Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dillenia, A.C. Mackbon
Abstrak :
Penelitian ini dilaksanakan di 3 buah desa yaitu Desa Tobati, Desa Enggros dan Desa Holtekam serta pesisir pantai Teluk Youtefa yaitu: Pantai Hamadi dan Pantai Holtekam yang terletak di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua, pada bulan Januari-Maret 2002. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi permintaan dan potensi sediaan wisata di Taman Wisata Teluk Youtefa untuk kegiatan ekoturisme. Ekoturisme adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat (The Ecotourism Society, 1990). Potensi permintaan wisata yang dimaksud adalah dengan melihat jumlah permintaan, motivasi, persepsi dan perilaku wisatawan. Sedangkan potensi sediaan wisata adalah dengan melihat persepsi dan partisipasi masyarakat lokal terhadap kegiatan wisata serta kegiatan pengelolaan kawasan yang meliputi aspek pengelolaan dan fasilitas. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara terhadap 60 responden wisatawan dan 75 responden masyarakat desa sekitar kawasan Taman Wisata Teluk Youtefa. Penentuan kawasan desa dilakukan secara purposive wilayah yang potensial. Responden masyarakat desa dan penguniung kawasan wisata juga ditentukan secara purposíve. Data yang diperoleh diolah dengan cara mentabulasikan dan dianalisis sesuai dengan jenis data dan tujuan penggunaannya. Analisis tersebut adalah analisis potensi ekoturisme dan analisis terhadap pelaku ekoturisme. Hasil analisis menunjukkan bahwa potensi sediaan wisata Taman Wisata Teluk Youtefa berupa sumberdaya alam diminati oleh wisatawan. Masyarakat mempunyai persepsi yang baik dan positif terhadap kegiatan wtsata di kawasan Taman Wisata Teluk Youtefa. Hal ini dìtunjukkan oleh pengetahuan masyarakat yang baik terhadap kawasan yang adalah kawasan lindung sehingga perlu dilestarikan, dan adanya dukungan dan keinginan masyarakat setempat untuk berpartisipasi melalui pekerjaan sampingan yang ingin dilakukannya. Hasil penelitian terhadap wisatawan menunjukkan bahwa motivasi mereka mengunjungi kawasan Taman Wisata Teluk Youtefa adalah untuk berekreasi sehingga sebagian besar wisatawan datang dengan jumlah yang besar (> 5 orang). Wisatawan mempunyai persepsi yang baik dan positif terhadap keadaan alem, tetapi mempunyai persepsi yang kurang terhadap fasilitas dan pengelolaan kawasan, Perilaku wisatawan juga tidak melakukan tindakan-tindakan yang merusak di kawasan tersebut. Dengan demikian kegiatan ekoturisme yang akan dilaksanakan di masa akan datang harus berjalan bersama dengan wisata massal, sehingga diperlukan pembedaan pengelolaan pengunjung di dalam kawasan. Pada satu sisi tidak menghentikan kegiatan wisata massal yang sudah berjalan dan di sisi lain lingkungan kawasan Taman Wisata Teluk Youtefa tetap terjaga kelestariannya melalui ekoturime. Untuk memenuhi permintaan wisata di kawasan Taman Wisata Teluk Youtefa, penawaran wisata dan sudut pengelolaan serta penyediaan sarana pendukung wisata bagi kenyamanan pengunjung (amenitas) perlu untuk membentuk suatu badan pengelola di kawasan ini. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan aset aset wisata yang potensial menyediakan prasarana yang dibutuhkan dengan lebih baik, serta dapat melakukan pembinaan kepada masyarakat urituk meningkatkan perekonomian. Diharapkan melalul ekoturisme selain dapat melestarikan lingkungan juga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat melalui partisipasi dalam kegiatan wisata. ...... This study was designed to assess ecotourism demands and potentials at Taman Wisata Teluk Youtefa, specifically to understand the prospects for ecotounsm development, and to learn about visitors and the local communities motivations, perceptions, and tourist attitudes. The definition of ecotourism is responsible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well being of local people (The International Ecotourism Society, 1990). The study was conducted ini 3 villages: Tobati, Eriggros, and Hottekam Villages, and the coast of Youtefa Bay, includes Hamadi and Hottekam Beaches, Jayapura Region, Papua, from January to March, 2002. Data was collected by interviewing 60 tourists and 75 local communities, who visited and resided near Taman Wisata Teluk Youtefa. Villages were purpostvely selected on the bases of ecotourism potential (purposive sampling). Respondents were purposively sampled to asses their motivations, perceptions and attitudes toward