Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Asep Suryana
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini mendiskusikan kontestasi ruang sosial, sebagai fenomena sosial kemasyarakatan yang menyumbang signifikan terhadap proses suburbanisasi. Pola kontestasi ruang sosial tersebut bertumpu pada prinsip memanfaatkan segala peluang, sebuah Cara pandang terhadap gejala mobilitas !capital-yang rlifasilitasi oleh proses suburbanisasi---sebagai kesempatan ekonomi (economic opportunity). Kontestasi ruang sosial yang terbentuk pun seirama dengan proses suburbanisasi wilayah tadi terhadap kota induknya, terstruktur secara berjenjang (berposisi terbawah) dalam sistem hirarki ruang sosial kota metropolitan, dan terbangun sebagai produk dialektika antara pasar, negara, dan masyarakat. Jadi, suburban adalah arena sosial ketiga aktor tadi berkontestasi. Proses ini pads akhirnya membentuk struktur ruang sosial suburban dalam kerangka menopang fungsinya terhadap kota metropolitannya itu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lokasi penelitian (Citayam) dipilih karena mewakili satu tipe suburbanisasi Jakarta yang bercirikan: (1) penyangga permukiman (bukan penyangga industi), (2) berada di jalur sistem transportasi massal yang murah dan cepat (jaringan kereta listrik Jakarta Bogor), (3) tumbuh begitu cepat pasta krisis ekonomi 1997, (4) dipicu oleh pasar perumahan dalam skala menengah-kecil (bukan seperti Bumi Serpong Damai yang berbentuk pasar rumah dalam skala besar untuk kalangan berpenghasilan atas), (5) bercorak suburban untuk kalangan berpenghasilan menengah dan bawah. Data dikumpulkan melalui penelusuran sumber sekunder maupun penelitian lapangan (field research). Koleksi stastistik milik Badan Pusat Statistik dan pustaka milik Perpustakaan Nasional (dalam kurun 1911-1960-an) menjadi salah satu acuan dalam penelusuran data sekunder. Sementara penelitian lapangan menggunakan teknik pengamatan, wawancara mendalam, dan wawancara sambil lalu. Sejumlah informan kunci diwawancarai. Mereka mewakili pare pemangku kepentingan terkait balk dari kalangan alit penduduk asii, lapis bawah, pedagang sektor informal, dan komuter. Tesis ini menyimpulkan bahwa suburbanisasi merupakan epifenomena, sebuah gejala yang digerakan oleh proses mobilitas kapital di sekitar kota metropolitan pinggiran. Suburban sendiri terbangun sebagai produk mekanisme pasar rumah yang "diatur" negara. Sebagian besar penghuninya adalah penduduk kota metropolitan yang tidak mampu membeli rumah di hunian pusat kota. Sebagian mereka tergolong berpenghasilan menengah-bawah yang pindah ke suburban karma alasan finansial, disamping juga terdorong oleh alasan yang bersifat suburban dream. Suburban yang dapat dilaju setiap hart pun mereka pilih (karena adanya sistem transportasi massal), mesh dituntut mental juang yang pantang menyerah lantaran fasilitas transportasi massalnya itu jauh dari memadai. Lokasi riset ini berkategori suburban menengah bawab, bukan hunian strategis, dan tidak dianggap panting oleh memori kolektif aparat Negara. Hal tersebut juga tersumbang oleh fakta bahwa wilayah suburban ini adalah daerah periferi dalam sistem kewilayahan daerah otonom. Dalam kaftan ini, negara abai menyediakan fasilitas publik, karma wilayah suburban ini dianggap tidak memberikan rente kepada dirinya. Pada sisi lain, mesh suburban menengah-bawah ini dibentuk oleh pasar perumahan, penyediaan fasilitas publik oleh pengembang sangat terbatas dan selalu saja berkorelasi dengan kemampuan finansial pars