Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farida Dewi
Abstrak :
Meningkatnya pengguna internet dan juga penetrasi telepon seluler mengakibatkan masyarakat telah melakukan transaksi elektronik. Walau elektronik menghemat banyak waktu dan biaya ketimbang transaksi konvensional, namun transaksi via sistem telekomunikasi konvensional (circuit switching) ini relatif lebih aman ketimbang transaksi melalui internet (packet switching). Mengingat begitu pentingnya nilai dari sebuah transaksi, maka dalam menjamin keamanan bertransaksi yang dilakukan secara elektronik dapat sama seperti transaksi secara konvensional mengakibatkan munculnya tanda tangan elektronik. Dengan adanya ketentuan hukum yang mengatur mengenai Tanda Tangan Elektronik (TTE) membawa perubahan besar dalam menjamin autentikasi dan verifikasi serta dengan menghadirkan alat bukti baru pada hukum pembuktian. Nilai kekuatan pembuktian TTE semakin kuat dengan adanya penyelenggara sertifikasi elektronik (Certificate Authority/CA) sehingga CA memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dari data dan informasi para pihak terkait. Baru-baru ini penyelenggara tanda tangan digital di Belanda, yaitu DigiNotar, mengalami masalah dan menuai tanggung jawabnya sebagai CA. Disisi lain, Indonesia yang telah menggunakan CA asing pada bank-bank Indonesia dan telah tumbuhnya CA asing hendaknya dapat belajar dari kasus DigiNotar tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketentuan hukum TTE dan transaksi elektronik dalam konteks ilmu hukum serta mengkaji dan menganalisis tanggung jawab penyelenggara tanda tangan elektronik di Belanda dan Indonesia dengan menerapkan beberapa faktor dalam ketentuan hukumnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris, yaitu dengan melakukan inventarisasi hukum positif yang mengatur dan berkaitan dengan TTE dan tanggung jawab CA sedangkan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif, yaitu data sekunder yang berupa teori, definisi dan substansinya dari berbagai literatur, dan peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis dengan undang-undang, teori dan pendapat pakar yang relevan, sehingga didapat kesimpulan tentang tanggung jawab hukum penyelenggara tanda tangan elektronik. ......The increase of Internet users and mobile phone penetration has resulted in the electronic transactions. Although electronic saves a lot of time and cost than conventional transactions, but transactions via conventional telecommunications systems (circuit switching) is relatively more secure than transactions over the Internet (packet switching). To realize the importance of the value of a transaction, Thus to ensuring security of transactions conducted electronically can be the same as in the conventional transaction resulted in the emergence of Digital signatures. With the legal provisions governing of the Electronic Signatures (e-sign) brought major changes to ensure the authentication and verification as well as by presenting new evidence on the law of evidence. The power value of the e-sign more strength by the organizers of the electronic certification (Certificate Authority / CA) so that CA has an important role in maintaining the security of data and information related parties. Recently, new digital signature providers in the Netherlands, ie: DigiNotar, having problems and reap the responsibility as a CA. On the other hand, Indonesia has used foreign CA on banks in Indonesia and has been the growth of private CA must be able to learn from the case DigiNotar. The purpose of this study was to determine the legal provisions of e-sign and electronic transactions in the context of legal science as well as review and analyze the responsibility of the electronic signature in the Netherlands and Indonesia by implementing some of the factors in the law. This study uses an empirical approach, juridical, to conduct an inventory of the positive law governing and relating to the e-sign and responsibilities CA while the data in this study were analyzed by qualitatively ie: the secondary data such as theory, the definition and substance of the literature, and legislation and regulations, and then analyzed with the laws, theories and opinions of relevant experts, in order to get conclusions about the legal responsibilities of providers of electronic signatures.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31138
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Eka Setiawan
Abstrak :
