Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ibrahim Lakoni
Abstrak :

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 21/PUU-XII/2014, yang menyatakan bahwa penetapan tersangka menjadi objek praperadilan, maka sekarang ini apabila seorang ditetapkan sebagai tersangka, maka ia akan mengajukan permohonan praperadilan, akan tetapi setelah putusan praperadilan memenangkannya dalam artian penetapan tersangkanya dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan, maka aparat penegak hukum melakukan penetapan tersangka kembali kepada orang tersebut, aturan mengenai penetapan tersangka kembali ini memang diperbolehkan dan diatur, baik itu di dalam putusan MK itu sendiri maupun di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, akan tetapi tidak ada kejelasan mengenai sampai berapa kali orang tersebut dapat ditetapkan sebagai tersangka, tidak ada aturan yang jelas mengenai sampai berapa kali penetapan tersangka tersebut, berakibat tidak ada kepastian hukum dan pelanggaran terhadap HAM khususnya hak asasi tersangka. Metode penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif, dengan menelaah kedudukan praperadilan dalam sistem peradilan pidana, serta pengkajian terhadap perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana, dan hasil dari penelitian ini menyimpulkan untuk membatasi penetapan tersangka yang berulang ini.


After the decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia number 21 / PUU-XII / 2014, which states that the determination of the suspect is the object of pretrial, so now if a person is named as a suspect, he will submit a pretrial petition, but after the pretrial decision wins it in the sense of determining the suspect declared invalid by a pretrial ruling, the law enforcement apparatus determines the suspect back to the person, the rules regarding the re-stipulation of the suspect are indeed permitted and regulated, both in the Constitutional Court's decision itself and in the Supreme Court Regulation No. 4 of 2016, will but there is no clarity on how many times the person can be named as a suspect, there are no clear rules on how many times the determination of the suspect, resulting in no legal certainty and violations of human rights, especially the rights of the suspect. The research method was conducted in a normative juridical manner, by examining the position of pretrial in the criminal justice system, as well as the study of the protection of the rights of suspects or defendants in the criminal justice process, and the results of this study concluded to limit the determination of these recurrent suspects.

2020
T54752
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Astrid Rita Anggreni
Abstrak :
Pengaturan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di negara hukum adalah mutlak diperlukan khususnya di Indonesia, sebagai sarana untuk menjamin ditegakannya HAM. Selain itu, menurut Soerjono Soekamto perlu pula ditingkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat, sehingga masing-masing anggotanya menghayati hak dan kewajibannya, secara tak langsung meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum sesuai dengan Undangundang Dasar 1945. Berkaitan dengan hal tersebut, Bagir Manan mengatakan bahwa keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung kepada penerapan penegakannya. Penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik, membuat peraturan perundang-undangan yang bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan. Penegakan hukum dari pelaksanaan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna, kelemahan utama bukan pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum masih sangat terbatas, penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T14584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriah Faisal
Abstrak :
ABSTRAK Tesis ini membahas tentang dasar pengajuan permohonan praperadilan, pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau mengabulkan permohonan praperadilan tentang penetapan tersangka dan apakah penetapan tersangka seharusnya masuk menjadi objek praperadilan pada pembaharuan hukum acara pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan kepustakaan hukum serta doktrin yang berkaitan dengan praperadilan, serta menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembahasan tesis dan pendekatan kasus yaitu empat putusan praperadilan mengenai penetapan tersangka. Data-data yang diperoleh kemudian diolah secara kualitatif dan diuraikan dalam bentuk kalimat sistematis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dasar pengajuan yang digunakan oleh pemohon yaitu mengacu pada Pasal 28 D UUD 1945, Pasal 17 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Ratifikasi International Covenant On Civil and Political Right dan Pasal 95 KUHAP yang telah diperluas maknanya oleh para pemohon. Pertimbangan Hakim dalam mengabulkan permohonan tersebut yaitu bahwa belum ada bukti yang cukup saat termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka. Hakim menyatakan bahwa bukti-bukti yang digunakan untuk menentukan seseorang sebagai tersangka, dapat diuji oleh praperadilan, sehingga hakim berkesimpulan bahwa praperadilan dapat menguji mengenai sah atau tidaknya penetapan status tersangka, sedangkan pertimbangan Hakim yang menolak permohonan tersebut yaitu karena KUHAP telah secara limitatif membatasi kewenangan praperadilan dan pengujian terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak terdapat dalam Pasal 77 sebagai kewenangan praperadilan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penetapan tersangka merupakan tindakan yang bisa saja diikuti oleh upaya paksa, maka diperlukan sebuah lembaga untuk menguji tindakan tersebut dan dalam RKUHAP 2013, praperadilan akan diganti menjadi Hakim Pemeriksa Pendahuluan tetapi belum terdapat aturan mengenai pengujian penetapan status tersangka, maka seharusnya penetapan tersangka dimasukkan sebagai salah satu kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut.