penghuni perumahan. Untuk mengompensasi sangat terbatasnya fasilitas publik tadi, penghuni suburban melakukan apa yang oleh riset ini dikonseptualisasikan sebagai frase penduduk-membangun-suburban (people making suburban). Mereka secara kreatif membangu infrastruktur hunian dan fasilitas umum dengan berpatokan pada prinsip memanfaatkan segala peluang. Gejala penduduk membangun suburban pun kemudian bergerak ke tahap lebih lanjut, sebagai upaya mengisi celah sosial ekonomi akibat dampak berganda (multiplayer effect) sirkulasi kapital di wilayah ini. Di wilayah sentral suburban yang memiliki tingkat kapasitas tanah yang tinggi, gejala penduduk membangun suburban terjadi secara mendalam dan penuh dinamika. Migran lapis bawah menyerbu wilayah pusat untuk mencari peruntungan di sektor informal. Mereka melakukan kontestasi ruang sosial. Pojok tanah mereka duduld, dan berjualan apa saja agar lake dan meraup keuntungan. Hal yang sama juga dilakukan penduduk asli. Mereka pun melakukan kontestasi ruang sosial dengan mengaktifkan identitas sosial mereka sebagai "orang asli". Pojok perempatan mereka kuasai dan duduld. Sebagiannya mereka ubah menjadi sistem pangkalan ojek yang terorganisir dan bertumpu path ikatan sosial sebagai "orang ash". Dunia hitam pusat perdagangan suburban pun dikuasai sebagian kalangan penduduk asli. Tampak bahwa prinsip memanfaatkan segala peluang bekerja di batik gejala penduduk membangun suburban. Prinsip ini bertumpu pads anggapan bahwa gejala suburbanisasi dipandang sebagai proses tumbuh dan tersedianya peluang ekonomi, betapapun kecilnya kesempatan ekonomi tersebut. Upaya kreatif pun mereka kedepankan agar dapat menangkap, memanfaatkan, dan meraup peluang ekonomi tadi. Pola pemanfaatan peluang ekonomi ini mereka lakukan secara mandiri, tanpa fasilitasi pemerintah maupun bantuan dart lembaga keuangan formal. Mereka membangun sistem bantuannya secara horisontal melalui pelbagai jaringan sosial yang mereka miliki, seperti mengaktifkan jaringan etnis, modal sosial sesama pekerja sektor informal, atau mengaktifkan ikatan sosial sebagai "orang asli". Tampak bahwa isu identitas penduduk asli telah menjadi "senjata", agar mereka tetap terlibat secara signifikan dalam proses suburbanisasi. Hal ini adalah bentuk kompensasi psiko-sosial atas rentannya kemampuan individual sebagian besar penduduk asli dalam merespon suburbanisasi. Kompensasi sosial lainnya terlihat dalam berfungsinya organisasi sosial lokal (seperti kelompok preman setempat) dan perangkat kelembagaan resmi lokal (seper(i pemerintah desa) sebagai perisai sosial politik dan ekonomi. Dari sudut pandang negara, pasar, dan masyarakat, upaya berburu surplus tadi mereka lakukan di bawah kerinduan terhadap fungsi kesejahteraan negara. Negara mereka konsepsikan harus hadir dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan kelompok sosial ini. Dengan kata lain, gejala sekelompok penduduk asli menguasai tanah negara dan berkontestasi ruang sosial dalam rangka meraup surplus, terdorong oleh persepsi fungsi laten negara sebagai lembaga yang hares melindungi taraf hidup layak mereka. Maka, ketika fungsi ideal tadi tidak mereka jumpai, mereka pun menyerobot tanah negara. Perilaku sosial yang secara resmi dikategorikan sebagai tindak ilegal ini, justru terdorong oleh cara pandang mereka terhadap fungsi negara tadi. Pola kontestasi demikian dapat dimaknai sebagai cars paksa untuk menghadirkan fungsi ideal negara, sebuah upaya yang layak dipahami sebagai mencari perlindungan dari tirani pasar (market).
