Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fiqi Fatichadiasty
"ABSTRAK
Hadirnya Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) sebagai lembaga penegak hukum
administrasi bagi para pencari keadilan, seringkali menemui hambatan atas
pelaksanaan/eksekusi putusan. Putusan yang dimaksud ialah dalam konteks
putusan tersebut sudah in kracht, terhadap putusan yang sudah in kracht tersebut
Pejabat TUN selaku pihak yang kalah seringkali tidak mau mematuhi isi putusan
dari para hakim PTUN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
dengan menggunakan data sekunder. Terhadap faktor-faktor tidak
dilaksanakannya putusan TUN disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
seperti belum adanya pengaturan pelaksanaan terkait uang paksa, penggunaan
media massa sebagai upaya pejabat TUN jera ternyata tidak mudah dijangkau oleh
penggugat, eksekusi hierarkis yang sering tidak ditindaklanjuti, serta dapat
disimpulkan sekalipun terdapat berbagai macam upaya paksa ternyata letak
martabat dan daya eksekusi putusan TUN sendiri berada pada kesadaran/self
respect dari pejabat TUN. Adapun perbuatan tidak patuh terhadap isi putusan
TUN tersebut dapat masuk kedalam unsur perbuatan Contempt of Court yang
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Adapun jenis perbuatan
konstitutif ketidak patuhan pejabat TUN masuk kedalam bentuk penentangan
terhadap perintah pengadilan secara terbuka atau disebut Obstruction of Justice.
Hal tersebut dapat berimplikasi terhadap kemungkinan kriminalisasi Pejabat TUN
sesuai Pasal 216 KUHP atas konsekuensi perbuatan tidak patuh tersebut.

ABSTRACT
The presence of the State Administrative Court (TUN) as an administrative law
enforcement agency for justice seekers, often faces obstacles to the
implementation / execution of decisions. The verdict in question is in the context
of the verdict already in kracht, against the verdict that is already in kracht TUN
officials as the losing party often do not want to comply with the contents of the
decisions of the PTUN judges. This type of research is normative legal research
using secondary data. The factors that the implementation of the TUN verdict
were not caused by several factors such as the lack of implementation
arrangements related to forced money, the use of mass media as a deterrent from
TUN officials was apparently not easy to reach by the plaintiff, hierarchical
executions were often not followed up, and it could be concluded even though
there were various the kind of forced effort turns out that the location of the
dignity and power of execution of the TUN decision itself is in the awareness /
self respect of the TUN official. The act of not complying with the contents of the
TUN decision can be included in the Contempt of Court element of action
mentioned in Act Number 14 of 1985 jo Law Number 5 of 2004 concerning the
Supreme Court. The type of constitutive act of disobedience of TUN officials goes
into the form of open opposition to court orders or called Obstruction of Justice.
This can have implications for the possibility of criminalization of TUN Officials
in accordance with Article 216 of the Criminal Code for the consequences of such
non-compliance.
"
Lengkap +
2020
T54430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erdin Tahir
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang penerapan pemberhentian tidak dengan hormat pegawai negeri sipil dalam perspektif pengadilan tata usaha negara. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara dalam pengumpulan data, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pemberhentian tidak dengan hormat diatur dalam Pasal 87 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan pemberhentian tidak dengan hormat, dapat melakukan upaya administratif terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang terdiri dari keberatan dan banding administratif. Dalam perspektif PTUN penerapan Pasal 87 ayat (4) UU ASN oleh pejabat tata usaha negara justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagaimana penerapan pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yang diberlakukan secara surut (retroaktif) terhadap PNS yang dihukum pidana penjara kejahatan jabatan yakni karena melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian penerapan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN, dalam perspektif PTUN ketentuan ini mengandung arti kumulatif, artinya kedua syarat harus terpenuhi yaitu mendapatkan hukuman pidana paling singkat dua tahun penjara dan pidana tersebut dilakukan dengan berencana. Jika salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi, maka terhadap PNS yang bersangkutan tidak dapat diberlakukan ketentuan pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN, sementara untuk pidana yang dilakukan dengan berencana hanya dapat ditafsirkan oleh majelis hakim pidana dalam putusannya dan tidak bisa ditafsirkan oleh pejabat lain, tak terkecuali hakim peradilan administrasi.

