Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sarah Naura Irbah
Abstrak :
Latar Belakang: Anemia diketahui sebagai salah satu komplikasi pada penyakit TB. Konsentrasi hemoglobin yang rendah diasosiasikan dengan keterlambatan waktu konversi kultur sputum pada pasien TB namun hubungannya pada pasien TB MDR masih belum diketahui. Konversi kultur sputum pasien TB MDR dari positif menjadi negatif merupakan prediktor utama indicator keberhasilan pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kondisi anemia pada pasien TB MDR dapat memperlambat waku konversi sputum. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif dengan metode total sampling untuk memperoleh data pemeriksaan hematologis, status klinis, dan status demografis dari rekam medis pasien TB MDR di RSUP Persahabatan selama tahun 2016. Data mengenai waktu konversi sputum diperoleh dari database online Indonesia, e-TB-Manager, di bawah pengawasan pihak yang berwenang di RSUP Persahabatan. Hasil: Dari seluruh 363 rekam medis, terdapat 201 data yang memenuhi kriteria inklusi dengan keterangan sebanyak 83/118 41.3 mengalami anemia. Analisis data dengan uji kesintasan menunjukkan bahwa status anemia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keterlambatan konversi sputum, sedangkan klasifikasi dan jenis anemia tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses konversi sputum. Kesimpulan: Kondisi anemia meningkatkan risiko konversi sputum yang lebih lama pada pasien TB MDR dibandingkan dengan pasien tanpa diserta anemia. Oleh karena itu, perlu adanya upaya perbaikan status gizi dan profil hematologis pada pasien TB MDR yang disertai dengan anemia. ......Background: Anemia was known to be the complication of Tuberculosis TB . Low hemoglobin concentration was associated with prolonged time of culture sputum conversion in TB but the association in MDR TB is still unknown. Sputum culture conversion in MDR TB was the main predictor of successful therapy outcome. This study aims to understand whether anemia amongs MDR TB patients could prolong the time for sputum conversion. Method: This retrospective cohort study used total sampling method to obtain hematological laboratory data, clinical status, and demographic status from medical records of MDR TB patients in Persahabatan Hospital during the year of 2016. The time of sputum conversion was obtained from Indonesian online database e TB Manager under supervision of Persahabatan Hospital authorized staffs. Result: Of the 363 medical records within a year, only 201 datas fitted into inclusion criteria in which 83 of 118 MDR TB patients 41.3 have anemia. Survival analysis rate showed a significant rate difference in conversion time based on the anemic status. However, there is no significant relation of classification and types of anemia towards the conversion time. Conclusion: Anemia increased the risk of prolonged time in spuum conversion in MDR TB patients compared to those without anemia. Therefore, there should be an effort in improving the nutritional status and hematological profile in MDRt TB patients with anemia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filly Mandalie
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang : Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosiss (MTB) dan merupakan masalah kesehatan utama didunia.1World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 melaporkan 10 juta orang terdiagnosis TB di seluruh dunia. Indonesia merupakan negara dengan insiden TB tertinggi ketiga di dunia, terjadi peningkatan kasus baru sebesar 70% dari 331.703 menjadi 563.879 antara tahun 2015-2018 dan kasus TB MDR/TB RR, rata-rata 8.8 per 100.000 populasi, 2.4 % merupakan kasus baru dan dan 13% merupakan TB pengobatan ulang.2 Berdasarkan data WHO tingkat kegagalan pengobatan pada pasien TB MDR cukup besar (lebih dari 50%), juga terjadi di Indonesia yang disebabkan tinggi nya angka kematian (17%) dan loss to follow up (26%). Kegagalan pengobatan mengakibatkan pengobatan dihentikan dan diperlukan penggantian rejimen. Komorbiditas, Efek samping obat, resistensi obat merupakan faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan dan dinilai melalui konversi sputum yang merupakan indikator respons pengobatan dan digunakan sebagai indikator keberhasilan