ABSTRAK
This study analyzes contestation of social space as a social phenomenon significantly contributed to the process of urbanization. The pattern of the contestation of social space is based on a principle of making use all the opportunities--a perspective to capital mobilization phenomenon-facilitated by the process of urbanization-as an economic opportunity. The contestation of social space in turn, went along with the process of urbanization of the area, hierarchically structured in the system of metropolitan city, and established as a product of dialectic between market, state and society. Therefore, suburban area is social arena where the three actors are contesting to each other. The process finally formed the structure of suburban social space in the framework of its function to the metropolitan city. The research methods used in the study are primarily those of qualitative approach: observation, in depth-interviews, collection of statistical data from Badan Pusat Statistik and Perpustakaan Nasional, and case study as its primary data collection method. The locus of research in Citayam was chosen because it represents one type of suburban in Jakarta. To analyze the suburbani cation process and the contestation of social space, informants of the study are stakeholders consisting of the elites of the local residents, low class people, informal sector merchants, and commuters. This study has found that suburbanization is epiphenomena driven by capital mobility process around sub metropolitan area. Suburban it self is established as product of house market mechanism regulated by the "state". Most of the residents are those who cannot afford to buy house at the center of the city. They also belong to low-income people who move to suburban for financial reason. Suburban residential areas that they can choose are also limited due to the limitation of the mass transport system. The location of research can be categorized as a low-income residential area which is not consider important by the state due to the fact that this are is a peripheral area in the zoning system of the autonomous municipal government This is why the state does not provide any public facilities to the area. The private company developer that manages the area is also reluctant to provide any public facilities due to the lack of purchasing power of the residents. To compensate for all these shortcomings, the suburban residents take concrete measures which in this study conceptualized as "people making suburban areas". They creatively create residential infrastructure and public facilities based on the principle of making use of all the opportunities. The phenomenon of people making suburban areas is also moving to the next step, which is an effort to fill the social economy niche generated by the multiplayer effect of the capital circulation in the area. In the central area of suburban, which has the high land capacity, lower class migrants as well as local residents dynamically develop suburban areas. The lower class migrants are looking for financial opportunities in the informal sector, while the local residents activate their social identity as "natives" to maximize economic gains. It appears that the principle of making use of all the opportunities is operating behind the phenomenon of "people making suburban areas." This principle based on assumption that urbanization is regarded as a process of the development and the availability of economic opportunities, no matter how limited they are. Creative efforts are used by the residents to catch and maximize the economic opportunities, without any facilities from the government or formal financial institutions. They develop their systems horizontally by strengthening social and ethnic networks, and activating their social ties as "natives". It also appears that the issue of local residents identity has become "the weapon" in order to stay involved significantly in the process of urbanization. However, the active involvements in gaining economic opportunities are due to the non-optimal function of the state. The pattern of the social contestation can be regarded to realize forcefully the ideal function of the state, an effort that should be regarded as to seek protection from the tyranny of the market.
2007
T19161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liesda Dachlan
Abstrak :
ABSTRAK
Studi tentang dominasi ruang sosial perkotaan di 2 dua Kecamatan dalam kota Makassar bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana proses pembentukan dan dominasi ruang sosial di Makassar. Seperti apakah pola dominasi ruang sosial yang terjadi, serta apa penyebab dominasi ruang sosial di Makassar. Untuk bisa mendapatkan informasi yang mendalam dan lebih luas yang dianggap bisa menjelaskan masalah penelitian ini, metode penelitian kualitatif, etnografi, dipilih secara purporsive. Studi ini menemukan bahwa proses pembentukan dan dominasi ruang sosial di Makassar cukup dipengaruhi oleh kebijakan para pemimpin, baik Raja, pemerintah Kolonial maupun para Walikota di era kemerdekaan. Kebijakan penataan ruang sosial di 3 tiga era ini berbeda-beda sehingga menghasilkan pola pembentukan dan dominasi ruang sosial yang juga berbeda. Dari bentuk egaliter berubah jadi sangat hierarkhis atau dari bentuk kontinuitas, era kerajaan ke era kolonial, menjadi diskontinuitas di era reformasi. Dominasi ruang sosial perkotaan di 2 dua lokasi penelitian secara etnis, terutama di 2 dua walikota terakhir, sangat tinggi. Dari 85,39 persen dan 74,06 persen di tahun 2006 berubah menjadi 74,22 persen dan 81,04 persen di tahun 2016, oleh etnis tertentu yang kuat secara ekonomi.
