there is a consumer loss, beauty influencers can be held accountable in accordance with applicable regulations. Therefore, this thesis intends to analyze the responsibility of beauty influencers for the results of testimonial advertisements made on Instagram by first categorizing beauty influencers as an advertising business. This study shows that a beauty influencer can be said to be an advertising business actor if it meets the following categories: certain. The results of the analysis on the construction of accountability shows that beauty influencers can be held accountable for advertising created. However, it is not clear to what extent his responsibility should be carried out as there is no further arrangement. Based on these matters, it is necessary to establish an advertising law in Indonesia Indonesia which specifically regulates advertising by definition an expanded advertising business"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Purwadianto
"Perkosaan memang belum akan segera lenyap dari muka bumi karena walaupun secara moral telah dikecam segenap manusia, namun sistem kemasyarakatan dan hukum "tanpa sadar" masih mempertahankannya. Hampir semua definisi hukum mengakui hubungan dyadic timpang yang menempatkan perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pemerkosanya. Dalam perkosaan terdapat trias yakni penderitaan korban, kebrutalan pemerkosa dan ketidakadilan jender. Trias perkosaan berpengaruh dalam pembuktian mediko-legal saat ini, sehingga adalah utopis diperoleh bukti utama-ideal bila terjadi korban tidak diperiksa secara forensik klinik atau ada keterlambatan lebih dari 3 hari pasca-perkosaan, sehingga yang muncul hanya bukti medik & biomedik berkategori lebih rendah atau tidak ada sama sekali yang kurang atau tidak meyakinkan hakim.
Perkosaan berdasarkan kajian teori epistemologis HAM Alan Gewirth dan analisis kritis James W. Nickel merupakan pelanggaran inti dasar sekaligus keseluruhan dari trias hak-hak asasi perempuan (HAP) masing-masing hak atas persamaan (HAP-1), hak atas otonomi (HAP-2) dan hak integritas pribadi (HAP-3); jugs trias hak reproduksi perempuan (HRP) masing-masing hak atas perencanaan dan informasi keluarga (HRP-1), hak atas pelayanan prima kesehatan reproduksi & seksual (HRP-2) dan hak atas nirdiskriminasi reproduksi (HRP-3) yang kesemuanya merupakan bagian tak terpisahkan dari trias hak asasi manusia (HAM) John Locke yang relevan yakni hak atas kehidupan (HAM-1), hak atas kebenaran (HAM-2) dan hak atas kepemilikan pribadi (HAM-3).
Feminisme dengan aliran teorinya seperti liberal, radikal, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalisis, postmodernlmultikultural dan ekofeminis secara apropriatif berguna dalam membantu merefleksikan trias perkosaan, khususnya perempuan-terperkosa yang terpasung atau terdominasi oleh sistem patnarki yang menyebabkan kekerasan jender. Melalui etika feminis (etika kasih, etika kepedulian) dan trias metodologi hukum feminis dilakukan dekonstruksi landasan filosofis metodologi pembuktian mediko-legal perkosaan saat ini yang senantiasa menyebabkan ketidakadilan bagi korban-terperkosa. Perempuan korban menurut Rawls merupakan pihak yang paling kurang diuntungkan yang berhak mendapat perbedaan perlakuan hukum.
