Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Grande, Sandy, 1964-
London: Rowman and Littlefield, 2015
323.119 7 GRA r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Audi, Robert
New York, N.Y: Routledge, 2011
121 AUD c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sutrimo
Abstrak :
ABSTRAK Pemerintahan Orde Baru yang berlangsung sekitar 32 tahun telah berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanail sehingga memungkinkan bangsa Indonesia dapat membangun bidang ekonomi guna peningkatan kesejahteraan, setidaknya selama era Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I. Namun demikian apa yang dilakukan pemerintahan Orde Baru ini disamping adanya pujian juga mengundang sejumlah kritik. Keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam membangun, khususnya dalam menciptakan stabilitas politik dan keamanan, tidak lepas dari peran pembinaan Orsospol - Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia - yang selama PJP I tampak efektif. Akan tetapi pada akhir PJP I dan memasuki PJP II, pembinaan terhadap Orsospol menunjukkan kecenderungan (trend) menurun, yang ditandai oleh banyaknya aksi unjuk rasa selaku refleksi rasa ketidakpuasan masyarakat. Masalah itulah yang menjadi pokok kajian tesis ini. Tujuan penelitian ialah : (1) Menelusuri faktor-faktor penyebab pembinaan Orsospol yang sangat efektif pada kurun waktu Pelita I s/d IV, tetapi efektifitas itu menurun mulai akhir Pelita V dan seterusnya; (2) Mencoba melakukan konstruksi suatu model alternatif pembinaan Orsospol yang diharapkan dapat mengakomodir tuntutan perkembangan kemajuan serta dinamika masyarakat dan dengan memperhatikan kecenderungan perubahan lingkungan strategis. Analisis masalah menggunakan pendekatan Konsepsi Ketahanan Nasional, dengan desain penelitian deskriptif kualitatif, dimana korelasi antara variabel efektivitas pembinaan Orsospol dan variabel kemajuan pembangunan dibandingkan dengan menggunakan metode SWOT (strength ? weakness - opportunity - threat). Rentang waktu penelitian dibatasi antara sejak lahirnya Orde Baru (1966) sampai Pemilu 1997. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Faktor-faktor yang menjadikan pembinaan terhadap Orsospol yang dilakukan selama PJP I dirasakan efektif adalah : (a) bangsa Indonesia menaruh perhatian besar untuk membasmi komunisme pasca pengkhianatan G30S PKI; (b) berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi; (c) adanya dukungan dunia internasional dalam upaya memberantas kemiskinan dan komunisme; (d) dwifungsi ABRI yang memperhatikan kepentingan rakyat dengan pendekatan keamanan; (e) kepemimpinan nasional yang masih berwibawa dan disegani. (2) Faktor-faktor yang menjadikan kurang efektif adalah : (a) tingkat kemajuan pendidikan dan kesadaran politik masyarakat yang semakin tinggi; (b) adanya perubahan struktur sosial dan munculnya masyarakat sipil (madani); (c) beberapa ketentuan perundang-undangan dirasakan tidak cocok lagi dengan perkembangan dinamika masyatakat; (d) pengaruh perkembangan gelombang demokratisasi internasional; (e) ketidakadilan distribusi ekonomi; (f) pelanggaran terhadap norma Pancasila dan UUD 1945. (3) Model pembinaan yang dapat mengakomodir tuntutan masyarakat adalah pembinaan yang tetap mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan perkembangan kemajuan masyarakat, memberikan ruang gerak bagi pemberdayaan masyarakat sipil dan tetap menjamin persatuan dan kesatuan bangsa. Terlepas dari berbagai kritikan terhadap kebijakan pembinaan orsospol di zaman Orde Baru, namun keberhasilannya dalam membina stabilisasi politik selama lebih 3 dekade telah mencatat rekor waktu terpanjang dalam sejarah Indonesia. Oleh karena itu, penelitian tentang Orde Baru yang ditulis pada era Orde Reformasi ini sekaligus dapat dipandang sebagai upaya untuk menghimpun berbagai fenomena kehidupan sosial politik pada zamannya, yang mungkin takkan terulang kembali di masa datang, agar tidak tercecer dalam catatan sejarah perjalanan bangsa yang tercinta ini.