ABSTRACT
The domination study on the urban social space in Makassar tries to find out and describe how the construction and the domination process on the social space in Makassar in 3 three era were. What rsquo s kind of the domination pattern on the social space and the cause of domination in Makassar. The research method which is appropriately regarded, to this study, is qualitative one. This study found that the process of construction and domination on the social space in Makassar was quite influenced by the leaders policy, the King, the Colonial government and the Majors in the era of independence. The spatial structuring policies in these 3 three era were different that result a different domination type as well. An egalitarian type and a very hierarchy one are the output of their policies, from continuity form becomes discontinuity one. The egalitarian type was applied in the kingdom and colonialism periodes, then becomes a very hierarchy in the reformation era. The domination on the strategic urban social space in 2 two research locarions, especially in the last 2 two mayors, is very high. It is 85.39 percent and 74.06 percent in 2006. Then, it becomes 74.22 percent and 81.04 percent in 2016 by certain ethnic who are economically strong.
2017
D2425
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lailatus Sholihah
Abstrak :
Tesis ini membahas representasi masyarakat urban dalam puisi-puisi Wahyu Prasetya yang terdapat dalam kumpulan puisi Wahyu Menulis Puisi melalui unsur-unsur puitik yang dikembangkan oleh Terry Eagleton, konsep representasi dari Stuart Hall, dan konsep produksi ruang sosial dari Henri Lefebvre. Penelitian ini berupaya membongkar wacana terkait representasi masyarakat urban melalui pemahaman tentang gambaran ruang urban Jakarta, serta melihat pemosisian masyarakat di dalam ruang sosial Jakarta. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana puisi-puisi tersebut mengkritik kapitalisme di dalam kehidupan urban yang menempatkan masyarakat miskin dalam posisi marginal. Gambaran tentang ruang urban Jakarta menunjukkan adanya relasi dan interaksi masyarakat terhadap dominasi kota. Keberadaan kota yang merepresi masyarakat kampung kota pada dasarnya dikendalikan oleh sistem kapitalisme yang berperan dalam kebijakan pembangunan, modernisasi, dan globalisasi untuk membentuk citra kemajuan kota sebagai representasi negara. Hasil analisis menunjukkan bahwa masyarakat urban Jakarta direpresentasikan melalui unsur-unsur puitik sebagai masyarakat yang terdikotomi ke dalam kelas masyarakat kota dan masyarakat kampung kota. Marginalisasi masyarakat kampung kota menimbulkan adanya praktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasi Jakarta sebagai wacana identitas. Pemosisian diri masyarakat kampung kota melalui adanya sikap mengembalikan persoalan pada Tuhan dan menempati ruang absurd menunjukkan bahwa strategi teks menjadi bentuk resistensi masyarakat miskin di perkotaan. Selain itu, sikap eskapisme yang mengembalikan sesuatu ke hal-hal yang bersifat transenden dapat dimaknai sebagai gambaran perjuangan kelas yang paradoks. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa selain menghadirkan representasi masyarakat yang terdikotomi, terdominasi, serta berada dalam wacana marginal, puisi-puisi Wahyu Prasetya juga menunjukkan kritik terhadap kapitalisme yang mendominasi kehidupan urban melalui produksi ruang sosial ......This research discusses the representation of urban society in Wahyu Prasetya’s poems which is contained in Wahyu Menulis Puisi through poetic elements from Terry Eagleton, the concept of representation from Stuart Hall, and the concept of social space production from Henri Lefebvre. This research investigates the discourse of urban society representation through an understanding of Jakarta’s urban spatial background and the positioning of the people in Jakarta’s social space. It aims to describe how the poems present a critique of capitalism in Jakarta’s urban life that places the poor in a marginal position. The depiction of Jakarta’s urban space shows the society relation and interaction that socially and spatially are dominated by the city. The existence of the city that represses urban village communities is controlled by a capitalist system that plays a role in development policies, modernization and globalization to form an image of urban progress. The results of the analysis indicates that urban Jakarta society is represented through poetic elements as a dichotomized society into the urban community and urban village community class. The marginalization of the urban village community has led to the practice of spatial, spatial representation, and space representation of Jakarta as a discourse on identity. The self-positioning of the community, which is shown through the attitude of returning problems to God and occupying an absurd space, indicates that the text strategy is a form of resistance for the urban poor. Moreover, the attitude of escapism which returns things to transcendent things is possibly interpreted as a paradoxical class struggle. It can be concluded that besides presenting a dichotomous, dominated, and marginal discourse, Wahyu Prasetya’ poetry also indicates criticism of capitalism which dominates urban life through the social space production.