ABSTRACT This thesis discusses about the basic application for pre-trial, consideration of the judge to accepted or to refuse a pre-trial about the determination of the suspect and whether the determination status of the suspect should enter into the object on the renewal pre-trial criminal procedure. The method of this research is normative, which is a study of the legislation and legal literature and doctrine relating to pre-trial and using two approaches, namely the approach of legislation related to the discussion of the thesis and approach the case that the four pre-trial decision regarding determination of suspect. Subsequently, the obtained data is processed qualitatively and described in a systematic form of the sentence. Research results concluded that the basic filing used by the applicant which refers to Article 28 D of the 1945 Constitution, Article 17 of Law No. 39 of 1999 on Human Rights, The Ratification of The International Covenant On Civil and Political Rights and Article 95 of The Criminal Procedure Code (KUHAP) which has been expanded its meaning by the applicant. Consideration of the judge to accept the request, that because there is no sufficient evidence when the defendant named as a suspect, the judge stated that the evidence that used to determine a person as a suspect, can be tested by the pre-trial, so the judge concluded that pre-trial can test the validity of the determination status of the suspect, while the consideration of judge rejected the petition is because pre-trial in the criminal procedure code (KUHAP) has a limited authority, and examine of the validity of determination of the suspect is not contained in Article 77 as authority of pre-trial. The research results revealed that the determination of the suspect is an action that could be followed by forceful measures, so it needs an institute to examine such act and in RKUHAP 2013, pre-trial will be replaced by The Preliminary Examining Judge but doesn?t have authority to examine the determination of the status of the suspect, then the determination of the suspects should have been included as one of the authority of The Preliminary Examining Judge.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Adriaan
Abstrak :
Sistem peradilan pidana di Indonesia, telah dirancang dengan sedemekian rupa, agar dalam prosesnya, benar-benar menjamin hak asasi dari setiap pihak yang terlibat didalamnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya suatu lembaga yang bertugas untuk melakukan suatu pengawasan secara horizontal terhadap seluruh upaya paksa yang dilakuan oleh pihak penyidik. Dalam perkembangannya, seringkali terjadi suatu penyimpangan dalam pelaksanaan peradilan pidana di Indonesia, terutama terkait dengan perkara praperadilan. Hal ini dibuktikan dengan putusan perkara praperdilan dengan nomor register perkara 24/Pid/Pra/2018/PN.JKT.SEL, dimana dalam perkara tersebut hakim praperadilan mengeluarkan suatu putusan yang isinya memerintahkan agar pihak termohon melanjutkan proses hukum dan menetapkan status tersangka kepada beberapa pihak yang diduga terlibat dalam kasus korupsi bank century. Sebagaimana diketahui, kewenangan lembaga praperadilan diatur dalam pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, yaitu untuk menyatakan sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan ganti rugi dan rehabilitasi. Lembaga praperadilan tidak berwenang untuk memerintahkan salah satu pihak agar menetapkan status tersangka terhadap seseorang. Oleh karena itu, penulis akan melakukan peneletian terhadap kasus tersebut dengan metode perbandingan, dimana penulis akan melakukan membandingkan sistem lembaga praperadilan Indonesia, dengan sistem praadjudikasi negara Belanda, Amerika Serikat, dan Perancis. Selanjutnya, penulis juga akan meneliti apakah putusan perkara praperadilan tersebut sejatinya telah sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
