Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nilasari Darmastuti
Abstrak :
Baku mutu yang lebih longgar dan seringkali lebih murah serta lebih realistis bagi negara berkembang mengandung resiko lebih tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sehingga sedikit para pembuat keputusan yang mau merekomendasikan tingkat resiko yang lebih tinggi daripada yang digunakan negara industri (maju). Dengan pertimbangan bahwa negara maju tidak memulai program perlindungan lingkungan mereka dengan standard seperti saat ini, maka seharusnya negara berkembang tidak perlu menetapkan baku mutu seketat negara maju saat ini. Evolusi suatu negara dari negara berkembang menjadi negara maju memperihatkan pola bahwa meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi negara tersebut diikuti dengan bertambah ketatnya baku mutu lingkungan negara tersebut. Dengan demikian apabila suatu negara memiliki nilai kondisi kesehalan masyarakat dan sosial ekonomi yang sama dengan negara lain maka nilai baku mutu lingkungan kedua negara tersebut akan sama. Lohani (1993) meneliti mengenai indikator dalam penentuan baku mutu lingkungan. Indikator tersebut adalah Angka harapan hidup (X1), Angka Kematian Bayi (X2), Angka Kematian Akibat TBC dan Kanker (X3), Angka Kematian Akibat Typhus dan Paralyphus (X4), Laju Pertumbuhan Penduduk (X5), GNP perkapita (X6), Aset per kapila (X7), Upah Buruh Mingguan (Xs), Konsumsi Listrik per Kapita (Xs), dan Jumlah Pegawai Negeri (X1o). Dalam penelitian ini indikator (X1) sampai (X4) dikelompokkan sebagai kondisi kesehalan masyarakat dan indikator (Xs) sampai (X1o) dikelompokkan sebagai kondisi sosial ekonomi. Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai: (1) Berapa nilai baku mutu lingkungan di Indonesia yang sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya bila dibandingkan dengan negara lain yang lebih maju? (2) Apakah baku mutu yang ditetapkan di Indonesia terlalu ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya? Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) membandingkan baku mutu air permukaan antara beberapa negara Asia Tenggara yang memiliki kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya sama dengan kondisi Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 (berdasarkan PP No. 20 tahun 1990 dan PP No. 82 tahun 2001), mengkaji ketat atau tidaknya baku mutu lingkungan di Indonesia bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya. Untuk mencapai tujuan tersebut metode penelitian terbagi dalam lima tahapan yakni (1) melihat hubungan antara baku mutu dengan indikator penentuan baku mutu berdasarkan penelitian Lohani (1993) (2) menentukan negara pembanding (3) menentukan tahun acuan (4) membandingkan baku mutu air permukaan (5) mengkaji baku mutu air permukaan di Indonesia. Penelitian ini bersifat ex post facto tipe korelasional dengan menggunakan perbandingan antara indikator penentuan baku mutu lingkungan di Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara di masa lalu. Variabel terikat yang digunakan adalah baku mutu air permukaan. Sementara data yang digunakan adalah data kuantitatif dan runtun waktu dari berbagai sumber yang telah dipublikasikan seperti Recent trends in Health Statistics in Southeast Asia 1974-1993, Key indicators of Asia Development Bank 1970-2000, dan Yearbook of Labour Statistics 1974-1993. Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Perbandingan baku mutu lingkungan di beberapa negara akan sama apabila kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya sama (2) Baku mutu lingkungan yang ditetapkan di Indonesia terlalu ketat bila dibandingkan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya. Dengan menggunakan data penelitian dari Lohani dan dianalisis dengan SPSS versi 10.0. hasil penelitian memperlihatkan bahwa 48% perbedaan dalam penentuan batas baku mutu disebabkan oleh indikator penentuan baku mutu diatas. Dengan menggunakan interval kepercayaan sebesar 70%, indikator kematian akibat TBC dan kanker serta kematian akibat typhus dan paratyphus tidak signitikan, selain nilai korelasinya juga lemah (r c 0,5). Penelitian ini tidak secara khusus ditujukan untuk mendapatkan hubungan antara baku mutu dengan indikalor penentuan baku mutu, akan tetapi dibatasi untuk memperlihatkan bahwa indikalor tersebut cukup signilikan untuk digunakan sebagai perbandingan. Hasil uji hipotesis adalah sebagai berikut (1) hipotesis dapat diterima sebesar 64,29%, yang berarti bahwa baku mutu air permukaan di Indonesia sama dengan baku mutu air permukaan negara-negara di Asia Tenggara, (2) 55,56% dari baku mutu yang diterima oleh uji hipotesis diatas adalah lebih ketat, yang berarti bahwa baku mutu yang ditetapkan di Indonesia ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya. Sedangkan baku mutu Indonesia tersebut adalah serupa dengan baku mutu negara Malaysia (antara tahun 1976-1977), Philipina (antara tahun 1990-1992), Singapura (antara tahun 1978-1981) dan Thailand (antara tahun 1990-1991). Berdasarkan analisis pengujian hipotesis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Baku mutu di Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara sudah sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya. Penentuan batas baku mutu air permukaan di Indonesia lebih ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.