Komunikasi real-time merupakan komunikasi yang dilakukan tanpa adanya waktu transmisi yang signifikan. VoIP dan video telephony merupakan beberapa teknologi komunikasi real-time dimana aliran media dilewatkan dalam jaringan IP. webRTC sebagai teknologi baru, membawa teknologi seperti VoIP dan Video Telephony ke dalam web. Untuk menjamin keamanan data yang dikirimkan, webRTC mengharuskan implementasi dengan menggunakan enkripsi. Namun, RTP yang merupakan protokol komunikasi real-time, tidak menggunakan enkripsi dalam implementasinya sehingga perlu penggunaan protokol yang lebih aman yaitu SRTP. SRTP menggunakan kunci simetris untuk melakukan enkripsi data dalam komunikasi real-time. SRTP menggunakan DTLS untuk melakukan manajemen kunci, pertukaran kunci dan autentikasi. DTLS menggunakan sertifikat digital dan mekanisme tanda tangan digital dalam skema autentikasinya. Kriptografi dengan kunci asimetris diimplementasikan pada skema autentikasi DTLS. Dua algoritma yang pada umumnya digunakan untuk melakukan autentikasi tersebut adalah RSA dan ECDSA. Pendekatan perhitungan antara kedua algoritma tersebut berbeda. RSA menggunakan faktorisasi bilangan prima yang besar sedangkan ECDSA menggunakan perhitugnan pada kurva eliptis. Perbedaan tersebut menghasilkan parameter komputasi yang berbeda. Dalam tulisan ini dilakukan perbandingan algoritma RSA dan ECDSA dalam hal penggunaan sumber daya dan implikasinya dalam webRTC. Tulisan ini menggunakan dua pendekatan dalam percobaan perbandingan. Pendekatan pertama melakukan komputasi langsung dalam sebuah perangkat untuk melihat penggunaan sumber daya yang diperlukan. Perdekatan kedua dilakukan dalam sistem panggilan video sehingga perbedaan terlihat dalam implementasi webRTC. Dari hasil pengujian pada dua pendekatan tersebut, didapatkan bahwa RSA memiliki peningkatan kebutuhan sumber daya dan waktu penyelesaian autentikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ECDSA. Rasio waktu CPU ECDSA terhadap RSA terus berkurang seiring peningkatan tingkat keamanan. Rasio menurun dari 0.2 menjadi 0,0002 pada pembuatan kunci, 2,6 menjadi 0,01 pada pembuatan signature, dan 62,0 menjadi 0,02 pada verifikasi signature untuk tingkat keamanan 80 dan 256. Alokasi memori RSA mendekati sepuluh kali lipat dibandingkan ECDSA pada tingkat keamanan 256 dan diprediksi meningkat seiring meningkatnya tingkat keamanan. Besar kunci yang digunakan mempengaruhi besar sertifikat dan verifikasi yang kirimkan. DTLS dengan maximum transmission unit sebesar 1500 byte memerlukan mekanisme fragmentasi untuk mengirimkan keseluruhan informasi. RSA dengan panjang kunci 15360 bit mengirimkan tiga puluh fragmen untuk sertifikat dan lima belas fragmen untuk verifikasi yang mempengaruhi waktu penyelesaian DTLS.Komunikasi real-time merupakan komunikasi yang dilakukan tanpa adanya waktu transmisi yang signifikan. VoIP dan video telephony merupakan beberapa teknologi komunikasi real-time dimana aliran media dilewatkan dalam jaringan IP. webRTC sebagai teknologi baru, membawa teknologi seperti VoIP dan Video Telephony ke dalam web. Untuk menjamin keamanan data yang dikirimkan, webRTC mengharuskan implementasi dengan menggunakan enkripsi. Namun, RTP yang merupakan protokol komunikasi real-time, tidak menggunakan enkripsi dalam implementasinya sehingga perlu penggunaan protokol yang lebih aman yaitu SRTP. SRTP menggunakan kunci simetris untuk melakukan enkripsi data dalam komunikasi real-time. SRTP menggunakan DTLS untuk melakukan manajemen kunci, pertukaran kunci dan autentikasi. DTLS menggunakan sertifikat digital dan mekanisme tanda tangan digital dalam skema autentikasinya. Kriptografi dengan kunci asimetris diimplementasikan pada skema autentikasi DTLS. Dua algoritma yang pada umumnya digunakan untuk melakukan autentikasi tersebut adalah RSA dan ECDSA. Pendekatan perhitungan antara kedua algoritma tersebut berbeda. RSA menggunakan faktorisasi bilangan prima yang besar sedangkan ECDSA menggunakan perhitugnan pada kurva eliptis. Perbedaan tersebut menghasilkan parameter komputasi yang berbeda. Dalam tulisan ini dilakukan perbandingan algoritma RSA dan ECDSA dalam hal penggunaan sumber daya dan implikasinya dalam webRTC. Tulisan ini menggunakan dua pendekatan dalam percobaan perbandingan. Pendekatan pertama melakukan komputasi langsung dalam sebuah perangkat untuk melihat penggunaan sumber daya yang diperlukan. Perdekatan kedua dilakukan dalam sistem panggilan video sehingga perbedaan terlihat dalam implementasi webRTC. Dari hasil pengujian pada dua pendekatan tersebut, didapatkan bahwa RSA memiliki peningkatan kebutuhan sumber daya dan waktu penyelesaian autentikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ECDSA. Rasio waktu CPU ECDSA terhadap RSA terus berkurang seiring peningkatan tingkat keamanan. Rasio menurun dari 0.2 menjadi 0,0002 pada pembuatan kunci, 2,6 menjadi 0,01 pada pembuatan signature, dan 62,0 menjadi 0,02 pada verifikasi signature untuk tingkat keamanan 80 dan 256. Alokasi memori RSA mendekati sepuluh kali lipat dibandingkan ECDSA pada tingkat keamanan 256 dan diprediksi meningkat seiring meningkatnya tingkat keamanan. Besar kunci yang digunakan mempengaruhi besar sertifikat dan verifikasi yang kirimkan. DTLS dengan maximum transmission unit sebesar 1500 byte memerlukan mekanisme fragmentasi untuk mengirimkan keseluruhan informasi. RSA dengan panjang kunci 15360 bit mengirimkan tiga puluh fragmen untuk sertifikat dan lima belas fragmen untuk verifikasi yang mempengaruhi waktu penyelesaian DTLS.
