Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adriana Mayra
"Studi ini menganalisis 22 literatur dari SCOPUS menggunakan metode taksonomi data untuk menangkap studi yang komprehensif terkait perdagangan limbah global and kompleksitasnya. Tulisan ini dibagi menjadi tiga tema utama yakni; 1) perkembangan perdagangan limbah global, 2) jaringan perdagangan limbah global dan 3) pandangan kritis terhadap perdagangan limbah global. Tulisan ini menunjukkan bahwa kajian mengenai perdagangan limbah global masih belum banyak berkembang. Diskursus mengenai perdagangan limbah global itu sendiri juga sebagian besar terfokus pada kajian dinamika negara maju dan berkembang serta perspektif ilmu lingkungan. Selain itu, tulisan ini menunjukkan bahwa afiliasi negara yang terdapat dalam literatur terpilih kebanyakan berasal dari negara-negara maju yang berdampak pada sempitnya cakupan perdagangan limbah global. Oleh karena itu, kajiannya mendapatkan perhatian yang kurang dari akademisi hubungan internasional. Studi ini menyarankan penguatan suara dari negara-negara berkembang mengenai topik ini, analisis menggunakan bidang studi yang bervariatif, dan perhatian terhadap peran aktor non-negara.

This study analyses 22 literatures from SCOPUS using the data taxonomy method to capture a comprehensive study on the current discourse of the global waste trade and the complexity of it all. These literatures are divided into three main themes which consists of; 1) the development of the global waste trade, 2) global waste trade networks and 3) critical approaches to the global waste trade. Results of this study showed that the study on the global waste trade has not been advancing. The global waste trade discourse also mainly focused on the study of developed and developing country dynamics as well as environmental studies. Moreover, this study reveals that the literatures’ country affiliations are mostly from developed countries which results in a narrow scope of the global waste trade. Therefore, the study of the global waste trade receives little attention from international relations scholars. This study recommends amplifying developing countries' voices, analysis using other fields of study, and awareness of non-state actors’ role. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sugeng Priyanto
"Kajian dalam disertasi ini didasarkan pada pemahaman bahwa melindungi kelestarian fungsi lingkungan seharusnya dilakukan sejak tahap perumusan kebijakan, rencana, dan program pembangunan. Sehubungan dengan itu, pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan menjadi penting. Persoalannya, di berbagai daerah pengarusutamaan tersebut seringkali tidak dilakukan dan kalaupun dilakukan prinsip-prinsip tersebut tidak mengejawantah dalam pelaksanaan pembangunan.
Dari perspektif Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah memiliki posisi penting dan menentukan dalam pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Analisis dalam disertasi ini ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan lembaga pengelolaan hidup daerah tidak dapat mendorong pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pengembangan konsep kebijakan pengelolaan lingkungan hidup agar terwujud tata kelola lingkungan hidup yang baik, dan membangun model kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah agar mampu mengarrusutamakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan adalah Teori Sistem dari Niklas Luhmann, Teori Kebijakan Publik, Teori Deep Ecology dari Arne Naess, dan beberapa teori serta konsep lain yang relevan. Penelitian dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam dengan informan, dan diskusi kelompok terfokus. Data yang diperoleh kemudian dianalisis, melalui langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Disertasi ini menemukan berbagai faktor yang menyebabkan lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah tidak mampu mendorong pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertama, posisi lembaga pengelolaan lingkungan hidup yang mengakibatkan lembaga tersebut memiliki keterbatasan dalam pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kedua, lemahnya kapasitas kelembagaan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, dan ketiga, terdistorsi makna otonomi dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Agar terwujud tata kelola lingkungan hidup yang baik, diperlukan konsep kebijakan pengelolaan lingkungan hidup daerah dengan karakteristik sebagai berikut: (a) input kebijakan diwarnai oleh paradigma deep ecology; (b) proses formulasi kebijakan bersifat demokratis; (c) substansi kebijakan mencerminkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development); dan (d) lingkungan kebijakan berada dalam ketepatan pemaknaan otonomi daerah. Di samping itu, agar dapat mengarusutamakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, maka lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah harus dikembangkan untuk mencapai karakteristik sebagai berikut: (a) didasarkan pada pendekatan ecoregion; (b) visi lembaga adalah menjaga fungsi stock sumber daya alam; (c) struktur organisasi dan tata kerjanya disesuaikan dengan tipologi daerah; (d) bersifat inklusif; (e) menyelenggarakan fungsi koordinasi perencanaan pembangunan; (f) Konwledge-Based Organization; (g) sumber daya manusianya memiliki visi dan komitmen dalam perlindungan lingkungan; dan (h) pendanaan kelembagaan harus diperkuat.

This study is based on cognition that protecting the environmental sustainability should be carried out from the formulation of policy, plan, and program. Accordingly, mainstreaming of the principles of sustainable development into development planning documents becomes important. The problem is in many user mainstreaming is rarely done. If it is done, these principles do not manifest in the impelementation of development program.
