Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"This study tries to detremine the concertration of sea surface microlayer from different coastal environments (Port Dickson, Negeri Sembilan and Perhentian Island,Terengganu)...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mujuna Abbas
"Gliclazide merupakan obat antidiabetik yang memiliki kelarutan rendah dalam air, sehingga memiliki bioavalaibilitas yang rendah. Pada penelitian ini, digunakan sistem mikroemulsi minyak dalam air o/w untuk meningkatkan kelarutan Gliclazide. Studi solubilisasi dan uji disolusi Gliclazide dalam mikroemulsi menggunakan saponin dari ekstrak daun Kumis Kucing Orthosiphon aristatus Blume Miq sebagai biosurfaktan, telah berhasil dilakukan. Fase minyak yang digunakan adalah Palm Oil. Pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan metode titrasi dengan memvariasikan perbandingan surfaktan dan kosurfaktan dan perbandingan minyak terhadap campuran surfaktan-kosurfaktan. Karakterisasi mikroemulsi diamati dengan turbidimeter, mikroskop dan PSA. Solubilisasi dan disolusi Gliclazide diamati dengan UV-Vis dan FTIR. Hasil yang diperoleh yaitu, perbandingan surfaktan terhadap kosurfaktan 8:2 dan perbandingan campuran surfaktan-kosurfaktan 10:1 merupakan kondisi teroptimal. Solubilisasi gliclazide dalam mikroemulsi sebesar 1.6 mg/mL. Uji disolusi dilakukan secara in-vitro, pada pH 1.2 Gliclazide terdisolusi sebanyak 17.49 dalam 2 jam, sedangkan pada media pH 7.4 Gliclazide terdisolusi sebanyak 98.84 dalam waktu 5 jam.

Gliclazide is an antidiabetic drug that has a low solubility in water, so it has low bioavailability. To improve the water solubility of gliclazide, used oil in water microemulsion system. In this study, solubilization of gliclazide in microemulsion that emulsified by saponin based surfactants from Cats Whisker Leaf Extract Orthosiphon aristatus Blume Miq has been investigated. The used oil phase is Palm oil. Preparation of microemulsion was conducted by titration method with various ratio of surfactant and co surfactant, and ratio of oil with surfactant co surfactant mixture. Characterization of microemulsion was observed using turbidimeter, microscope, and particle size analyzer PSA . Solubilization and dissolution of Gliclazide was observed by UV Vis spectrophotometer and FTIR spectroscopy. The optimum condition of microemulsion formation was resulted with ratio of surfactant to co surfactant at 8 2, and ratio of surfactant co surfactant mixture to oil at 10 1. The resultof optimum gliclazide solubility in microemulsion system was obtained as 1.6 mg mL. The dissolution test using in vitro method showed dissolution result 17.49 under condition of pH 1.2 within 2 hours, and 98,84 under condition of pH 7.4 within 5 hours.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S68697
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Sapta Rini
"Pertumbuhan penduduk memberi dampak ikutan, antara lain meningkatnya kebutuhan dasar manusia dan konsumsi di segala bidang, termasuk air dan bahan pembersih. Air merupakan sumberdaya yang amat penting bagi kehidupan semua species. Namun terhadap sumberdaya penting ini manusia masih belum berupaya maksimal untuk melindunginya. Salah satu bukti adalah, kadar surfaktan di perairan Jakarta telah melampaui baku mutu yang diperkenankan, yaitu 1,45 mg/L dengan baku mutu 1,0 mg/L (Prokasih 1999/2000).
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa beberapa produk deterjen sintetis menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Di Indonesia produk ini telah digunakan hingga ke pelosok wilayah, sehingga dampaknya pun akan meluas. Pola pemilihan produk ini yang tidak didasari pengetahuan serta pola penggunaan yang berlebihan, akan menimbulkan dampak yang menjadi semakin berat.