Dongkrakan reflektif guna mencapai kebenaran epistemologis multimetodologi pembuktian mediko-legal perkosaan memunculkan trio pihak yang terlibat : (1) Visum et Reperturn VeR "klasik" saat ini (yang dibuat oleh dokter bidang forensik klinik di "lingkaran luar" korban, seperti dokter spesialis kebidanan & kandungan dan dokter terlatih lainnya dengan menggunakan metode manusia biomedik yang positivistik-reduksionistik-mekanistik yang identik dengan ketubuhan anatomis korban; (2) VeR Holistik oleh dokter di "lingkaran luar""plus" karena disertai psikiater/psikolog di "lingkaran dalam" korban menggunakan model manusia infomedik yang holistik-sibernetik identik dengan tubuh semi-diskurisif korban sebagaimana Protokol Jakarta dalam menguak kasus perkosaan massal Mei 1998 lalu dan (3) VeR Eksistensialistik yang menggunakan metode fenomenologi-eksistensial yang menampilkan kesaksian korban sebagai subyek-eksis diikuti dengan hermeneutika oleh pelbagai ahli "lingkaran dalam" korban, termasuk dokter/psikiater atau relawan-ahli pendamping terhadap tubuh diskursif korban. Gabungan ketiga VeR di atas membentuk VeR Komprehensif yang disusun bersama oleh semua komponen "lingkaran luar & dalam" dalam rangka mencapai keadilan berperspektif korban dengan memakai intersubyektivitas dialogisemansipatorik antar ahli melalui etika diskursus komunikasional Habermas. Dengan VeR Komprehensif diharapkan hakim berkeyakinan pasti secara lebih teguh bahwa pemerkosa terbukti bersalah melakukan perkosaan dan karenanya dijatuhi sanksi setimpal.

Rape, a crime of sexual assault, is still actual It happens daily, in spite of the fact that it is a strongly disapproved, even condemned and morally unacceptable, act. Although rape survivors and victims include men and children, most of the existing rape laws are not accordingly designed; they are fabricated by and in use in patriarchal society, that prejudicially approaches rape cases with the idea that men were the only possible perpetrators and only women could legally be the victims.
Gendered social injustice (the third of rape "triad') plays a significant role in collecting and documenting medico-legal evidences, next to the victims suffering (the first triad) and the perpetrator 's brutality (the second triad). International studies shows that only a small percentage of rape victims/survivors did go to the police to report the sexual assault, or sought medical care for their physical injuries. And only a very small percentage of these women underwent clinical forensic examination. When they did, it is almost always days later, while the ultimate ideal main-medical/biomedical evidences taken later than 3 (three) days after the assault took place is not valid as scientific proof in court.
Rape, according to human rights epistemology of Alan Gewirth and critical analysis of James W. Nickel theory, violate the total as well as the central-core of the triad of women's rights e.g. the right of equality (1s) , autonomy (2nd) , and personal integrity right (3rd) also the triad of women's reproductive rights e.g. the freedom to plan the number, spacing and timing of their children and to have the information and means to do so (1'd), right to attain the highest standard of sexual and reproductive health (2"d) and reproductive free discrimination, coercion and violence (3rd) as an indivisible and in separable part of human rights, especially from John Locke 's category e.g. the right to life (IS), to freedom (2nd) and personal property right (3rd)
Each theory of feminism, e.g. liberal, radical, Marxist, socialist, existentialist, psychoanalyst, postmodern/multicultural and ecofeminist has an important role supporting the reflection toward the rape triad, that oppressed, subordinated and alienated the rape-victim with gender-based violence. Feminism based on women 's perspective of feminist ethics (caring ethics, ethics of love) and feminist legal method, as the deconstruction method of the patriarchy, will strengthen the fundamental principles of new methodology more justly toward the rape-victims. Raped-women, as said by Rawls, were the least advantage parties, that morally have the right to treat differently to emancipate them.
