Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"This experiment was carried out to study the mineral contents and their profile on seafood which is generally consumed i.e squid (Loligo sp) and vannamei shrimp(Litopenaeus vannamei),and to evaluate the solubilities of Ca dan Zn as affected by boiling in different solution (water , 0.5% acetid dan 1% sodium chloride)...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Shilvia Agita Putri
"Mikroemulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari campuran minyak, air, surfaktan, dan / atau kosurfkatkan. Sistem ini bersifat jernih dan stabil secara termodinamik. Mikroemulsi menjadi salah satu pilihan sebagai alternatif dalam memformulasikan obat yang kelarutannya buruk. Minyak nabati seperti minyak kelapa sawit dan virgin coconut oil (VCO) dapat digunakan sebagai pembawa pada mikroemulsi, karena minyak tersebut memiliki keunggulan diantaranya adalah dapat didaur ulang, tidak mudah terbakar, ramah lingkungan, bersifat tidak toksik, serta mudah didapatkan. Berdasarkan literatur yang sudah ada, komposisi surfaktan, cara pembuatan, dan jenis minyak mempengaruhi sifat fisikokimia dari mikroemulsi. VCO menghasilkan ukuran partikel mikroemulsi yang lebih kecil dibandingan dengan minyak kelapa sawit. Namun, pada stabilitas kimia dari mikroemulsi, minyak kelapa sawit lebih unggul dibandingkan dengan VCO. Hasil yang optimum mungkin didapatkan dengan menambahkan konsentrasi surfaktan pada mikroemulsi minyak kelapa sawit dan antioksidan pada mikroemulsi VCO.


Microemulsion is a system that consisting of a mixture of oil, water, surfactants, and / or cosurfactants. This system is clear and thermodinamically stable. A microemulsion is an option as an alternative for the formulation of drugs with poor solubility. Vegetable oils such as palm oil and virgin coconut oil (VCO) can be used as carriers for microemulsions, because these oils have advantages such as being recyclable, non-flammable, environmentally friendly, non-toxic, and easy to get. Based on the existing literature, the composition of the surfactant, the process of making the microemulsion, and the type of oil gave some differences in the physicochemical properties of the microemulsion. VCO produced smaller microemulsion particle sizes compared to palm oil. However, in the chemical stability of microemulsions, palm oil gave better result compared to VCO. The optimum result might be reached by increasing surfactant concentration on palm oil microemulsion and antioxidant on VCO microemulsion."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjen Dravinne Winata
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah teh berpengaruh terhadap daya kelarutan email. Besar sampel bubuk email yang akan diteliti adalah 18, dan masing-masing sampel dibuat dari 5 lempeng email gigi premolar yang dicabut untuk keperluan perawatan meratakan gigi. Sebelum dihaluskan lempeng email dipisahkan secara acak menjadi 3 kelompok percobaan T1, T2, T3 dan 3 kelompok kontrol K1, K2, K3. Setiap kelompok ini dibagi lagi menjadi 3 kelompok kecil sebagai sampel yang masing-masing terdiri dari 5 lempeng email. Masing-masing sampel direndam 3x/hari 3 menit untuk kelompok T1 dan Kl direndam selama l minggu, kelompok T2 dan K2 direndam selama 2minggu, dan kelompok T3 dan K3 direndam selama 3 minggu.
Sampel kelompok percobaan direndam teh, dan sampel kelompok kontrol direndam aquabidestilata Setelah proses perendaman selesai masing-masing sampel dihaluskan, dan diayak dengan kehalusan - 250 mesh, diambil seberat 500 mg, dan dititrasi dengan 100 ml asam asetat 0,01 mol/L pH 4. Bubuk email dari masing-masing sampel yang tidak larut setelah dititrasi disaring dengan kertas saring, dikeringkan dengan oven, dan ditimbang kembali. Data bubuk email yang larut dianalisis secara statistik untuk melihat kelarutan email.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bermakna ( p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcel Hertanto
"PENDAHULUAN : Pit dan fissure sealant merupakan bahan restorasi yang sering digunakan untuk perawatan pencegahan khususnya pada permukaan oklusal gigi anak. Semua bahan restorasi yang berkontak dengan air akan mengalami 2 mekanisme: penyerapan air, yang menyebabkan pembengkakan matriks serta meningkatnya massa dan kelarutan air, terlepasnya komponen dari monomer yang tidak bereaksi dan menyebabkan berkurangnya massa.
TUJUAN: Mengetahui pengaruh peningkatan waktu perendaman resin PFS terhadap penyerapan air dan kelarutan resin PFS di dalam air.
