"Ruang transisi yang secara desain difungsikan untuk sirkulasi, seringkali mengalami pemaknaan ulang akibat aktivitas tubuh yang terus bergerak di dalamnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang kota tidak selalu digunakan sebagaimana dimaksudkan oleh rancangan formal, melainkan diproduksi ulang melalui interaksi sehari-hari yang bersifat situasional. Dalam konteks ini, apropriasi ruang menjadi indikator penting untuk memahami dinamika ruang kota, yakni ketidaksesuaian antara struktur spasial yang dirancang dengan realitas penggunaan ruang yang terbentuk dari tindakan, persepsi, dan kebutuhan pengguna sehari-hari. Seperti yang dibahas oleh Alexander (1965) dalam A City is Not a Tree, kota tidak bisa dipahami sebagai struktur hierarkis yang teratur sepenuhnya; melainkan sebagai sistem yang kompleks dan dipenuhi oleh lapisan aktivitas yang tidak selalu bisa diatur oleh desain.
Studi ini menggunakan kerangka pemikiran Ana Luz (2004) yang memahami ruang transisi sebagai ruang in-between, yakni ruang yang memperoleh maknanya melalui aktivitas tubuh yang melintas, berhenti, dan merespons ruang secara situasional. Diperkaya dengan teori persepsi dari Gibson (2015), yang menyatakan bahwa persepsi ruang terbentuk melalui interaksi langsung antara tubuh dan lingkungannya, terutama melalui gerakan. Untuk memahami pola gerak pengguna KRL, penelitian ini juga mengacu pada teori 7(tujuh) fase threshold oleh Boettger (2014). Di sisi lain, strategi apropriasi oleh PKL dianalisis menggunakan konsep taktik dalam praktik sehari-hari dari Michel de Certeau (1984). Studi dilakukan melalui metode kualitatif dengan pendekatan observasi, pemetaan spasial, dan wawancara informal. Studi menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara ekspektasi desain formal dengan realita praktik penggunaan ruang. Temuan ini menunjukkan bahwa ruang transisi di Stasiun Tebet telah mengalami transformasi makna menjadi ruang sosial yang aktif melalui proses apropriasi, pembacaan ritme, dan taktik spasial.
Transitional spaces, originally designed for circulation, are often reinterpreted through the continuous movement of bodies passing through them. This phenomenon demonstrates that urban space is not always used as intended by formal planning but is instead continually reproduced through situational and tactical everyday interactions. Spatial appropriation thus becomes a crucial indicator to understand the dynamics of urban space, specifically, the disjunction between formally designed spatial structures and the lived realities shaped by user actions, perceptions, and needs. This study emphasizes that the city should not be viewed merely as an orderly hierarchical structure, but as a complex system layered with activities that cannot always be dictated by design.This study employs Ana Luz’s (2004) theoretical framework of transitional space as in-between space, wherein spatial meaning emerges through bodily acts of passing, pausing, and responding to spatial cues in situ. This perspective is reinforced by Gibson’s (2015) ecological theory of perception, which asserts that spatial understanding is not merely visual but arises through direct corporeal engagement with the environment—principally via movement. To examine user locomotion in the station context, the study draws on Till Boettger’s (2014) model of seven threshold phases. Concurrently, the adaptive strategies of street vendors are interpreted through Michel de Certeau’s (1984) theory of everyday tactics as a mode of spatial negotiation. Using a qualitative approach combining visual observation, spatial mapping, and informal interviews, the findings reveal a notable divergence between the normative logic of spatial design and the situated practices that redefine the space in use. These observations demonstrates that the transitional spaces at Tebet Station have undergone a shift in spatial meaning, evolving from neutral conduits of movement into socially activated environments through layered processes of appropriation, embodied perception, and tactical inhabitation."