Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isna Fatimah
Abstrak :
Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (SDGT) merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan seluruh umat manusia sehingga pemanfaatannya menjadi kepentingan semua negara. Fakta bahwa persebaran SDGT tidak merata di seluruh dunia dan tingkat keragaman SDGT mengalami penurunan membuat negara-negara menginginkan akses ke SDGT harus dibuka untuk siapa saja. Meski demikian, negara-negara juga tidak sepakat untuk mengakui SDGT sebagai Common Heritage of Mankind. Sementara itu, karena nilainya yang sangat potensial, bioprospecting atas SDGT banyak dilakukan sehingga dorongan untuk menerapkan rezim Hak Kekayaan Intelektual atas SDGT tidak terelakkan. Sebagai upaya mengakomodir kepentingan semua negara atas SDGT, International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture mengakui bahwa negara mempunyai hak berdaulat atas SDGT yang diikuti dengan kewajiban membuka akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatannya melalui sistem multilateral. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan dari mulai latar belakang hingga diadopsinya prinsip hak berdaulat atas SDGT serta menganalisis penerapannya di Brazil, Amerika Serikat, Jerman, Cina dan Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara tersebut mengakui prinsip hak berdaulat atas SDGT yang diejawantahkan dalam kegiatan eksploitasi, mekanisme akses dan pembagian keuntungan, pemenuhan hak petani dan perlindungan atas pengetahuan tradisional. Namun, penerapan hak berdaulat di tiap-tiap negara tersebut belum dapat diimplementasikan secara utuh. ...... Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (PGRFA) are important commodities which needed by humankind so that their utilization becomes the interest of all countries. The fact that PGRFA are not spread evenly through all countries and the decrease of their diversities caused countries asking for open access to PGRFA. However, countries refused to consider PGRFA as Common Heritage of Mankind. On the other side, since PGRFA have great potential values, bioprospecting on PGRFA becomes popular; hence the involvement of Intellectual Property Rights regime becomes inevitable. In order to accommodate interest of all countries regarding PGRFA, International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture recognizes State’s Sovereign Right over PGRFA which followed by obligation to open access and benefit sharing from its utilization under the multilateral system. The object of this research is to explain background until Sovereign Right principle over PGRFA adopted and analyze its implementation in Brazil, United States of America, Germany, China and Indonesia. The research method used in this thesis is juridical normative method with literature studies. The result shows that aforementioned countries recognize sovereign right principle over PGRFA, which manifested in exploitation activities, open access and benefit sharing, fulfillment of farmers rights and protection of traditional knowledge. Hence, they have not been implemented thoroughly.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45938
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Efridani
Abstrak :
Sumber daya genetik (SDG) pada awalnya secara natural berpindah dari satu daerah ke daerah lain dengan berbagai tujuan, terutama untuk ketahanan pangan. Perpindahan demikian semula tidak menjadi satu masalah, bahkan dianggap sebagai suatu kegiatan yang saling menguntungkan. Namun, seiring dengan perkembangan realitas sosial dan perkembangan nilai yang tumbuh dalam bangsa-bangsa dunia, SDG yang semula bebas akses karena warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind = CHM) pada perkembangannya menjadi hak berdaulat negara yang memberikan hak mengontrol akses dan pemanfaatan SDG yang berada di wilayahnya. Pergeseran ini dipicu oleh ketidakkonsistenan nilai yang diterapkan pada SDG: manakala mengakses, seluruh dunia menggunakan prinsip CHM, namun jika ada hasil komersial dari akses dimaksud, maka hasil tersebut merupakan hak individu berdasarkan prinsip hak kekayaan intelektual (HKI), yang secara tepat digambarkan oleh Olembo: ?what went out free, would return with a price tag? . Dengan mencermati perkembangan yang terjadi di tingkat internasioal dan nasional, pola perlindungan atas SDG Indonesia sekaligus pemanfaatannya secara berkelanjutan harus dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan SDG yang responsif terhadap tuntutan global dan terutama nasional, dengan menggabungkan unsur perlindungan dan pemanfaatan yang memungkinkan beban biaya perlindungan turut juga ditanggung oleh hasil komersialisasi SDG.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1073
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fabian Novaldi
Abstrak :
Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang di dalamnya terdapat ketentuan mengenai akses terhadap sumber daya genetik. Indonesia juga telah meratifikasi Protokol Nagoya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Convention on Biological Diversity. Oleh karena itu, skripsi ini membahas mengenai kesesuaian antara ketentuan mengeai akses terhadap sumber daya genetik dalam Undang-Undang 11/2019 dengan Protokol Nagoya dan Pedoman Bonn. Penelitian ini merupakan penelitian kombinasi antara penelitian deskriptif dan perskriptif dengan menggunakan pendekatan penelitian hukum normatifempiris dan menggunakan data sekunder. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana ketentuan mengenai akses terhadap sumber daya genetik dalam Undang-Undang 11/2019, ketentuan mengenai akses terhadap sumber daya genetik dalam Protokol Nagoya dan Pedoman Bonn serta kesesuaian di antara keduanya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa salah satu hal terkait akses sumber daya genetik yang diatur dalam Undang-Undang 11/2019 adalah mengenai prosedur mendapatkan izin penelitian namun bukan mendapatkan izin akses yang merupakan kewenangan pemerintah pusat bidang lingkungan hidup sehingga terdapat ketidaksesuaian antara Undang-Undang Sisnas Iptek dengan Protokol Nagoya dan Pedoman Bonn. Oleh karena itu dalam pengembangan RUU KKH harus dilakukan penekanan mengenai koordinasi antar wewenang dan antar lembaga dari pemerintah pusat bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pemerintah pusat bidang lingkungan hidup
Indonesia has passed Law Number 11 of 2019 concerning National System of Science and Technology in which there are provisions regarding access to genetic resources. Indonesia has also ratified the Nagoya Protocol through Law Number 11 of 2013 concerning Ratification of the Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Convention on Biological Diversity. Therefore, this research discusses the compatibility between the provisions regarding access to genetic resources in Law 11/2019 with Nagoya Protocol and Bonn Guidelines. This research is a combination of descriptive and prescriptive research using a normative-empirical legal research approach and secondary data. The core issue of this study is about how the provisions regarding access to genetic resources in Law 11/2019 with Nagoya Protocol and Bonn Guidelines are, how the provisions regarding access to genetic resources in the Nagoya Protocol and Bonn Guidelines are and the compatibility between the two. From the result it can be concluded that one of the things related to access to genetic resources regulated in Law 11/2019 is regarding the procedure to obtain a research permit but not to obtain an access permit which is the authority of the central government in the environmental sector so that there is a discrepancy between Law 11/2019 and the Nagoya Protocol and Bonn Guidelines. Therefore, in developing the Draft of Biodiversity Conservation Act, emphasis must be placed on coordination between authorities and institutions of the central government in the field of science and technology and the central government in the field of environment.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tina Mariam
Abstrak :
Kewajiban pengungkapan sumber asal disclosure of origin Sumber Daya Genetik Pengetahuan Tradisional SDGPT dalam permohonan paten yang invensinya berkaitan dengan/atau berasal dari SDGPT sebagaimana Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten UU Paten No.13/2016 berdampak Indonesia membutuhkan informasi/database SDGPT sebagaimana Pasal 26 ayat 2 UU Paten No.13/2016 .Database ini akan digunakan oleh pemeriksa paten untuk menjalankan Pasal 26 UU Paten No.13/2016, terkait dengan pemeriksaan subtantif yang invensinya berkaitan dengan/atau berasal dari SDGPT, sehingga terhindar pemberian perlindungan paten kepada pihak yang tidak berhak, yang melakukan penyalahgunaan misappropriation dan/atau biopiracy atas pemanfaatan SDGPT Indonesia. Database ini diharapkan bisa memberkan perlindungan pada masyarakat adat/lokal pemilik pengetahuan tradisional atas sumber daya genetik dengan melakukan pembagian keuntungan benefit sharing .Indonesia memiliki database InaBIF yang ditunjuk oleh Bappenas sebagai database SDGPT yang berisi informasi keanekaragaman hayati milik Indonesia. Kebutuhan database SDGPT sangat mendesak agar tujuan Pasal 26 UU Paten No.13/2016 dapat terlaksana, khususnya oleh pemeriksa paten. Karenanya perlu mengetahui apakah Database InaBIF dapat memenuhi ketentuan Pasal 26 dimaksud dan mengetahui yang perlu dirumuskan dalam database yang bagaimana yang dapat mendukung pelaksanaan Pasal 26 dan Pasal 54 UU Paten No.13/2016. ......The disclosure of origin of the Genetic Resources of Traditional Knowledge GRTK in a patent application that its invention relates to or originates from GRTK as mandated by Article 26 paragraph 1 of Law Number 13 Year 2016 regarding Patent Patent Law No.13 2016 brings effect that Indonesia needed GRTK Information databases its accordance with Article 26 paragraph 2 of Patent Law No.13 2016 . This database will be used by patent examiner to execute Article 26 of the Patent Law No.13 2016, its related to substantive examination on patent applications that its invention relates to or originated from GRTK, avoiding granted patent to unauthorized parties misappropriation and or biopiracy for the utilization of Indonesian GRTK. This database is expected could give protection to indigenous peoples who have traditional knowledge of genetic resources by benefits sharingIndonesia now having InaBIF database which pointed by Bappenas as the GRTK database, that contains information on biodiversity owned by Indonesia. This SDGPT database is urgently needed especially for patent examiner to execute Article 26 of Patent Law No.13 2016. Therefore we need to know whether InaBIF database can comply with Article 26 and to know what needs to be formulated in database which is can execute Article 26 and Article 54 of Patent Law No.13 2016.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T49782