The criminal justice system in Indonesia has been designed in such a way, so that in the process, it truly guarantees the human rights of every party involved in it. This is evidenced by the existence of an institution whose task is to carry out a horizontal supervision of all forced efforts carried out by the investigators. In its development, there is often a deviation in the implementation of criminal justice in Indonesia, especially related to pretrial cases. This is evidenced by the pretrial case verdict with the case register number 24/Pid/Pra/2018/PN.JKT.SEL, wherein the case the pretrial judge issued a decision which ordered that the defendant party continue the legal process and determine the status of the suspect to some allegedly involved in a century bank corruption case. As is known, the authority of the pretrial institution is regulated in article 1 number 10 jo. Article 77 of the Criminal Procedure Code, namely to declare the legitimacy of forced efforts by investigators, termination of investigations or prosecutions, and compensation and rehabilitation. A pretrial institution is not authorized to order one party to determine the suspect's status against someone. Therefore, the authors will examine the case with a comparative method, where the author will compare the Indonesian pretrial system, with the pre-adjudication system of the Netherlands, the United States and France. Furthermore, the author will also examine whether the pretrial case verdicts are in fact in accordance with the development of legislation in force in Indonesia.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grisham, John
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018
813 GRI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Virza Roy Hizzal
Abstrak :
Dikotomi antara perlunya tindakan tegas dalam memberantas terorisme dengan kewajiban melindungi HAM yang tidak bisa dinafikan begitu saja, menimbulkan diskursus di kalangan akademisi, praktisi, stake holder, pemerintah maupun pembuat udang undang yang tak kunjung menemukan persepsi sama dalam menghadapi bahaya terorisme. Keberagaman dari unsur "cara" teroris dalam melaksanakan aksi dan tujuannya, membuat perlunya suatu bentuk definisi yang mampu meng-cover unsur-unsur tindak pidana terorisme secara komprehensif Terorisme dari sudut pandang pelaku atau aktor, tidak saja. dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh negara (state terrorism). Pernyataan ini diambil dari realita bahwa terhadap sesuatu yang menimbulkan peristiwa teror (adanya ancaman, intimidasi, rasa ketakutan, tidak aman, dan lain-ain), dapat diakibatkan oleh upaya massive yang gencar dilakukan pemerintah dalam memberantas terorisme. Kebijakan yang dituangkan dalam suatu produk perundang-undangan merupakan acuan bagi pelaksananya dalam menjalankan apa yang telah digariskan sesuai dengan normanorma yang berlaku. Akan tetapi, ada kalanya suatu peraturan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, maupun tidak sejalan dari tujuan semula ketika peraturan tersebut dilaksanakan. Bahkan tidak jarang terjadi penyimpangan maupun salah penafsiran dari apa yang telah digariskan oleh peraturan tersebut akibat tidak dibuat dengan sungguh-sungguh dan tidak memparhatikan aspek historis, sosiologis, maupun yuridis yang ada pada masyarakat Kebijakan dalam penanggulangan terorisme, tidak boleh hanya memandang bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa sehingga harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Ada hal lain yang harus diperhatikan secara kompleks, terutama berkaitan dengan hak-hak masyarakat yang sewaktu-waktu bisa menjadi korban akibat "perang melawan terorisme" tersebut. Sebenamya, pihak yang paling rentan menjadi korban dari "histeria" terorisme adalah masyarakat. Oleh karena itu, bagaimanapun hebatnya penggalangan opini maupun kebijakan reprrssive dalam memberantas terorisme, tidaklah boleh mengabaikan rasa aman dan kebebasan masyarakat itu sendiri. Proses penyelidikan dan penyidikan, sebagai pintu gerbang dalam pemberantasan terorisme, merupakan hal yang paling rentan terjadinya