Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ihsan
Abstrak :
Dalam pelaksanaan tugas pokok menegakkan hukum dan memelihara keamanan serta ketertiban masyarakat, salah satu tugas yang dilaksanakan Kepolisian RI, adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. penyidikan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan pencarian informasi. Informasi yang telah dikumpulkan ini kemudian digolong-golongkan, untuk dilihat segi manfaat dan peruntukannya yang dapat menunjang kegiatan pengungkapan suatu kasus. Selain itu kegiatan penyidikan ditata secara manajerial dan dilakukan dengan melibatkan disiplin ilmu lainnya, guna membantu kegiatan pengungkapan perkara. Sebagai gerbang awal masuknya kasus pidana umum, penyidik Polri juga harus memahami mengenai pembuktian, kendati pun ketentuan pembuktian lebih ditujukan pada pengadilan tetapi kebanyakan terjadi bahwa yang pertama-tama menemukan bukti sehubungan dengan kejahatan adalah kepolisian dan disamping itu Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyebutkan bahwa tugas penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pasal 183 Undang-Undang Hukum Acara Pidana mensyaratkan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Berpijak dari ketentuan tersebut, maka penyidik setidak-tidaknya harus mengumpulkan minimal 2 (dua) bukti yang saling bersesuaian dan dari persesuaiannya itu membuat terang suatu tindak pidana. Semakin canggihnya teknologi, modus operandi kejahatan juga dilakukan secara rapi dan semakin minim bukti yang ditemukan sehingga menyulitkan dalam pengungkapannya. Oleh karena itu, kepolisian juga harus mampu memanfaatkan ilmu dan teknologi dalam penyidikan tindak pidana agar pengungkapan tindak pidana berjalan lebih objektif. Disinilah peranan ahli dalam bidang tertentu yang latar belakang keahliannya ilmu pengetahuan dan teknologi membantu proses penyidikan dan keterangan yang diberikannya juga termasuk alat bukti yang sah menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deandra Hendira Maharani
Abstrak :
ABSTRAK
Munculnya beauty influencer dalam industri kecantikan, dapat mempengaruhi masyarakat melalui iklan testimoni yang dibuatnya khususnya produk kosmetik. Namun pada praktiknya, tidak semua beauty influencer melakukan iklan testimoni sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sehingga apabila terjadi kerugian terhadap konsumen, beauty influencer dapat dimintakan pertanggungjawaban yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Oleh sebab itu, skripsi ini hendak menganalisis mengenai tanggungjawab beauty influencer atas hasil iklan testimoni yang dibuat pada instagram dengan mengategorikan terlebih dahulu beauty influencer sebagai pelaku usaha periklanan. Penelitian ini menunjukkan bahwa beauty influencer dapat dikatakan sebagai pelaku usaha periklanan apabila telah memenuhi kategori tertentu. Hasil analisis mengenai konstruksi pertanggungjawabannya menunjukkan bahwa beauty influencer dapat dimintakan pertanggungjawaba atas iklan yang dibuat. Namun, tidak jelas sejauh mana batas pertanggungjawabannya yang harus di emban karena tidak ada pengaturan lebih lanjut. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan adanya pembentukan undang-undang periklanan di Indonesia yang secara khusus mengatur mengenai periklanan dengan definisi pelaku usaha periklanan yang diperluas.
ABSTRACT
The emerge of beauty influencers in the beauty industry, influence the society through testimonial advertisements especially regarding cosmetic products. In reality, not all beauty influencers make testimonials advertisements in accordance with the regulations. Hence, if Customers suffered losses beauty influencers should be responsible in accordance with applicable regulations. Therefore, this thesis will analyze the responsibilities of beauty influencers on the results of testimonial advertisements made on Instagram by categorizing beauty influencers as business actors advertising . This study shows that beauty influencers can be categorized as business actors advertising if they meet certain categories. The results of the analysis regarding the construction of its accountability show that the beauty influencer can be held accountable for the advertisements made. However, it is not clear to what extent the liability limits must be imposed because there is no further regulation. Based on this, it is necessary to establish an advertising regulation in Indonesia which specifically regulates advertising with the definition of an expanded business actors advertising.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gigay Citta Acikgenc
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas cara menjamin keterandalan sumber pengetahuan testimoni di era teknologi informasi dan komunikasi. Perdebatan mengenai cara menjustifikasi testimoni dilatari oleh tradisi epistemologi modern yang tercermin pada argumentasi reduksionisme dan anti-reduksionisme. Reduksionisme merujuk pada tesis bahwa jaminan keyakinan berbasis testimoni mesti dilandaskan pada sumber non-testimoni seperi persepsi inderawi dan penalaran induktif. Sedangkan, anti-reduksionisme menyatakan bahwa keterandalan pengetahuan testimonial dapat dijamin oleh testimoni itu sendiri. Thesis ini berpijak pada prinsip kebenaran yang akan dibagikan oleh pemberi maupun penerima testimonisecara alami karena niat baikyang melekat padanya. Penelitian ini menolak prinsip justifikasi yang dipakai oleh reduksionisme dan anti-reduksionisme. Sebab, prinsip justifikasi tidak menghitung keterlibatan aktif agen epistemik sebagai pemberi dan penerima testimoni serta mengabaikan risiko gullibility dan intellectual irresponsibility pada proses akuisisi dan transmisi testimoni. Berdasarkan problem tersebut, skripsi ini hendak mendemonstrasikan prinsip kebajikan intelektual sebagai upaya teoretis yang lebih baik daripada prinsip justifikasi dalam menjamin keterandalan sumber pengetahuan testimoni.
ABSTRACT
This undergraduate thesis discusses the problem of testimony rsquo s reliability in the age of infosphere. The early argumentation of the justification of testimony typically traced to two views reductionism and anti reductionism. According to reductionists, to justify testimonial knowledge acquired by the hearer from a speaker, we need to possess non testimonial source of knowledge, such as inductive reasoning or perception. In contrast to reductionism, anti reductionists argue that testimony is a basic source of justification. This research refutes the principle of justification in both reductionism and anti reductionism to answer the problem of reliability in testimony because of two reasons first, the principle of justification fails to see the active roles of a speaker and a hearer in knowledge acquisition, second, the principle of justification ignores the risk of gullibility and intellectual irresponsibility in the process of transmission of testimony. Based on the problems of principle of justification, I will demonstrate how intellectual virtues of virtue epistemology have better approach to warrant the reliability of testimony.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library