There are three parties improving the philosophical grounds of multi-methodology on medico-legal evidences which should be enacted as a way to reach the epistemological truth of rape: (1) the "Classical''/existing Visum et repertum (medical expertise) based on positivistic-reductionistic-mechanistic approach of a biomedical as well as her given/anatomical body model made by clinical forensic specialist (e.g. obstetric gynecologist or well-trained general practitioner) as an "outer circle" of the victim, (2) the "Holistic" expertise based on cybernetic approach of an info medical as well as her "semi-discursive" body model made both by clinical forensic specialist ( "outer circle') and psychiatrist or psychologist ("inner circle" of the victim), and (3) the "Existentialistic" expertise made by the rape-victim 's testimony based on the existential phenomenological method as well as the hermeneutical of the victim's discursive body. The "Comprehensive" expertise, a combination of three expertise mentioned above through the Habermas' communicational discourse ethics, will give the court the epistemological truth of rape. It will lead to the judges' certainties to punish the perpetrator in a real just sanction."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
D470
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tyas Wardhani Pusposari
"Skripsi ini membahas tentang perlindungan yang diterima oleh seorang saksi pelaku yang bekerjasama justice collaborator Keputusan seorang pelaku kasus korupsi untuk mau memberi kesaksian dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkapkan keseluruhan kegiatan dalam kasus tidaklah mudah Hal ini tentunya menuai berbagai ancaman pada seorang justice collaborator untuk tidak memberi kesaksian dari pihak pihak yang memiliki kepentingan dalam kasus tersebut Perlindungan saksi hadir sebagai bentuk pemberian keamanan bagi seorang justice collaborator dalam proses peradilan pidana Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara pada justice collaborator untuk mengetahui penerapan perlindungan saksi padanya.

This minithesis discussed about protection which has accepted by a justice collaborator As a defendant in corruption case making decision to give testimony and cooperating with the officers for revealing whole criminal activities is not easy Most of the times they get threatened by persons who are involved in corruption case Witness protection is a very useful tool to give secure situation for a justice collaborator in criminal proceedings This research framework is based on literature reviews and conceptual definitions This research was done by qualitative approach using interview technique with a justice collaborator to gain information about how witness protection has worked on him."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S54100
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrila Ikhlasia Eprina
"ABSTRACT
Skripsi ini bertema epistemologi dengan mengangkat persoalan testimoni yang dimungkinkan sebagai bukti kuat untuk menjustifikasi keyakinan menjadi pengetahuan. Pembahasan mengenai testimoni ini berangkat dari sudut pandang Quine dan Ullian dalam The Web of Belief-nya dan dijelaskan dengan teori justifikasi Haack. Foundherentism merupakan teori justifikasi di dalam struktur pengetahuan dari Susan Haack. Foundherentism digunakan untuk menguatkan posisi testimoni sebagai justifikasi keyakinan. Konsep penting dalam foundherentism adalah penekanan pada justifikasi empiris yang merupakan gabungan dari mutual support dan empirical evidence. Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka, analisis deskriptif dan refleksi kritis. Skripsi ini menunjukkan bahwa foundherentism merupakan teori justifikasi yang memungkinkan bahwa testimoni dapat menjadi faktor penting untuk menjustifikasi keyakinan.

ABSTRACT
This thesis is themed epistemology by raising the issue of testimony that is possible as strong evidence to justify belief into knowledge. This discussion of testimony departs from Quine and Ullians point of view in The Web of Belief and then is explained by Haacks justification theory. Foundherentism is a justification theory within structure of knowledge of Susan Haack that used to strengthen the position of testimony as a justification of belief. An important concept in foundherentism is the emphasis on empirical justification which is a combination of mutual support and empirical evidence. This research uses literature review method, descriptive analysis and critical reflection. This thesis suggests that foundherentism is a justification theory that enables testimony to be an important factor in justifying belief."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Raquela Raya
"Skripsi ini membahas mengenai kekuatan pembuktian keterangan anak di bawah umur untuk dijadikan Saksi dalam tindak pidana pencabulan. Mengenai keterangan anak di bawah umur sebagaimana diatur dalam peraturan Pasal 171 KUHAP dikatakan bahwa anak di bawah 15 (lima belas) tahun tidak berkompeten untuk dijadikan Saksi, dikarenakan anak yang memberikan keterangan tidak berada di bawah sumpah dan keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk guna menambah keyakinan Hakim jika ditunjang oleh alat bukti yang sah lain. Namun, jika keterangan anak hanya dijadikan alat bukti petunjuk, tidak dapat pula dikatakan sebagai alat bukti yang sah, karena tidak disumpah. Sedangkan pada kasus tindak pidana pencabulan, banyak ditemukan anak menjadi Saksi dan/atau Korban sebagai alat bukti satu-satunya. Oleh sebab itu, pada skripsi ini akan membahas yaitu, kekuatan pembuktian Anak Saksi dalam tindak pidana pencabulan, yang memenuhi kriteria fit to stand a trial, perbaikan yang perlu dilakukan dalam rangka melindungi anak sebagai Saksi tindak pidana pencabulan dan RUU KUHAP dapat mengakomodasi hal tersebut. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif, di mana data penulisan ini berasal dari studi kepustakaan, wawancara Ahli dan Undang-Undang terkait. Hasil penulisan ini mengarahkan untuk dilakukan perbaikan pengaturan hukum di Indonesia yaitu anak di bawah umur yang akan dijadikan saksi tindak pidana pencabulan harus memenuhi batasan minimal umur dan melewati pemeriksaan kompetensi sesuai prinsip fit to stand a trial. Dan dalam rangka melindungi hak anak sebagai Saksi, anak wajib didampingi oleh Ahli Psikiatri Forensik sebelum persidangan, persidangan dan setelah persidangan.