pelanggaran HAM data kesewenang-wenangan aparat (abuse of power). Selain itu, undang-undang anti-terorisme juga membuka intervensi badan intelijen yang nota bene bukan badan yudisial, dengan melegitimasi laporan intelijen sebagai bukti permulaan. Hak Asasi Manusia yang melekat secara indivual pada setiap orang, tidak memandang perlu atau tidaknya terorisme diberantas, akan tetapi hak-hak tersebut merupakan kemutlakan yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai pengemban tanggung jawab negara. Begitu pula dengan hak-hak tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme. Masyarakat yang sewaktu-waktu bisa menjadi tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme juga mempunyai hak yang sama untuk diperlakukan sesuai dengan standar HAM yang berlaku secara universal. Oleh karena itu yang sangat penting untuk dijadikan agenda utama bagi negara kita adalah bagaimana kebijakan pengaturan tindak pidana terorisme harus berada dalam dua titik keseimbangan, yakni keselarasan antara prinsip "security" dan "libertty''.
Dichotomy between necessary acts of force in fighting terrorism with the obligation to protect Human Rights (HR) cannot be easily ignored, and have created discourse among academic, practitioners, stakeholder, government and legislator and policy maker. Until now they still can find the same perception in facing the danger of terrorism. The variety of element "way" of terrorist in mode of their action and their aim, make important to have one definition that can covered elements on came of terrorism comprehensively. Terrorism from point of view terrorists or actor, can be viewed that terror is not only can conduct by individual or group, but also conduct by State (state terrorism). This statement is taken from reality that things that can create condition of terror (presence of treat, intimidation, fear, insecure, etc) can be caused by massive efforts that has been rapidly done by government to fight against terrorism_ Regulation policy is the reference for operational act on what have been accepted as norms. Although sometimes, a rule or regulation cannot accustomed with what have been goal to, and also disharmony with the primary aim on how to be conducted. And it is not rare that deviant or wrong interpretation from what have meant to be by the regulation is caused by unprepared regulation or without fully considering historical aspect, sociology, and existed jurisdiction in society. Policy to over come terrorism cannot only by viewing that terrorism is extraordinary crime, but also have to be eliminate from its roots. There is other things that have to be concern, as complexity of it, specially in related with society rights that can be in any time to be a victim cause by "war against terrorism. Actually the most vulnerable victim of "hysteria" terrorism is society. Because of that, no matter how great opinion maker and repressive policy to abolish terrorism, it cannot be practice by ignore security and freedom of society. The investigation process and crime scene investigation, as one gate to eliminate terrorism, and can be a vulnerable space for HR violation and abuse of power by apparatus_ Beside, Anti Terrorism Law can open way to board intelligent to intervene, while this is not a judicial board. Where legitimate report from intelligent body is accept as preliminary evident Human Rights embedded individually with everyone, regardless necessary or not necessary that terrorism ought to eliminate, it is absolutely government responsibility to fulfill its rights. It is also the rights of suspect/convicted crime of terrorism. Society can be at anytime suspect/convict crime of terrorism have to be treated equally according to universal HR standard. By that guarantee it is important that primary agenda for our State to ensure that regulation policy on terrorism crime stay in two point of balance, a principle harmony of "security" and "liberty".
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Jokie M.S.