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galih Wening
Abstrak :
Sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian SDGT merupakan elemen peting untuk pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Oleh karena itu maka negara-negara sepakat untuk membuat perjanjian mengenai pengelolaan SDGT, yaitu International Treaty Plant Genetic Resources for Food and Agriculture ITPGRFA. ITPGRFA merupakan pengaturan utama bagi pengelolaan SDGT. Salah satu hal penting yang diatur terdapat dalam pasal 9 mengenai Hak Petani. Ada 4 poin terkait dengan hak petani, yaitu perlindungan pengetahuan tradisional terkait dengan SDGT, hak petani di dalam pembagian keuntungan yang adil terhadap pengelolaan SDGT, hak petani untuk ikut berpatisipasi di dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional yang terkait dengan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dan hak petani untuk menyimpan, menggunakan, menukar dan menjual bibit. Dalam banyak kasus seperti dalam kasus Beras Basmati, Jagung Kediri, Talas Hawai rsquo;i dan Industrialisasi Gandum di India, petani sangat dirugikan berkaitan dengan haknya untuk menggunakan kembali bibit karena terkendala dengan paten dan sertifikasi. Indonesia sudah seharusnya Indonesia mengiplementasikan hak petani di dalam hukum nasional karena telah melakukan ratifikasi ITPGFRA. Skripsi ini menganalisis mengenai kesenjangan yang terjadi antara pengaturan internasional dan pengaturan nasional Indonesia mengenai hak petani terkait dengan SDGT dan melihat apa yang dapat dilakukan untuk melindungi Hak petani. Analisis akan dilakukan dengan studi kepustakaan, membandingkan Instrumen Internasional dengan peraturan nasional terkait SDGT, serta wawancara. Hasil dari penelitian adalah bahwa Indonesia belum mengakomodir Hak Petani terkait SDGT. ...... Plant genetic resources for food and agriculture PGRFA is an important element for the fulfillment of human food needs. Therefore, many countries have agreed to endorse and enforce the agreement about PGRFAs management. The agreement is International Treaty Plant Genetic Resources for Food and Agriculture ITPGRFA. ITPGRFA is the main regulation for PGRFA, with one particular specified regulation is set forth in article 9 about Farmers'Rights. There are 4 points related to Farmers Right protecting relevant traditional knowledge, making provision for farmers to participate in benefits sharing derived from their use, ensuring the right of farmers to participate in national decision making processes related to the conservation and use of plant genetic resources, and rights of farmers to save, use, exchange and sell farm saved seeds and propagating materials. In many cases such as the cases of Basmati Rice, Kediri corn, Hawai'ian Taro, and industrialization of wheat in India, all of which were very disadvantageous for many farmers because of patents. Indonesia has ratified ITPGRFA, and therefore Indonesia should have already been implementing the Farmers Right in national law. This thesis discusses the gap of international's instrument and Indonesia national law related to Farmers Right for PGRFA, and suggests what can be done to protect Farmers Right, and written through literature studies, comparative study approach between international instrument and national law, and interviews. The result of the research, that Indonesia has not accommodated Farmers Right related to PGRFA.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi Eka Sari
Abstrak :
Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversity memiliki kekayaan spesies tanaman obat sehingga Indonesia menarik bagi peneliti asing yang ingin melakukan penelitian baik untuk kepentingan komersial maupun non-komersial. Sumber Daya Genetik Tanaman Obat Indonesia yang bernilai di pasaran Internasional, membuat Biopiracy berpotensi terjadi apabila perlindungan pelaksanaan akses dan pembagian keuntungan belum optimal sebagaimana amanah tujuan Protokol Nagoya mengenai pembagian yang adil dan seimbang dari setiap keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan Sumber Daya Genetik. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai kendala, diantaranya: (i) perbedaaan konsep pandangan masyarakat lokal yang komunal berlawanan dengan konsep paten dalam rezim hak kekayaan intelektual yang bersifat individual; (ii) database tanaman obat dan pengetahuan tradisional yang belum terintegrasi dengan baik sebagai amanah Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan untuk diintegrasikan dalam Pendataan Kebudayaan Terpadu; (iii) mekanisme perizinan yang rumit; (iv) pembagian keuntungan yang belum maksimal karena terkendala rendahnya Bargaining Position peneliti Indonesia dalam kerjasama; (v) belum adanya standarisasi Material Transfer Agreement (MTA), Mutually agreed Terms (MAT), Prior Informed Consent (PIC); dan (vi) belum disahkannya beberapa aturan hukum yang mengatur mekanisme pendukung akses dan pembagian keuntungan sumber daya genetik yang hingga saat ini masih dalam proses harmonisasi juga membuat pelaksanaan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten belum dapat dilaksanakan secara maksimal.