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuni
Abstrak :
Simpul sebagai titik strategis seringkali berada di sekitar kita sebagai ruang yang diproduksi oleh masyarakat melalui kegiatan yang terangkum di dalamnya. Fenomena keberadaan simpul ini bukan hanya berada di konteks pusat kota saja, tetapi juga terjadi di dalam permukiman penduduk. Dalam konteks permukiman ini simpul hadir sebagai ruang yang menyediakan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Namun keberadaan ini menjadi fenomena ketika dalam suatu permukiman terdapat beberapa simpul yang masing-masing memiliki perbedaan mengenai penilaian titik strategis. Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menguak faktor apa saja sehingga suatu simpul yang pada dasarnya merupakan titik strategis menjadi memiliki perbedaan penilaian tersebut. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggali informasi kepada pengguna ruang di sekitar persimpangan untuk mendapatkan penjelasan bagaimana ruang yang strategis ini terbentuk. We can find node as a strategic point around us as the space produced by the community through activities that are covered in it. We can find the phenomenon of the nodes not only in the center of the city but also in the settlement area. In the context of settlement, the nodes as a space to fulfill the needs of society. But its existence become a phenomenon when a settlement has some of nodes which has different judgments about the strategic point. In this thesis, I will try to analyze what factor to make the nodes as a strategic point. The approach in this analyzing is interviewing the society who use the space in the nodes to get the information about how the strategic space is formed.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42307
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Ramadina Setyadi
Abstrak :
Melalui teori produksi ruang Lefebvre (1991), studi ini akan menganalisis dan memahami bagaimana anak-anak dan penjaganya menghasilkan ruang melalui praktik spasialnya, tepatnya di Tebet Eco Park, Jakarta. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengkaji praktik spasial yang dilakukan oleh anak-anak dan penjaganya di Tebet Eco Park untuk mengetahui dan memahami bagaimana ruang diproduksi. Studi ini akan menggunakan metode kualitatif yang meliputi observasi langsung, pemetaan spasial, dan wawancara dengan anak-anak dan penjaganya serta informan lainnya termasuk penjaga taman, petugas keamanan, dan pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar Tebet Eco Park. Hasil studi ini menunjukkan bahwa praktik spasial anak-anak dan penjaganya di Tebet Eco Park dipengaruhi oleh elemen fisik ruang serta kondisi spasial. Kehadiran dan aktivitas anak-anak serta penjaganya yang terus menerus di beberapa zona juga terbukti mempengaruhi produksi ruang bagi PKL, yaitu memberikan peluang bagi mereka untuk berjualan dan mendirikan area dagang. Sesuai dengan teori produksi ruang Lefebvre (1991), interaksi dan aktivitas anak-anak serta penjaganya di Tebet Eco Park membentuk praktik spasial yang menghasilkan ruang sosial yang aktif. ......Through Lefebvre's (1991) theory of space production, this study will analyze and understand how children and their gatekeepers produce space through their spatial practices, precisely at Tebet Eco Park, Jakarta. The aim of this study is to examine the spatial practices carried out by children and gatekeepers at Tebet Eco Park in order to discover and understand how space is being produced. This study will use a qualitative method, including direct observations, spatial mapping, and interviews with children and gatekeepers, as well as other informants including park caretakers, security officers and street vendors selling around Tebet Eco Park. The results of this study show that the spatial practices of children and gatekeepers at Tebet Eco Park are influenced by physical elements of space as well as spatial conditions. The continuous presence and activities of children and gatekeepers in several zones have also been proven to influence the production of space for street vendors, which is providing opportunities for them to sell and establish a selling area. In accordance with Lefebvre's (1991) theory of space production, the interactions and activities of children and their gatekeeper at Tebet Eco Park establish spatial practices that produce an active social space.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sapto Joko Wahyudi