pengobatan atau kegagalan pengobatan. Tujuan : Mengetahui hubungan konversi sputum pasien TB MDR dengan berbagai faktor non genetic dan genetic yang terjadi selama fase intensif yang sedang diobati di RS paru DR.M.Goenawan Partowidigdo. Metode: Data diambil secara kohort retrospektif melalui rekam medis TB MDR (1 Oktober 2018 sampai 31 Maret 2019). Data yang terkumpul dilakukan uji statistik. Hasil : SP yang mendapat terapi jenis STR memiliki karakteristik rerata usia sebesar 35,11 tahun dengan jenis kelamin laki-laki sedikit lebih banyak dibanding perempuan (57,9% vs 42,1%), sebagian besar memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya (84,2%) namun tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien TB aktif (87,7%). Terdapat 32 SP yang tidak memiliki riwayat pengobatan dan tidak memiliki riwayat kontak tetapi terinfeksi kuman TB MDR sebanyak sepertiga SP memiliki komorbiditas DM. SP yang mendapat terapi jenis konvensional memiliki karakteristik rerata usia sebesar 40,22 tahun, lebih banyak berjenis kelamin laki-laki (61,5%), dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya (73,5%) namun tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien TB aktif (86,3%), sebanyak sepertiga SP memiliki komorbiditas DM Subjek yang tidak mememiliki komorbiditas dan tidak konversi sputum sebesar 18,4% sedangkan yang tidak memiliki komorbiditas dan tidak konversi sputum sebesar 55,2% dimana hasil ini bermakna secara statistik (p=0,016, RO 2,23 IK95% 1,15 - 4,32). SP dengan DM memiliki risiko 2,23 kali untuk tidak terjadi konversi sputum. Jumlah efek samping obat anti tuberkulosis lebih dari 2 jenis yang mengalami konversi sputum sebesar 43,1 % sedangkan yang jumlah efek sampingnya ≤ 2 mengalami konversi sputum sebesar 23,6 % dimana hasil ini bermakna secara statistik (p<0,001, RO 0,11 IK95% 0,05 -0,25). Pada akhir bulan keenam dan dilakukan kultur dan DST dan LPA lini dua didapatkan perubahan sifat resistensi, bisa akibat mutasi atau pasien terinfeksi oleh 2 strain yang berbeda. Kesimpulan: Konversi kultur sputum yang tertunda mengakibatkan waktu pengobatan yang diperpanjang dan beresiko kegagalan pengobatan. DM, efek samping onat dan resistensi adalah salah satu Faktor yang menyebabkan waktu konversi sputum lebih lama, sehingga resiko kegagalan terapi menyebabkan resiko mortalitas meningkat.
ABSTRACT
Background: Tuberculosis (TB) is an infection caused by Mycobacterium tuberculosis (MTB) and is a main health problem in the world.1 The World Health Organization (WHO) in 2018 reported 10 million people diagnosed with TB worldwide. Indonesian is country with the third highest incidence of TB in the world, an increase in new cases is 70% from 331,703 to 563,879 between 2015-2018 and MDR TB cases an average of 8.8 per 100,000 population, 2.4% is a new cases and 13% is a re-treatment of TB cases.2 Based on WHO data, the treatment failure rate in MDR TB patients is quite large (more than 50%), also occurring in Indonesia which causes high mortality (17%) and loss to follow-up (26%). Treatment failure causes the treatment being stop and replacement regimen are needed. Many factors that influence treatment and approved through sputum conversion which is an indicator of treatment response and is used as an indicator of treatment success or treatment failure. Objective: To know the relation of sputum conversion in patients with various factor non genetic and genetic that occur during intensive phase while in the process of treatment in pulmonary hospital of Dr. M. Goenawan Partowidigdo. Methods: Data were collected in retrospective cohort through MDR TB medical records (1 October 2018 until 31 March 2019). The data collected is done by statistical tests. Results: SP who received STR type therapy had characteristic a mean age of 35.11 years with sex of male more slightly than female (57.9% vs 42.1%), most had a history medication of previous treatment TB (84, 2%) but do not have a contact history with active TB patients (87.7%). There were 32 SPs who had no history of treatment and had no contact history but were infected with MDR TB as much as one third of SP have comorbid DM. SP who received individua type of therapy had a mean age of 40.22 years, most are male (61.5%), with a history of previous TB