Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Ernawati
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini telah mendorong penemuan berbagai senyawa makromolekul yang memiliki potensi terapeutik. Namun sayangnya, pengembangan senyawa-senyawa ini menjadi obat seringkali terhambat, karena banyak dari senyawa-senyawa terapeutik baru ini mengalami kesukaran dalam penghantarannya ke situs sasaran. Padahal suatu molekul terapeutik baru bermanfaat sebagai obat jika sudah mencapai situs sasarannya. Masalah penghantaran obat (drug delively) ini telah menjadi topik penelitian yang menarik sejak beberapa dekade yang lalu. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan penghantaran obat ke situs sasarannya, antara lain dengan modifikasi molekul (strategi prodrug) atau dengan melakukan modulasi terhadap junction antar sel.

Junction antar sel dapai dimodulasi dengan menggunakan berbagai senyawa, antara lain EDTA, surfaktan, asam-asam dan garam empedu, beberapa jenis hormon dan neurotransmiter, senyawa-senyawa silokalasin, Serta senyawa-senyawa penghambat glikolisis dan fosforilasi oksidatif. Namun senyawa-senyawa tersebut tampaknya tidak memiliki prospek yang baik untuk penggunaan klinis.
ABSTRACT
Rapid advances in combinatorial chemistry and molecular biology are responsible for the discovery of many potential therapeutic agents. These agents include newly synthesized or naturally occurring peptides and proteins. However, the practical application of peptides and proteins as therapeutic drugs is often restricted by the difficulties of delivering them to target site(s) due to the presence of biological barricades such as the intestinal mucosa and the blood-brain barrier (BBB). These barriers usually consist of cell membranes constructed from cells that form intercellular junctions.

Peptides and proteins cannot readily cross via trancellular pathways of these barriers due to their size and hydrnphilioproperties. Alternatively, these molecules maybe transported through the paracellular pathway. Unfortunately, the paracellular transport of these molecules is restricted by the presence of tight junctions. Tight junctions have minimal porosity (11 A) allowing only small molecules and ions to pass through the paracellular route. Therefore, there is a need to develop methods for improving paracellular delivery of large hydrophilic molecules such. as peptides and proteins.
2001
D1250
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arrum Mutiara
Abstrak :
Pendahuluan: Periodontitis merupakan suatu penyakit inflamasi terkait bakteri yang dikarakteristikan dengan interaksi antara sistem pertahanan tubuh host dan patogen. Porphyromonas gingivalis (P.gingivalis) merupakan salah satu bakteri red complex yang berperan dalam menginisiasi terjadinya periodontitis. Gingiva merupakan lini pertahanan mekanis, yang disebut sebagai gingival barrier function. Tight junction gingiva merupakan salah satu yang berperan dalam fungsi pertahanan tersebut dan kemampuan tubuh dalam merespon patogen dipengaruhi oleh usia. Tujuan: Mendapatkan perbedaan ekspresi gen tight junction gingiva terhadap stimulasi P.gingivalis. Metode: Studi eksperimental menggunakan jaringan gingiva tikus usia 18 minggu dan 35 minggu. Sampel kemudian dikultur dan diberikan stimulasi live P.gingivalis dan hasil sekresi P.gingivalis. Pengukuran dilakukan untuk menilai laju proliferasi, laju metabolisme, dan ekspresi tight junction sel gingiva tikus. Hasil: Sel gingiva tikus tua menunjukkan laju proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan sel gingiva tikus tua, namun pada uji statistik tidak terdapat perbedaan signifikan pada kedua kelompok. Terdapat kecenderungan peningkatan laju metabolisme dan ekspresi gen tight junction gingiva yang lebih tinggi pada sel gingiva tikus muda dibandingkan sel gingiva tikus tua, namun pada uji statistik tidak terdapat perbedaan signifikan pada kedua kelompok. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan ekspresi gen tight junction gingiva terkait usia. ......Introduction: Periodontitis is an inflamatorry disease associated with the interaction of host immune systemn and pathogen. Porphyromonas gingivalis is one of the red complex bacteria that plays important role in initiating periodontitis. Gingiva act as mechanical defense towards the pathogen, which is known as the gingival barrier function,including gingival tight junctions. Body’s ability to respond stimuli and environmental condition is influenced by age, this also affect the respond of host immune system to pathogens. Objective: To analyse the tight junction gene expression to Porphyromonas Gingivalis intervention. Material and Methods: Aging experimental model was conducted by using two age categories male rodents, 18 and 58 weeks. Rodents gingival cell was intervened with Porphyromonas gingivalis and its product from the broth medium. Meassurements were made to analyse the proliferation rate, metabolic rate, and gingival tight junction gene expression. Result: The old rodent group shows higher proliferation rate, but there was no statistically differences between two groups. There was a tendency of increase value for the metabolic rate and gingival tight junction gene expression in young rodent group compare to old rodent group. Conclusion: There was no differences of the gingival tight junction expression in related to aging.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sidik Noertjahjono