Based on perspective of Law Number 32 Year 2009 concerning on the Protection and Management of the Environment, the local environmental management agency has an important and decisive position in mainstreaming sustainable development principles. Analysis of the dissertation is aimed to determine the factors caused the local environmental management agency can not encourage implement the mainstreaming of the principles of sustainable development; develop the concept of environmental management policy in order to realize good environmental governance. This is build the institutional model of local environmental management agency to be able mainstreaming the sustainable development principles.
This disertation used a qualitative approach. The theory used to analyze the problems is Niklas Luhman's Systems Theory, Public Policy Theory, Arne Naess Theory of Deep Ecology, and several theories as well as other relevant concepts. The study was conducted through observation, in-depth interviews with informants, and actor research. The obtained data analyzed through the steps of data reduction, data presentation, and deduced and verification.
This disertation found the various factors that cause local environmental management agency does not able to mainstream sustainable development principles. First, the position of local environmental management agencies that resulted limitedness of these institutions in mainstreaming sustainable development principles. Second, weak institutional capacity in carrying out duties and functions, and the third, distorted the meaning of autonomy in local governance practices. In order to realize good environmental governance, required the concept of environmental management policy with the following characteristics: (a) input policy paradigm characterized by deep ecology, (b) the policy formulation process is democratic, (c) the substance of the policy reflects the principles of sustainable development, and (d) the policy environment is in the accuracy of interpretation of regional autonomy. In addition, in order to mainstream the principles of sustainable development, the local environmental management agency should be developed to achieve the following characteristics: (a) based on the ecoregion approach, (b) the institution's vision is to maintain the function of the stock of natural resources, (c ) organizational structure adapted to the typology of area; (d) inclusive, (e) carry out the functions to coordinate the development planning; (f) konwledge-Based organization, (g) human resources have the vision and commitment to environmental protection, and (h) funding institutions should be strengthened.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arkienandia Nityasa Parahita
"Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), termasuk emisi karbondioksida (CO2) telah menjadi penyebab utama dari perubahan iklim dan pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Ekosistem Karbon Biru (EKB), yang meliputi mangrove dan padang lamun berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebaliknya, kerusakan ekosistem ini dapat menimbulkan resiko lepasnya emisi karbon yang tersimpan kembali ke atmosfer. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi terbesar dari ekosistem tersebut, namun demikian, degradasi EKB di Indonesia yang disebabkan oleh konversi lahan dan kegiatan akuakultur kian meningkat. Sebagai kerangka pengaturan, Perencanaan Tata Ruang berperan penting untuk mengendalikan aktivitas tersebut, menimalisir konflik antar pengguna, dan melindungi EKB melalui instrumen Tata Ruang guna mencegah degradasi lebih lanjut. Perlindungan, pemulihan, dan pengelolaan EKB secara berkelanjutan tidak hanya mempertahankan kapasitasnya dalam penyerapan CO2, tetapi juga mempertahankan jasa ekosistem yang penting bagi adaptasi perubahan iklim, meningkatkan potensi sosial-ekonomi masyarakat, memberikan perlindungan terhadap risiko perubahan iklim di wilayah pesisir, serta memulihkan habitat yang terdegradasi guna mempertahankan fungsinya dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Penelitian ini akan melakukan analisis berkaitan dengan mengenai peran Penataan Ruang dalam proses Tata Kelola Karbon Biru, yang secara spesifik mencakup pengaturan dan instrumen tata ruang dalam perlindungan EKB dalam berbagai peraturan perundang-undangan, permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan EKB di Indonesia, dan pengaturan serta studi kasus berkaitan keterlibatan masyarakat untuk pengelolaan EKB pada provinsi Kalimantan Timur dan Bangka Belitung.

