Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irfan Kresnadi
Abstrak :
ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah yang besar dengan peningkatan jumlah kasus sebesar 30 kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Pemberantasan vektor penyebab DBD sudah dilakukan, termasuk di Indonesia dengan menggunakan Temefos sejak 40 tahun yang lalu. Berbagai faktor terkait penggunaan larvisida Temefos mengakibatkan timbulnya resistensi di beberapa daerah di Indonesia. Desa Pangkah di Kabupaten Tegal merupakan daerah dengan kasus DBD tinggi. Untuk mendukung upaya pemberantasan nyamuk di sana, perlu diadakan evaluasi status resistensi di Desa Pangkah. Penelitian ini menilai status resistensi larva Aedes aegypti Desa Pangkah melalui penentuan lethal concentration (LC) dan rasio resistensi (RR) larva yang dipajankan terhadap Temefos. Pajanan dilakukan sebanyak 4 kali pengulangan dan dibagi ke dalam 4 konsentrasi tiap pengulangannya yaitu 0,05 ppm, 0,025 ppm, 0,0125 ppm, 0,00625 ppm, dan ditambah dengan satu kontrol. Data yang ada lalu dianalisis menggunakan regresi probit. Kematian pada kelompok uji 0,05 ppm, 0,025 ppm, 0,0125 ppm, dan 0,00625 ppm berturut-turut adalah 91%, 90%, 81%, dan 78%. Hasil regresi probit menunjukkan LC50 berada pada konsentrasi 0,0005 ppm, LC90 pada 0,0349 ppm dan LC99 pada 1,1037 ppm (P<0,05). Nilai ini melebihi ambang WHO untuk LC99 yaitu 0,02 ppm. Dengan demikian, larva Aedes aegypti di Desa Pangkah sudah resisten terhadap Temefos. Hal ini kemungkinan terjadi karena penggunaan di Indonesia yang sudah lama dan tidak teratur di Desa Pangkah. Untuk itu, perlu dipersiapkan pengganti Temefos yang dianjurkan WHO yaitu Permetrin dan tetap melanjutkan pemberantasan larva dengan 3M. Namun, diperlukan penelitian lebih vii Universitas Indonesia lanjut untuk menentukan status resistensi larva Aedes aegypti di Desa Pangkah terhadap Permetrin dan larvisida lain untuk menentukan strategi pemberantasan nyamuk yang tepat.
ABSTRACT
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a big problem with a 30-fold increase in the number of cases in the last 50 years. The eradication of the vector causing DHF has been done, including in Indonesia by using Temefos since 40 years ago. Various factors related to Temefos larvicide use resulted in resistance in several regions in Indonesia. Pangkah Village in Tegal Regency is an area with high DHF cases. To support efforts to eradicate mosquitoes there, an evaluation of resistance status in Pangkah Village needs to be carried out. This study assessed the resistance status of Aedes aegypti larvae in Pangkah Village by determining the lethal concentration (LC) and larval resistance ratio (RR) exposed to Temefos. The exposure was carried out 4 times and repeated into 4 concentrations per repetition, namely 0.05 ppm, 0.025 ppm, 0.0125 ppm, 0.00625 ppm, and added with one control. Existing data were then analyzed using probit regression. Deaths in the test groups were 0.05 ppm, 0.025 ppm, 0.0125 ppm, and 0.00625 ppm respectively 91%, 90%, 81%, and 78%. Probit regression results showed LC50 at a concentration of 0.0005 ppm, LC90 at 0.0349 ppm and LC99 at 1.1037 ppm (P <0.05). This value exceeds the WHO threshold for LC99 which is 0.02 ppm. Thus, the Aedes aegypti larvae in Pangkah Village are already resistant to Temefos. This is likely due to the longstanding and irregular use in Indonesia in Pangkah Village. For this reason, it is necessary to prepare a Temefos replacement recommended by WHO, Permethrin and to continue the eradication of larvae with 3M. However, more research is needed vii Universitas Indonesia continued to determine the status of resistance of Aedes aegypti larvae in the Pangkah Village against Permethrin and other larvicides to determine the right mosquito eradication strategy.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Akbar Cindani Gardian
Abstrak :
Latar belakang: Temefos dan Sipermetrin sebagai insektisida memiliki zat aktif yang dapat membunuh larva Culex quinquefasciatus melalui kerusakan organ digestif dan penurunan neurotransmitter( Octopamin dan Tiramin). Tujuan: Mengevaluasi aktivitas larvasida , mekanisme kerusakan histopatologi, dan penurunan neurotransmitter tiramin dan oktopamin Metode: Bioassay larva Cx. quinquefasciatus instar III dan IV sesuai dengan protokol WHO , pemeriksaan rutin histopatologi menggunakan pewarnaan HE, dan deteksi Oktopamin dan Tiramin dengan antibodi menggunakan metode imunohistokimia Hasil: Temefos dan Sipermetrin memperlihatkan aktivitas larvasida terhadap larva Cx. quinquefasciatus.Sipermetrin memiliki aktivitas larvasida lebih tinggi dengan LC50 dan LC90 masing-masing sebesar 0,013 ppm dan 0,184 ppm dibandingkan dengan Temefos yang memiliki LC50 dan LC90 masing-masing sebesar 0,009 ppm dan 0,016 ppm. Kedua insektisida menyebabkan kelainan histologi pada bagian midgut( food bolus, membran peritropik, mikrovili, lapisan epitelium, dan sel epitel). Sipermetrin menyebabkan kerusakan histologi midgut lebih parah dibandingkan Temefos. Setelah perlakuan kedua insektisida, Oktopamin dan Tiramin masih bisa terdeteksi. Namun, imunoreaktivitas keduanya berkurang. Simpulan: Temefos dan Sipermetrin dapat direkomendasikan untuk digunakan dalam pemberantasan nyamuk Cx.quinquefasciatus. ......Background : Temephos and Cypermethrin as insecticides have active substances that can kill Cx. quinquefasciatus larvae through damage to digestive organs and decrease in neurotransmitters (Octopamine and Tyramine). Objective: valuating larvacidal activity, histopathological damage mechanisms, and decreased neurotransmitters tyramine and octopamine. Method: Bioassay of Cx. quinquefasciatus instar III and IV according to WHO protocol, routine histopathological examination using HE staining, and detection of Octopamine and Tyramine with polyclonal antibodies using immunohistochemical methods Results: Temephos and Cypermethrin showed larvicidal activity against larvae of Cx. quinquefasciatus. Cypermethrin has higher larvicidal activity with LC50 and LC90 of 0.013 ppm and 0.184 ppm respectively compared to Temephos which has LC50 and LC90 of 0.009 ppm and 0.016 ppm respectively. Both insecticides cause histological abnormalities in the midgut (food bolus, peritropic membrane, microvilli, epithelium layer, and epithelial cells). Cypermethrin causes more severe midgut histological damage than Temephos. After the second treatment of insecticides, Octopamine and Tyramine can still be detected but the immunoreactivity of both is reduced Conclusion: Temephos and Cypermetrin can still be recommended for use in the eradication of Cx.quinquefasciatus
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library