Abstrak :
Detektor yang baik merupakan divais yang mampu bekerja pada frekuensi yang lebar, peka terhadap foton yang datang dan tidak menimbulkan derau yang mengganggu dalam proses komunikasi maupun dalam bidang instrumentasi. Untuk maksud tersebut dipilih jenis fotodioda jenis p-i-n dengan bahan aktif semikonduktor GaInAsP sebagai campuran empat macam bahan semikonduktor dari komposisi III dan V pada tabel periodik kimiawi. Dalam tesis ini dibahas tentang perhitungan dan analisa karakteristik fotodioda p-i-n, dari analisa diketahui bahwa hal ini sangat dipengaruhi aleh ketebalan lapisan yang atas (p+), sedangkan lapisan i (intrinsik) pada ketebalan tertentu sampai maksimum tidak mengalami peningkatan effisiensi, disamping itu unjuk kerja fotodioda secara umum sangat dipengaruhi pula oleh nilai resistansi bebannya. A good device for detector should operate at. wide band range, and sensitive to incident photon and produce low noise in both fields of communication and instrumentation systems. For that purpose the device used a type of p-i-n photodiode which contains active layers as quaternary of 111 and V compound in periodic system. This thesis describes design and analysis of p-i-n photodiode to be used as a laser detector for )..= 1,.28 wiz . The Result show that the thickness of first (p+) and second (z) layer will limit the external efficiency of the detector, and also the load resistance will effect influence the performance of the detector.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnil Mubarak
Abstrak :
Pendahuluan dan tujuan: Obstruksi pada persimpangan ureteropelvic dapat ditangani dengan pembedahan atau laparoskopi. Laparoskopi pieloplasti (LP) menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada pembedahan. Penelitian ini bertujuan untuk melaporkan pengalaman pertama dari laparoskopi pieloplasti sebagai penanganan pada UPJO. Bahan dan metode: Pengumpulan data retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Adam Malik, Medan dari tahun 2017 hingga 2019. Pasien didiagnosa dengan UPJO melalui renogram atau CT Scan dan gejala yang muncul ditawarkan untuk dilakukan LP sebagai pilihan terapi. Surat persetujuan didapatkan setelah adanya penjelasan terkait resiko, alternative dan ilmu baru dari Teknik laparoskopi. Status selama operasi, yakni lama operasi, kehilangan darah, serta segala luaran yang negative, dilakukan pencatatan. Hasil: didapatkan total 10 pasien yang dilakukan LP dengan usia rerata adalah 6.10 (+ 3.64) tahun; pria dan wanita didapatkan sebanyak delapan (80%) dan dua (20%). Rata-rata waktu operasi adalah 291,00(+22,828) menit, sedangkan jumlah kehilangan darah selama operasi adalah 56.00 (+18,97)ml, dan lama perawatan adalah 5,7(+0,95) hari. Rerata waktu yang dibutuhkan untuk melakuakn aktifitas kembali adalah 7,30(+0,95) hari. Tiak ditemuan komplikasi setelah operasi pada seluruh pasien. Kami melakukan evalausi dengan USG dan menemukan adanya hidronefrosis ringan pada enam pasien (60%) dan sedang pada empat pasien (40%). Kesimpulan: Dari pengalaman pertama melakukan LP, Teknik ini ditemukan berpotensi sebagai terapi pilihan untuk pieloplasti pada kasus UPJO. Kami menemukan hasil yang sebanding dengan penelitian lain dalam hal waktu operasi dan jumlah kehilangan darah selama operasi yang lebih baik. LP dapat digunakan sebagai opsi lini pertama pada penanganan UPJO. ......Introduction and objectives: Ureteropelvic junction obstruction (UPJO) can be treated with surgery or laparoscopy. Laparoscopic pyeloplasty (LP) has been shown to provide better results than surgery. This study aims to report our first experience of laparoscopy pyeloplasty as the management of UPJO. Materials and methods: Retrospective data collection were done in Adam Malik General Hospital, Medan from 2017 to 2019. Patients with UPJO diagnosed by renogram or CT scan and symptoms were offered LP as the treatment option. Informed consent was obtained after explanation about risks, alternatives, and novelty of the laparoscopic technique. Intraoperative status, including duration of operation, blood loss, and all negative outcome, was documented.

