Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frisca Cristi
Abstrak :
Pasal 39 ayat (2) KUHAP memberikan wewenang kepada penyidik atau penyidik pembantu untuk melakukan tindakan perampasan yatu penyitaan terhadap barang (baik bergerak maupun tidak bergerak) yang sedang berada dalam perkara perdata atau pailit dengan syarat barang tersebut temasuk barang yang dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) KUHAP. Hal ini dikarenakan kepentingan umum berada di atas kepentingan pribadi. Hukum Indonesia mengikuti Hukum Barat yang mengenal pemisahan yang tegas antara hukum publik dan hukum privat, namun menjadi masalah jika ternyata terdapat dua putusan (dari perkara publik dengan perkara privat) yang saling bertentangan. Jika berdasarkan doktrin maka kepentingan negaralah yang didahulukan, dan hakim-hakim biasanya memutus berdasarkan doktrin ini. Dengan ini berarti putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dilaksanakan dikarenakan harus menunggu putusan pidananya terlebih dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut di atas dalam tindak pidana korupsi dapat dikenai hukuman perampasan barang bukti untuk Negara. Hal ini disebabkan tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian Negara sehingga sifatnya khusus dan harus segera diselesaikan. Penelitian ini menganalisa putusan MA No.3233 K/Pdt/1995 dimana dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim juga menggunakan doktrin ini. Dalam penelitian ini akan dibahas bagaimana kekuatan hukum eksekusi tanah sengketa yang diletakkan sita jaminan dalam perkara perdata yang kemudian disita oleh Kejaksaan sebagai barang bukti dalam perkara tindak pidana korupsi, bagaimana kekuatan penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh kejaksaan jika terhadap penyitaan barang bukti tersebut juga sudah terdapat putusan perdata yang menyatakan bahwa hak milik atas tanah tersebut berada pada pihak ketiga, dan bagaimanakah Kekuatan Hukum Putusan Perdata atas tanah yang disita untuk dijadikan sebagai barang bukti dalam Perkara Pidana Korupsi sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2007
S22018
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilinda Theresia
Abstrak :
Koperasi Pandawa Mandiri Group berdasarkan Putusan Nomor 37/Pdt-Sus-PKPU/2017/PN Niaga Jkt.Pst dinyatakan Pailit. Kemudian, dalam Putusan Nomor 424/Pid.Sus/2017/PN.Dpk Salman Nuryanto selaku pemilik Koperasi Pandawa juga divonis oleh Majelis Hakim telah melakukan tindak Pidana dan Majelis Hakim juga memutuskan bahwa seluruh barang bukti yang disita oleh penyidik yang merupakan bagian boedel pailit, disita dan dirampas untuk negara. Sebagai bagian dari penelitian yuridis normatif, penulisan ini membahas mengenai kedudukan hukum harta pailit debitor dalam hal terjadinya sita pidana terhadap kepailitan oleh pengadilan. Dirampasnya benda yang merupakan bagian dari boedel pailit yang akan digunakan untuk melakukan pelunasan piutang para kreditor menimbulkan pertentangan. Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini, para kreditor tidak dijamin haknya untuk mendapatkan pelunasan atas piutangnya sementara para kreditor merupakan pihak yang paling berhak untuk mendapatkan pelunasan piutang dari kekayaan yang dimiliki oleh debitor. Seharusnya, perlu dipertimbangkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak lain terhadap suatu benda hasil kejahatan sebelum memutuskan melakukan sita dan merampas untuk negara atas harta pailit atau benda-benda hasil kejahatan tersebut.
