Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmat Budi Santoso
Abstrak :
Torsio testis merupakan kedaruratan dalam urologi yang dapat terjadi pada 1 dari 4000 laki-Laki berusia dibawah 25 tahun, dan apabila keadaan ini tidak segera ditangani dengan benar dalam 4 sampai 6 jam dapat terjadi nekrosis testis. Dari penelitian sebelumnya didapatkan torsio testis dengan puntiran sebesar 720° dan lama puntiran lebih dari 4 jam dapat menyebabkan kerusakkan testis secara menetap. Oleh karena itu tindakan bedah sedini mungkin harus dilakukan untuk menyelamatkan testis dari kerusakan menetap. Saat ini tindakan bedah yang dianjurkan adalah melakukan detorsi testis, pendinginan testis dan orkidopeksi bilateral. Tindakan ini dilaporkan dapat menyelamatkan testis sampai dengan 90%, namun dalam pengamatan yang lebih lanjut menunjukkan lebih dari 67% testis tersebut akan mengalami atropi dan menjadi subfertil. Menurut Hagan dkk dari 55 pasien yang diamati hanya 7 pasien yang menunjukkan spermiogramnya normal. Oleh karena itu dibutuhkan suatu terobosan lain dalam penatalaksanaan torsio testis guna menekan angka terjadinya kerusakan testis permanen secara signifikan. Pendapat terkini mengenai adanya seguelae dari torsio testis yang telah dilakukan detorsi dapat diterangkan dengan dasar ischaemia/reperfusion (I/R) injury, kerusakan jaringan testis akibat torsio testis disehakan adanya ischemia yang diperberat dengan terjadinya reprefusion injury setelah dilakukan detorsi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pontoh, Fredrik Laihad
Abstrak :
ABSTRAK
Biopsi testis yang dilaksanakan secara sistematik untuk menilai morfologi/struktur testis pada infertilitas, pertama kali diperkenalkan oleh Charny pada tahun 1940. Dengan pemeriksaan biopsi testis ini ditemukan berbagai macam gambaran histopatologik, antara lain : fibrosis lengkap, aplasia sel benih, hambatan sel benih, hipoplasia sel benih, pelepasan sel muda dan disorganisasi, dan lain-lain. Berbagai gambaran histopatologik tersebut di atas bisa disebabkan oleh kelainan testikular, pasca-testikular atau pratestikular. Dengan penyebab testikular dimaksudkan kelainan dengan defek primer pada testis. Penyebab pasca testikular ialah kelainan yang timbal akibat terdapatnya obstruksi. pada saluran/duktus yang keluar dari testis. Sedangkan penyebab pratestikular didefinisikan sebagai kelainan hormonal ekstragonad, yang menyebabkan gangguan pada spermatogenesis.

Pemeriksaan histopatologik biopsi testis mempunyai nilai khusus dalam pengelolaan kasus infertilitas pria, yaitu pemeriksaan ini dilaksanakan disamping pemeriksaan klinik, analisis sperma dan keadaan hormonal penderita. Pemeriksaan histopatologik biopsi testis dengan hasil analisis sperma digunakan untuk menentukan jenis dan lokasi kelainan. Selain itu dengan melihat data klinik dan keadaan hormonal penderita diharapkan dapat menentukan kausa, nilai prognosis dan evaluasi keberhasilan terapi pada biopsi ulangan.

Dalam menilai gambaran histopatologik biopsi testis terdapat bermacam-macam cara penilaian, yaitu penilaian kualitatif, semikuantitatif, dan kuantitatif. Penilaian ini terutama ditujukan terhadap tubulus seminiferus, baik bentuk dan ukurannya, maupun terhadap jenis dan jumlah sel di dalamnya (sel benih dan sel Sertoli). Selain itu dilakukan pula penilaian terhadap jaringan interstisial dan sel Leydig. Dengan menggunakan Cara penilaian tersebut didapatkan berbagai diagnosis yang menggambarkan perubahan atau kelainan yang terjadi pada testis.