ecotourism in the Taman Wisata Teluk Youtefa Data was collected were tabulated and analyzed accordingly to determine the ecotounsm prospects and responses of the local communities. The results indicated that the respondents believed that Taman Wisata Teluk Youtefa as natural resource as one of the prospective for ecotouflsm. Local communities around TWTY have perspectives toward ecotourism. They also understand and support the protected status of Teman Wisata Teluk Voutefa, and expressed their willingness to participate in ecotourism activities. The main motivation to visit Taman Wisata Teluk Youtefa was recreation and the tourists usually come in a big group (> 5 persOns). The majority of tourists had positive perceptions about the landscaPe and scenery, but felt that facilities and management of Teman Wisata Teluk Youtefa should be Improved. The majority of visitors demonstrated positive attitudes towards conserving the nature within Taman Wisata Teluk Youtefa area. Ecotourism must be made compatible with mass tourism, therefore Teman Wisata Teluk Youtefa should be differently managed for handling visitors in the future. One hand Teman Wisata Teluk Youtefa must support mass tourism, but on other hand ecotounsm conserve the nature within Taman Wisata Teluk Youtefa. To meet the tourists demands and realize ecotourism, the management of Taman Wisata Teluk Youtefa, a management body, should be established for this park, in order to manage the tourism assets to be properly managed1 and at the same time providing public facilities, and supporting local community efforts to increase their economic welfare. It is hoped through community participation in ecotounsm, nature Will be preserved and people welfare be improved.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2003
T4354
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
PATRA 4:4 (2003)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dela Almira Aryanti
Abstrak :
Kemampuan suatu habitat dalam mendukung kelestarian burung di area setempat turut dipengaruhi oleh jenis pohon yang tersedia. Falcataria moluccana merupakan salah satu pohon yang banyak digunakan dalam lanskap area perkotaan serta pernah diteliti di lokasi lainnya bahwa jenis pohon tersebut berperan besar dalam mengakomodasi keanekaragaman maupun beberapa aktivitas burung setempat. Namun, keseluruhan aktivitas burung yang mampu diakomodasi oleh Falcataria moluccana, lebih khususnya di area perkotaan, masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis aktivitas pemanfaatan pohon serta proporsi relatif antara jenis-jenis aktivitas pemanfaatan pohon Falcataria moluccana oleh burung pada salah satu area hijau perkotaan, yaitu Taman Wisata Pulau Situ Gintung-3. Penelitian dilakukan selama total 24 hari pada bulan April-Mei 2022 di hari tanpa hujan atau angin kencang dan di hari Taman Wisata Pulau Situ Gintung-3 beroperasi. Penelitian menggunakan dua metode yaitu scan sampling untuk mengamati aktivitas makan, bertengger dan menelisik dan nest count untuk mengamati aktivitas bersarang. Data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai bagian pohon kecuali bagian buah/biji dimanfaatkan oleh 10 spesies burung setempat untuk berbagai aktivitasnya. Jenis aktivitas dan banyaknya jenis aktivitas pemanfaatan pohon tertentu seiring dengan ketersediaan sumber daya untuk aktivitas tersebut yang sesuai dengan karakteristik masing-masing spesies. Aktivitas pemanfaatan pohon jenis makan dapat dilakukan oleh 3 feeding guild (nektarivora-insektivora, insektivora, frugivora-insektivora) serta mungkin 1 feeding guild (piscivora/karnivora). Jenis aktivitas bersarang dapat dilakukan oleh 1 nesting guild (cavity nester) pada bagian cabang mati. Jenis aktivitas yang dapat dilakukan secara relatif paling banyak hingga sedikit yaitu makan, bertengger kemudian menelisik. Pengetahuan tersebut dapat membantu untuk menjadi pertimbangan dalam manajemen terkait pohon untuk mengakomodasi kelestarian burung di area perkotaan, terutama dengan pohon Falcataria moluccana. ...... The ability of a habitat to support the conservation of birds in an area is also influenced by the types of trees available. Falcataria moluccana is a species of tree that is widely used in urban landscapes and have been studied in other locations that the tree plays a major role in accommodating the diversity and some activities of local birds. However, the overall scope of bird activities that can