ABSTRACT The Guidance of Social Political Organization in Indonesia during the New Order within the National Resilience Perspective For the last 32 years the new order government was in power, political stability and security were successfully achieved allowing economic development to grow for the sake of national prosperity, at least during the first long-term development plan (25 years). Although, the new order government received praises for their accomplishments, it also received criticisms. The new order government's success in ensuring political stability and security was also due to the guidance provided by the existing social-political organizations; the United Development Party (PPP), the Functional Group (Golkar) and the Indonesian Democratic Party (PDT). At the long-term development plan appeared effective. However, by the end of the first long-term development plan era, there were signs of a downward trend. This was indicated by the increasing number of protests and demonstrations reflecting the public's dissatisfaction. Therefore, it is this issue that has become the primary study of this thesis. The objectives of this study are: (1) To discover the factors that caused the guidance given by these social-political organizations to be less effective by the end of the 5th five year development plan period; (2) To construct an alternative guidance model that is expected to accommodate all the demands of the people and the dynamics of the society without neglecting the trend of the change of strategic environment. The analysis will use the approach of National Resilience Concepts along with the descriptive quality design. The correlation between the social-political organization's (SPO) guidance effectiveness variable and the development advancement variable are compared with the SWOT (strength-weakness-opportunity-threat) method. The time frame of this study begins at the start of the new order government (1966) up to the general elections of May 1997. The results of this study are: (1) The factors attributed to the effectiveness of the SPO's guidance during the first long-term development plan are: (a) The Indonesian people placed all of their attention on the eradication of communism after the failed coup attempt by the Indonesian Communist Party, PKI; (b) Full concentration on economic development; (c) The existence of international support in an effort to eradicate poverty and communism; (d) The implementation of ABRI's dual function doctrine in hopes to serve the public's interest through the assurance of security approach; (e) Good governance and strong national leadership. (2) The factors contributing to the decline in effectiveness are: (a) The rise in the level of education and the increase of the public's political awareness; (b) The change of social structure and civil society; (c) Regulations and laws that are regarded incompatible with the advancement in social dynamics; (d) Influence of international issue of democratization; (e) Injustices in the distribution of national wealth; (f) Violations against the norms of the Pancasila state ideology and the 1945 Constitution. (3) An alternate guidance model that will accommodate the public's demand is the adaptation and implementation of the Pancasila state ideology and the 1945 Constitution. While developments in society, noting to allow movements that will enable the empowerment of a civil society and assure national unity at the same time. Despite criticisms of the policies undertaken by the SPOs during the new order period, its success in maintaining political stability for approximately three decades, is a record in Indonesia's history. Therefore, this study on the New Order during the present Reform Era is a means to understand the phenomenon of the social-political life during that time. Thus, to ensure that mistakes made in the past do not repeat themselves and to not forget the endeavors made in this nation's journey.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Gunawan