Insidens pasangan infertil di Indonesia berkisar antara 12,1% pada tahun 1970 dan 15,07% pada tahun 1980. Di beberapa negara lain 10-15% perkawinan adalah infertile, dan pada 30-50% pasangan tersebut terdapat kelainan pada pihak pria. Kelainan histopatologik pada azoospermia menunjukkan fibrosis peritubuler lengkap pada 18%, aplasia sel benih 35%, hambatan sel benih lengkap 22%, spermatogenesis normal 25%. Sedangkan pada oligosperma ditesreikan pelepasan sel muda dan disorganisasi 46%, hambatan sel benih inkarplit 21%, fibrosis inkarglit / regional 15%, hipoplasia sel benih 13% dan normal 5% (2). Dalam penilaian semikuantitatif ditemukan derajat I 26%, derajat II 36%, derajat III 16% dan derajat IV 22%.

Di Bagian Patologi Anatomik FKUI/ RSCM, pemeriksaan histopatologik biopsi testis dilakukan sebagai salah satu prosedur yang sewaktu-waktu dibutuhkan ahli klinik. Dalam pengelolaan kasus infertilitas di R5Ql pemeriksaan histopatologik biopsi testis merupakan 18,26% dari semua kasus . Dengan demikian tampak adanya kebutuhan yang bersifat insidental terhadap pemeriksaan ini. Apa peran dan berapa besar nilai suatu pemeriksaan histopatologik biopsi testis dalam pengelolaan infartilitas adalah hal yang perlu diteliti.

Untuk itu sebagai langkah awal dilakukan suatu penelitian deskriptif retrospektif terhadap kasus infertilitas yang membutuhkan pemeriksaan histopatologik, untuk mengetahui peranan pameriksaan tersebut dalam pengelolaan kasus infertilitas. Maka dengan demikian tujuan penelitian ini ialah mendiagnosis berbagai gambaran histopatologik kasus infertilitas dan mengadakan analisis hubungan antara gambaran histopatologik dengan data klinik dan pameriksaan lain untuk menentukan kausa, prognosis den evaluasi keberhasilan terapi.
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adianti Khadijah
Abstrak :
Germ cell tumor (GCT) adalah sebuah penyakit yang relatif jarang. Hanya 1% dari seluruh keganasan pada pria, yang sebagian besar terjadi pada pria berusia 15 sampai 35 tahun. Terdapat penurunan yang luar biasa pada jumlah kematian karena kanker testis dalam 3 tahun terakhir, karena kemajuan dalam kemoterapi. Penelitian ini mengevaluasi hasil dari pemberian kemoterapi bleomycin, etoposide, dan cisplatin (BEP) untuk pasien GCT di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional Dharmais. Penelitian ini meninjau karakteristik dan kesintasan semua pasien yang mendapatkan BEP di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional Dharmais pada tahun 2011 sampai 2017. Tingkat kesintasan dianalisa dengan metode Kaplan-Meier. Dalam seri ini tingkat kesintasan 1, 3, dan 5 tahun masing-masing adalah 93,75% (30), 90,63% (29), dan 81,25% (26), sedangkan tingkat kesintasan bebas rekurensi adalah 81,25% (26), 75% (24), and 62,55% (20). Rekurensi terjadi pada 6 (18,7%) pasien setelah respon komplet kemoterapi. Tingkat kesintasan lima tahun pasien dengan stadium penyakit II dan III adalah 84,6% dan 78,8%, dan tingkat kesintasan lima tahun pasien dengan prognosis baik, sedang, dan buruk berdasarkan klasifikasi IGCCCG adalah 88,9%, 85,7%, dan 66,7%. Pasien dengan GCT metastasis menunjukkan respons yang baik terhadap BEP sebagai kemoterapi lini pertama, dan pasien yang diterapi dengan BEP dapat mencapai hasil prognostik yang baik. Tingkat kesintasan lebih baik ketika pasien datang pada stadium lebih awal dan memiliki prognosis yang lebih baik sesuai dengan klasifikasi IGCCCG. ......Germ cell tumor (GCT) is a relatively rare disease, accounting for only 1% of all malignancies in men, affecting mostly men between 15 to 35 years of age. There has been a remarkable decline in testicular cancer mortality over the past 3 years, due to advances in chemotherapy. This study evaluate the outcome of bleomycin, etoposide, and cisplatin (BEP) chemotherapy for GCT patients in Dharmais National Cancer Hospital. This study reviewed characteristics and survival of all patients receiving BEP in Dharmais National Cancer Hospital between year 2011 to 2017. Survival rates were analyzed by Kaplan-Meier method. In these series, 1, 3, and 5 year survival rates were 93,75% (30), 90,63% (29), and 81,25% (26), respectively, while recurrence-free survival rates were 81,25% (26), 75% (24), and 62,55% (20). Recurrences occur in 6 (18,7%) patients after complete response of chemotherapy. Five-year survival rate patients with stage II and III of disease were 84,6% and 78,8%, and five year survival of patients with good, intermediate, and poor prognosis based on IGCCCG classification is 88,9%, 85,7%, and 66,7%. Patients with metastatic GCTs showing favorable response to BEP as first-line chemotherapy, and patients treated with BEP could achieve good prognostic outcome. Survival rate is better when the patient came with earlier stage and has a better prognosis according to IGCCCG classification.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Tri Prasetyo