Lower and often cheaper, and as a consequence more realistic environmental standards for developing countries involve higher risks to the environment and public health. Therefore, few environmental policy makers are willing to recommend higher risk levels than used in developed countries. Developed countries did not begin their environmental protection by applying high standards as using now. Therefore developing countries do not have to apply standards as high as developed countries do. The evolution of a country from developing to developed country shows a pattern that the improvement of its public health and socio-economic conditions are followed by higher allowable limits of environmental quality standards. Consequently, countries that have similar public health and socio economic conditions will have similar allowable limits of environmental quality standards. Lohani (1993) stated that there are indicators for setting environmental quality standards. The indicators are life expectancy level (Xi), infant mortality rate (X2), TBC and cancer death (X3), typhus and paratyphus death (X4), population (X5), GNP per capita (X6), asset per capita (X7), average weekly salary ()(a), electricity consumption per capita (X9), and federal employment (Xio). In this research those indicators are grouped as public health and socio-economic. Based on the reasons above, the research problem can be formulated as: (1) what is the Indonesia allowable limits of surface water quality standards which appropriate to its public health and socio-economic conditions? (2) in relation to its public health and socio-economic conditions, are Indonesia allowable limits of surface water quality standards too high? The objectives of the research are: (1) to compare environmental quality standards among South-east Asian countries which had the same level in public health and socio-economic conditions with Indonesia in 1999 and 2000 (refer to PP No. 20 1990 and PP No. 82 2001) (2) to evaluate Indonesia environmental quality standards in relation with its public health and socio-economic conditions. To meet the objectives of the research, the methodology is divided into five stages i.e (1) to see the corelation between allowable limits of environmental quality standards with environmental quality standards setting indicators based on Lohani's (1993) (2) to select the comparable countries (3) to decide the reference years (4) to compare the surface water quality standards of selected countries with those of Indonesia (5) to review the allowable limits of Indonesia surface water quality standards. This is an ex-post facto correlation type research. In this research the current Indonesia environmental quality standards are compared to those of South East Asian countries in the past. Independent variables which are setting environmental quality standard indicators. Data used in this research are quantitative and time series secondary data. Data were collected from some publication source such as Recent trends in Health Statistics in Southeast Asia 1974-1993, Key indicators of Asian Development Bank year 1970-2000, and Yearbook of labour statistics 1974-1993. While dependent variables are allowable limits of environmental quality standards in Indonesia. Hypothetical research are formulated as follows (1) comparison of surface water quality standards allowable limits in some countries will be similar if they have similar conditions on public health and socio-economic (2) Indonesia surface water quality standards is too high compare with considering its public health and socio-economic conditions. This research found that 48% in setting surface water quality standards could be explained by the above indicators. Using confidence level of 70%, indicator of TBC and cancer death also typhus and paratyphus death are not significant, beside the correlation are weak ( r < 0.5). This research is held not only to see the relationship between allowable limit quality standards and setting environmental quality standard indicators but also to show that those indicators are significant to be used for comparison. Hypothetical analysis shows that hypothesis is accepted by 64,29%. It means that Indonesia surface water quality standards are appropriate with its public health and socio-economic conditions. Hypothetical analysis for the second hypothesis shows that it is accepted by 55,56%. With reference to the criteria set before, it means that the surface water quality standards in Indonesia are too high. The appropriate level of Indonesian allowable limits of environmental quality standards in 1999 and 2000 are similar to that of Malaysia during 1976-1977, Philippine 1990-1992, Singapore 1978-1981, and Thailand 1990-1991. Based on the results of hypothesis analysis, here are the conclusions based on review both the PP No. 20 year 1990 and PP No. 82 year 2001: Allowable limits of environmental quality standards in Indonesia are appropriate with its public health and socio-economic conditions if compare to other countries in Southeast Asian. The setting of Indonesia surface water allowable limit quality standards are high related to its public health and socio-economic conditions.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T1464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiba Putri Rahmahakim