Abstrak :
Masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap para tersangka pelaku kejahatan dalam proses peradilan pidana sudah sangat sering terjadi, sehingga hal semacam ini seringkali dianggap lumrah terjadi karena hampir dimanapun perlakuan polisi terhadap para pelaku kejahatan adalah dengan menggunakan tindak kekerasan. Penelitian dalam tesis ini ingin menggali dan mengkaji faktor-faktor serta kondisi sosial apa sajakah yang menyebabkan polisi melakukan tindakan kekerasan terhadap para tersangka pelaku kejahatan terutama dalam tahap pra ajudikasi. Dalam upaya mencari jawab atas pertanyaan penelitian dalam Tesis ini maka dalam penelitian ini dilakukan dua pendekatan yaitu : Pendekatan Kuantitatif dan pendekatan Kualitatif. Penelitian dengan pendekatan Kuantitatif dimaksudkan untuk melihat apakah benar telah terjadi tindak kekerasan atau "penyiksaan" terhadap para tersangka dan adakah hubungan antara jenis kejahatan dan aspek-aspek lain dengan tindakan kekerasan oleh polisi dalam pengkapan dan penahanan serta selama pemeriksaan atau interogasi tersangka dalam menyusun Berita Acara Pidana (BAP). Sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan untuk mendukung data kuantitatif yaitu mencoba melakukan pengamatan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap polisi yang menangani para tersangka guna menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa polisi melakukan tindakan kekerasan terhadap tersangka selama dilakukan penangkapan, penahanan dan pemeriksaan. Dari hasil wawancara mendalam terhadap para tersangka yang tertangkap dan tertahan di Kepolisian Resort terpilih didapat data bahwa 57 % dari tahanan yang ada mengatakan, bahwa mereka mendapat perlakuan kekerasan selama berada dalam proses penahanan dan mengalami pemeriksaan. Tindakan kekerasan yang dilakukan polisi cenderung meningkat manakala sedang dilakukannya pembuatan Berita Acara Pidana (BAP). Selain itu, pada jenis kejahatan penipuan, pencurian, penodongan, dan penjambretan sangat rentan terjadi penganiayaan oleh polisi terhadap tersangka karena keempat jenis kejahatan itu polisi seringkali dibuat jengkel oleh "ulah" tersangka sewaktu tertangkap, ditahan dan diperiksa selalu memberi jawaban yang berbelit-belit dan bertele-tele dan tidak sesuai dengan harapan polisi dalam memberikan jawaban (seringkali bernuansa mengingkari tuduhan). Sedangkan dipihak lain polisi sangat memerlukan kecepatan dalam beke~a dan mengejar pengakuan tersangka. Dalam melaksanakan tugasnya polisi harus tegas dan tuntas. Lni berarti bahwa bila suatu berkas pemeriksaan tidak berisi pengakuan dan baru bukti-bukti lain ditelusuri, maka hal ini dianggap tidak tegas dan tidak tuntas. Akhimya sebagai jalan pintas untuk mengejar target penyelesaiannya, maka digunakanlah cara kekerasan; karena menurut polisi bahwa kalau tidak keras bukan polisi namanya, sehingga pada gilirannya tindak kekerasan atau menganiaya terhadap tersangka pelaku kejahatan tak terelakan lagi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Agus Ramdlany
Abstrak :
Dalam prakteknya, hak tersangka/terdakwa seringkali terabaikan karena dikonotasikan sebagai orang yang bersalah. Hal ini yang menyebabkan hak-hak mereka tidak terlindungi dan mendapat perlakuan semena-mena. Padahal dalam hukum pidana Islam yang berdasar pada Al-Qur’an dan Hadist terdapat jaminan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji secara mendalam penafsiran Al-Qur*an dan Hadist untuk membahas dua permasalahan yang menjadi fokus utama penelitian, yakni: perlindungan HAM dan praktek perlindungan HAM tersangka/terdakwa dalam hukum pidana Islam. Dari keseluruhan pembahasan dapat disimpulkan bahwa hukum pidana Islam memberikan perlindungan HAM tersangka/terdakwa pada setiap tahap proses hukum yang dilalui. Hukum pidana Islam memiliki sifat yang tegas, konsisten dan menjamin kepastian hukum dikarenakan bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist yang tidak akan berubah. Di Saudi Arabia dan Malaysia, perlindungan HAM tersangka/terdakwa dilakukan di semua tahapan proses hukum yang dilalui tersangka/terdakwa, terutama