Abstrak :
Varikokel telah terbukti mempengaruhi kualitas sperma. Namun, efek operasi varikokel terhadap tingkat keberhasilan pengambilan sperma melalui pembedahan dan pola histopatologi testis pada pria dengan azoospermia nonobstruktif belum banyak dilaporkan. Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk menginvestigasi tingkat keberhasilan pengambilan sperma dengan teknik operasi dan pola histopatologi testis pada pria dengan azoospermia nonobstruktif yang dirujuk ke Klinik Urologi di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (Jakarta, Indonesia) dan Rumah Sakit Umum Bunda (Jakarta, Indonesia) pada periode Januari 2009 hingga Desember 2019. Subjek yang dibandingkan adalah pasien yang menjalani prosedur pengambilan sperma melalui pembedahan tidak lebih awal dari tiga bulan setelah operasi varikokel dan pasien yang tidak menjalani operasi varikokel melainkan langsung menjalani prosedur pengambilan sperma melalui pembedahan. Penelitian ini melibatkan 104 subjek dengan rentang usia 26-54 tahun, 42 di antaranya telah menjalani operasi varikokel sebelum prosedur pengambilan sperma. Spermatozoa motil ditemukan pada 29 (69,1%) pasien yang menjalani operasi varikokel dan 17 (27,4%) pasien yang langsung menjalani prosedur pengambilan sperma melalui pembedahan (risiko relatif: 2,51; interval kepercayaan 95%: 1,60±3,96; P < 0,001). Grafik probabilitas yang diprediksi menunjukkan tingkat keberhasilan prosedur pengambilan sperma yang lebih tinggi secara konsisten untuk subjek yang menjalani operasi varikokel terlebih dahulu. Pasien yang menjalani operasi varikokel menunjukkan pola histopatologi testis yang lebih baik (P = 0,001). Kesimpulan penelitian ini adalah pria dengan azoospermia nonobstruktif dan varikokel klinis yang menjalani operasi varikokel memiliki tingkat keberhasilan pengambilan sperma yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak menjalani operasi varikokel. ......Varicocele adversely affects semen parameters. However, the effect of varicocele repair on the sperm retrieval rate and testicular histopathological patterns in men with nonobstructive azoospermia has not been widely reported. We retrospectively assessed the sperm retrieval rates and testicular histopathological patterns in men with nonobstructive azoospermia who were referred to the Urology Clinic in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (Jakarta, Indonesia) and Bunda General Hospital (Jakarta, Indonesia) between January 2009 and December 2019. We compared patients who had undergone a surgical sperm retrieval procedure for assisted reproductive technology no earlier than three months after varicocele repair and those who had not undergone varicocele repair. The study included 104 patients (age range: 26±54 years), 42 of whom had undergone varicocele repair before the sperm retrieval procedure and 62 who had not. Motile spermatozoa were found in 29 (69.1%) and 17 (27.4%) patients who had undergone varicocele repair before the sperm retrieval procedure and those who had not undergone the repair, respectively (relative risk: 2.51; 95% confidence interval: 1.60± 3.96; P < 0.001). A predicted probabilities graph showed consistently higher sperm retrieval rates for patients with varicocele repair, regardless of their follicle-stimulating hormone levels. Patients who underwent varicocele repair showed higher testicular histopathological patterns (P = 0.001). In conclusion, men with nonobstructive azoospermia and clinical varicocele who underwent varicocele repair before the sperm retrieval procedure had higher sperm retrieval rates compared to those who did not undergo varicocele repair
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adianti Khadijah
Abstrak :