be accommodated by Falcataria moluccana, especially in urban areas, is still unknown. This study aims to determine and analyze the utilization activites and relative proportions between types of utilization activities of birds upon the Falcataria moluccana tree in an urban green area, namely Situ Gintung Island Recreational Park-3. The study was conducted for a total of 24 days from April to May 2022 on days without rain or strong winds and on days when the Situ Gintung Island Recreational Park-3 was operating. The study used two methods, namely scan sampling to observe feeding, perching and preening activities and nest count to observe nesting activities. Data were tabulated and analyzed descriptively. The results showed that various parts of the tree except the fruit/seeds were utilized by 10 local bird species for various activities. The type of activity and amount of each type of activity observed was in line with the availability of resources for these activities in accordance with the characteristics of each species of bird. The activity of feeding could be carried out by 3 feeding guilds (nectarivores-insectivores, insectivores, frugivores-insectivores) and possibly 1 more feeding guild (piscivores/carnivores). The activity of nesting could be carried out by 1 nesting guild (cavity nester) on dead branches. The types of activities that can be done the most to the least relatively were eating, perching and finally preening. This knowledge can become a consideration in management about trees to help in accomodating bird conservation in urban areas, especially with Falcataria moluccana trees.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naila Zackeisha
Abstrak :
Gangguan antropogenik di wilayah pesisir akhir-akhir ini meningkat karena peningkatan populasi. Gangguan yang dimaksud dapat berupa produk kegiatan manusia yang merusak ekosistem di sekitarnya, seperti sampah, pembangunan industri, perumahan dan fasilitas umum. Salah satu ekosistem yang terancam dari gangguan tersebut adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove memiliki berbagai peran bagi lingkungan dan manusia, salah satunya sebagai habitat biota seperti burung air, yang memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai tempat bersarang dan mencari mangsa. Pengaruh gangguan antropogenik terhadap lingkungan diketahui melalui media yang mampu menunjukkan hubungan antara keduanya, seperti Index of Waterbird Community Integrity (IWCI) dimana burung air digunakan sebagai bioindikator perubahan kualitas lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor gangguan antropogenik berupa penggunaan lahan, jumlah pengunjung, polusi suara, kecerahan air dan kadar fosfat terhadap kualitas lingkungan melalui penilaian skor IWCI. Penelitian dilakukan di Taman Wisata Alam Angke Kapuk (TWAAK) pada bulan Oktober hingga November tahun 2019. Sebanyak 17 jenis burung air berhasil diidentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai IWCI dalam TWAAK berkisar antara 13,75 hingga 17,61 dengan rata-rata 16,02. Berdasarkan kriteria skor IWCI, nilai rata-rata menunjukkan bahwa kualitas lingkungan TWAAK tergolong 'buruk-sedang'. Data korelasi gangguan antropogenik dan skor IWCI menunjukkan hubungan negatif yang signifikan terhadap jumlah pengunjung dan persentase penggunaan lahan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa hubungan yang signifikan antara jumlah pengunjung mempengaruhi nilai IWCI sebesar -0,109 dan persentase penggunaan lahan yang paling signifikan adalah -0,136. ......Anthropogenic disturbances in coastal areas have recently increased due to population growth. The disturbance in question can be in the form of a product of human activities that damage the surrounding ecosystem, such as garbage, industrial development, housing and public facilities. One of the ecosystems that are threatened from this disturbance is the mangrove ecosystem. Mangrove ecosystems have various roles for the environment and humans, one of which is as a habitat for biota such as water birds, which use the mangrove ecosystem as a place to nest and find prey. The influence of anthropogenic disturbances on the environment is known through media that are able to show the relationship between the two, such as the Index of Waterbird Community Integrity (IWCI) where waterbirds are used as bioindicators of changes in environmental quality. This study aims to determine the relationship between anthropogenic