Abstrak :
Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup dan harus selalu terjaga kualitasnya. Pengujian kualitas air perlu dilakukan segera setelah pengumpulan sampel, namun seringkali laboratorium tidak dapat menganalisis sampel air secara langsung dan memungkinkan penyimpanan sampel memerlukan waktu tunggu (holding time). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika perubahan konsentrasi terhadap waktu tunggu, menganalisis laju reaksi penguraian, serta menyimulasikan perubahan konsentrasi BOD dan COD untuk mengetahui konsentrasi awal. Perubahan konsentrasi terhadap waktu tunggu diketahui melalui metode pengujian parameter BOD dan COD yang diambil dari sampel air Danau Mahoni dan diuji di laboratorium pada t(0), t(0,25), t(2), t(5), t(7), dan t(14) dalam satuan hari. Adapun analisis laju reaksi dilakukan perhitungan kesetimbangan massa dan disempurnakan menggunakan ‘Solver’ pada Microsoft Excel. Sedangkan simulasi perubahan konsentrasi BOD dan COD untuk mengetahui konsentrasi awal dilakukan dengan perhitungan solusi persamaan diferensial dari model yang telah dibuat. Berdasarkan analisis, diperoleh bahwa perubahan konsentrasi parameter BOD dan COD terhadap holding time cenderung menurun pada semua sampel. Konsentrasi BOD secara keseluruhan mengalami penurunan signifikan konsentrasi BOD yang terjadi setelah pengukuran t(2). Konsentrasi COD sampel dengan pengawetan mengalami penurunan signifikan pada pengukuran t(2). Sedangkan konsentrasi COD sampel tanpa pengawetan menurun signifikan setelah waktu pengukuran t(2) dan t(7). Nilai KD BOD dengan pengawetan 1 dan 2 berturut-turut adalah 0,064/hari dan 0,059/hari. Sementara itu, KD BOD pada sampel tanpa pengawetan 1 dan 2 berturut-turut adalah 0,124/hari dan 0,0827. Nilai KD COD dengan pengawetan 1 dan 2 berturut-turut yaitu 0,004/hari dan 0,0169/hari. Sementara itu, pada sampel tanpa pengawetan 1 dan 2, diperoleh nilai KD COD berturut-turut yaitu 0,039/hari dan 0,047/hari. Nilai KD BOD dan COD pada sampel dengan pengawetan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan sampel tanpa pengawetan. Hal ini menunjukkan bahwa pengawetan mampu memperlambat laju penguraian BOD dan COD dalam sampel air. Pemodelan parameter BOD dan COD sampel dengan pengawetan maupun tanpa pengawetan untuk memperkirakan nilai konsentrasi awal secara efektif dapat digunakan hingga t(2). ......Water is a natural resource that is very important for the life of living things and its quality must always be maintained. Water quality testing needs to be done immediately after sampling, but laboratories often cannot analyze water samples directly and allow sample storage to require holding time. This study aims to analyze the dynamics of changes in concentration during holding time, analyze the rate of decomposition reactions, and simulate changes in concentrations of BOD and COD to determine initial concentrations. The change in concentration during holding time is known through the BOD and COD parameter testing methods taken from Lake Mahoni water samples and tested in the laboratory at t(0), t(0.25), t(2), t(5), t(7) ), and t(14) in days. The reaction rate was carried out by calculating the mass balance and using 'Solver' in Microsoft Excel. Meanwhile, the simulation of changing the concentration of BOD and COD to determine the initial concentration was carried out with differential solutions from the model that had been made. The analysis found that changes in the concentration of BOD and COD during holding time tended to decrease in all samples. BOD concentration as a whole experienced a significant decrease in BOD concentration that occurred after t(2) measurement. The COD concentration of the samples with preservation decreased significantly in the t(2) measurement. In contrast, the COD concentration of samples without preservation was significantly reduced after the measurement time t(2) and t(7). KD BOD values with preservation 1 and 2 were 0.064/day and 0.059/day, respectively. Meanwhile, the samples without preservation 1 and 2 were 0.124/day and 0.0827 respectively. The KD COD values with preservation 1 and 2 were 0.004/day and 0.0169/day, respectively. Meanwhile, the KD COD values were obtained for samples without preservation 1 and 2, respectively, 0.039/day and 0.047/day. KD BOD and COD values in samples with preservation tended to be lower than those without preservation. This condition shows that pickling can slow down the rate of decomposition of BOD and COD in water samples. BOD and COD modeling with or without preservation to determining initial concentration values can be used up to t(2).