Abstrak :
Tesis ini merupakan kajian terhadap suatu brand di Amerika yaitu Aunt Jemima. Produk utama dari brand ini adalah makanan siap saji pancake dan jenis makanan lainnya. Brand ini mempergunakan gambar perempuan kulit hitam sebagai merek dagangnya. Aunt Jemima telah beredar di Amerika Serikat sejak tahun 1889 dan masih diproduksi sampai sekarang (tahun 2003). Fokus perhatian utama dari penelitian saya adalah alasan perubahan citra dari brand tersebut dan hal-hal yang melatar belakanginya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab mengapa merek dagang tersebut bisa bertahan selama puluhan tahun, tanpa melakukan perubahan citra dan apa yang menyebabkan diubahnya citra merek dagang Aunt Jemima pada tahun 1968 dan tahun 1989. Tesis ini menunjukkan bahwa pihak produsen mengubah pencitraan brand Aunt Jemima untuk mensiasati terjadinya perubahan sosial politik masyarakat Amerika terhadap masyarakat kulit hitam dari tahun 1889 hingga 1989. Citra mammy menjadi dasar bagi pencitraan Aunt Jemima di tahun 1889 hingga sebelum tahun 1968. Ia digambarkan sebagai ahli masak, pengabdi majikan, dan periang sesuai dengan karakteristik dasar stereotype flee happy slave, the devoted servants, dan The natural-born cook. Yang ingin disampaikan oleh penggunaan merek dagang tersebut adalah bahwa produk Aunt Jemima rasanya enak karena dibuat oleh ahli masak dari selatan. Citra yang tadinya mengarah pada stereotype "Mommy" tidak dapat dipertahankan lagi karena citra yang tadinya menimbulkan rasa nyaman dan aman tidak pada masa ini menjadi citra yang negatif karena mengingatkan pada masa perbudakan. Di tahun 1968 citra yang dibawakan Aunt Jemima adalah citra seorang perempuan yang mengatur rumah tangga, merawat keluarga dan mengurus dapurnya sendiri. Dengan menampilkan Aunt Jemima sebagai ibu rumah tangga ini, maka akan ada proses identifikasi dari konsumen produk Aunt Jemima yang secara mayoritas adalah ibu rumah tangga. Fungsi digambarkan dengan penghargaan atas peranannya mengurus rumah tangga. Dengan produk-produk sophisticated, dan modern, yang dapat membantu menyelesaikan masalah pekerjaan rumah tangga, seperti produk siap saji Aunt Jemima, pekerjaan ibu rumah tangga akan terlihat lebih menyenangkan. Pada tahun 1980-an banyak kecenderungan atau kemajuan yang dialami perempuan di Amerika. Citra Aunt Jemima di tahun 1989 ini adalah citra yang bukan sekedar wanita karir tetapi juga perempuan yang memperhatikan keluarganya. Secara implisit disampaikan juga bahwa Aunt Jemima menempatkan diri sebagai anggota masyarakat Amerika yang multikultural setara dengan pria atau perempuan lain dari etnik yang berbeda. Hasil analisis teori menunjukkan bahwa kampanye yang dilakukan biro iklan pada tahun 1889 hingga 1950-an adalah menciptakan brand atau citra Aunt Jemima sebagai karakter pelayan yang mewakili masa "keemasan" wilayah Selatan Amerika. Kampanye yang dilakukan pada tahun 1960-an adalah upaya menciptakan citra Aunt Jemima sebagai ibu rumah tangga yang "modern". Ibu rumah tangga yang berupaya sekuat tenaga untuk menciptakan rumah tangga yang nyaman bagi suami dan anak-anaknya dengan mempergunakan teknologi yang canggih. Kampanye yang dilakukan pada tahun 1980-an adalah menciptakan citra Aunt Jemima sebagai perempuan profesional yang masih mengupayakan kenyamanan bagi keluarganya. Citra Aunt Jemimta mengalami perubahan bertahap. Citra ini dimulai dari Aunt Jemima sebagai pengurus rumah tangga keluarga kulit putih yang menimbulkan rasa nyaman. Kemudian pada tahun 1968, Aunt Jemima digambarkan dengan citra sebagai ibu rumah tangga yang dapat mengurus keluarganya sendiri bukan keluarga lain. Pada tahun 1989, citra Aunt Jemima adalah citra perempuan karir yang masih mempedulikan keluarganya. Brand Aunt Jeminia selama masih beredar di pasaran masih akan mengubah citranya karena masyarakat Amerika masih akan terus berubah dan berkembang.