Real time communication RTC is a communication type without any significant transmission delay. VoIP and Video Telephony is an example of RTC technology where media streams are passed on IP networks. webRTC as a new technology brings VoIP and Video Telephony technologies into the web. To ensure the security data, webRTC requires implementation with encryption. RTP which is an RTC protocol does not implement encryption, so it needs to use a more secure protocol which is SRTP. SRTP uses symmetric keys to perform data encryption in the RTC. SRTP uses DTLS to perform key management, key exchanges and authentication. DTLS uses digital certificates and digital signature mechanisms to authenticate. Cryptography with asymmetric keys is implemented in the DTLS authentication mechanism. Two commonly used algorithms for authentication are RSA and ECDSA. The calculation approach between those two algorithms is different. RSA uses prime factorization while ECDSA uses elliptical curve computation. These differences produce different computational parameters. In this paper we compare the RSA and ECDSA algorithm in terms of resources and its implication in webRTC. This paper uses two approaches for comparative experiments. The first approach is do direct computing in a device to see the use resources. The second approach is done in a video call system so that differences are seen in webRTC implementation. From the test results in both approaches, it was found that RSA has higher resource requirements and process completion times compared to ECDSA. The ratio for CPU time of ECDSA to RSA continues to decrease as security levels increase. The ratios decreases from 0.2 to 0.0002 in key generation, 2.6 to 0.01 in key generation, and 62.0 to 0.02 in key generation for security levels of 80 and 256. RSA memory allocation approximately ten times higher than ECDSA at 256 security level and predicted to increases with increasing of security level. Size of key affect the size of the certificate and the verification in DTLS. DTLS with a maximum transmission unit of 1500 bytes requires a fragmentation mechanism to send whole information. RSA with a key length of 15360 bits sends thirty fragments for certificates and fifteen fragments for verification which affect DTLS completion time.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Citra Darsono
Abstrak :
[ABSTRAK
Dalam kinerja pemerintahan saat ini menghadapi “tekanan” dari berbagai pihak untuk meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan partisipasi aktif dalam pemberian informasi bagi masyarakat serta dituntut lebih efektif. Hal itu menyebabkan e- Government atau pemerintahan berbasis elektronik semakin berperan penting bagi semua pengambil keputusan. Salah satunya keputusan dalam hal pengesahan badan hukum Yayasan. Tesis ini akan menganalisis keabsahan Surat Keputusan yang dikeluarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan bagaimana tanggung jawab Notaris apabila terjadi kesalahan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Hasil penelitian ialah bahwa agar tercapainya tujuan pelayanan publik yang cepat, aman, dan efisien maka dalam proses penerbitan Surat Keputusan terhadap pengesahan badan hukum tidak dilakukan pemeriksaan kesesuaian dokumen sehingga memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada Notaris sehingga menyebabkan keraguan pada keabsahan Surat Keputusan tersebut yang seharusnya menjadi tanggung jawab Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan pengamanan untuk menjaga keautentikan dalam Surat Keputusan tidak cukup hanya menggunakan sistem QR Code tetapi juga dengan tanda tangan digital dengan digital certificate.
ABSTRACT
In the performance of the current government faces pressure from various parties to improve public services and increase active participation in providing information to the public and prosecuted more effectively. It causes e-Government or electronicbased government increasingly important role for all decision makers. One of them is a decision in the case ratification foundation. this thesis will analyze the valdity by the Minister of Law and Human Rights and how reponsibility of the notary in the case of errors. Method of research is normative juridicial or legal research literature. The results of the study is that in order to achieve the goal of public service that is fast, secure, and efficient then in the process of issuing a decision on the ratification of legal entities not assessment of conformity document giving full responsibility to the notary causing doubt on the validity of the decree that should be the responsibilty of the Minister of Law and Human Rights and safeguards to preserve the authenticity of the decree is not enough just to use QR Code system but also with digital signatures with digital certificate., In the performance of the current government faces pressure from various parties to improve public services and increase active participation in providing information to the public and prosecuted more effectively. It causes e-Government or electronicbased government increasingly important role for all decision makers. One of them is a decision in the case ratification foundation. this thesis will analyze the valdity by the Minister of Law and Human Rights and how reponsibility of the notary in the case of errors. Method of research is normative juridicial or legal research literature. The results of the study is that in order to achieve the goal of public service that is fast, secure, and efficient then in the process of issuing a decision on the ratification of legal entities not assessment of conformity document giving full responsibility to the notary causing doubt on the validity of the decree that should be the responsibilty of the Minister of Law and Human Rights and safeguards to preserve the authenticity of the decree is not enough just to use QR Code system but also with digital signatures with digital certificate.]
2015
T44008
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library