This thesis discusses the strength of proof of the testimony of minors to be used as witnesses in criminal acts of obscenity. Regarding the testimony of minors as stipulated in Article 171 of the Criminal Procedure Code, it is said that children under 15 (fifteen) years are not competent to be made witnesses, because children who give statements are not under oath and their statements are only used as a guide to add to their conviction. Judge if supported by other valid evidence. However, if the child's statement is only used as evidence, it cannot also be said to be valid evidence, because it is not sworn in. Meanwhile, in cases of criminal acts of sexual abuse, many children were found to be witnesses and/or victims as the only evidence. Therefore, this thesis will discuss, namely, the strength of proof of Child Witnesses in criminal acts of obscenity, which meet the fit to stand a trial criteria, improvements that need to be made in order to protect Children as Witnesses in criminal acts of obscenity and the Criminal Procedure Code Bill can accommodate this. This writing uses a juridical-normative method, where the data for this writing comes from literature studies, expert interviews and related laws. The results of this writing direct the improvement of legal regulations in Indonesia, namely that minors who will be used as witnesses to criminal acts of obscenity must meet the minimum age limit and pass a competency examination according to the principle of fit to stand a trial. And in order to protect the rights of children as witnesses, children must be accompanied by a forensic psychiatrist before the trial, the trial and after the trial."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafvan Rizki
"Pelaksanaan pemeriksaan terhadap Notaris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maupun perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sering dipermasalahkan akibat kurang pahamnya aparat penegak hukum yaitu penyidik, penuntut umum atau hakim, tentang ketentuan Pasal 66 ayat (1) tersebut dan Anggota Majelis Pengawas Daerah yang tidak professional dalam memutuskan apakah memberikan persetujuan untuk memeriksa Notaris atau tidak. Akibat kurang paham dan tidak professional tersebut pada akhirnya pelaksanaan dari ketentuan Pasal 66 ayat (1) tersebut melanggar aturan yang sudah ditentukan sebagaimana yang telah diatur Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Permenkumham) Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris dan Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia No. Pol.: B/1056/V/2006, Nomor: 01/MOU/PP-INI/2006 tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum. Adanya ketentuan Pasal 66 ayat (1) ini sesungguhnya untuk menjembatani antara kepentingan Notaris dalam menjalankan jabatannya khususnya terkait rahasia jabatan dan hak ingkar yang dimilikinya, dan kepentingan dari aparat penegak hukum dalam melaksanakan wewenangnya untuk kepentingan proses peradilan.
Penilitian ini lebih menitik-beratkan pada pembahasan proses pemeriksaan terhadap Notaris oleh aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Jenis penilitian ini adalah yuridis-normatif yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan tertulis atau hukum positif serta bahan-bahan hukum lain yang berkaitan dengan permasalahan. Tipe penelitian ini adalah deskriptif dan preskriptif. Penelitian ini menjelaskan proses pemeriksaan terhadap Notaris oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan yang berdasarkan asas legalitas dan memberikan jalan atau saran untuk mengatasi permasalahan dalam pelaksanaan proses pemeriksaan terhadap Notaris tersebut.