The changing Image of Aunt Jemima Brand from 1889 to 1989This thesis is study on an American brand - Aunt Jemima. The main product of this brand is an instant ready to cook pancake. This brand uses a picture of a black woman as its trademark. Aunt Jemima has been around since 1889 are still produced until now (2003). The main focus of this research is the reason behind the changing image of the brand and to find out what was the background of these changes. The aim of this research is to examine the reason why this brand can survive without changing its image for a long years and what makes it change in 1968 and 1989. This research shows that the company changes the image of Aunt Jemima's brand in order to keep up with the changing social and political attitude toward American black peoples. The mammy stereotype was the basic of the Aunt Jemima's image from 1889 until 1968. Aunt Jemima was pictured as the happy slave, the devoted servants, and the natural-ban: cook. What was conveyed from using this image is that Aunt Jemima's product is tastes delicious since a Southern cook made it. This mammy image becomes a negative image. Mammy image reminds some people of slavery and it became less comforting. In the year 1968 the image that was carried out by Aunt Jemima was an image of a housewife. She was a black woman who took care of her house, kitchen, and nurturing her husband and children. By showing this image, there will be a process of identification from the consumer - which assumed came from the housewife majority. The role as a modem housewife was considered as an honorable career. As a modern housewife it was logical if they also use modern and sophisticated products such as Aunt Jemima's. Aunt Jemima helps modern housewife solves their problems. The jobs of a housewife will look more pleasant. In the eighties, there were a lot of progresses experienced by American women. The image of Aunt Jemima in the year 1989 became a career woman but she still care for her family. Implicitly it conveyed that Aunt Jemima positioning herself as a member of the multicultural society of America, equal to any other ethnic man or woman. This research is a qualitative research, which employs a descriptive analysis method. An analysis shows that the campaign executed by advertising agencies in the year 1889 to 1968 was to create the image of Aunt Jemima as a servant to represent the golden age of the South. The campaign since 1968 was to create an image of a modern housewife. The campaign in the 1989 was to create an image of an independence woman who still cares for her family. The image of Aunt Jemima changed gradually. It started as a housekeeper or servant of a white family that was comforting. She was a woman who doesn't have her own family. And then she became a housewife in 1968. She has her own family now. And she took good care of them. The third, in 1989, was an image of an independence woman who can decide her own path. In the future, Aunt Jemima brand will still continue to change in accordance with the changing American society.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mohamad Ichsana Nur
Abstrak :
Bandung menjadi salah satu role model kota ekonomi kreatif di Indonesia dan di Dunia. Capaian baik tersebut adalah hasil dari usaha stakeholders yang berasal dari unsur masyarakat, bisnis, entitas sosial dan pemerintah entitas politik melalui peran strategisnya dalam mengembangkan ekonomi kreatif di Kota Bandung. Walaupun demikian, sebenarnya potensi pengembangan ekonomi kreatif di Kota Bandung ini bisa jauh lebih besar dari pada hasil yang telah dicapai, namun hal tersebut tidak terjadi karena interaksi yang dilakukan oleh ketiga entitas tersebut belum optimal baik itu secara terpisah maupun bersama. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interaksi interferences, interplays, dan interventions yang dilakukan para pemangku kepentingan pada kebijakan pengembangan ekonomi kreatif di Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivis dengan jenis penelitian deskriptif, dan penelitian ini juga menggunakan wawancara dan studi dokumentasi sebagai metode pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan konsep societal governance ini secara prinsip sesuai dengan apa yang dilakukan Kota Bandung dalam mengembangkan ekonomi kreatifnya, ada sub-variabel yang bisa berjalan dengan baik tetapi ada juga belum. Pertama, bahwa Bandung Creative City Forum BCCF sebagai representasi entitas sosial, dapat menjalankan sejumlah aktivismenya secara otonom dengan cara membuat sejumlah prototipe solusi kreatif perkotaan, baik itu yang bersifat internal maupun eksternal, kedua bahwa ada sebuah kolaborasi yang tampak diantara para pemangku kepentingan melalui program Design Action Bandung, namun dalam pelaksanaanya masih ada diantara entitas yang terkesan powerless padahal kekuasaan dan kewenangannya cukup besar untuk bisa ikut mengatur dan mengurus program tersebut, walaupun demikian program ini berhasil memberikan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah agar bisa dijalankan melalui sejumlah program yang akan dibuat kemudian, ketiga bahwa saat ini pemerintah sebagai entitas politik dapat menggunakan kewenangannya untuk membuat kebijakan dan program yang mendukung namun dalam aplikasinya masih ada yang perlu ditingkatkan, serta kontrol dan sanksi yang juga belum sepenuhnya dilakukan dengn baik, hal