disturbance factors in the form of land use, number of visitors, noise pollution, water brightness and phosphate levels on environmental quality through an IWCI score assessment. The research was conducted at the Angke Kapuk Nature Tourism Park (TWAAK) from October to November 2019. A total of 17 species of water birds were identified. The results showed that the IWCI value in the TWAAK ranged from 13.75 to 17.61 with an average of 16.02. Based on the IWCI score criteria, the average score indicates that the environmental quality of TWAAK is classified as 'poor-moderate'. Correlation data of anthropogenic disturbances and IWCI scores showed a significant negative relationship to the number of visitors and the percentage of land use. The results of the regression analysis showed that the significant relationship between the number of visitors affected the IWCI value of -0.109 and the most significant percentage of land use was -0.136.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Muchairina
Abstrak :
Sebagai ekosistem peralihan antara wilayah darat dan laut, pengelolaan mangrove harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dan melalui berbagai pendekatan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif melalui studi kepustakaan. Peneliti turut melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber untuk sebagai data pendukung. Terdapat dua permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, yaitu mengenai kelembagaan dan tata kelola hutan mangrove di Indonesia serta penerapan pengelolaan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke (SM Muara Angke) dan Taman Wisata Angke Kapuk (TWA Angke Kapuk) sebagai bagian dari Kawasan Hutan Mangrove Angke Kapuk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mangrove memiliki berbagai macam fungsi dan manfaat. Akan tetapi, pengelolaan terhadap mangrove di Indonesia belum dilaksanakan secara terpadu. Kemudian, dalam pengelolaan mangrove di kawasan SM Muara Angke dan TWA Angke Kapuk ditemui beberapa kendala, seperti keterbatasan anggaran, sarana prasarana, dan sumber daya manusia, kurangnya koordinasi antar para pihak, permasalahan batas kawasan, rendahnya keterlibatan masyarakat, serta kegiatan masyarakat di sekitar kawasan.
As mangroves are an ecosystem at the interface between land and sea, their management involves various stakeholders as well as various approaches. Therefore, an integrated management of mangroves is required to protect and preserve them. This normative juridical research study uses materials derived from literature. The researcher also conducted several interviews to obtain supporting data. There are two questions that will be discussed in this study, namely the authority and management of mangrove forest in Indonesia, and the implementation of mangrove management in Muara Angke Wildlife Reserve and the Angke Kapuk Nature Recreation Park, which are part of the Angke Kapuk Mangrove Forest. The results show that mangroves have important functions and uses. However, the management of mangroves in Indonesia has not been yet integrated. The implementation of mangrove management in both the Muara Angke Wildlife Reserve and the Angke Kapuk Nature Recreation Park has faced several obstacles, such as limited budget, infrastructure, and facilities as well as lack of personnel and coordination, boundary issues, limited engagement from the local community, and human activities.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elly Fatimah
Abstrak :
Penelitian dengan judul Desentralisasi Bidang Pariwisata Di Daerah : Studi Kasus Peletakan Kewenangan Pengelolaan Taman Wisata Candi Prambanan Di Daerah Istimewa Yogyakarta ini dilatarbelakangi oleh keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pernerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam pasal 9 UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa Propinsi sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. Selain itu termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan kewenangan Daerah Kabupaten/Kota mencakup semua kewenangan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan yang diatur dalam pasal 9. Pariwisata sebagai salah satu sub sektor yang penting peranannya bagi perekonomian nasional maupun daerah, ofeh Pemerintah Propinsi DIY maupun Pemerintah Kabupaten Sleman ditetakkan sebagai sektor unggulan daerah yang diharapkan dapat menjadi penggerak perekonomian daerah setempat. Candi