The implementation of investigating Notary based on article 66 paragraph (1) of Law No. 30/2004 about Notary and its revision, Law No. 2/2014, is often disputed because there are still law enforcement officers such investigator, prosecutor, or judge who do not really understand the regulations and members of the district supervisory council of Notary that decide whether giving the approval or not to law enforcement officer to investigate Notary. Because of those, the implementation of that article 66 paragraph (1) violates the related regulation such as the regulation of the Minister of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia No. M.03.HT.03.10 Year 2007 about the procedure of taking the minutes or Notary deeds and summoning Notary Deed and Memorandum of Understanding between the Indonesian National Police with Indonesia Notary Association No.Pol.: B/1056/V/2006, Number: 01/MOU/PP-INI/2006 on the Development and Improvement of Professionalism in the Field of Law Enforcement. That article 66 paragraph (1) is actually to bridge the interests of Notary to fulfill their duties as Notary especially secret office and right to refuse to give testimony, and the interests of law enforcement officers to do their authority for judicial process need.
This research is focused more on the discussion of the process of investigating Notary by law enforcement officers in the criminal justice process. Type of this research is the juridical-normative reference to legislation written or positive law and other legal materials related to the problem. This type of research is descriptive and prescriptive. This study describes the process of investigating Notary by the investigator, prosecutor, or judge for the judicial process need based on due process of law (the principle of legality) and give way or suggestions to overcome the problems in the implementation process of investigating the Notary.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ristania Salsabila Putri
"Indonesia menganut sistem pembuktian peradilan pidana dengan negatief wettelijk, di mana ketentuan mengenai alat bukti yang sah dan diakui diatur secara limitatif di dalam KUHAP. Alat bukti berupa keterangan ahli di dalam KUHAP merupakan alat bukti baru karena sebelumnya tidak dicantumkan di dalam HIR. Sampai dengan saat ini, KUHAP masih belum mengatur secara jelas perihal kualifikasi dari ahli dalam memberikan keterangan ahli. Penelitian ini kemudian melakukan perbandingan aturan mengenai kualifikasi ahli di persidangan perkara pidana antara Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda. Pada Putusan Nomor 300/Pid.B/2013/PN.Mpw dan Putusan Nomor 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST dihadirkan beragam ahli dengan latar belakang keahlian yang berbeda-beda. Dari putusan tersebut, dapat terlihat bahwa pada prakteknya dibutuhkan standar serta kualifikasi tertentu terhadap ahli. Selain itu, kedua putusan tersebut juga mencerminkan bagaimana kekuatan mengikat keterangan ahli. Penelitian ini berkesimpulan bahwa Indonesia memerlukan aturan khusus perihal kualifikasi ahli dan membentuk suatu lembaga daftar ahli nasional yang terintegrasi.

Indonesia adheres to a criminal justice evidence system with a negative wettelijk, in which the provisions regarding legal and recognized evidence are regulated in a limited manner in the Criminal Procedure Code. Evidence in the form of expert testimony in the Criminal Procedure Code is new evidence because it was not previously included in the HIR. Until now, the Criminal Procedure Code has not clearly regulated the qualifications of experts in providing expert testimony. This study then compares the rules regarding expert qualifications in criminal case trials between Indonesia, the United States, and the Netherlands. In Decision No. 300/Pid.B/2013/PN.Mpw and Decision No. 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST, various experts with different expertise backgrounds were presented. From the decision, it can be seen that in practice certain standards and qualifications are needed for experts. In addition, the two decisions also reflect the binding power of expert testimony. This study concludes that Indonesia needs special regulations regarding expert qualifications and establishes an integrated national expert list agency."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library