Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kazuko Budiman
Abstrak :
ABSTRAK Agama adalah gejala kebudayaan dalam kehidupan manusia dan menunjukkan arti kehidupan manusia yang pokok bahkan dapat menyelasaikan masalah manusia yang sulit (Kishimoto, 1972:17). Sedangkan menurut Suparlan agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang menata hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem nilai, karena pada dasarnya aturan-aturan bersumber pada etos dan pandangan hidup (Suparlan, 1981182:86). Ditambahkannya pula, para ahli agama (yaitu ulama, pendeta, pastor dsb.) mendalami agama yang dianutnya untuk mencapai suatu pengertian yang mendalam mengenai hakekat kebenaran Tuhan dan agama yang dianutnya. Pengetahuan agama tersebut dapat digunakan oleh para tokoh atau pemimpin agama untuk memperkuat keyakinan umatnya dalam mencari kebenaran yang mutlak melalui ajaran-ajaran agamanya. Studi mengenai agama seperti ini merupakan suatu upaya yang melihat agama dari perspektif penganutnya atau bersifat normatif. Di samping itu agama juga dapat dijadikan suatu sasaran studi dengan menggunakan perspektif yang Iain yaitu sebagai masalah kebudayaan atau masalah sosial. Dengan kata lain agama dilihat dari sudut kebudayaan atau sebagai pranata sosial atau juga sebagai seperangkat simbol-simbol (Suparlan, 1981182:76). Sehubungan dengan hal tersebut yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan. Geertz mengartikan kebudayaan sebagai ; It denotes an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbols, a system of inherited conceptions expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and attitudes toward life (Geertz,1973:89) Terjemahannya: Kebudayaan menunjuk pada pola-pola arti yang diwujudkan dalam simbol-simbol, sistem yaitu merupakan sistem konsep-kosep yang diungkapkan dan diteniskan dalam pola-pola simbolik dengan cara berkomunikasi, mengabadikan dan mengembangkan pengetahuan tentang sikap terhadap kehidupan. Geertz juga mengartikan. kebudayaan sebagai sistem pola-pola arti yang diungkapkan dalam simbol hingga dilestarikan dalam kehidupan manusia, dan perlu melihat hubungan yang sistematik dalam berbagai macam gejala kebudayaan (Geertz, 1973:44). Suparlan, simbol adalah garis penghubung antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar. dengan makna pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan (Geertz dalam Suparlan, 1981:61). Simbol-simbol itu pada hakekatnya ada dua, yaitu: (1) yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi; dan(2) yang berasal dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam hal itu simbol-simbol menjadi arahbagi perwujudan model dari dan model bagi sistem-sistem konsep dalam suatu cara yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk sistem sosial (Suparlan,1981:61). Adapun yang penting yang sering dilupakan, yaitu yang berkenaan dengan bagaimana ajaran agama itu telah terwujud sebagai kebudayaan dan karenanya seringkali berbeda dari ajaran aslinya yang ada dalam kitab-kitab sucinya, walaupun belum tentu bertentangan dengan itu, dan bagaimana ajaran-ajaran agama itu terwujud dalam tindakan dan kelakuan manusia dan dalam kehidupan sosial manusia sehingga ajaran-ajaran agama tersebut mempunyai pengertian dan masuk akal bagi pelakunya sendiri maupun bagi orang lain yang ada dalam kehidupan sosialnya (Suparlan, 1981182:86).