ABSTRACT
This thesis studied about the practice of dishonourable dismissal to civil servant from the perspective of state administrative court. This is a research of normative laws using bibliography study and interview in its data aggregation, where the gathered data are analysed using qualitative approach. Dishonourable dismissal is regulated in article 87 section 4 of Law number 5 of 2014 about State Civil Apparatus. Civil servant who believes their self-interest is harmed by the issuing of dishonourable dismissal decision can offer administrative effort first before submitting a lawsuit in State Administrative Court which consist of an objection and an administrative appeal. In the perspective of State Administrative Court, the practice of article 87 section 4 of The State Civil Administration Law by the state administration official in fact cause legal uncertainty. As in the implementation of article 87 section 4 subsection b of The State Civil Administration Law applied in retroactive to civil servant with criminal charge in crime of official occupation, namely the crime of corruption. Then in the implementation of article 87 section 4 subsection d in The State Civil Administration Law, in the perspective of State Administrative Court, this regulation contains cumulative meaning, in the significance that the two conditions have to be completed, namely one has to get criminal charge with minimum imprisonment of 2 years and the crime has to be a premeditated crime. If one of those requirements is not completed, then the regulation in article 47 section 4 subsection d can not be implemented to the civil servant in concern, while the charge for premeditated crime can only be interpreted by the criminal court panel in their verdict and can not be interpreted by any other officials, with no exception to administrative court judge."
Lengkap +
2020
T54824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Ravy Rasyid
"ABSTRAK
Keberadaan Peradilan Administrasi dalam negara Republik Indonesia adalah suatu "conditio sine qua non" dari Negara Hukum Pancasila. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986, Peradilan Administrasi atau yang dapat juga disebut sebagai Peradilan Tata Usaha Negara, secara resmi berdiri. Namun, penerapan dari undang-undang ini masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat berlaku secara efektif. Dan karena itu implementasinya masih akan menimbulkan berbagai permasalahan yang harus segera diatasi sebelum lembaga ini dapat berjalan dan berfungsi. Permasalahan itu, antara lain, belum jelasnya atau belum lengkapnya suatu ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang ini. Hal ini akan menimbulkan berbagai kesulitan apabila ketentuan itu hendak diterapkan. Menyadari bahwa lembaga ini adalah suatu yang relatif baru, maka pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap atau tidak akan dilaksanakan sekaligus. Hal ini akan menimbulkan berbagai implikasi yang jalan keluarnya harus dilakukan dengan mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan. Sebab, kalau implementasinya tidak jelas itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan kevakuman hukum. Dapat dimaklumi bahwa kekurangan yang terdapat dalam undang-undang ini, atau keterbatasan wewenang dari lembaga ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang rasionil. Namun, diharapkan bahwa dalam perkembangannya nanti lembaga ini akan lebih luas kompetensinya."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Indra R.
"Konsep welfare state mengakibatkan perluasan peran pemerintah dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang bertujuan memajukan kesejahteraan seluruh warga negara, akibatnya setiap aktivitas masyarakat akan selalu bersinggungan dengan pelaksanaan tugas dari badan atau pejabat tata usaha negara. Maka selalu terdapat berbagai bentuk variasi tindakan pemerintah baik faktual maupun berupa keputusan yuridis tidak setiap Keputusan akan diterima oleh warga negara bila menimbulkan kerugian yang mendesak, walaupun pada dasarnya setiap keputusan tata usaha negara itu adalah Presumptio justae Causa (dilaksanakan dengan seketika). keputusan yang sangat merugikan dilaksanakan tersebut dapat diminta penundaan pelaksanannya kepada pengadilan TUN yang berwenang. Permohonan dapat dikabulkan bila ada kepentingan mendesak/dirugikan dan tidak dikabulkan bila ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan.
Dalam penelitian ini, ditemukan kepentingan penggugat yang mendesak/dirugikan itu tidak serta merta terjadi. Kepentingan umum dalam rangka pembangunan adalah merupakan kepentingan seluruh negara/bangsa bukan dalam arti kepentingan lokal yang mengharuskan gugatan ditolak. Untuk mengatasi timbulnya sengketa dikemudian yang timbul akibat ketidakcermatan mengambil keputusan, maka saran yang direkomendasikan adalah (1). Perlunya pemahaman wewenang oleh setiap badan atau pejabat TUN dalam pembuatan keputusan; (2) perlunya adanya sanksi berupa pemberian ganti rugi secara pribadi badan atau pejabat TUN yang bersangkutan.
Wellfare state resulted in the concept of expending the role of government in all aspects of a society. That aims to promote the welfare of all citizens. A result that every community will always with the implementation of the tasks of the agency or official. Therefore always different forms of government action variations both factual and juridical decisions. Is that not every decisions can be received by citizens when the loss of an urgent cause although basically every decisions (can be) a decisions which is very harmfull for the delayed can be sued to court. That granted will can have an urgent interest/ injured and not granted if there is public interest in the frame work of development.
In this research found that the interest of plaintif urgent/ disadvantaged not necessarily occur. Is in the public interest of all citizens/ nation as whole Rather than local interest to addres the incidence of disputes due to decisions that are carefull. the suggestion is recommended (1) The need for the authorities in decisions making (2) The need to sanction the provision of compensation from the time the guilty officials.
