Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sufiarina
Abstrak :
Article 27 paragraph (1) of Law No. 48 Year 2009 regarding Judicial Power states that special courts can only be formed in one of the court systems under the Supreme Court, which include general courts, religious courts, military courts and state administration courts. However, article 3A paragraph (2) of Law No. 50 Year 2009 concerning the Second Amendment to the Law on Religious Court places Shariah Court as a special court within the system of religious courts and as a special court within the system of general courts. Such positioning is inconsistent with Article 27 paragraph (1) of the Law on Judicial Power which raises a legal issue and therefore requires juridical solution. The inconsistency is subject to juridical normative study within the scope of a research concerning the level of horizontal synchronization, using descriptive analysis. The method applied for data collection in this research is through literature study supported by field data. The data obtained is analyzed by using juridical qualitative method. This study concludes that, in fact, the Shariah Court is neither a special court, nor does it stand in two systems of courts. Both in terms of general administration as well as case management, the Shariah Court is a Religious Court for the territory of the Province of Nanggroe Aceh Darussalam, the competence of which has been expanded in the context of the implementation of special autonomy, particularly in the field of the implementation of Islamic shari’a.

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.” Lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung meliputi peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.Pasal 3A ayat (2) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Peradilan Agama, menempatkan Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama dan sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Penempatan Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan khusus, sekaligus di dua lingkungan peradilan inkonsistensi dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Inkonsistensi ini menimbulkan permasalahan hukum yang perlu dicarikan penyelesaiannya secara yuridis. Permasalahan mengenai inkonsistensi aturan hukum tersebut dikaji secara yuridis normatif dalam cakupan penelitian terhadap taraf sinkronisasi horizontal dengan spesifikasi penelitian deskriptif analisis. Teknik pengumpulan data pada kajian ini melalui studi kepustakaan dan didukung data lapangan.Data yang diperoleh kemudiandianalisis secara yuridis kualitatif.Kajian ini menemukan bahwa Mahkamah Syar’iyah sesungguhnya bukanlah dalam kedudukan sebagai pengadilan khusus dan juga tidak berpijak pada dua lingkungan peradilan. Secaraadministrasi umum maupun pengelolaan perkara Mahkamah Syar’iyah merupakan Pengadilan Agama untuk wilayah Propinsi NAD yang kewenangannya diperluasdalam rangka melaksanakan otonomi khusus bidang pelaksanaan syariat Islam.
University of Indonesia, Faculty of Law, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library