Prambanan yang merupakan obyek wisata penting bagi sektor pariwisata di DIY dimana pengelolaannya saat ini dilakukan oleh suatu BUMN, telah diperebutkan kewenangan pengelolaannya baik oleh Pemerintah Propinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman maupun antara Pemerintah Kabupaten Sleman dan Pemerintah Kabupaten Klaten. Hal ini disebabkan karena lokasi obyek wisata tersebut terletak antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten yang merupakan perbatasan Propinsi Sawa Tengan dengan Propinsi DIY. Belum adanya peraturan yang mengatur tentang kewenangan pengelolaan Taman Wisata Candi Prambanan (TWCP) di era desentralisasi saat ini, mengakibatkan terjadinya konflik perebutan kewenangan antara Pemerintah Propinsi DIY dengan Pemerintah Kabupaten Sleman. Dari latar belakang tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah pada tingkat pemerintahan manakah pengelolaan Taman Wisata Candi Prambanan sebaiknya diletakkan serta model pengelolaan bagaimanakan yang dapat menjawab tuntutan desentralisasi dari pemerintah daerah pada saat ini? Permasalahan tersebut penulis coba selesaikan dengan pendekatan model desentralisasi fiscal dari Anwar Shah (1994), bahwa untuk menentukan letak suatu kewenangan dapat diukur dengan kriteria-kriteria desentralisasi yaitu : a. economies of scale, b. economies of scope, c. benefit-cost spinout, d. consumer sovereignty, e. political proximity dan d. economic evaluation of sectoral choice. Sedangkan untuk menentukan model pengelolaan terbaik yang dapat menjawab tuntutan desentralisasi dari pemerintah daerah, penulis mengajukan 3 alternatif model pengelolaan yaitu 1. Pengelolaan TWCP secara mandiri oleh pemerintah daerah setempat, 2. Pengelolaan TWCP secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah melalui kepemilikan saham, 3. Pengelolaan TWCP oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat bagi basil (statusquo). Sesuai dengan pendapat World Bank (1998) bahwa untuk meletakan suatu kewenangan hams dilihat juga kemampuan kelembagaannya yang terdiri dari kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan keuangan, maka masing-masing tingkat pemerintahan dilihat juga ampek kelembagaanya, sesuai dengan tuntutan persyaratan model yang ditawarkan. Tuntutan persyaratan model 1 antara lain adalah tercapainya skala ekonomi dan terpenuhinya kualitas sumber daya manusia, Model 2 menuntut kemampuan keuangan dari pemerintah daerah untuk membeli saham yang ditawarkan. Sedangkan model 3 tidak menuntut persayaratan tertentu. Setelah dilakukan penelitian di lapangan dengan menyebarkan kuessioner kepada responden (expert) dan wawancara mendalam maka tingkat pemerintahan yang paling tepat untuk mengelola TWCP adalah Pemerintah Pusat. Hal ini terutama disebabkan karena Masan economic evaluation of sectored choice, yaitu bahwa TWCP peranannya sangat penting bagi perekonomian nasional, regional maupun lokal, sehingga perlu dikelola oleh pemerintah pusat. Ada faktor non ekonomi yang juga sangat menentukan bahwa pemerintah pusat harus mengelola TWCP, yaitu bahwa Candi Prambanan merupakan salah satu world heritage yang ada di Indonesia, dimana pengelolaannya diawasi oleh UNESCO. Karena itu ada kekhawatiran jika kewenangan pengelolaan TWCP diserahkan sepenuhnya kepada pemda setempat akan terjadi eksploitasi terhadap obyek wisata tersebut demi untuk peningkatan PAD, yang pada akhirnya akan merusak keutuhan dan keaslian Candi Prambanan. Selanjutnya setelah dilakukan analisa terhadap laporan keuangan, maka model pengelolaan terbaik yang dapat menjawab tuntutan desentralisasi adalah model pengelolaan secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah meialui kepemilikan saham. Hanya saja yang menjadi kendala untuk saat ini adalah bahwa pemerintah daerah setempat (Pemerintah Propinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman) belum mampu untuk membeli sejumlah saham yang ditawarkan. Sedangkan model pengelolaan yang ditempuh oleh pemerintah pusat saat ini yaitu bagi hasil, di mana kewenangan pengelolaan ada di pemerintah pusat dan pemerintah Kabupaten Sleman bersama-sama Pemerintah Kabupaten Klaten mendapatkan bagi hasil sebesar 5,65% dan 4,35% dari retribusi obyek wisata Prambanan belum memuaskan semua pihak. Pemerintah Propinsi DIY dan Pemerintah Propinsi Sawa Tengah sebagai pihak yang mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan suaka peninggalan sejarah dan purbakala Candi Prambanan serta promosi wisata belum mendapatkan kontribusi keuangan dari retribusi obyek wisata tersebut. Oleh karena itu penulis sarankan agar perlu adanya kontribusi keuangan dari retribusi obyek wisata TWCP terhadap pemerintah propinsi setempat, mengingat kemampuan keuangan pemerintah propinsi saat ini sangat kecil.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T1795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enny Sulistyowati