Results: A total of 10 patients underwent LP with the average of age was 6.10 (± 3.64) years old; male and female patients were eight (80%) and two (20%). The mean of operation time was 291.00 (±22.828) minutes, while intraoperative blood loss was 56.00 (±18.97) mL, and the length of stay was 5.70 (±0.95) days. The average time to perform daily activities was 7.30 (±0.95) days. No postoperative complication was found in all of our patients. We performed an USG evaluation and revealed mild hydronephrosis in six patients (60%) and moderate hydronephrosis in four patients (40%). Conclusion: From our first experience in performing LP, this technique was found to be a potential treatment option in pyeloplasty for UPJO. We found the comparable result to other studies in term of operative times and a better intraoperative blood loss. LP could be used as the first line option for management of UPJO.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Sardjono
Abstrak :
Currently, three single junction–type Thermal Voltage Converter (TVC) standard units represent the highest standard of AC (Alternating Current) voltages owned by the Electrical Metrology Laboratory, Research Centre for Metrology—Indonesian Institute of Sciences. The accuracy of the single junction–type TVC is maintained regularly via intercomparison processes using a one-step build-up and build-down method. To reduce the calibration process quantity, three steps of build-up and build-down measurements that refer to the 4 V measurement point of a HOLT production single junction–type TVC were carried out. The dissemination processes with the best measurement accuracy up to 20 ppm were successfully obtained from measurement points between 1 V and 20 V via 4–1V, 4–2V, 4–3V, 4–6V, 4–10V, and 4–20V formations.
Depok: Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, 2018
UI-IJTECH 9:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel, Alwyn Geraldine
Abstrak :
[Ureteropelvic junction obstruction (UPJO) merupakan salah satu kelainan kongenital traktus urinarius dengan insidensi 5/100.000 per tahun. Tindakan bedah yang minimal invasif dapat memberikan waktu operasi yang lebih singkat, morbiditas minimal, penurunan kebutuhan analgesia pascaoperasi, waktu rawat yang lebih singkat, dan penyembuhan yang lebih cepat daripada operasi terbuka. Meskipun demikian, tatalaksana optimal ureteropelvic junction obstruction masih dalam perdebatan. Banyak studi yang membandingkan endopielotomi dan pieloplasti per laparoskopi. Angka kesuksesan endopielotomi dan pieloplasti dilaporkan bervariasi dalam berbagai studi. Tujuan Untuk mengidentifikasi tatalaksana optimal dari ureteropelvic junction obstruction. Metode Meta-analisis dari studi kohor yang dipublikasi sebelum Februari 2014 dilakukan dengan menggunakan data Medline. Kriteria inklusi adalah tatalaksana ureteropelvic junction obstruction dengan endopielolitotomi (antegrad dan atau retrograd) dan pieloplasti per laparoskopi (transperitoneal atau retroperitoneal). Kriteria eksklusi adalah perbaikan UPJO sekunder dan fungsi ginjal yang buruk. Kriteria sukses didefinisikan sebagai tidak adanya gejala klinis dan dikombinasikan dengan penurunan hidronefrosis secara signifikan yang ditunjukkan dengan diuretic IVU atau ultrasonografi dan tidak ada tanda obstruksi pada diuretic IVU atau renografi diuretik atau tes Whitaker. Random-effect model dengan metode DerSirmonian-Laird digunakan untuk menghitung risk ratio (RR) dan 95% interval kepercayaan (IK) gabungan. Heterogenitas dinilai dengan menggunakan statistik I2. Semua analisis dilakukan dengan menggunakan Stata statistical software, versi 12.0 (StataCorp). Hasil Kami menganalisa 4 studi kohor. Angka kesuksesan dari 479 pasien (233 pieloplasti per laparoskopi, 246 endopielotomi), 21 bulan pascaoperasi, adalah 92.3% (215/233) setelah pieloplasti per laparoskopi, 63.8% (157/246) setelah endopielotomi. Berdasarkan angka keberhasilan tatalaksana UPJO, pieloplasti lebih baik daripada endopielotomi (risk ratio keseluruhan adalah 1.35 (95% CI 0.97 hingga 1.88); p<0.0001 dan I2=90.6 %). Kesimpulan Pieloplasti per laparoskopi memiliki angka keberhasilan yang lebih tinggi daripada endopielotomi. Metaanalisis ini dapat membantu ahli urologi sebelum memulai tindakan terapi UPJO., The ureteropelvic junction obstruction (UPJO) is one of the most common congenital abnormalities of the urinary tract with a reported incidence of 5/100,000 annually. Minimal invasive surgeries have emerged giving short operative time, minimal morbidity, decreased postoperative analgesic requirements, shorter hospitalization, and early recovery and convalescence compared to