Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Intan Paramaditha
Abstrak :
Mary dan Percy Shelley hidup pada masa yang sama, yaitu pada zaman Romantik yang identik dengan kebebasan dan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Karena itulah mitos Promotheus --- yang menjadi inspirasi bagi suami istri Shelley --- dianggap sesuai dengan semangat zaman ini. Pada saat yang sama Prometheus juga dikenal dengan aspek kreativitasnya. Aspek ini menurut zaman Romantik menjadikan Prometheus sebagai simbol kekuatan imajinasi manusia. Di sinilah letak pengalaman sublim. Pada dasarnya pengalaman sublim adalah keadaan di mana seseorang, dengan berkontemplasi dan menggunakan imajinasinya, mampu menjangkau a living spirit di balik alam. Pengalaman ini membuat si subyek mampu merasakan inward greatness of the soul (kebesaran jiwa) dan mengantarkannya kepada tahap diri yang lebih tinggi. Inilah yang dicari oleh Frankenstein dan Prometheus. Yang ditelaah di sini adalah bagaimana pencarian pengalaman sublim mereka terkait dengan ideotogi gender. Sublim diasosiasikan dengan alam yang serba besar, megah, dan kuat atau dengan kata lain, alam yang bersifat maskulin. Sedangkan lawannya adalah beauty (keindahan) yang terdapat pada segala sesuatu yang kecil, halus, cantik, dan feminin. Pengkontrasan maskulin-feminin di sini digunakan untuk membedakan sublim dengan yang non-sublim. Sebaliknya, konsep sublim pun ikut mengkonstruksi hubungan antargender dengan menjadi legitimasi penyingkiran perempuan dari wilayah sublim. Namun ternyata penggambaran pengalaman sublim dalam kedua karya ini tidak mencerminkan pola yang seragam. Dalam Frankenstein memang tercermin penyingkiran itu, yaitu dengan kebisuan dan bahkan kematian tokoh-tokoh perempuan saat Frankenstein mencari mimpi maskulinnya. Sebaliknya, dalam Prometheus Unbound Shelley justru menggoyahkan kestabilan maskulinitas sublim dengan menjadikan Asia sebagai pahlawan dengan kekuatan cintanya yang sebenarnya lebih identik dengan keindahan dari pada sublim. Maka saya mencoba mencari jawaban seperti apa sebenarnya ideologi gender kedua pengarang sehingga pengalaman sublim dalam kedua karya ini menjadi sangat berbeda. Saya menemukan bahwa Mary Shelley masih berpegang pada pandangan konvensional dengan membuat batasan tajam antara maskulin-feminin, namun terlihat bagaimana ia mencoba mengkritiknya dengan mengakhiri cerita dalam bentuk tragedi sebagai efek destruktif ambisi egois Frankenstein. Sebaliknya, memang terkesan bahwa pandangan Shelley lebih maju dari Mary. Tetapi ternyata di akhir cerita Asia berangsur menghilang dalam diri Prometheus yang saat itu justru dipuja-puja. Saya menyimpulkan adanya ambiguitas dalam ideologi gender Shelley. Di satu sisi ia ingin selangkah lebih maju dari Mary dengan mengaburkan hierarki maskulin-feminin, namun di sisi fain ia justru mengokohkan oposisi biner tersebut.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S14095
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Latifah
Abstrak :
Skripsi ini merupakan usaha untuk menjelaskan pengalaman tentang Tuhan ketuhanan dalam ranah estetika. Immanuel Kant dengan term sublimnya membuka peluang untuk menjelaskan hal tersebut. Dengan menggunakan peluang yang diberikan oleh Kant, akan memperlihatkan tentang pengalaman ketuhanan itu selain berhubungan dengan iman, juga bersentuhan dengan estetika, yaitu sublim. ...... This thesis is about an effort in way to explaining the empirical study with reference to God divinity in the aesthetics domain of Immanuel Kant, within his sublimacy theory as it to opening more chances definition of his term. By using Kant rsquo s chance it will show about the empirical divinity related to the faith, and so do related to the aesthetic, called by sublimation.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mere, Klaudia Skolastika A.
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang teror dan kaitannya dengan peradaban. Sepanjang sejarah peradaban manusia, teror selalu hadir di dalamnya. Hanya saja manifestasi teror berbeda-beda dari satu periode ke periode yang lain. Dengan demikian, dalam wujudnya sebagai gagasan, teror itu transenden dalam peradaban. Akan tetapi, dalam realisasinya teror imanen dalam peradaban. Teror yang imanen ini mengambil wujud sebagai bentuk-bentuk kekerasan yang banal. Peradaban itu sendiri adalah hasil dialektika antara Eros dan Thanatos. Thanatos bekerja dalam peradaban dengan bentuk teror itu sendiri. Karena peradaban adalah sesuatu yang berproses, maka teror itu tidak akan pernah hilang. ......This thesis discusses terror and its relation to civilization. Throughout the history of human civilization, terror always present on civilization. But, it has different manifestations from one period to another. Thus, in its form as an idea, terror is trancendent to civilization. However, the realization of terror immanent on civilization. These immanent terror takes shape as forms of banal violence. Civilization itself is the result of the dialectic between Eros and Thanatos. Thanatos works in civilization in the form of terror itself. Since civilization is something which proceeds, as long as civilization exists then terror will never be vanished.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S1282
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library