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai ekonomi Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk di kota Jakarta Utara dengan menggunakan metode biaya perjalanan dan untuk memperkirakan permintaan pengunjung dan kemauan untuk membayar (willingness to pay/WTP). Data untuk penelitian ini dikumpulkan dengan melakukan survei pada 100 sampel pengunjung. Data dianalisis dengan menggunakan model regresi log-log. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa biaya perjalanan dan pendapatan mempengaruhi total kunjungan individu dan menunjukkan bahwa rata-rata kesediaan pengunjung untuk membayar adalah Rp.276.921 per individu per tahun. Nilai ekonomi dari TWA Angke Kapuk yang berasal dari kesediaan untuk membayar pada Tahun 2014 diproyeksikan sebesar Rp.2,42 miliar. Saat ini, kebijakan untuk menaikan tarif masuk adalah solusi yang mungkin untuk membiayai konservasi.
ABSTRACT
This research aim to evaluate the economic value of Angke Kapuk natural tourism park (TWA Angke Kapuk) in North Jakarta by travel cost method and to estimate the demand for traveling and the willingness to pay. The data for this research were collected by conducting surveys on 100 sample visitors. The data were analyzed by using log-log regression model. The result of this research indicated that travel cost and income affected total individual visits and showed that visitors’ average willingness to pay was Rp.276.921 per head per year. The economic value of TWA Angke Kapuk in 2014 is projected to reach Rp.2.42 billion. At present, the policy to increase entrance fees is a possible solution to finance conservation.
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irena Lucy Ishimora
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai pendaftaran tanah yang dilakukan berdasarkan pelepasan hak atas tanah adat khususnya Suku Dawir di Kampung Tobati, Jayapura Selatan. Hal ini menjadi masalah karena proses pendaftaran dan peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang dilakukan berdasarkan Sertipikat Hak Milik yang terbit karena pendaftaran tersebut terjadi pada kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa Jayapura. Penulis menganalisis akibat hukum dari pendaftaran dan peralihan hak atas tanah bersertipikat Hak Milik pada kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa berdasarkan kasus yang terdapat Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 147/Pdt.G/2017/PN.Jap. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif. Penulis melakukan analisis menggunakan teori pendaftaran tanah dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana tumpang tindih kepemilikan lahan yang dapat terjadi pada tanah-tanah yang berasal dari hak ulayat masyarakat adat dan berada pada kawasan hutan. Penerbitan sertipikat Hak Milik seharusnya tidak dapat dilakukan terhadap kawasan hutan yang dalam hal ini adalah Taman Wisata Alam. Peralihan hak atas tanah yang dilakukan berdasarkan sertipikat tersebut juga seharusnya batal demi hukum.
ABSTRACT
This thesis examines the land registration based on waiver of rights on communal rights especially in Dawir Tribe, Tobati Village South Jayapura. This became a problem because the land registration and land right transition based on previous freehold title happen above the Youtefa Bay Nature Recreational Park. The writer analyzed the effect of the registration and land right transition according the case happened in Jayapura Court District Number 147/Pdt.G/2017/PN.Jap. This thesis used a library research. The writer analyzed using the land registration theory and relevant regulations. This exploration showed how overlapping land ownership could happen at the land owned by indigenous people, especially thus located in the forest area. Freehold title publication should't happen above forest area including Nature Recreational Park area. The land rights transition did based on the certificate couldn't happen to and should be stated illegal.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library