treatment (73.5%) but had no contact history with active TB patients (86.3%), as many as one third of SP have comorbid DM. Subjects who did not have comorbidity and no sputum conversion were 18.4% while those who did not have comorbidity and had no sputum conversion were 48.9% where these results were statistically significant (p = 0.016, RO 2.23 IK95% 1.15 - 4 , 32). SP with DM has a risk of 2.23 times for not occur sputum conversion. The number of side effects of anti tuberculosis drugs more than 2 types be through sputum conversion was 43.1% while the number of side effects ≤ 2 be through sputum conversion was 23.6% where these results were statistically significant (p <0.001, RO 0.11 IK95 % 0.05 - 0.25). At the end of the sixth month and culture had be done and DST and LPA line two, there was a change of characteristic resitence, it could be due to mutations or the patient was infected by 2 different strains. Conclusion: Delayed conversion of sputum culture causes the time extended of treatment and risk treatment failure. DM, drugs side effects and resistance are one of the factors that cause a longer sputum conversion time, so the risk of therapy failure causes an increased risk of mortality.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adrina Vanyadhita
Abstrak :
ABSTRAK
Infeksi tuberkulosis merupakan permasalahan global terutama pada negara berkembang. Pada tahun 2013, setidaknya 9 juta populasi dunia menderita tuberkulosis dan 1,5 juta populasi meninggal karena tuberkulosis. Asosiasi antara tuberkulosis dan malnutrisi diantaranya adalah tuberkulosis dapat menyebabkan malnutrisi dan individu yang malnutisi rentan pada tuberkulosis. Oleh karena itu indeks massa tubuh (IMT) rutin diukur saat awal diagnosis dibuat.
Bandung : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran, 2016
616 UI-IJCHEST 3:4 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adrina Vanyadhita
Jakarta: Department of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-IJCHEST 3:4 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Aliyah
Abstrak :
Latar Belakang: Infeksi tuberkulosis (TB) memiliki insidensi TB yang terus meningkat dengan angka kematian yang tinggi. Infeksi TB merupakan hasil interaksi antara faktor kuman, imunitas pejamu, dan lingkungan. Imunitas pejamu dipengaruhi oleh komponen nutrisi, antara lain: vitamin D. Vitamin D dapat meningkatkan respon terapi antituberkulosis pada makrofag. Vitamin D yang rendah berhubungan dengan polimorfisme VDR pada penderita TB. Belum terdapat data terkait gambaran kadar vitamin D pada penderita tuberkulosis kasus baru. Tujuan: Mengetahui gambaran konversi sputum BTA dan kadar Vitamin D pada penderita tuberkulosis kasus baru. Metode: Penelitian ini bersifat multisenter. Subjek penelitian adalah penderita TB paru kasus baru yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Follow-up dilakukan selama 2 bulan. Dalam periode 7 bulan (Oktober 2014- April 2015) dari 109 subjek: 88 subjek dapat diikuti hingga akhir penelitian, 20 orang subjek putus obat, dan 1 orang meninggal dunia. Hasil: Pada penelitian ini dari 88 subyek, subyek yang mengalami konversi sputum sebanyak 55 orang (62,5%), yang tidak mengalami konversi sputum sebanyak 33 orang (37,5%). Hasil pengukuran kadar vitamin D pada subyek didapatkan 15 orang (17%) normal, 29 orang (33%) insufisensi, dan 44 orang (50%) defisensi. Dari masing-masing kelompok yang mengalami konversi sputum, 9 orang (16,4%) pada kelompok vitamin D normal, 16 orang (29,1%) kelompok insufisiensi, dan 30 orang (54,5%) dari kelompok defisiensi. Dengan kata lain masing-masing kelompok yang tidak mengalami konversi adalah: kelompok normal 6 orang (18,2%), kelompok insufisiensi 13 orang (39,4%) dan kelompok defisiensi 14 orang (42,4%). Kesimpulan: Populasi defisiensi vitamin D memiliki jumlah subyek terbanyak baik yang mengalami konversi sputum atau yang tidak mengalami konversi sputum. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang berperan dalam infeksi TB, diantaranya polimorfisme VDR. Interaksi ini terutama akan terjdi pada pasien dengan kadar vitamin D yang rendah. Penelitian lebih lanjut mengenai polimorfisme VDR berkaitan dengan penyakit TB perlu untuk dilakukan.
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Rimenda Br.