"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22586
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rinaldi
"Dari penelitian yang dilakukan secara yuridis normatif diperoleh kesimpulan bahwa terhadap putusan yang dikeluarkan oleh majelis Pengawas Pusat Notaris mengenai adanya pelanggaran kode etik dan penjatuhan sanksi didalamnya. Apabila putusan dalam tingka Majelis Pengawas Wilayah, hal itu dapat di banding ke Majelis Pengawas Pusat berdasarkan Undang Undang Jabatan Notaris. Apabila putusan dikeluarkan oleh Majelis Pengawas Pusat, Undang Undang Jabatan Notaris tidak mengatur upaya hukum yang dapat dilakukan. Namun dalam kajian yang dilakukan terhadap 2 (dua) putusan Pengadilan Tata Usaha Negara serta wawancara yang dilakukan kepada anggota Majelis Pengawas Pusat Notaris, maka yang seharusnya diajukan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara adalah putusan penjatuhan sanksi yang bersifat final, yaitu putusan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana rekomendasi dari putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris. Hal ini karena telah terpenuhi unsur final di dalamnya sehingga masuk kedalam objek Tata Usaha Negara

This research, conducted in normative juridical way, concludes that the verdict issued by the Central Notary Supervisory Council regarding the violation of code of ethics and the application of sanctions in it. If the verdict is conducted in the level of Region Notary Supervisory Council, it can appeal to the Central Notary Supervisory Council as contained in Notary Law. If the verdict issued by the Central Notary Supervisory Council, then basically the Notary Law does not regulate what legal effort option that can be done. But in a study conducted on two (2) the decision of the State Administrative Court as well as interviews to member of the Central Notary Supervisory Council1.In this case the decision of the Minister law and Human Rights as well as the recommendations of the verdict by Central Notary Supervisory Council. This is because it has fulfilled the final element in it that goes into object of State Administration."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Setyo Budi
"Berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik membawa perubahan paradigma beracara khususnya di Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk menyelesaikan sengketa informasi publik, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanahkan pembentukan Komisi Informasi. Dalam tradisi hukum acara peradilan tata usaha negara komisi seperti ini seringkali disebut peradilan semu atau (quasi rechtspraak). Namun demikian tidak dengan Komisi Informasi, Komisi ini merupakan lembaga profesional yang mengevaluasi bagaimana seharusnya keterbukaan informasi itu diselenggarakan dalam suatu negara hukum. Pihak-pihak bersengketa di Komisi Informasi, yaitu Badan Publik dan Pengguna Informasi Publik, dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara apabila badan publiknya adalah Badan Publik Negara. Jika dalam tradisi peradilan tata usaha negara pejabat tata usaha negara senantiasa berkedudukan tergugat, maka dalam penyelesian sengketa informasi pubik di pengadilan, tradisi itu tidak berlaku lagi. Masing-masing dapat bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat sesuai dengan kepentingan masing-masing. Komisi Informasi yang putusannya menjadi acuan untuk dinilai tidak termasuk sebagai pihak yang bersengketa. Terkait dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 160/G/2011/PTUN- JKT, dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara berwenang secara absolut untuk menyelesaiakan sengketa informasi publik. Namun demikian terdapat keterlanjuran proses peradilan yaitu mendudukan Komisi Informasi sebagai tergugat sehingga memungkinkan untuk dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

The enactment of the Law Number 14 of 2008 on Public Information Disclosure, has brought a paradigm shift on the proceeding of courts, especially the State Administrative Court. In order to settle public information disputes, the Law Number 14 of 2008 on Public Information Disclosure mandated the establishment of the Information Commission. This commission is usually called quasi judicial body (quasi rechtspraak) in the State Administrative Court's Procedural Law, but not with this Commission. The Information Commission is a professional body which evaluates how the Public Information Disclosure should be held in a state law. If the Parties initially disputed in the Information Commission, i.e. the Public Body and the public information user, do not accept the verdict of the Information Commission, they may file lawsuit to the State Administrative Court as long as the public body is a statepublic body. If in the State Administrative Court's Procedural Law the state administrative officials always serves as a defendant, then in the settlement of public information dispute in court, the tradition does no longer apply. Each one can act as a Plaintiff or Defendant depending on their own interests. The Information Commission, which decision becomes a reference for assessment, is not considered as a disputing party. In relations to the Jakarta State Administrative Court Decision Number 160/G/2011/PTUN- JKT, it can be concluded that the State Administrative Courts has an absolute competentie to settle the public information disputes. However, there is an error in in the judicial process which put the Information Commission as defendant which allows cassation to be filed to the Supreme Court."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library