ALAT & METODE: Sesuai spesifikasi ISO 4049 (2000). Delapan belas spesimen dibuat dari cetakkan (15x1mm) yang dimanipulasi sesuai petunjuk pabrik. Spesimen dimasukkan ke dalam desikator selama 1 hari (T 37 °C; 22 jam dan 23ºC ; 2 jam) ditimbang berulang kali sampai didapat massa konstan (M1). Spesimen direndam selama 1, 2 dan 7 hari di dalam akuabides kemudian dikeringkan dengan kertas penghisap dan digetarkan di udara selama 15 detik setelah itu ditimbang berulang kali sampai massa konstan didapat (M2). Kemudian spesimen dimasukkan lagi ke dalam desikator selama 2 hari (T 37 °C; 22 jam dan 23ºC ; 2 jam) x 2 dan segera ditimbang berulang kali sampai didapatkan massa konstan (M3). Nilai penyerapan air dan kelarutan bahan dari setiap spesimen dihitung menurut perubahan berat sebelum dan setelah perendaman dan pengeringan.
HASIL : Dianalisis secara statistik dengan uji non-Parametrik Kruskal-Wallis dengan Post Hoc Mann-Whitney, p<0,05. Nilai penyerapan air meningkat secara signifikan seiring lamanya perendaman dan berbeda bermakna di antara setiap waktu perendaman sedangkan nilai kelarutan air meningkat tertinggi pada 1 hari perendaman dan tidak berbeda bermakna diantara setiap waktu perendaman, kecuali dengan 0 hari (kontrol).
KESIMPULAN : 1) Peningkatan waktu perendaman menyebabkan peningkatan penyerapan air. 2) Peningkatan waktu perendaman berpengaruh terhadap kelarutan bahan hanya pada hari 1.

INTRODUCTION : Pit and fissure sealant is one of the restorative material that often used as a preventive treatment, especially at occlusal surface of child dentition. All of restorative material that contact with water will experienced 2 mechanism: water sorption, which leads to swelling and mass increase and water solubility, elution of unreacted monomer which leads to a reduction of mass.
OBJECTIVE: To evaluate the effect of different time of immersion to the value of water sorption and water solubility in aquabidest.
METHOD AND MATERIALS: According to ISO (4049) specification. Eighteen disks (15 x 1 mm) of each material are prepared according to the manufacturers' instructions. Specimens are first desiccated for 1 day (T 37 °C; 22 hr dan 23ºC ; 2 hr) weigh several times until a consistent mass is obtained (M1). Specimens are immersed for 1, 2 and 7 days in aquabidest, remove then dried with absorbent paper, waved in the air for 15 second then immediately weighed after this period (M2). After that the specimen is inserted in dessicator again for 2 days (T 37 °C; 22 hr and 23ºC ; 2 hr) x 2 and weighed several times until constant mass is reached (M3). The value of water sorption and solubility of each specimen were calculated according to the change in its weight as observed before and after immersion and desiccation periods.
RESULTS: This result is analyzed statistically with nonparametric test Kruskal-Wallis with post hoc test Mann-Whitney p<0,05. The value of water sorption is increasing significantly along the time of immersion and different significantly from the other time of immersion while water solubility reach its maximum value in the first day and doesn?t different significantly with other time of immersion, except with control.