Koperasi Pandawa Mandiri Group based on Decision Number 37/Pdt-Sus-PKPU/2017/PN Niaga Jkt.Pst was declared bankrupt. Then, in Decision Number 424/Pid.Sus/2017/PN.Dpk Salman Nuryanto as the owner of the Koperasi Pandawa was also sentenced by the Panel of Judges for committing a Criminal Act and the Panel of Judges also decided that all evidence seized by investigators who were part of the bankruptcy proceedings, confiscated and confiscated for the country. As part of normative juridical research, this paper discusses the legal position of the debtor's bankrupt assets in the event of a seizure of bankruptcy by the court. The seizure of objects that are part of the bankruptcy loan that will be used to settle creditors' debts has caused conflict. It can be concluded that in this case, the creditors are not guaranteed the right to get the repayment of their receivables while the creditors are the party most entitled to get the payment of debts from the wealth owned by the debtor. Supposedly, it is necessary to consider the rights possessed by other parties to an object resulting from a crime before deciding to seize and confiscate for the state the bankrupt assets or objects resulting from the crime.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T55059
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Yahya
Abstrak :
Dengan dijatuhkan putusan pailit, maka Debitur Pailit kehilangan hak nya dalam menguasai harta bendanya yang termasuk dalam Boedel Pailit tersebut, dan secara hukum diberikan tugas pemberesan tersebut kepada Kurator. Akan tetapi melakukan tugas pemberesannya, seringkali Kurator menemukan hambatan seperti dengan diletakannya penyitaan pidana terhadap harta pailit tersebut yang berakibat akan terhambatnya upaya pemberesan yang dilakukan serta menimbulkan ketidakpastian bagi Kreditur Pailit dalam mendapatkan pelunasan piutangnya. Dalam skripsi ini akan dijelaskan terkait peran dan kewenangan Kurator dalam mengatasi penyelesaian sengketa harta pailit yang diletakan sita pidana tersebut serta pertimbangan hakim dalam memutus sengketa tersebut. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dengan metode kepustakaan. Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwasannya penerapan sita umum kepailitan serta sita pidana memiliki esensi dan tujuannya masing-masing sehingga dalam memutus, hakim tidak dapat mencampur adukan terkait kedudukan penyitaan tersebut melainkan haruslah diputus secara satu per satu. Selain itu dalam mengatasi sengketa harta pailit yang diletakan sita pidana, Kurator berwenang untuk mengajukan Gugatan Lain-Lain kepada Pengadilan Niaga agar hakim memisahkan harta pailit yang benar-benar memiliki keterkaitan dengan tindak pidana untuk dikedepankan penyitaan pidananya dan selanjutnya, terhadap Putusan Pidana tersebut Kurator juga berwenang untuk mengajukan upaya keberatan bilamana Hakim Pengadilan Pidana melakukan perampasan terhadap Harta Pailit tersebut. ......With the imposition of bankruptcy judgment, the Insolvent Debtor loses its right to control its property which is included in the Bankruptcy Boedel, and is legally given the task of settlement to the Curator. However, carrying out its settlement duties, often the Curator finds obstacles such as the placement of criminal confiscation of the bankrupt assets which results in hampering the settlement efforts made and creates uncertainty for the Insolvent Creditor in obtaining repayment of its receivables. In this thesis, it will be explained regarding the role and authority of the Curator in overcoming the settlement of bankruptcy property disputes placed by the criminal seizure and the judge's consideration in deciding the dispute. In conducting this research, the author used a form of normative juridical research with literature methods. From the results of the research conducted, it was found that the application of general bankruptcy and criminal confiscation has its own essence and purpose so that in deciding, judges cannot mix complaints related to the position of confiscation but must be decided one by one. In addition, in resolving disputes over bankruptcy assets placed under criminal confiscation, the Curator is authorized to file a Miscellaneous Claim to the Commercial Court so that the judge separates the bankruptcy assets that are truly related to the criminal act to put forward criminal confiscation and furthermore, against the Criminal Judgment the Curator is also authorized to file an objection if the Criminal Court Judge confiscates the Bankruptcy Property.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Hadiningtyas
Abstrak :