Beberapa surfaktan yang merupakan bahan aktif produk deterjen dapat dengan mudah terbiodegradasi, yang dikenal sebagai alkilat lunak seperti linear alkil benzen sulfonat (LAS). Namun ada yang sulit terbiodegradasi yang dikenal sebagai alkilat keras seperti alkil benzen sulfonat dengan rantai cabang (ABS). Saat ini alkilat keras masih diproduksi dalam jumlah lebih besar dad alkilat lunak sebagai bahan baku produk deterjen di Indonesia.
Sebetulnya beberapa peraturan untuk produksi dan distribusi produk deterjen telah berlaku, tetapi peraturan-peraturan tersebut kurang dipahami, baik oleh petugas penegak hukum, produsen maupun konsumen. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: bila dilihat dari hirarki peraturan yang berlaku di Indonesia, peraturan-peraturan tersebut bersifat lokal sehingga kedudukannya lemah; tidak disosialisasikan kepada instansi yang terkait, koordinasi yang lemah dari berbagai instansi untuk bersama-sama memikirkan masalah lingkungan, tidak memahami ilmu lingkungan, pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan yang kurang efektif, memberi toleransi kepada pelanggar, dan lain-lain. Kondisi ini membawa konsumen pada situasi tidak dapat menentukan pilihan manakah produk yang ramah lingkungan, karena penandaan produk tidak memberikan informasi yang cukup.
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Belum diketahui secara pasti apakah produk deterjen yang beredar di Jakarta mudah atau sulit terbiodegradasi.
2. Belum diketahui secara pasti apakah penandaan produk deterjen yang beredar di Jakarta telah memenuhi peraturan yang berlaku.
3. Belum diketahui secara pasti apakah petugas/pejabat yang menangani pendaftaran produk dalam rangka memberikan ijin edar telah memahami peraturannya, melaksanakan peraturannya dan bagaimana sikapnya terhadap peraturan tersebut.
Dari beberapa permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk memastikan kondisi-kondisi yang saat ini berlangsung, yaitu:
1. Untuk mengetahui apakah produk deterjen yang beredar di pasaran Jakarta dapat dengan mudah terbiodegradasi.
2. Untuk mengetahui kesesuaian antara penandaan produk deterjen dengan peraturan yang berlaku.
3. Untuk mengetahui apakah para petugas/pejabat penilai pemberi ijin edar mempunyai pemahaman terhadap peraturan-peraturan tentang produk deterjen, bagaimana melaksanakan peraturan tersebut dan bagaimana sikap terhadap peraturan tersebut.
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Deterjen yang beredar di pasaran Jakarta dengan label 'ramah lingkungan' atau 'menggunakan bahan aktif LAS' atau tanpa menyebutkan bahan aktifnya sama sekali, masih sulit terbiodegradasi (biodegradabilitasnya kurang dari 80%)
2. Penandaan produk deterjen tidak sesuai dengan peraturan mengenai Penandaan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) dan tidak memberikan informasi yang memadai bagi konsumen.
3. Petugas/pejabat Pemerintah yang menangani pendaftaran produk dalam rangka memberikan ijin edar kurang memahami peraturan-peraturan yang menyangkut produk deterjen yang berhubungan dengan pelestarian fungsi lingkungan.
Penelitian ini dikhususkan terhadap deterjen bubuk karena paling banyak digunakan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan survei lapangan dan uji laboratorium.
Parameter dalam penelitian ini adalah peraturan-peraturan yang menyangkut produksi dan distribusi produk deterjen , produk deterjen , dan pered aran produk deterjen.
Sampel diambil dari pasar swalayan di Jakarta. Dari 21 merek yang beredar dilakukan pengamatan terhadap penandaan, sedang uji biodegradabilitas dilakukan terhadap 11 merek. Penentuan 11 merek ini berdasarkan pada pengamatan pendahuluan terhadap penandaan, yaitu yang menyatakan produknya mengandung bahan aktif surfaktan yang dapat terbiodegradasi dan yang tidak menyatakan bahan aktifnya sama sekali. Analisis biodegradabilitas dilakukan oleh Laboratorium Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia di Bandung.