Abstrak :
Pendahuluan : Walaupun pemerintah Indonesia sudah menetapkan programDirect Observed Treatment Short course DOTS dengan ObatAntituberkulosis OAT kombinasi dosis tetap KDT , masih ditemukan kasustuberkulosis TB baru di Indonesia. Informasi tentang perbedaan efektivitasdan efek samping OAT KDT dan OAT dosis lepasan pada fase intensif danfase lanjutan masih merupakan suatu perdebatan. Penelitian ini bertujuan untukmembandingkan efektivitas dan efek samping OAT KDT dengan OAT dosislepasan pada pasien TB paru kasus baru konfirmasi bakteriologis danmengevaluasi penggunaan fase sisipan pada kedua kelompok OAT. Metode : Penelitian retrospektif observasional ini menggunakan datasekunder dari rekam medis pasien TB paru kasus baru konfirmasibakteriologis yang mendapat pengobatan OAT kategori 1 KDT atau OAT dosislepasan dalam periode 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Januari 2017.Efektivitas dinilai dari konversi basil tahan asam BTA pada akhir bulan ke 2dan akhir bulan ke 6, serta evaluasi penggunaan fase sisipan pada akhir bulanke 3. Efek samping dinilai dari efek samping obat ESO mayor dan minoryang timbul selama pemakaian OAT KDT atau dosis lepasan. Perbedaanefektivitas dinilai dengan Chi square. Hasil : Data pasien yang mendapat OAT KDT 33 orang dan OAT dosislepasan 30 orang selama periode 1 Januari 2014 ndash; 31 Januari 2017 di RS drEsnawan Antariksa Halim Perdanakusuma Jakarta di evaluasi. Pada akhir faseintensif, proporsi pasien pada kelompok OAT KDT dan lepasan yangmengalami konversi BTA tidak berbeda bermakna 78,8 vs 83,3 , p=0,693 .Pada akhir fase sisipan, 100 pasien kelompok OAT lepasan mengalamikonversi, satu pasien 14,3 pada kelompok KDT gagal konversi dandikeluarkan dari penelitian ini. Semua pasien yang menyelesaikan fase lanjutanpada kedua kelompok mengalami konversi BTA. ESO mayor berupa hepatitisdan reaksi sensitivitas ditemukan lebih banyak pada kelompok KDTdibandingkan lepasan 6.1 vs 0 . ESO minor juga lebih banyakditemukan pada kelompok KDT dibandingkan lepasan 30.3 vs 23.3 . Efeksamping minor yang paling banyak dialami adalah nyeri perut dan mual.Proporsi subjek yang mengalami ESO lebih banyak pada kelompok KDTdibandingkan kelompok lepasan 33,3 vs 23,3. Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan efektivitas dan efek samping OATkategori 1 KDT dibanding dosis lepasan pada fase intensif dan lanjutan. Terdapat keberhasilan konversi pada akhir fase sisipan pada kedua kelompokOAT.
Introduction : Eventhough Indonesian Government has established DirectObserved Treatment Short Course DOTS program with fixed dosecombination FDC Antituberculosis, new tuberculosis cases continue to occur.Information on differences in effectiveness and adverse drug reactions ADRs of FDC and separate formulations persists. This study aimed to evaluate theeffectiveness and adverse drug reactions of FDC versus separateantituberculosis formulations in new onset bacteriological confirmedpulmonary TB patients and to evaluate the effect of one month extension ofintensive phase in both groups. Methods : A retrospective observational study was conducted using patientdata records. All new onset pulmonary TB patients with recordedbacteriological confirmation and received first category FDC or separate antituberculosis formulations during January 1st 2014 until January 31st 2017 period were included. Efectiveness outcome were determined by Acid fastbacilli sputum smear conversion at the end of intensive phase month 2 andmonth 6 of therapy, and evaluation of extended phase at the end of month 3.Major and minor ADRs occured during antituberculosis treatment wereconsidered as ADRs outcome. The difference on acid bacilli sputum conversions between two groups were analyzed using Chi Square test. Results : Patients treated with FDC n 33 and with separate formulations n 30 during January 1st 2014 to Januari 31st 2017 at dr. Esnawan AntariksaHospital, Halim perdanakusuma Jakarta were evaluated. The rate of sputumsmear conversions at the end of intensive phase was not significantly higher inseparate formulations group as compared with FDC group 83,3 vs 78,7 ,p 0,693 . The intensive phase was extended one more month for patients withconversion failure at month 2, at the end of extended intensive phase, 100 of separate formulation were convertion. One patient 14,3 in FDC group didnot gain sputum conversion during the extended phase and was considered asmedication failure and being excluded from the study. At the end ofcontinuation phase, sputum smear conversions were achieved by all patients inboth groups. Major ADRs hepatitis and hypersensitivity reactions were foundhigher in FDC group as compared with separate formulations group 6.1 vs0 . Minor ADRs also were found higher in FDC group 30.3 vs 23.3 .The most frequently occurred ADRs were abdominal discomfort and nausea. The proportion of subjects with ADRs were higher in FDC than separateformulation group 33,3 vs 23,3. Conclusion : There were no differences in the effectiveness and safety profile of the first category FDC and separate antituberculosis formulations.Successfulconversions occured at the end of the extended intensive phase in both groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58538
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Austin W.