Tulisan ini menganalisis dan mengidentifikasi kedudukan Bank dalam kapasitasnya sebagai pemegang Hak Tanggungan yang telah disita oleh Negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi dan konsekuensi hukum apabila sita pidana dikecualikan dalam Putusan Tindak Pidana Korupsi. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, yang sumbernya berasal dari hukum positif. Dalam pemberian kredit, Bank mengharuskan adanya jaminan contohnya Hak Tanggungan. Bank sebagai pemegang jaminan mempunyai kedudukan sebagai kreditur separatis, yang mempunyai hak untuk mengeksekusi jaminan dan tidak boleh ada pihak yang menghalang-halanginya. Praktiknya, apabila terdapat Putusan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan adanya penyitaan atas seluruh aset milik terdakwa, menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum terhadap Bank sebagai pemegang jaminan yang beritikad baik. Adanya sita pidana di atas sita jaminan, kedudukan yang didahulukan adalah sita pidana karena hukum pidana merupakan ranah hukum publik sehingga kedudukannya harus diprioritaskan demi tercapainya unsur penegakkan hukum yang adil. Konsekuensi hukum yang terjadi apabila sita pidana dikecualikan adalah pertama, aset tersebut dapat dikembalikan kepada Bank sehingga Bank dapat mengeksekusi jaminan dengan cara melakukan upaya keberatan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga Yang beritikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi Bank, kedua apabila upaya keberatan ditolak maka penyitaan atas aset yang sudah ditetapkan oleh pengadilan dapat dijalankan, dengan kata lain penyitaan secara pidana dapat dilakukan demi pemulihan kerugian Negara. ......This paper analyzes the position of the Bank in its capacity as the holder of Mortgage Rights that have been confiscated by the State as a result of corruption and the legal consequences if criminal confiscation is excluded in a Corruption Decision. This paper is prepared using the doctrinal research method, whose sources are derived from positive law. In granting credit, the Bank requires collateral, for example Mortgage Rights. The bank as a security holder has a position as a separatist creditor, which has the right to execute the security and no party may obstruct it. Practice, if there is a Corruption Verdict that states the confiscation of all assets belonging to the defendant, it causes legal uncertainty for the Bank as a good faith security holder. The existence of criminal confiscation above security confiscation, the position that takes precedence is criminal confiscation because criminal law is the realm of public law so that its position must be prioritized in order to achieve elements of fair law enforcement. The legal consequences that occur when criminal confiscation is excluded are first, the asset can be returned to the Bank so that the Bank can execute the guarantee by making an objection as stated in Supreme Court Regulation Number 2 of 2022 concerning Procedures for Settling Objections from Third Parties in Good Faith to Decisions on the Forfeiture of Goods Not Belonging to the Defendant in Corruption Cases which are expected to create legal certainty and legal protection for the Bank, second, if the objection is rejected then the confiscation of assets that have been determined by the court can be carried out, in other words, criminal confiscation shall be carried out for the recovery of State losses.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inaya Safa Nadira
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang kedudukan sita umum pailit terhadap sita pidana dan jalan keluar atas objek sita umum pailit yang telah dieksekusi lelang yang di kemudian hari diketahui sebagai hasil tindak pidana serta akibat hukum bagi pembeli dalam lelang harta pailit. Dalam praktiknya, terdapat tumpang tindih antara sita umum pailit dengan sita pidana. Apabila harta yang berada di dalam proses pailit dan dilakukan sita umum disita oleh penyidik, maka harta tersebut tidak dapat dilakukan pemberesan dan dibagikan kepada para krediturnya sehingga mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Namun, apabila tidak dilakukan penyitaan oleh penyidik, maka penyidik akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyidikan, penuntutan, dan pengajuan perkara ke pengadilan karena harta tersebut merupakan barang bukti. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan tipologi deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan sita pidana dalam rangka kepentingan publik harus didahulukan dan dalam hal objek sita umum pailit telah dilelang namun di kemudian hari diketahui sebagai hasil dari tindak pidana, maka pembeli lelang yang beriktikad baik harus dilindungi kedudukannya. ...... This thesis discusses the legal standing of general bankruptcy confiscation against criminal confiscation and the settlement of the object of general bankruptcy confiscation that has been auctioned which in the future time is known as the proceeds of crime and the legal effects for buyers in the auction of bankrupt treasures. In practice, there is an overlap between general bankruptcy confiscation against criminal confiscation. If the property in the process of bankruptcy and general bankruptcy confiscation is re confiscated by the criminal investigator, then the property can not be settled and distributed to the creditors. But if there is no criminal confiscation, the investigator will have difficulty in conducting an investigation, prosecution, and court proceedings as the property is evidence. This research is a qualitative research with descriptive typology. The result of this research is that the execution of criminal confiscation in the framework of the public interest must take precedence and if the object of general bankruptcy confiscation has been auctioned but later known as the proceeds of crime, then the buyer with good faith must be protected.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library