CONCLUSIONS: 1) The longer time of immersion increases the value of water sorption 2) The longer time of immersion only affect the first day value of water solubility.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Raida
"Beberapa cara telah dilakukan untuk meningkatkan kelarutan obat, salah satunya yaitu melalui pembentukan kompleks inklusi dengan siklodekstrin dan derivatnya. Furosemid merupakan senyawa obat bersifat hidrofobik dan praktis tidak larut dalam air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembentukan kompleks inklusi hidroksipropil-β-siklodekstrin terhadap kelarutan furosemid. Pembentukan kompleks inklusi furosemid dengan hidroksipropil-β-siklodekstrin dilakukan dengan metode pengeringan beku dalam tiga variasi perbandingan dalam mol yaitu 1:1 (formula A), 1:5 (formula B) dan 1:10 (formula C). Kompleks inklusi dianalisis secara spektroskopi inframerah dan Differential Scanning Calorimetry. Uji kelarutan menunjukkan bahwa pembentukan kompleks inklusi menghasilkan peningkatan kelarutan furosemid dalam air. Kompleks inklusi formula A, B dan C menunjukkan peningkatan kelarutan masing-masing sebesar 4,4; 2 dan 1,6 kali."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S32566
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leilana Larissa
"Dalam minyak sawit mentah terdapat kandungan asam lemak terutama asam palmitat lebih dari 40%, sementara pada Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan mutu minyak goreng sawit tidak lebih dari 0,3% berat sehingga perlu dilakukan proses pemurnian. Proses pemurnian minyak sawit berlangsung pada suhu tinggi yang menyebabkan kandungan nutrasetikal dalam minyak sawit tereduksi. Pengembangan Deep Eutectic Solvent (DES) merupakan salah satu alternatif pelarut untuk ekstraksi asam palmitat sebagai asam lemak bebas pada minyak sawit tanpa tanpa mengurangi kandungan nutrasetikal. Penelitian menggunakan DES berbasis betain anhidrat telah dilakukan, namun presentase hasil ekstraksi asam palmitat oleh DES masih belum mendekati 100%. Penelitian ini, dilakukan penapisan DES berbasis betain anhidrat dengan 1,2-butandiol; 1,2-heksandiol; dan 1;2 oktandiol dengan berbagai variasi konsentrasi untuk mendapatkan DES dengan solubilitas tertinggi terhadap asam palmitat yang digunakan untuk mengekstraksi asam palmitat dari minyak sawit serta mendapatkan persentase perolehan kembali DES yang telah digunakan. Dari penelitian ini diperoleh DES Betain Anhidrat dengan 1,2 Heksandiol pada rasio 1:5 yang mampu mengekstraksi asam palmitat dengan nilai kelarutan 0.29 g/g dan efesiensi ekstraksi sebesar 78.3% serta menghasilkan nilai persentase perolehan kembali sebesar 31.3%.

In crude palm oil, there are fatty acids, especially palmitic acid more than 40%, while the Indonesian National Standard (SNI) requires that the quality of palm oil be no more than 0.3% by weight so that refining is required. The process of refining palm oil takes place at high temperatures which causes the nutrient content in palm oil to be reduced. Development of Deep Eutectic Solvent (DES) is one alternative solvent for the extraction of palmitic acid as free fatty acids in palm oil without reducing nutrient content. Research using DES based on betaine anhydrous has been done, but the percentage of the results of the extraction of palmitic acid by DES is still not close to 100%. In this research, anhydrous betaine-based DES screening with 1,2-butanediol was carried out; 1,2-hexanediol; and 1, 2 octane diol with various concentrations to obtain DES with the highest solubility against palmitic acid which is used to extract palmitic acid from palm oil and get the percentage of recovery of DES that has been used. From this study, Betaine Anhydrous obtained with 1.2 hexanediol at a ratio of 1: 5 which was able to extract palmitic acid with a solubility value of 0.29 g /g and extraction efficiency of 78.3% and produced a recovery value of 31.3%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiyono
"Teknologi sistem pengantaran bahan aktif hingga sampai organ target saat ini semakin banyak dikembangkan dalam industri kosmetika, padahal awalnya hanya diterapkan dan digunakan dalam industri farmasi saja. Hal ini karena masyarakat semakin kritis dan menyadari bagaimana kosmetika yang mengandung bahan aktif dapat mempengaruhi dan bermanfaat bagi kulit dan kecantikan mereka. Emolien primer sebagai komponen dalam sistem pengantaran bahan aktif berfungsi untuk meningkatkan kelarutan bahan aktif dalam sediaan. Hal ini penting sebab salah satu faktor penetrasi bahan aktif melalui kulit ditentukan oleh konsentrasi bahan aktif yang terlarut dalam sediaan. Vitamin E asetat merupakan vitamin yang praktis tidak larut dalam air dalam formula ini digunakan oleum ricini, oleum olivarum dan oleum arachidis yang berfungsi sebagai emolien primer dengan dasar pemilihan pendekatan parameter lipofilisitasnya. Pengujian difusi dengan alat Flow through diffusion cell selama 180 menit menunjukkan bahwa penggunaan oleum ricini memberikan hasil penetrasi vitamin E asetat sebesar 4807,12 ± 7,90 ug/cm2 , oleum olivarum sebesar 362,61 ± 1,50 ug/cm2 dan oleum arachidis sebesar 198,04 ± 0,89 ug/cm2.