Abstrak :
Wilayah Indonesia terdiri atas ribuan pulau yang didiami oleh berbagai suku bangsa yang memiliki adat dan kebudayaan yang berbeda-beda, namun masyarakat bangsa kita yang majemuk ini memiliki cita-cita yang sama yakni menjunjung tinggi kebudayaan nasional. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa sangat mendukung berkembangnya beragam manifestasi budaya tradisional. Diantara manifestasi budaya tradisional tersebut adu ayam merupakan salah satu diantaranya yang persebarannya hingga sampai seat ini tidak hanya terbatas di Jawa dan di Bali saja, tetapi Juga terdapat /dipraktekkan di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan dan di Pulau-Pulau kecil Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (NTT ) Permainan adu ayam terdapat di mana-mana baik di kota-kota besar di Indonesia yaitu misalnya di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Surakarta, Jakarta. Juga dikenal oleh masyarakat luaa diperbagai tempat di dunia seperti di Perancis, Kanada, Muangthai, Jepang, Philipina, dari jaman dulu hingga sampai sekarang. Arena permainan adu ayam itu juga menjadi tempat pertemuen orang-orang dari berbagai daerah dan berbagai kedudukan sosial berbeda, dan mereka bergaul dengan sesama pengunjung. Di arena ada yang membawa ayam, ada yang mengadu, ada yang menonton, ada yang sekedar membantu atau sekedar menemani rekan mereka yang mengadu ayam. Di arena adu ayam orang banyak berkerumun ada yang lalu-lalang, sehingga menarik perhatian bagi para pedagang asongan untuk berjualan di tempat arena tersebut. Keberadaan permainan adu ayam membawa keuntungan bagi orang-orang tertentu seperti bagi orang yang bertugas menjaga keamanan, dengan adanya kegiatan permainan adu ayam mendapat jatah uang upeti. Bagi tetangga yang hidup berdekatan dengan arena adu ayam bisa memanfaatkan untuk mencari nafkah dengan berdagang, khususnya berdagang nasi atau minuman atau buah-buahan, Bisa menyewakan kurungan. Dilihat dari segi pemanfaatannya bagi kehidupan masyarakat, dengan adanya kegiatan permainan adu ayam mempunyai nilai-nilai sosial yaitu bisa memberi kesejahteraan batin bagi para pendukung permainan adu ayam karena keinginannya bisa tersalurkan. Permainan adu ayam itu diselenggarakan tidak setiap hari ditempat tertentu, melainkan berpindah pindah tempat, sesuai jadwal yang telah diketahui oleh para pemain khususnya, dan oleh kalangan masyarakat pecinta permainan adu ayam pada umumnya. Peran-peran yang ada dalam kegiatan permainan adu ayam merupakan suatu sistem yang saling melengkapi dan saling membutuhkan sehingga terbentuklah suatu kegiatan yang mempunyai tujuan yaitu mencari keuntungan yang bisa dinikmati bersama. Dengan adanya arena adu ayam itu berarti menggerakkan seseorang untuk bekerja membantu kegiatan yang dibutuhkan di tempat arena tersebut, mereka mendapat upah dari penyelenggara sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab . Orang yang menggemari permainan adu ayam, pada umumnya adalah orang yang tingkat kehidupan ekonominya menengah ke atas. Harga ayam Jago paling murah Rp 50.000,- satu ekor. Setiap pemilik /penggemar adu ayam bila mau mengadu harus mempunyai modal uang sebagai uang taruhannya. Orang yang mencintai permainan adu ayam tidak selalu merawat ayam di rumahnya sendiri, mengingat bahwa merawat ayam aduan itu tidak mudah, tidak seperti merawat ayam biasa yang cukup diberi makan dan minum setiap harinya. Apa yang yang mendasari seseorang mau mendirikan arena adu ayam. Mengapa orang masih tetap mendirikan arena adu ayam ? Mendirikan arena adu ayam merupakan usaha praktis yang hasilnya bisa langsung diketahui pada hari itu. Arena permainan adu ayam merupakan arena untuk pergaulan bagi para pecinta adu ayam atau pecinta ayam aduan sehingga terjalin hubungan yang erat.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus Bagus Sugiyono