open surgery. Yet, the optimal management of ureteropelvic junction obstruction is still in debate. Many studies have been conducted comparing endopyelotomy and laparoscopic pyeloplasty. The success rates of endopyelotomy and pyeloplasty are reported in various success rate in many studies. Objective To identify the optimal management of ureteropelvic junction obstruction . Method A meta-analysis of cohort study published before February 2014 was performed using Medline databases. Management of ureteropelvic junction obstruction treatment using endopyelolitotomy (anterograde and or retrograde) and laparoscopic pyeloplasty (transperitoneal or retroperitoneal) were included. Publication using secondary UPJO repair, poor functioning kidney were excluded. Success was defined as absence of any clinical symptoms and combined with significant reduction of hydronephrosis showed with on diuretic IVU or ultrasonography result, and no sign of obstruction on diuretic IVU or diuretic renography or Whitaker test. A random-effects model with DerSirmonian-Laird method was used to calculate the pooled Risk Ratio (RRs) and 95% Confidence Interval (CI). We assessed the heterogeneity by calculating the I2 statistic. All analyses were performed with Stata statistical software, version 12.0 (StataCorp). Result We analized 4 cohort studies. The success rate from 479 patients (233 laparoscopic pyeloplasty, 246 endopyelotomy), 21 months postoperatively, was 92.3% (215/233) after laparoscopic pyeloplasty, 63.8% (157/246) after endopyelotomy. Based on success rate in ureteropelvic junction obstruction management, laparoscopic pyeloplasty is better than endopyelotomy (overall risk ratio was 1.35 (95% CI 0.97 to 1.88); p<0.0001 and I2=90.6 %). ]
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqy Pratama Rahman
Abstrak :
Skripsi ini bertujuan untuk merancang sel surya dengan menggunakan struktur dasar Triple Junction Solar Cell (TJSC) nc-Si:H/a-Si:H/a-SiGe:H. Lapisan a-SiGe:H pada TJSC tersebut yang merupakan semikonduktor berbahan jenis compound diganti dengan alloy Si1-xGex agar konsentrasi germaniumnya dapat direkayasa untuk mendapatkan sifat lapisan yang lebih baik dan menambah efisiensi sel surya. Setelah itu dilakukan penggantian lapisan a-SiC pada p-layer yang terdapat pada kedua junction tengah dan bawah dengan a-Si dan grading pada lapisan Si1-xGex untuk memperkecil diskontinuitas antara lapisan Si1-xGex dengan lapisan silikon di atasnya dan mengurangi rugi-rugi akibat cacat misfit dislocation. Rancangan disimulasikan dengan menggunakan software wxAMPS dan ditunjukkan hasil akhir sel surya nc-Si:H/a-Si:H/Si1-xGex:H paling optimal yang memiliki efisiensi sebesar 19,081146%, parameter VOC dan ISC sebesar 1,12782 V dan 20,49207 mA, dan parameter fill factor sebesar 82,5620%. ...... This thesis aims to design a solar cell by using the basic structure of the Triple Junction Solar Cell (TJSC) nc-Si:H/a-Si:H/a-SiGe:H. A layer of a-SiGe:H at the TJSC which is a type of compound semiconductor material is replaced with Si1-xGex alloy so that the germanium concentration can be engineered in order to obtain better layer properties and increase the efficiency of the solar cell. Once that is done then a-SiC on p-layers of the middle and bottom junctions are replaced with a-Si and the Si1-xGex layer is graded to minimize discontinuities between Si1-xGex layer with the layer of silicon on top of it and reduce losses due to the misfit dislocations defects. The design is simulated using wxAMPS software and the results of the final solar cell nc-Si:H/a-Si:H/Si1-xGex:H are shown most optimum which has an efficiency of 19,081146%, VOC and ISC parameters of 1,12782 V and 20,49207 mA, and fill factor parameter of 82,5620%.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S62139
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manafe, Ryan Putera Pratama
Abstrak :
Kemacetan lalu lintas merupakan salah satu masalah utama yang dialami oleh warga Jakarta. Salah satu penyebab utama kemacetan di Jakarta adalah persimpangan-persimpangan jalan. Penelitian ini ditujukan untuk menangani permasalahan-permasalahan lalu lintas yang terjadi di persimpangan jalan yang dilengkapi dengan flyover. Dengan memilih suatu persimpangan jalan yang dilengkapi dengan flyover sebagai sampel penelitian, penulis melakukan pendekatan traffic engineering untuk memperoleh suatu solusi berupa model persimpangan jalan dengan flyover yang bebas dari kemacetan. Aplikasi secara luas terhadap persimpangan-persimpangan jalan penting lain di Jakarta juga dilakukan dengan harapan solusi ini dapat mengatasi kemacetan lalu lintas yang terjadi di Jakarta.