tersebut karena terbatasnya dukungan jajaran SKPD kota yang masih dalam proses memahami ekonomi kreatif itu sendiri. ......Bandung serves as a pilot project for creative economy implementation in Indonesia and abroad. It has been recognized that this achievement was made possible with a collaboration between stakeholders, including the government and society, through their strategic roles in creative economy development in the city of Bandung. Nevertheless, the potentials of creative economy in the city of Bandung are in fact much more significant in comparison to what has been actualized, but it does not happen because the interactions between the three entities are not optimal either separately or concurrently. This research aims to analyze the interactions of interferences, interplays, and interventions run among hose stakeholders on the policy of creative economy development in Bandung. This research is descriptive research and employed post positivist approach. In depth interviews and document study were carried out for the purpose of data collection. Present research results showed that the use of the concept of societal governance is in principle has accordance with the Bandung City in developing its creative economy, there are sub variables that could go well but there are also yet. First, the Bandung Creative City Forum BCCF as a representation of the social entity, can run a number activism autonomously by making several prototype creative solutions to urban areas, both internal and external. Secondly, there is a collaboration that appeared among stakeholders through the Design Action Bandung program, but in the implementation, there are still entities who give powerless impression even though the power and authority are large enough to be able to organize and manage the program. However, the program succeeded in providing recommendations for the government to be run through programs that will be made later. Thirdly, nowadays the government as the political entity should be able to use its authority by making supported policies and programs but in its application, it still needs to be improved also the control and sanction which also not fully done well. This is due to the limited support of SKPD of the Bandung City that still in the process of understanding the creative economy itself.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2018
T51419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Sri Raharjo
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai kepemimpinan pasangan Walikota Joko Widodo dan Wakil Walikota FX. Hadi Rudyatmo di Kota Surakarta, yang harmonis dan langgeng hingga dua periode. Latar belakang seorang Joko Widodo sebagai seorang pengusaha dikombinasi latar belakang FX. Hadi Rudyatmo sebagai politisi murni, mampu membawakan gaya kepemimpinan yang visoner, egaliter, santun, bersih, tegas dan merakyat. Di dalam penelitian ini juga akan digali apa saja faktor yang membuat pasangan ini bisa cocok dan selaras satu sama lain dan pengaruhnya pada pembangunan demokrasi lokal di Surakarta serta dampaknya pada stabilitas penyelenggaraan pemerintahan di Surakarta. Landasan teoritis penelitian ini menggunakan teori konflik dan integrasi dari Peter M. Blau, Richard L. Poe dan Georg Simmel. Di samping itu juga menggunakan teori kepemimpinan dari Bernard & Ruth Bass dan Bruce J. Avolio, Kurt Lewin, James M. Burns dan Herbert Feith. Pendekatan mengenai Demokrasi dan Pemerintahan Lokal menggunakan teori John Steward dan Demokrasi Deliberatif dari Iris Marion Young. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Sumber primer diperoleh melalui wawancara. Sementara sumber sekunder diperoleh dari media massa dan kajian pustaka. Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis menemukan bahwa Walikota Joko Widodo dan Wakil Walikota FX. Hadi Rudyatmo menerapkan gaya kepemimpinan demokratis transformasional dikombinasi dengan implementasi demokrasi deliberasi atau partisipatoris konsultatif. Selain itu penulis juga menemukan hal-hal lainnya yang ikut mempengaruhi gaya kepemimpinan, tindakan, dan kebijakan yang diambil oleh pasangan kepala daerah Kota Surakarta ini, yaitu latar belakang kehidupan keluarga, pengalaman hidup, kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan karakter personal yang mampu menyatukan keduanya sehingga menjadi pasangan yang cerdas mengelola konflik sehingga terjalin soliditas dan satu kesatuan pribadi yang saling mengisi. Berbekal seluruh nilai-nilai idealitas kepemimpinan yang diimplementasikan keduanya, Joko Widodo dan FX. Hadi Rudyatmo mampu melanggengkan hubungan harmonis mereka melebihi batas struktur, waktu dan ruang politik ......This research analyzes the leadership of Mayor Joko Widodo and Deputy Mayor FX. Hadi Rudyatmo in Surakarta that has been harmonious and lasted for two periods. Joko Widodo’s background as an entrepreneur combined with FX. Hadi Rudyatmo’s background as a dedicated politician has resulted a visionary, egalitarian, courteous, clean, resolute and populist. This research will also scrutinize whatever factors that make this pair compatible with each other and the effect it has on the local democracy development in Surakarta and on the stability of government implementation in Surakarta. The theoritical foundation of this research is the theory of conflict and integration from Peter M. Blau, Richard L. Poe and Georg