Indonesia, known as a mega biodiversity country has rich species of medicinal plants. This makes Indonesia attractive to foreign researchers who want to conduct research for both commercial and non-commercial purposes. The commercial value of Indonesian medicinal genetic resources makes biopiracy potentially occur if the regulation of granting access and profit sharing is not optimal in carrying out safeguards as mandated of the Nagoya Protocol. This is caused by various obstacles, among others: (i) related to the differences in the concept of communal local community views, of course contrary to the Patent concept in the regime of individual Intellectual Property Rights; (ii) database related to medicinal plants and traditional knowledge that has not been well integrated as one of the mandates of law Promoting Culture; (iii) licensing mechanism to obtain complicated access; (iv) profit sharing that has not been maximized due to constrained low Indonesian Bargaining Position; (v) absence of Material Transfer Agreement standard, Mutually Agreed Terms, Prior Informed Consent; and (vi) several legal rules that regulate supporting mechanisms for Genetic Resources Access and Profit Sharing that are still in the process of harmonization also make the implementation of Article 26 Paragraph (3) of Law Number 13 of 2016 concerning Patents has not been fully implemented.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53767
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Hartati
Abstrak :
Pemanfaatan sumber daya genetik perikanan dan kelautan mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada saat dunia internasional mengalami krisis sumber daya alam perikanan akibat over penangkapan ikan di laut, perubahan iklim dan pencemaran, pemanfaatan sumber daya genetik perikanan dianggap suatu cara untuk melakukan konservasi sekaligus sumber alternatif pangan. Sejak tahun 1950 sampai sekarang hasil pemanfaatan sumber daya genetik perikanan dan kelautan telah menyumbangkan banyak hal untuk kehidupan manusia seperti obat-obatan, pangan alternatif dan kosmetik. Ancaman penurunan keanekaragaman hayati baik di laut maupun di darat semakin mendorong eksplorasi dan ekploitasi terhadap sumber daya genetik perikanan dan kelautan. Namun, pemanfaatan sumber daya genetik perikanan dan kelautan masih banyak dinikmati oleh negara-negara maju. Negara Selatan yang sebagian besar kaya akan sumber daya genetik perikanan dan kelautan seperti Indonesia, Brasil, Filipina dan negara lain hanya dapat menonton dari jauh perkembangan teknologi yang semakin maju tanpa dapat menikmati keuntungan sumber daya genetik yang telah dimanfaatkan oleh negara lain. Oleh karena itu tuntutan akan adanya akses dan pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetik menguat sejak KTT Bumi. Upaya ?upaya untuk mewujudkan pengaturan internasional mengenai akses dan pembagian keuntungan berhasil diperjuangkan dengan ditegaskannya CBD dan Protokol Nagoya. Namun demikian, pelaksanaan akses dan pembagian keuntungan terutama pada pemanfaatan sumber daya genetik perikanan dan kelautan masih menemui banyak kendala mulai dari perbedaan konsep, ruang lingkup, akses dan kepatuhan. Oleh karena itu selama UNCLOS belum mengatur sumber daya genetik secara tegas maka negara-negara pihak sebaiknya melakukan penyusunan akses dan pembagian keuntungan terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya genetik.