Traffic jam has always been a major problem faced by the citizens of Jakarta. One of its causes lays on the existence of junctions. This study is especially made toseek for the solutions of the traffic jam that happens at junctions equipped with flyover. By choosing one particular junction as the study sample, the writer is using a traffic engineering approach to reach a solution in the form of a junction model with flyover that is free from traffic jam. A wide application upon the other substantial junctions in Jakarta is also implemented in this study with an expection that this could handle the problem of traffic jam in Jakarta.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S1983
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Ablasi AV junction terbukti efektif pada pasien atrial fibrillasi (AF) yang refrakter dengan isolasi vena pulmonalis maupun antiarimia.
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Yuniadi
Abstrak :
Ablasi A V junction terbukti efektif pada pasien atrial flbrilasi (AF) yang refrakter dengan isolasi vena pulmonalis inaupun antiaritmia. Akan tetapi pada hampir 15% kasus ablasi AV junction dengan teknik konvensional (sisi-kanan) gagal. Penelitian ini berinjuan mempelajari karakterislik potensial berkas His pada ablasi AV junction secara konvensional inaupun dengan teknik sisi-kiri. Dua puluh pasien AF yang simtomatik dan refrakter terhadap antiarimia (rerata umur 60,539,28 tahun, 11 wanita) dilakukan ablasi AV junction dengan teknik konvensional. Bila 10 kali aplikasi energi frekuensi-radio tidak dapat menyebabkan blok A V total, maka ablasi dilakukan melalui sisi-kiri. Amplitud berkas His yang terekam pada tempat ablasi dianalisa. Seluruh pasien berhasil diablasi, 17 dengan cam konvensional dan 3 pasien degan teknik sisi-kiri setelah teknik konvensional gagal. Amplitud berkas His pada sisi-kiri lebih besar daripada sisi-kanan yang berkesesuaian (16,0 ±4,99 mm vs. 6,9 ±4,02 mm, p = 0,001, 95% IK -14,0 to -4,3). Dengan nilai titikpotong amplitude berkas His sisi-kanan > 4,87 mm didapatkan sensitifitas 8!.3% dan spesiftsitas 53,8% untuk keberhasilan ablasi pada sisi yang bersangkutan. Teknik sisi-kiri pada ablasi AV junction efektif bila teknik konvensional gagal. Pada pasien dengan amplitud berkas His sisi-kanan yang rendah (< 4, 87 mm) dianjurkan untuk ablasi dengan teknik sisi-kiri untuk menghindari pemberian energi frekuensi-radio yang tidak perlu. (MedJ Indones 2006; 15:109-14)
AV junction ablation has been proven effective to treat symptomatic atrial fibrillation refractory to antiarrhythmias or fail of pulmonary vein isolation. However, about 15% of conventional right-sided approach AV junction ablation failed to produce complete heart block. This study aimed to characterize His bundle potential at ablation site during conventional or left-sided approach of AV junction ablation. Twenty symptomatic AF patient (age of 60.5 ±9.28 and 11 are females) underwent conventional AV junction ablation. If 10 applications of radiofrequency energy are failed, then the ablation was performed by left-sided approach. Seventeen patients are successfully ablated by conventional approach. In 3 patients, conventional was failed but successfully ablated bv left-sided approach. The His bundle amplitude at ablation site was significantly larger in left-sided than correspondence right-sided (16.0 ±4.99 mm vs. 6.9 ±4.02 mm respectively, p = 0.001, 95% Cl -14.0 to -4.3). ROC analysis of His bundle potential amplitude recorded from right-sided revealed that cut off point of > 4.87 mm given the sensitivity of 81.3% and specificity of 53.8% for successful right-sided approach of AV junction ablation. In case of failed conventional approach, the left-sided approach is effective for AV junction ablation. An early switch to the left-sided approach may avoid multiple RF applications in patients with a low amplitude His-bundle potential (< 4.87 mm). (MedJIndones 2006; 15:109-14)
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-2-AprilJune2006-109
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>