Abstrak :
ABSTRACT
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang diderita oleh banyak orang di dunia termasuk Indonesia. Konversi sputum adalah salah satu cara untuk mengevaluasi respon pasien tuberkulosis, namun konversi sputum dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah grading sputum yang tinggi. Pada penelitian ini dilakukan penelitian mengenai keberhasilan konversi sputum dihubungkan dengan sputum smear grading. Studi ini dilakukan di tiga puskesmas di Depok dan menggunakan 293 formulir TB.01. Terdapat 25 kejadian gagal konversi dimana 16 dari kejadian itu didapatkan pada kelompok dengan sputum smear grading yang tinggi. Analisis statistik dari data yang didapat menunjukkan bahwa ada hubungan antara sputum smear grading yang tinggi dengan kegagalan konversi dengan RR 3.380 yang memiliki indeks kepercayaan 95 1.549 hingga 7.375. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sputum smear grading merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi keberhasilan konversi pada pasien TB.
ABSTRACT
Tuberculosis is an infectious disease suffered by many people in the world including Indonesia. Sputum conversion is an indicator to evaluate patient rsquo s response against Tuberculosis drug, but sputum conversion is influenced by many factors and high sputum grading is one of them. In this research, we seek the relation between sputum smear grading and the success of sputum conversion. This study is done in three public health center in Depok and using 293 TB.01 formulir. There are 25 incidence of failure in sputum conversion and 16 of it is from the group whose sputum smear grading is high. Statistical analysis from the data showed that there is a relation between high sputum smear grading and sputum conversion. The RR is 3.380 with 95 confidence interval 1.549 to 7.375. The conclusion from this study is that sputum smear grading is an important factor that influence success rate of conversion of sputum in tuberculosis patient.
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Luthfi
Abstrak :
Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan global. Terdapat banyak pasien tuberkulosis memiliki status gizi kurang saat awal diagnosis yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh pasien tersebut, sehingga meningkatkan risiko terjadinya kegagala dapn konversi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi pasien tuberkulosis pada awal diagnosis dengan keberhasilan konversi sputum. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari Kartu Pasien TB.01 di UPT Puskesmas Sukmajaya, UPF Puskesmas Villa Pertiwi dan UPF Puskesmas Abadi Jaya n=131. Pada penelitian ini didapatkan 93,2 pasien dengan status gizi kurang BMI0,05 antara status gizi pasien tuberkulosis saat awal diagnosis dengan keberhasilan konversi sputum setelah pengobatan fase intensif dilakukan RR 1,016 ,95 CI,0,932-1,108.
Tuberculosis is one of global health problem. There is many tuberculosis patients who have low nutritional status in the initial of diagnosis that can lower the immune system of the patients and increase the risk of conversion failure. The aim of this study is to evaluate the correlation between the nutritional status of tuberculosis patient in the initial of diagnosis and the success of sputum conversion after an intensive phase of treatment been performed. This study used a retrospective cohort design using secondary data which obtained from Kartu Pasien TB.01 in UPT Puskesmas Sukmajaya, UPF Puskemas Villa Pertiwi and UPF Puskesmas Abadi Jaya n 131. In this study, 93,2 patients with low nutritional status BMI 0,05 between the nutritional status of tuberculosis patients in the initial of diagnosis and the success of sputum conversion after an intensive phase of treatment been performed RR 1.016, 95 CI, 0.932 to 1.108.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library