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelusuri terjadinya politik pengelolaan pada ruang publik bernama Ruang Publik Terpadu Ramah Anak. Penelitian-penelitian yang dilakukan mengenai RPTRA sebelumnya mengemukakan bahwa secara umum RPTRA dapat memberikan fungsi sosial tertentu dalam masyarakat, misalnya membangun interaksi sosial, memberikan ruang relaksasi dan rekreasi, dan sebagainya. Penelitian ini mengambil sudut pandang yang berbeda. Alih-alih melihat dari paradigma fungsionalis, penelitian ini menggunakan paradigma konflik dalam memetakan politik pengelolaan RPTRA. Yang dimaksud dengan politik adalah tegangan kepentingan antara pihak-pihak yang terkait, antara lain pengelola RPTRA dan warga masyarakat. Kerangka konsep yang digunakan adalah produksi dan kontestasi ruang Henri Lefebvre. Konsep ini sendiri mengatakan bahwa di dalam produksi ruang, terjadi benturan antara ruang abstrak yang dibentuk oleh perencana kota dengan ruang sosial yang dijalani oleh masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil studi kasus mengenai RPTRA Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, sebab RPTRA ini terletak di permukiman padat penduduk dengan tingkat status ekonomi menengah ke bawah. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi lapangan, mental-mapping, wawancara mendalam, dan partisipatori visual (elisitasi foto dan autofotografi). Penelitian ini menemukan tiga simpul analisis. Pertama, pola konstruksi ruang abstrak ditandai dengan pelayanan yang menempatkan warga Rustanti sebagai objek, pelarangan beberapa kegiatan seperti hajatan dan keagamaan, dan kecenderungan melihat warga Rustanti sebagai pihak yang memiliki sumber daya manusia (SDM) rendah. Kedua, warga Rustanti sendiri memaknai RPTRA Rustanti sebagai ruang sosial dalam beberapa kategorisasinya, antara lain ruang rekreasi, ruang edukasi, ruang ekspresi dan eksplorasi diri, serta ruang ekonomi. Ketiga, terjadi beberapa konflik oleh karena adanya perbedaan pemaknaan RPTRA sebagai ruang publik. Beberapa konflik tersebut adalah pengaturan waktu penggunaan lapangan RPTRA, pemberlakuan jam buka-tutup lapangan RPTRA, dan pelarangan perayaan keagamaan di RPTRA. Jarak antara ruang abstrak dan ruang sosial ini semakin diperpanjang dengan adanya beberapa isu, seperti keterwakilan warga sebagai pengelola, perilaku elitis pengelola, dan pelayanan yang birokratif. Di masa pandemi, prioritas pengelolaan juga masih menggunakan sudut pandang dari pengelola alih-alih melihat kebutuhan warga. Hal ini terlihat dari prioritas proyek tanaman hidroponik daripada upaya untuk secara kreatif mempromosikan protokol kesehatan di RPTRA Rustanti. ......This research aims to analyze the politics of public space’s management, namely Child-friendly Integrated Public Space (RPTRA). Previous research related this public space assert that RPTRA has given certain social function to the life of city dwellers. They can do their various activities there, such as building social interaction, doing sports, and so on. This research itself uses different point of view. Instead of using functionalist paradigm, this research employs conflict paradigm in the process of analyzing the politics of public space’s management. The word “politics” refers to the tension between several related parties, for instance the staff of RPTRA and the local community. As a framework of analysis, this research uses the concept of the production of space from Henri Lefebvre. This concept explains that in the process of production of space, there are some frictions due to the existence of two different spaces, which are abstract space and social space. This research stands within qualitative approach by taking a case study of RPTRA Rusun Tanah Tinggi, Central Jakarta. The reason behind this choice is because this RPTRA exists in the midst of dense community. There are several methods employed within this research, such as field observation, mental-mapping, in-depth interview, and visual partisipatory (photo elicitation and autophotography). There are three main findings of this research. Firstly, the pattern of the construction of abstract space has been signaled by several characteristics, which are the services that position the local community as object, the restriction of activities related to hajatan and religious celebrations, and the tendency to see local community as people who are lack of skills. Secondly, the people of Rustanti see the RPTRA as a social space from several points of view, such as space of recreation, space of education, space of expression and self-exploration, and space of economy. Thirdly, there happen few conflicts due to the different interpretation of RPTRA as a public space. Those conflicts include time schedule of the field usage, the policy of opening and closing the field of RPTRA Rustanti, and the restriction of religious celebrations in RPTRA. The distance between abstract and social space is worsened by some issues, like the representativeness of local community as a staff of RPTRA, the attitude of the staff as certain elites, and the difficult bureaucracy. In the context of COVID-19 pandemic, this research found that the staff put the priority not based on the need of the local community. They chose to put certain efforts to the project of hydroponic plants instead of tirelessly find creative way in promoting the importance of health protocol to the users of RPTRA Rustanti.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aura Ainaya Zahra