The technology of active materials delivery to the target organ has been more and more developed recently in the cosmetic industry which was previously applied only in pharmaceutical industry. This is due to the people’s critical on think and awareness of now cosmetics containing active ingredients giving more advantages on the people skin appearance. Primary emollient as a component in the active materials delivery system has a function of increasing the solubility of active materials in the dosageform. This is important because one of the skin penetration factor of the active materials is determined by the concentration of the active materials dissolved in dosageform. Vitamin E acetate is practically insoluble in water and in this formula, oleum ricini, oleum olivarum, and oleum arachidis work as primary emollient based on lipofilicity parameter approach. The diffusion test with Flow through diffusion cell apparatus as long as 180 minutes showed that the use of oleum ricini gave the penetration levels Vitamin E acetate of 4807,12 ± 7,90 μg/cm2, oleum olivarum of 362,61 ± 1,50 μg/cm2 and oleum arachidis of 198,04 ± 0,89 μg/cm2.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S33027
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Riskafuri
"Gliklazid merupakan antidiabetik oral golongan sulfonilurea generasi kedua yang digunakan pada pengobatan diabetes melitus tipe 2. Namun, gliklazid dengan kelarutan rendah dalam air memiliki laju disolusi yang rendah dan menyebabkan masalah pada bioavailabilitas. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan laju kelarutan dan disolusi gliklazid menggunakan metode mikronisasi. Proses mikronisasi dilakukan dengan menggunakan alat vibrating mill dengan variasi durasi milling. Mikrokristal yang terbentuk dikarakterisasi menggunakan particlesize analyzer, scanning electron microscopy, differential scanning calorimetry, dan X-ray powder diffraction, serta diuji profil kelarutannya dan laju disolusinya.
Hasil PSA dan SEM menunjukan terjadinya penurunan ukuran partikel. Struktur kristal tidak berubah berdasarkan hasil XRD dan terjadi penurunan suhu puncak endotermik dan entalpi peleburan berdasarkan hasil DSC. Hasil uji disolusi serbuk menunjukkan adanya peningkatan laju disolusi sebesar 2,50 kali dibandingkan serbuk gliklazid standar. Pada sediaan tablet terjadi peningkatan laju disolusi sebesar 1,13 kali dibandingkan tablet gliklazid standar.

Gliclazide is a second generation sulfonylurea which is useful in the treatment of type 2 diabetes mellitus. However, gliclazide with low solubility in water has low dissolution rates and hence suffer from oral bioavailability problems. This study is intended to enhance the solubility and dissolution rate of gliclazide by using micronization method. The micronization process carried out by using a vibrating mill with varying the milling duration. Microcrystals were characterized with particle size analyzer, scanning electron microscopy, differential scanning calorimetry, and X-ray powder diffraction, and also solubility and dissolution test.
PSA and SEM results indicated that the particle size were decreased. Crystal structure did not change based on the results of XRD and the endothermic peak temperature and enthalpy of fusion were decreased based on the results of DSC. The rate of dissolution was increased about 2,50 times compared with standard. In tablet dosage form, the dissolution rate was increased about 1,13 times compared with standard.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S839
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rasya Shafa Arrumaisha
"Latar Belakang: Cangkok tulang alami sering digunakan dalam prosedur pencangkokan tulang, tetapi material ini memiliki beberapa kekurangan. Oleh karena itu, cangkok tulang sintetis seperti monetite dan carbonate apatite semakin diminati karena ketersediaan dan biokompatibilitasnya. Kedua material ini tengah diteliti sebagai alternatif yang lebih efektif. Monetite diketahui mendukung pertumbuhan tulang dengan meningkatkan aktivitas osteoblas serta menjaga keseimbangan antara resorpsi dan pembentukan tulang baru. Sementara itu, carbonate apatite, yang memiliki komposisi mirip dengan tulang, sangat baik dalam mendukung osteokonduktivitas. Namun, kelarutan kedua material ini dalam kondisi fisiologis dan osteoklastik belum banyak dianalisis secara mendalam. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelarutan in vitro dari granul monetite dan carbonate apatite dalam waktu 7 hari. Metode: Sebanyak 12 spesimen granul monetite dan carbonate apatite dengan ukuran 500-1000 mikrometer diuji dalam 4 kelompok berdasarkan jenis granul dan larutan buffer yang digunakan. Kelarutan in vitro dianalisis melalui pelepasan ion kalsium menggunakan ion meter ISE. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan perangkat lunak statistik SPSS menggunakan uji Independent Sample T-Test dan Mann-Whitney U. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan secara statistik antara kelarutan in vitro monetite dan carbonate apatite dalam larutan buffer Tris-HCl (p>0,05). Demikian, tidak ditemukan perbedaan signifikan pada kedua material saat direndam dalam larutan buffer asetat (p>0,05). Kesimpulan: Dari penelitian ini, diketahui bahwa baik monetite maupun carbonate apatite memiliki kemampuan larut dalam kedua jenis larutan buffer dalam waktu 7 hari. Monetite menunjukkan tingkat kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan carbonate apatite pada kedua buffer. Selain itu, granul yang direndam dalam buffer asetat memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dalam buffer Tris-HCl.