Emission of greenhouse gases, including carbon dioxide (CO2), has been the main cause of climate change and global warming since the mid-20th century. Blue carbon ecosystems (BCE), which include mangrove and seagrass meadows play a key role in climate change mitigation and adaptation. Conversely, damage to these ecosystems risks the release of that carbon back to the atmosphere. Indonesia hosts one of the biggest proportions of such ecosystems, however, the rate of BCE degradation in Indonesia caused by land conversion and aquaculture remains high. As a regulatory framework, spatial planning plays a key role to control such activities, maintain conflict between uses, and protect BCE through spatial planning instruments to prevent further degradation. Conserving, restoring, and manage BCE sustainably not only maintains CO2 sequestration capacity but also services essential for climate change adaptation along coasts, improves socio-economic potential of the coastal community, provide protection against risks related to climate change in coastal areas, as well as restoring degraded habitats to recover their climate change mitigation potential and avoid additional greenhouse emissions. This paper aimed to analyzed the role of Spatial Planning in the Blue Carbon Governance process, which specifically includes spatial arrangements and instruments for the protection of BCE in various laws and regulations, institutional arrangement issues in the management of BCE in Indonesia, and case studies related to community involvement in the management of BCE in 2 provinces, East Kalimantan and Bangka Belitung.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahira Shanin Nadifa
"Fenomena kabut asap lintas batas di Asia Tenggara telah menjadi isu lingkungan persisten dan kompleks. Tinjauan literatur ini mengkaji kompleksitas permasalahan tata kelola kabut asap lintas batas di Asia Tenggara, dengan fokus pada peran dan kapasitas aktor negara maupun non-negara, kerangka kerja sama regional ASEAN serta strategi kebijakan nasional. Literatur saat ini masih belum memadai dalam membandingkan pendekatan dan respons terkait isu kabut asap lintas batas di Asia Tenggara di luar dari Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Fokus utama masih tertuju pada inisiatif regional ASEAN, dengan sedikit perhatian pada analisis yang mendalam terhadap upaya negara-negara lainnya serta diskusi publik dan wacana masyarakat sipil. Dengan meninjau 42 literatur yang bersumber pada Scopus dan non-Scopus, paparan ini mengelompokkan tiga tema inti yang ditemukan dalam perkembangan kajian Tata Kelola Kabut Asap Lintas Batas di Asia Tenggara menggunakan taksonomi. Tema-tema inti tersebut adalah (1) eksistensi rezim kabut asap lintas batas di Asia Tenggara; (2) implementasi mekanisme tata kelola kabut asap lintas batas di Asia Tenggara; (3) evaluasi mekanisme tata kelola kabut asap lintas batas di Asia Tenggara. Sintesis dari literatur yang disajikan mengindikasikan bahwa meskipun ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) memiliki peran penting dalam pengelolaan kabut asap lintas batas, namun pelaksanaannya terkendala oleh norma non-intervensi ASEAN dan prinsip kedaulatan negara. Kendala lain meliputi mekanisme penegakan hukum yang lemah, kapasitas institusi yang terbatas, serta perbedaan kepentingan antara negara-negara anggota ASEAN. Partisipasi publik dan peran media diidentifikasi sebagai kunci dalam memobilisasi dukungan untuk perlindungan lingkungan. Refleksi dalam tinjauan literatur ini dibuat berdasarkan pemetaan latar belakang ilmu, tren kutipan dari literatur akademis terpilih, sebaran tahun publikasi, dan kata kunci. Berdasarkan refleksi, hasil tinjauan menunjukkan bahwa terdapat beberapa poin penting. Pertama, pemetaan latar belakang ilmu dalam studi kabut asap lintas batas di Asia Tenggara didominasi oleh bidang hubungan internasional dan ilmu lingkungan. Kedua, tren kutipan dari literatur akademis terpilih menunjukkan peningkatan perhatian pada peran media dan kerjasama multilateral. Ketiga, sebaran tahun publikasi memperlihatkan lonjakan signifikan pada dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya insiden kabut asap. Terakhir, kata kunci yang paling sering digunakan mencerminkan fokus pada tata kelola kabut asap, kerjasama ASEAN, dan kebijakan lingkungan.

The phenomenon of transboundary haze in Southeast Asia has become a persistent and complex environmental issue. This literature review examines the complexities of transboundary haze governance in Southeast Asia, focusing on the roles and capacities of state and non-state actors, the ASEAN regional cooperation framework, and national policy strategies. Current literature remains inadequate in comparing approaches and responses to transboundary haze issues in Southeast Asia beyond Indonesia, Singapore, and Malaysia. The primary focus remains on ASEAN regional initiatives, with limited attention to detailed analyses of other countries' efforts and public discourse and civil society engagement. By reviewing 42 sources from Scopus and non-Scopus databases, this review categorizes three core themes found in the development of Transboundary Haze Governance in Southeast Asia using taxonomy. These core themes are: (1) the existence of the transboundary haze regime in Southeast Asia; (2) the implementation of transboundary haze governance mechanisms in Southeast Asia; and (3) the evaluation of transboundary haze governance mechanisms in Southeast Asia. The synthesis of the literature presented indicates that, although the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) plays a significant role in managing transboundary haze, its implementation is hindered by ASEAN's non-intervention norms and national sovereignty principles. Other obstacles include weak enforcement mechanisms, limited institutional capacities, and differing interests among ASEAN member states. Public participation and the role of the media are identified as crucial in mobilizing support for environmental protection. Reflections in this literature review are based on mapping the background of the field, citation trends from selected academic literature, publication year distribution, and keywords. Based on these reflections, the review findings highlight several key points. First, the background mapping of studies on transboundary haze in Southeast Asia is dominated by international relations and environmental science fields. Second, citation trends from selected academic literature show increased attention to the role of the media and multilateral cooperation. Third, the publication year distribution shows a significant increase over the past decade, coinciding with the rise in haze incidents. Finally, the most frequently used keywords reflect a focus on haze governance, ASEAN cooperation, and environmental policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library