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Ramadhan
Abstrak :
Nitrifikasi adalah proses alami di badan air di mana terjadi pemecahan nitrogen tereduksi, umumnya dalam bentuk amonia (NH4+) menjadi Nitrit (NO2-) dan kemudian menjadi Nitrat (NO3-) oleh bantuan bakteri. Laju nitrifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis laju nitrifikasi pada Sungai Kali Baru dengan metode batch, menganalisis pengaruh konsentrasi TSS terhadap laju nitrifikasi, dan menganalisis pengaruh nilai laju reaksi hasil percobaan terhadap akurasi model QUAL2Kw. Evaluasi laju nitrifikasi dilakukan dengan mengamati fluktuasi konsentrasi parameter nitrifikasi dari sampel air selama rentang waktu hingga 12 hari, kemudian dilakukan perhitungan menggunakan persamaan kinetika reaksi untuk mendapatkan tetapan laju oksidasi amonia (kai) dan tetapan laju oksidasi nitrit (kin). Nilai kai yang diperoleh merupakan nilai tetapan laju nitrifikasi yang dapat dimodelkan dalam QUAL2Kw untuk kemudian dibandingkan hasil simulasi amonia dan nitratnya dengan laju default (0,1858 /hari). Penelitian ini menguji sampel air Sungai Kali Baru, dan sampel air kondisi artificial. Parameter yang diuji dalam penelitian ini adalah konsentrasi Amonia, Nitrit, Nitrat, dan TSS. Sampel air Sungai Kali Baru memiliki konsentrasi TSS sebesar 113 mg/L, kai sebesar 0,30587 /hari serta kin sebesar 0,14088 /hari. Sampel artificial tidak mengandung TSS sehingga diperoleh kai sebesar 0,00355 /hari, dan kin sebesar 0,04944 /hari. Laju nitrifikasi yang diperoleh dalam penelitian ini 64,6% lebih tinggi dibandingkan dengan laju nitrifikasi default permodelan. Namun, perbedaan laju nitrifikasi ini hanya menurunkan konsentrasi amonia hasil permodelan sebesar 0,17% dan meningkatkan konsentrasi nitrat hasil permodelan sebesar 0,39%. ......Nitrification is a natural process in a water body breaking down reduced nitrogen in the form of ammonia (NH4+) to Nitrite (NO2+) which further oxidises into Nitrate (NO3-) by the help of bacteria. The rate of nitrification is affected by several factors. This study aims to analyze the nitrification rate of Kali Baru River using a batch method, analyzing the effect of TSS concentration in water to the nitrification rate, and analyzing how nitrification rate achieved from this study affected the accuracy of a previous QUAL2Kw model. The evaluation of nitrification rate is done by observing the fluctuation of nitrification parameter concentration in a water sample ranging to 12 days, then a kinetical rate analysis is done to gather the ammonia oxidation rate (kai) and the nitrite oxidation rate (kin). The kai value is determined to be the nitrification rate that can be modelled in QUAL2Kw. The ammonia and nitrate concentration modelled by using the kai from this study will be compared to the default value of nitrification rate from the previous modelling (0,1858 /day). This study tested the water quality of Kali Baru River water sample and an artificial condition water sample. The parameters tested in this study are ammonia, nitrite, nitrate, and TSS concentration. Samples from Kali Baru River resulted a 113 mg/L TSS concentration and a kai, and kin value of 0,30587 /day and 0,14088 /day respectively. Artificial condition water sample did not result in any TSS concentration and resulted a kai, and kin value of 0,00355 /day and 0,04944 /day respectively. The nitrification rate acquired from this study is 64,6% higher than the default nitrification rate but only decreased the modelled ammonia concentration by 0,17% and increased the modelled nitrate concentration by 0,39%.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library