Germ cell tumor (GCT) adalah sebuah penyakit yang relatif jarang. Hanya 1% dari seluruh keganasan pada pria, yang sebagian besar terjadi pada pria berusia 15 sampai 35 tahun. Terdapat penurunan yang luar biasa pada jumlah kematian karena kanker testis dalam 3 tahun terakhir, karena kemajuan dalam kemoterapi. Penelitian ini mengevaluasi hasil dari pemberian kemoterapi bleomycin, etoposide, dan cisplatin (BEP) untuk pasien GCT di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional Dharmais. Penelitian ini meninjau karakteristik dan kesintasan semua pasien yang mendapatkan BEP di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional Dharmais pada tahun 2011 sampai 2017. Tingkat kesintasan dianalisa dengan metode Kaplan-Meier. Dalam seri ini tingkat kesintasan 1, 3, dan 5 tahun masing-masing adalah 93,75% (30), 90,63% (29), dan 81,25% (26), sedangkan tingkat kesintasan bebas rekurensi adalah 81,25% (26), 75% (24), and 62,55% (20). Rekurensi terjadi pada 6 (18,7%) pasien setelah respon komplet kemoterapi. Tingkat kesintasan lima tahun pasien dengan stadium penyakit II dan III adalah 84,6% dan 78,8%, dan tingkat kesintasan lima tahun pasien dengan prognosis baik, sedang, dan buruk berdasarkan klasifikasi IGCCCG adalah 88,9%, 85,7%, dan 66,7%. Pasien dengan GCT metastasis menunjukkan respons yang baik terhadap BEP sebagai kemoterapi lini pertama, dan pasien yang diterapi dengan BEP dapat mencapai hasil prognostik yang baik. Tingkat kesintasan lebih baik ketika pasien datang pada stadium lebih awal dan memiliki prognosis yang lebih baik sesuai dengan klasifikasi IGCCCG. ......Germ cell tumor (GCT) is a relatively rare disease, accounting for only 1% of all malignancies in men, affecting mostly men between 15 to 35 years of age. There has been a remarkable decline in testicular cancer mortality over the past 3 years, due to advances in chemotherapy. This study evaluate the outcome of bleomycin, etoposide, and cisplatin (BEP) chemotherapy for GCT patients in Dharmais National Cancer Hospital. This study reviewed characteristics and survival of all patients receiving BEP in Dharmais National Cancer Hospital between year 2011 to 2017. Survival rates were analyzed by Kaplan-Meier method. In these series, 1, 3, and 5 year survival rates were 93,75% (30), 90,63% (29), and 81,25% (26), respectively, while recurrence-free survival rates were 81,25% (26), 75% (24), and 62,55% (20). Recurrences occur in 6 (18,7%) patients after complete response of chemotherapy. Five-year survival rate patients with stage II and III of disease were 84,6% and 78,8%, and five year survival of patients with good, intermediate, and poor prognosis based on IGCCCG classification is 88,9%, 85,7%, and 66,7%. Patients with metastatic GCTs showing favorable response to BEP as first-line chemotherapy, and patients treated with BEP could achieve good prognostic outcome. Survival rate is better when the patient came with earlier stage and has a better prognosis according to IGCCCG classification.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Anita
Abstrak :
Ruang Lingkup: Asap rokok kretek terutama asap rokok sampingan dapat mempengaruhi proses spermatogenesis, kualitas semen dan perubahan kadar hormon testosteron. Pengaruh tersebut dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu pertama komponen dalam asap rokok kretek berupa logam (kadmium dan nikel) dapat mengganggu aktifitas enzim adenilsiklase pads membran sel Leydig yang mengakibatkan terhambatnya sintesis hormon testosteron, kedua nikotin dalam asap rokok dapat menstimulasi medula adrenal untuk melepaskan katekolamin yang dapat mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga dapat mengganggu proses spermatogenesis dan sintesis hormon testosteron melalui mekanisme umpan balik antara hipotalamus-hipofisis anterior - testis. Terganggunya proses spermatogenesis dapat juga disebabkan oleh kadar radikal bebas dan kerusakan kadar darah testis. Penelitian ini bertujuan untuk menilai secara kuantitatif perkembangan sel-sel germinal dan frekuensi sebaran stadia epitel seminiferus testis mencit setelah pemajanan asap rokok kretek selama 30 hari; 45 hari dan 60 hari dan menilai ada tidaknya perubahan kadar hormon testosteron total setelah pemajanan tersebut. Cara penelitian: Penelitian menggunakan 36 ekor mencit jantan galur DDY yang dibagi dalam enam kelompok perlakuan yaitu: kelompok kontrol 1 (KKP1); KKP2 dan KKP3 sebagai kontrol untuk kelompok perlakuan I (KP 1); KP2 dan KP3 yang secara berturut-turut