Background: Natural bone grafts are used for bone grafting procedures; however, drawbacks of these materials are present. Synthetic grafts, including monetite and carbonate apatite, are valued for their availability and biocompatibility and are being studied for their suitability as proper bone graft materials. Monetite supports bone growth by enhancing osteoblast activity and balancing resorption with new bone formation, while carbonate apatite, similar in composition to bone, promotes osteoconductivity. Research on the material’s solubility under physiological and osteoclastic conditions have not been further analysed. Objective: To know the in vitro solubility of monetite granules and carbonate apatite granules within 7 days. Methods: 12 specimens of monetite and carbonate apatite granules with dimensions of 500-1000 micrometre were divided into 4 test groups based on type of granules and buffer solution. Analysis of the in-vitro solubility of the granules through calcium ion release is done with the use of ISE ion meter. Data were analysed using SPSS statistical software with Independent Sample T-Test and Mann-Whitney U tests. Results: There was no statistic significant difference between the in-vitro solubility of monetite and carbonate apatite in Tris-HCl buffer solution (p>0.05). Monetite and carbonate apatite immersed in acetate buffer solution also did not have a statistic significant difference (p>0.05). Conclusion: Based on the results, both of the materials show soluble capabilities in both buffer solutionswithin 7 days. Monetite had more solubility in both buffers compared to carbonate apatite. In comparison of the buffers, more solubility of the granules was found when immersed in acetate buffer than in Tris-HCl buffer."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Arnady
"
Sediaan inhalasi serbuk kering dapat menjadi solusi untuk pengobatan tuberkulosis karena dapat memaksimalkan konsentrasi obat pada daerah yang terinfeksi. Obat antituberkulosis yang memiliki kelarutan yang rendah seperti rifampisin akan menurunkan efektivitas kerja obat di paru-paru yang hanya memiliki sedikit volume cairan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat serbuk inhalasi rifampisin dengan kelarutan dan disolusi yang lebih baik menggunakan manitol dan polivinilpirolidon K-30. Serbuk inhalasi rifampisin-manitol 1:1 dan 1:2, rifampisin-PVP 1:1 dan 1:2, serta rifampisin-manitol-PVP 1:1:1 dibuat dengan semprot kering. Serbuk inhalasi yang diperoleh dikarakterisasi secara fisik, kimia, serta kelarutan dan disolusi. Penelitian ini menunjukkan bahwa serbuk inhalasi rifampisin berhasil diformulasikan dengan menggunakan manitol dan PVP K-30 dan adanya peningkatan kelarutan dan disolusi. Peningkatan kelarutan dan disolusi didukung oleh hasil DSC, XRD, dan FTIR yang menunjukkan terjadinya interaksi antara rifampisin dengan kedua pembawa dan perubahan bentuk kristal. Serbuk inhalasi rifampisin-PVP 1:2 F4 terbukti paling baik meningkatkan kelarutan rifampisin dalam aquademineralisata dengan kelarutan dari 1,853 0,175 mg/mL menjadi 25,519 0,187 mg/mL serta disolusi dari 8.812 2.199 menjadi 54,943 5,622 selama 2 jam. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa rifampisin dapat diformulasikan sebagai serbuk inhalasi yang memiliki kelarutan dan disolusi yang lebih baik dengan penambahan PVP K-30 1:2.

ABSTRACT
Dry powder inhalation can be a solution for tuberculosis treatment because it allows high drug concentration in the infected area of lung. Poorly soluble antitubercular drug, such as rifampicin can limit the therapeutic effect in the limited lung fluid volume. This study aimed to produce dry powder inhalation of rifampicin with a better solubility using mannitol and polyvynilpryrrolidone K 30 as carriers. Rifampicin mannitol 1 1 and 1 2, rifampicin PVP 1 1 and 1 2, and rifampicin mannitol PVP 1 1 1 were made by spray drying. These inhalation powder were characterized by their physical properties, chemical properties, also solubility and dissolution. This study showed that rifampicin inhalation powder were successfully formulated using mannitol and PVP and also increasing its solubility and dissolution. The characterization with DSC, XRD, FTIR showed the interaction between rifampicin with both carriers and the deformation to amorphous state. Rifampicin PVP 1 2 F4 inhalation powder appeared to show the best result in enhancing rifampicin rsquo s solubility in deionized water from 1.853 0.175 mg mL to 25.519 0.187 mg mL also dissolution from 8.812 2.199 to 54.943 5.622 . Based on these results, it can be concluded that rifampicin can be formulated into inhalation powder and perform better solubility and dissolution with the combination of rifampicin PVP K 30 1 2."
2017
S68343
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>