Simmel. In conjunction with the leadership theory from Bernard & Ruth Bass and Bruce J. Avolio, Kurt Lewin, James M. Burns and Herbert Feith. The approach on democracy and local government applies John Steward’s theory, deliberative democracy from Iris Marion Young. This research utilizes qualitative method with primary and secondary data. Primary sources were gathered through direct interviews while secondary sources were assembled from mass media and literature review. This research reveals that Mayor Joko Widodo and Deputy Mayor FX. Hadi Rudyatmo implemented transformational democratic leadership style combined with deliberative democracy or consultative participatory. This research also reveals other factors that have affected leadership style, actions, and policies taken by the pair of these Surakarta leaders: family background, life experiences, sensibility to their surroundings and personal characters. Those factors have a major role in uniting the two persons and have molded them into a pair of leaders who excel in conflict management so their cooperation was a solid and effective one. With all those virtues of leadership they implemented, both of Joko Widodo and FX. Hadi Rudyatmo preserve their harmonious political and social relationship beyond the boundaries of political structure, time and space.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Depok : FISIP UI
050 ISSR
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Abdan Shadiqi
Abstrak :
ABSTRAK
Demonstrasi, protes, tanda tangan petisi, aksi anarkis, dan aksi terorisme merupakan contoh aksi kolektif. Terdapat dua bentuk aksi kolektif, yakni aksi damai (normatif) dan kekerasan (tidak-normatif). Intensi aksi kolektif solidaritas merupakan fokus kajian pada penelitian terkait dengan solidaritas Muslim Indonesia pada konflik Palestina-Israel. Penelitian ini berusaha untuk menggali apa saja faktor yang melandasi sekumpulan orang ingin melakukan aksi kolektif solidaritas bentuk normatif atau tidak-normatif pada konteks konflik Palestina- Israel. Melalui studi survei korelasional, penelitian ini menganalisis data yang berasal dari 460 mahasiswa Muslim Indonesia. Data diperoleh dengan survei online dan paper-and-pencil menggunakan 8 alat ukur yang valid dan reliabel terdiri dari skala intensi aksi kolektif solidaritas bentuk normatif, intensi aksi kolektif solidaritas bentuk tidak-normatif, identitas sosial politik, efikasi kelompok, emosi berbasis kelompok yang terdiri dari emosi marah, merendahkan, bangga, dan berani. Kami menggunakan uji confirmatory factor analysis (CFA), regresi, dan uji pemodelan atau structural equation modeling (SEM) untuk analisis statistik melalui Lisrel pada pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur dan semua hipotesis. Hasil temuan penelitian ini adalah identitas sosial politik merupakan sentral dari prediktor aksi kolektif solidaritas bentuk normatif ataupun tidak-normatif. Pada aksi kolektif normatif dipengaruhi secara positif oleh identitas sosial politik, emosi marah berbasis kelompok dan efikasi. Sementara itu, pada aksi kolektif tidak-normatif diprediksi secara positif oleh identitas sosial politik dan secara negatif oleh efikasi kelompok. Temuan ini erat kaitannya dengan konteks penelitian yang terkait dengan isu keadilan, kekerasan suci, dan keagamaan.
ABSTRACT
Demonstration, protest, signing the petition, anarchist acts, and terrorism are the examples of the collective action. There are two forms of such action, the peaceful acts (normative) or violence acts (non-normative). This study examined the intention to conduct solidarity collective action among Indonesian Moslems in the context of Palestinian-Israeli conflict. The factors underlying this intention of people to take a solidarity collective action with normative or non-normative forms in the context of Palestinian-Israel conflict were being investigated. Through a correlational survey study, this study analyzed the predictors of intention to conduct solidarity collection action in 460 Indonesian Moslems students. The data was gathered by online survey and paper-and-pencil methods by using 8 measurements: intention of conducting solidarity normative collective action, intention of solidarity non-normative collection action, social political identity, group-efficacy, group-based emotion scale which consist of anger, contempt, pride, and brave. We administered the confirmatory factor analysis (CFA), regression, and structural equation modelling (SEM) in the series of statistical analysis with Lisrel to test the validity and reliability of measurements and to test all our hypotheses. We found that socio-political identity to be a central predictor of intention for conducting solidarity collective action (normative and non-normative). Specifically, intention of solidarity normative collective action is predicted positively by socio-political identity, group-based anger, and group efficacy. Meanwhile, the intention of conducting solidarity non-normative collective action is predicted positively by socio-political identity and negatively by group efficacy. This finding is closely related to the context of studies with justice, sacred violence, and religion as the issues.
2017
T47988
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Depok : Sekretariat Badan Eksekutuf Mahasiswa FIB UI
050 KOH
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>