Abstrak :
Sebuah film berjudul "Joy" yang disutradarai oleh Sudabeh Mortezai merupakan film drama Austria yang menceritakan isu prostitusi oleh imigran gelap dari Nigeria dengan menampilkan ruang sosial kota Wina, Austria. Kajian ini menggunakan konsep ruang sosial, arena, modal, dan habitus dari Pierre Bourdieu serta keberadaan uang sebagai budaya objektif yang mendominasi masyarakat perkotaan oleh Georg Simmel. Analisis tersebut membahas bagaimana ruang sosial kota Wina pada abad ke-20 ditampilkan melalui praktek prostitusi oleh para imigran gelap. Penelitian ini menyimpulkan praktik prostitusi yang terjadi di Kota Wina didalangi oleh beberapa kelompok. Kelompok-kelompok ini memegang peran utama sebagai agen yang posisinya didukung oleh modal dan peranannya yang sesuai dengan dinamika yang terjadi dalam ruang sosial. ......A film titled "Joy" directed by Sudabeh Mortezai is an Austrian drama film that tells the issue of prostitution by illegal immigrants from Nigeria by showing the social space of the city of Vienna, Austria. This study uses the concepts of social space, arena, capital, and habitus from Pierre Bourdieu and the existence of money as an objective culture that dominates urban society by Georg Simmel. The analysis discusses how the social space of the city of Vienna in the 20th century was presented through the practice of prostitution by illegal immigrants. This study concludes that the practice of prostitution that occurs in the City of Vienna is masterminded by several groups. These groups play the main role as agents whose positions are supported by capital and their roles are in accordance with the dynamics that occur in the social space.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rifa Nurafia
Abstrak :
Kekerasan simbolik menjadi gambaran adanya kekerasan secara implisit yang ternormalisasi dalam masyarakat. Keadaan tersebut tidak lepas dari adanya ruang sosial yang menjadi tempat munculnya kesewenang-wenangan kekuasaan. Melalui novel Dawuk Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu (2017), tergambar adanya pertarungan ruang sosial di desa Rumbuk Randu yang mencoba memarginalkan tokoh Mat Dawuk. Artikel ini bertujuan untuk membahas bagaimana ruang sosial dalam novel Dawuk Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu (2017) menunjukkan adanya legitimasi kekerasan simbolik. Metode yang digunakan yakni analisis struktural dengan naratologi Mieke Bal serta didukung oleh konsep Pierre Bourdieu tentang kekerasan simbolik, habitus, kapital dan arena. Temuan artikel ini menunjukkan bahwa gambaran ruang sosial pedesaan menjadi pendukung terjadinya kekerasan simbolik lewat pertarungan kepentingan yang diinternalisasi dalam struktur sosial. Ruang sosial dijadikan tempat yang membenarkan opresi terhadap pihak-pihak yang termarginalkan serta masih rentannya intervensi kepentingan subjektif seolah menjadi kepentingan universal. ......Symbolic violence is a picture of implicit violence that is normalized in society. This situation cannot be separated from the existence of social space which is a place for the emergence of arbitrariness of power. Through the novel Dawuk Stories of Gray Dari Rumbuk Randu (2017), it is illustrated that there is a social space struggle in Rumbuk Randu Village which tries to marginalize the character of Mat Dawuk. This article aims to discuss how the social space in the novel Dawuk Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu (2017) shows the legitimacy of symbolic violence. The method used is structural analysis using Mieke Bal's narration and supported by Pierre Bourdieu's concept of symbolic violence, habitus, capital and arena. The findings of this article show that the image of rural social space supports the occurrence of symbolic violence through the struggle of interests internalized in the social structure. Social space is used as a place to justify oppression of marginalized parties and the vulnerability of subjective interests to intervention seems to be a universal interest.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>