The utilization of marine and fisheries genetic resources is enhanced in line with the development of science and technology. When the world facing international crisis on fisheries resources due to overfishing, climate change and pollution, the utilization of fisheries genetic resources is considered as a means for conservation and alternative source of food. Since 1950 to present, the utilization of marine and fisheries genetic resources have contributed to human life namely for medicines, alternative food and cosmetics. Threats on reduction of sea and land biodiversity encourages the exploration and exploitation of marine and fisheries genetic resources. Nevertheless, the utilization of marine and fisheries genetic resources is enjoyed only by developed countries. The South countries who are rich in marine and fisheries genetic resources namely Indonesia, Brazil, Philippines and others do not possess advanced technology nor enjoy benefit sharing from the utilization of marine and fisheries genetic resources by other countries. Therefore, claims on access and benefit sharing on the utilization of genetic resources have increased since the Earth Summit. Efforts to realize international regulations on access and benefit sharing successfully achieved and confirmed on CBD and Nagoya Protocol. Nevertheless, the implementation of access and benefit sharing notably on marine and fisheries genetic resources remain to encounter issues concerning the concept, scope, access, benefit sharing, and compliance. Therefore, since UNCLOS does not clearly regulate genetic resources, state party must develop regulation on access and benefit sharing particularly on the utilization of genetic resources.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31230
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bellatric Andini Putri
Abstrak :
Potensi pengetahuan tradisional Indonesia yang begitu besar dan beragam sering dieksploitasi oleh pihak asing tanpa adanya pembagian keuntungan sehingga merugikan bagi masyarakat adat atau lokal selaku pemegang pengetahuan tradisional tersebut. Adapun perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, termasuk pengetahun tradisional terkait sumber daya genetik, di Indonesia diatur dalam rezim hak kekayaan intelektual, khususnya paten. Oleh karena itu, skripsi ini membahas mengenai analisis penerapan mekanisme benefit sharing dalam pemanfaatan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaturan hukum nasional dan internasional terkait dengan Pengetahuan Tradisional, bagaimana pengaturan perlindungan Pengetahuan Tradisional Terkait Sumber Daya Genetik melalui mekanisme benefit sharing, dan bagaimana penerapan mekanisme benefit sharing terhadap Pengetahuan Tradisional Terkait Sumber Daya Genetik di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder melalui studi dokumentasi dan data primer melalui wawancara. Adapun dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Pertama, paten atas suatu invensi yang didasarkan pada pengetahuan tradisional dapat dikabulkan apabila memenuhi beberapa persyaratan, yakni pengungkapan sumber asal invensi yang didasarkan atas pengetahuan tradisional (disclosure of origin), mendapatkan persetujuan atas dasar informasi dari pemegang pengetahuan tradisional, dan pembagian keuntungan yang adil dan merata bagi pemegang pengetahuan tradisional. Kedua, pembagian keuntungan yang adil dan merata bagi pemegang pengetahuan tradisional wajib dilakukan dengan menerapkan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal (PADIA) dan menetapkan Kesepakatan Bersama. Ketiga, pengaturan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik dalam UU Paten belum efektif dilaksanakan. Maka, Pemerintah sebaiknya segera membuat peraturan perundang-undangan pelaksana dari ketentuan Pasal 26 UU Paten dan mulai menetapkan lembaga-lembaga yang tepat sesuai dengan fungsi yang diamanatkan dalam Protokol Nagoya. ......The huge and varied potential of Indonesian traditional knowledge is often exploited by foreigners without any benefit sharing, so that it is detrimental to the indigenous or local community as the holders of traditional knowledge. The protection of traditional knowledge, including traditional knowledge related to genetic resources, in Indonesia is regulated in an intellectual property rights regime, particularly patents. Therefore, this thesis discusses the analysis of the application of the benefit sharing mechanism in the utilazation of traditional knowledge related to genetic resources. The problems in this research are how to regulate national and international laws related to traditional knowledge, how to regulate protection of traditional knowledge related to genetic resources through benefit sharing mechanisms, and how to implement benefit sharing mechanisms for traditional knowledge related to genetic resources in Indonesia. This research is a descriptive study with juridicial-normative approach that uses secondary data through documentation studies and primary data through interviews. As for the results of the study it can be concluded that: First, a patent on an invention based on traditional knowledge can be granted fulfilling several requirements, namely disclosure of origin of the invention based on traditional knowledge, obtaining prior informed consent from the holder of traditional knowledge, and fair and equitable benefit sharing of traditional knowledge holders. Second, fair and equitable benefit sharing for holders of traditional knowledge must be carried out by applying the prior informed consent and established mutually agreed terms. Third, protection of traditional knowledge related to genetic resources in the Patent Law has not been effectively implemented. Therefore, the Government should immediately enact laws and regulations regulating the provisions of Article 26 of the Patent Law and begin to determine the appropriate institutions in accordance with the functions mandated by the Nagoya Protocol.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library