diberi asap rokok kretek selama 30 hari; 45 hari dan 60 hari dalam kotak pengasapan selama 90 menit per hari. Pada hari ke 31;46 dan 6 mencit percobaan diisolasi organ testisnya, kemudian dilakukan pembuatan sediaan histologis organ testis dengan metode paraftn dan pengambilan plasma darah mencit melalui aorta jantung. Parameter yang diukur adalah jumlah sel-sel spermatogenik pads stadium V, VII dan XII; frekuensi sebaran stadia epitel seminiferus, kadar hormon testosteron total, berat testis dan ukuran diameter tubulus seminiferus. Hasii dan Kesimpulan: Hasil uji statistik parametrik ANAVA ( cc= 0,05) menunjukkan terjadi penurunan jumlah sel-sel spermatogenik (KP2 dan KP3), perubahan frekuensi sebaran stadia epitel seminiferus (KP3), berat testis (KP2 dan KP3) dan ukuran diameter tubulus seminiferus (KP3) (p < 0,05). Uji non parametrik Mann-Whitney terhadap kadar hormon testosteron total dalam kelompok perlakuan menunjukkan terjadi penurunan kadar hormon testosteron total pada KP3 dibandingkan kontrolnya Melalui uji Kruskal Wallis tidak terdapat perbedaan bermakna kadar hormon testosteron total antar kelompok perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asap rokok kretek dapat menghambat proses spermatogenesis.
The Alteration in the Distribution of Seminwerous Epithelial Stages, the Reduction of the Number Of Spermatogenic Cells and Total Concentration of Testosterone Hormone in Mice (Musmusculus L.) Strain Ddy Exposed to Kretek SmokeObjectives: kretek smoke, especially sidestream inhaled by passive smokers, can affect the process of spermatogenesis, the quality of semen and the alteration in testosterone concentration. The effects of kretek smoke mentioned occur in two mechanisms. The first mechanism in that the component in kretek smoke (cadmium and nikel) can disturb the activity of adenylciclase enzyme on the membrane of Leydig cells. The disturbance leads the blocking of testosterone synthesis. The second mechanism is that nicotine in kretek smoke will stimulate adrenal medulla to release cathecolamine which can affect central nervous system, which in turn disturb the process of spermatogenesis and the secretion of androgen hormone through the feedback mechanism of hypothalamus-anterior hypofisis -- testis. The disturbance in the process of spermatogenesis is also through to be related with the concentration of free radicals contained in kretek smoke and damages of testicular blood barier. The aim of this study is to quantitavely assess the development of germinal cells and the frequency of distribution of testicular seminiferous ephitelial stages of mice after the exposure to kretek smoke for 30 days, 45 days and 60 days, also to investigate the presence of any alteration in total concentration of testosterone after exposure to kretek smoke. Methods:This study uses 36 male mice (Mus musculus L.) strain DDY which are grouped into 6 study groups: control group I (KKP 1); KKP2 and KKP3 that serve as control for study group 1 (KP 1); KP2 and KP3 which are exposed to kretek smoke for respectively 30 days, 45 days and 60 days in a smoking box, for 90 minutes each day. In the 31"; 46" and 61", the testes of mice used in study are isolated and mice blood plasma is obtained from cardiac aorta. Histological preparation of the testes are then made using the paraffin method. Parameter assessed are the number of spermatogenic cells at stages V, VII and XII, the frequency of the distribution of seminiferous ephitelial stages, total concentration of testosterone, the weight of testes and the diameter of seminiferous tubules. Result and conclusion: The result of parametric ANAVA (a= 0,05) shows that there is significant difference (p < 0,05) or there alteration on the number of spermatogenic cells (KP2 and KP3) , the frequency of the distribution of seminiferous ephitelial stages (KP3), the weight of testes (KP2 and KP3) and the diameter of seminiferous tubules (KP3). Mann- Whitney test done the total concentration of testosterone in the study groups shows the reduction of testosterone in KP3 compared to its control. Non parametric Kruskal Wallis test shows that there is no significance difference of the total concentration of testosterone between study groups. The study found that the exposure to kretek smoke can block the process of spermatogenesis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library