Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denny Wijaya
Abstrak :
ABSTRAK
Permasalahan korupsi tidak lepas dari kerugian keuangan negara yang diakibatkannya. Salah satu upaya hukum untuk memberantas korupsi adalah dengan merampas aset hasil korupsi melalui Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan atau Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). Namun untuk dapat menerapkan konsep ini perlu untuk diketahui terlebih dahulu mekanisme perampasan aset hasil korupsi yang ditetapkan sebagai aset tercemar sehingga dapat dirampas melalui NCB dan juga konsep NCB ini masih menjadi masalah terkait dengan kemungkinannya untuk dapat diterapkan dalam hukum di Indonesia. Untuk itu, dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif dan dengan menggunakan analisis kualitatif penulis akan menjawab permasalahan yang ada terkait dapatkah perampasan aset NCB ini menjadi instrumen hukum yang mampu memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi. Di akhir, penelitian ini menemukan bahwa perampasan aset NCB adalah konsep terbaik yang dapat digunakan untuk memaksimalkan pengembalian kerugian keruangan negara dari tindak pidana korupsi.
ABSTRACT
The problem of corruption is inseparable from its impact on state financial losses. One legal effort to eradicate corruption is to seize assets resulting from corruption through Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). However, to be able to apply this concept it is necessary to know in advance the mechanism of appropriation of assets resulting from corruption which is determined as a tainted asset so that it can be seized through the NCB and also the NCB concept is still a problem related to its possibility to be applied in law in Indonesia. For this reason, by using normative research methods and by using qualitative analysis the author will answer the existing problems related to whether the seizure of NCB assets is a legal instrument that is able to maximize the return of state financial losses from corruption. In the end, this research found that NCB's asset seizure is the best concept that can be used to maximize the return of state spatial losses from corruption.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Herdiawan
Abstrak :
ABSTRAK
BPK memiliki kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara/daerah yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara. Penyelesaian kerugian negara/daerah yang menjadi tanggung jawab bendahara diatur tata cara penyelesaiannya oleh Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, dimana dinyatakan dalam Pasal 41 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Badan Pemeriksa Keuangan dapat membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam rangka memproses penyelesaian kerugian negara terhadap bendahara. Sebagai bagian dari penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang bertujuan untuk pemulihan keuangan negara/daerah dan tertib administrasi dalam pengelolaan keuangan negara/daerah, Majelis Tuntutan Perbendaharaan pada BPK memegang peranan penting khususnya dalam penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang penanggungjawabnya adalah bendahara. Dengan menggunakan kajian kepustakaan dan perundang-undangan, penulisan ini bermaksud menjelaskan kedudukan Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam menilai dan/atau menetapkan kerugian negara/daerah terhadap bendahara dikaitkan dengan Sistem Peradilan Administrasi di Indonesia. Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penulisan ini, disimpulkan bahwa kedudukan Majelis Tuntutan Perbendaharan dalam menilai dan/atau menetapkan kerugian negara/daerah terhadap bendahara dikaitkan dengan Sistem Peradilan Administrasi di Indonesia adalah bahwa Majelis Tuntutan Perbendaharaan tidak termasuk dalam Sistem Peradilan Administrasi di Indonesia karena pada proses menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara/daerah terhadap bendahara Majelis Panel dalam Majelis Tuntutan Perbendaharaan menjalankan fungsi quasi administratif atau berlaku selayaknya pimpinan instansi/lembaga terhadap pegawai dalam lingkungannya.
ABSTRACT
The Audit Board of The Republic of Indonesia (BPK RI), have the authority to assess and determine the amount of loss suffered by the state caused by a treasurer’s illegal action both intended or by negligance. State assessments and state financial losses or the determination of which party is obliged to pay compensation determined by the decision of BPK RI. The settlements in which the treasurer obliged to, is ruled by BPK Regulations Number 3 Year 2007, in which Article 41 of the regulation stated that BPK RI can formed a Treasury Prosecution Council to process the state financial loss settlements to the treasurer. As a part of state financial loss settlements system that pursue the relieve of the state financial and an administration order in state financial management, BPK RI’s Treasury Prosecution Council held an important role, especially in state financial loss settlements obliged to a treasurer. By using literatures and laws study, this research intented to explain and clearing the Treasury Prosecution Council’s stand in the Administrative Judicature System of Indonesia. Based on the analysis conducted in this research, it is concluded that the Treasury Prosecution Council in doing assessments and/or determination of a state financial loss obliged to a trasurer is not a part of the Administrative Judicature System of Indonesia because it doesn’t do any court function. The conclusion was higlighting that in the assessing and/or determining process, the Panel in the Treasury Prosecution Council was doing a quasi administrative function or in other word it act as if it were the head of the office in giving assessments and determinations.
Jakarta: Fakultas Hukum universitas Indonesia, 2014
T39097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library