hak tersangka/terdakwa untuk tidak diperlakukan secara kejam, fisik dan mental yang tidak manusiawi dan mengandung kekerasan. ......In practice, the suspect/accused rights were often ignored because of being connoted as the guilty person. It caused their rights often to be unprotected and received arbitrarily treatment. Meanwhile in Moslem criminal law that had basis in AI-Qur'an and Hadist, there is a pledge towards the suspect/accused rights. This research used the juridical normative approach by studying in depth the interpretation of AI-Qur'an and Hadist to discuss two problems that became the main focus of the research, that is: the protection of human rights and the protection of the suspect/accused human rights in Islam criminal law practically. Moslem criminal law gave the protection to suspect/accused human rights in each process stage of the law. Moslem criminal law had the firm characteristics, consistent and guaranteed legal certainty caused by originated in AI-Qur'an and Hadist that will not change. In Saudi Arabia and Malaysia, the protection to suspect/accused human rights was done in all the process stages of the law that passed through by the suspect/accused, especially the suspect/accused right to be not treated in a cruel, physical and mental manner that was not humane and contained the violence.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25148
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Agus Ramdlany
Abstrak :
Dalam prakteknya, hak tersangka/terdakwa seringkali terabaikan karena dikonotasikan sebagai orang yang bersalah. Hal ini yang menyebabkan hak-hak mereka tidak terlindungi dan mendapat perlakuan semena-mena. Padahal dalam hukum pidana Islam yang berdasar pada Al-Qur’an dan Hadist terdapat jaminan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji secara mendalam penafsiran Al-Qur*an dan Hadist untuk membahas dua permasalahan yang menjadi fokus utama penelitian, yakni: perlindungan HAM dan praktek perlindungan HAM tersangka/terdakwa dalam hukum pidana Islam. Dari keseluruhan pembahasan dapat disimpulkan bahwa hukum pidana Islam memberikan perlindungan HAM tersangka/terdakwa pada setiap tahap proses hukum yang dilalui. Hukum pidana Islam memiliki sifat yang tegas, konsisten dan menjamin kepastian hukum dikarenakan bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist yang tidak akan berubah. Di Saudi Arabia dan Malaysia, perlindungan HAM tersangka/terdakwa dilakukan di semua tahapan proses hukum yang dilalui tersangka/terdakwa, terutama hak tersangka/terdakwa untuk tidak diperlakukan secara kejam, fisik dan mental yang tidak manusiawi dan mengandung kekerasan. ......In practice, the suspect/accused rights were often ignored because of being connoted as the guilty person. It caused their rights often to be unprotected and received arbitrarily treatment. Meanwhile in Moslem criminal law that had basis in AI-Qur'an and Hadist, there is a pledge towards the suspect/accused rights. This research used the juridical normative approach by studying in depth the interpretation of AI-Qur'an and Hadist to discuss two problems that became the main focus of the research, that is: the protection of human rights and the protection of the suspect/accused human rights in Islam criminal law practically. Moslem criminal law gave the protection to suspect/accused human rights in each process stage of the law. Moslem criminal law had the firm characteristics, consistent and guaranteed legal certainty caused by originated in AI-Qur'an and Hadist that will not change. In Saudi Arabia and Malaysia, the protection to suspect/accused human rights was done in all the process stages of the law that passed through by the suspect/accused, especially the suspect/accused right to be not treated in a cruel, physical and mental manner that was not humane and contained the violence.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37115
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bangun, Johannes
Depok: Universitas Indonesia, 2003
S6304
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>