Wawancara mendalam dengan kuesioner dilakukan terhadap petugas/pejabat pemerintah yang menangani ijin edar.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Tidak satu pun dari 11 merek deterjen bubuk yang dianalisis memenuhi persyaratan biodegradabilitas yang disebutkan dalam Standard Nasional Indonesia, yaitu harus lebih besar dari 80%. Bila merujuk kepada Crites & Tehobanoglous dalam Small and Desentralized Waste Management System (McGraw Hill, 1998) yang menyebutkan bahwa bahan dapat mudah terbiodegradasi bila 50% dapat terurai secara biologis, maka 27% (3 dari 11) merek yang beredar dapat mudah terbiodegradasi.
2. Hanya 2 dari 21 (9,5%) merek mengikuti peraturan penandaan dengan benar. Sedangkan sebagian besar produk deterjen tidak mengikuti peraturan yang diberlakukan oleh departemen yang menangani peredaran produk jenis ini dengan berbagai tingkat pelanggaran petugas/pejabat yang bertanggung jawab dalam pemberian ijin edar produk tidak mengetahui adanya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 391 Tahun 1977 tentang Larangan Penggunaan Alkilat (Alkylate) Keras (Hard Type) sebagai Bahan Baku dalam Pembuatan Detergent atau Hasil Industri Bahan Pembersih Lainnya yang Sejenis. Dalam penilaiannya tidak memperhatikan peraturan-peraturan mengenai pelestarian fungsi lingkungan, meskipun produk yang diberi ijin edar akan memberi dampak pada lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Membuat peraturan atau meningkatkan status peraturan yang bersifat lokal (Kep.Gubemur DKI No. 391 dan 420 Tahun 1977), menjadi berlaku secara nasional. Untuk itu dapat dilakukan dengan memasukkan alkilat keras ke dalam daftar bahan berbahaya pada Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
2. Mensosialisasikan peraturan-peraturan tersebut kepada pihak terkait, seperti pihak memberi ijin edar produk deterjen, pengawas peredaran deterjen, produsen bahan baku dan produk deterjen serta Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI).
3. Meningkatkan koordinasi pelaksanaan peraturan dan pengawasannya dengan semua pihak terkait, seperti Kementenan Lingkungan Hidup, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan Pemerintah Daerah.
4. Kementerian Lingkungan Hidup agar menjadi bagian dalam pemberian ijin edar produk deterjen dengan memberikan sertifikat ramah lingkungan.
5. Produsen agar menerapkan produksi bersih:
a. Menggunakan bahan baku yang kurang atau tidak mencemari, seperti LAS, mencari alternatif sebagai pengganti fosfat, tidak menggunakan bahan tambahan secara berlebihan.
b. Melakukan pemantauan terhadap seluruh daur hidup produk deterjen.
c. Mentaati peraturan yang menyangkut produksi dan peredaran deterjen dan memberi informasi kepada konsumen mengenai produk yang dihasilkannya dengan benar.
d. Menampilkan ikian produknya dengan tujuan mendidik konsumen agar memilih produk deterjen yang ramah lingkungan.
6. Pemerintah memberikan subsidi atau pembebasan pajak bagi produsen bahan baku bahan baku surfaktan maupun produk deterjen yang menggunakan bahan ramah lingkungan dan tegas-tegas melarang penggunaan alkilat keras atau mengenakan pajak berganda bagi yang menggunakan bahan ini.
7. Melindungi perairan dan pencemaran limbah deterjen, dengan jalan:
a. Bagi institusi yang membuang air limbahnya ke perairan harus mengolahnya dan harus memenuhi baku mutu.
b. Tidak membuang air limbah rumah tangga langsung ke perairan. Pemukiman agar mempunyai unit pengolah limbah rumah tangga.
c. Mencegah terjadinya reaksi sinergistik yang mungkin terjadi pada beberapa bahan pencemar sehingga akan dihasilkan cemaran yang lebih beracun.
8. Perorangan dan atau rumah tangga agar memperhatikan pemilihan produk deterjen tidak berlebihan dalam menggunakannya.
9. Menggunakan sumberdaya air dengan cara yang bijaksana dan seefisien mungkin.
Daftar Kepustakaan: 50 (1977-2003)"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11378
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library