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mire Laksmiari Priyonggo
Abstrak :
Penulisan thesis ini berangkat dari asumsi bahwa kedua kepala negara Republik Indonesia, yaitu Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, yang berasal dari kelompok etnis Jawa, serta lahir dan dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan Jawa, sikap dan pola pikirnya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan tersebut, sehingga ketika mereka secara berturut-turut berhasil mencapai kedudukan sebagai pucuk pimpinan negara Republik Indonesia, segala kebijaksanaannya, baik di bidang sosial-politik, ekonomi maupun HANKAM, mengacu kepada kebudayaan Jawa. Soekarno yang gemar nonton pagelaran wayang, sikap politiknya sangat dipengaruhi oleh watak tokoh-tokoh wayang idolanya. Tokoh Bima yang non-kooperatif telah mewarnai langkah-langkah politiknya. Namun, dengan demikian Soekarno telah mengangkat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang perlu diperhitungkan dalam percaturan politik dunia. Dengan falsafah "alon-alon waton kelakon", Soeharto telah berhasil membimbing bangsa Indonesia dalam menyusun dan melaksanakan Repelita demi Repelita. Dimensi manapun dari kebudayaan Jawa yang telah mempengaruhi kebijaksanaan kedua kepala negara tersebut, keduanya ternyata telah berhasil menciptakan kondisi TANNAS yang tangguh.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus Jasmin
Abstrak :
Upacara Gawai pada awalnya adalah tradisi lokal Orang Dayak Mualang. Gawai dilakukan sebagai wujud syukur atas panen terhadap penguasa alam semesta yang disebut petara. Dalam upacara gawai terdapat unsur-unsur religius. Selama Gawai berlangsung, dilakukan pula pemujaan-pemujaan dengan memberikan sesaji kepada para dewa yang mereka anggap sebagai penguasa dunia. Dalam Gawai berbagai mantra dan doa serta berbagai aspek magis berasal dari kepercayaan asli orang Mualang. Kenyataan ini menegaskan bahwa gawai sebagai pesta yang mengungkapkan kebahagiaan manusia sekaligus ritual keagamaan orang Mualang. Dengan melakukan gawai orang Mualang mempraktekkan kepercayaan tradisional atau agama lokal. Sedangkan orang Mualang sudah memeluk agama Katolik. Namun pada perkembangannya kemudian, ketika sebagian besar Orang Dayak sudah memeluk agama Katolik, ternyata tradisi ini tetap bertahan. Orang Dayak yang telah menjadi Katolik, tetap melakukan Gawai. Gawai yang kini dilakukan adalah Gawai yang telah mengalami penyesuaian. Di dalam Gawai sekarang, terdapat unsur-unsur tradisi lokal dan juga tradisi agama yang bercampur. Penelitian ini membahas mengenai sinkretisme agama dan tradisi lokal, yaitu percampuran antara tradisi lokal dan tradisi agama di dalam gawai. Untuk memahami percampuran antara dua tradisi keyakinan saya juga meminjam istilah little tradition and great tradition (Redfield, 1971). Konsep ini menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal. Yang dimaksudkan sebagai great tradition adalah Katolik sementara little tradition adalah agama adat Mualang. Agama Katolik dikelompokkan sebagai great tradition karena merupakan sebuah tradisi yang bersifat universal, disebarluaskan ke seluruh dunia dan memiliki tradisi yang berlaku secara universal pula. Sementara little tradition di sini adalah tradisi dari agama adat Orang Mualang. Pertemuan antara budaya lokal (little tradition) dan budaya (agama) besar (great tradition) menghasilkan suatu kreasi baru yakni keyakinan baru. Keyakinan baru tersebut merupakan hasil perpaduan antara yang lokal dan universal. Dialog antara dua keyakinan yakni agama Katolik dan agama lokal (gawai) menghasil suatu kepercayaan yang baru. Namun demikian peroses dialog tersebut tidak menimbulkan suat konflik dan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Bagi agama Katolik maupun agama lokal tetap saling menghargai dan menghormati serta berjalan bersama-sama. Keterbukaan dan sikap toleransi dari pihak Katolik terhadap kepercayaan lokal membuat gawai bertahan sampai sekarang. Gawai has been considered as one of the greatest ceremonies in the life of Dayak Mualang. Gawai is celebrated as a sign of thanksgiving to their god, called Petara. The ceremony of Gawai contains religious elements. During gawai, people worship Petara by offering gifts, doing rites of mantra of the original belief of Dayak Mualang, and saying prayers. This fact confirms that the ceremony of gawai expresses of human happiness and religious rituals as well. By doing gawai, people of Dayak Mualang practice their traditional beliefs or local tradition, whereas the people of Dayak Mualang themselves are already being Catholic. However, on the subsequent development the ceremony of gawai still exists even though most of the people of Dayak Mualang has become Catholic. In other words, the people of Dayak Mualang have become Catholic and keep their tradition which is doing gawai. The ceremony of current gawai has undergone adjustment. The current gawai contains both elements of local tradition and the mixture of religious tradition (syncretism). This research investigates about syncretism and religious tradition of Dayak Mualang in gawai. To understand the mixture of two different beliefs, researcher borrows the terms of little tradition and great tradition proposed by Redfield (1971). These concepts indicate that there is a dialogue between the local religion and local culture. In this context, little tradition refers to the local religion of Dayak Mualang and Catholic religion is classified as great tradition. Encountering between the local culture (little tradition) and religion (great tradition) produces a new creation which is a new belief. The dialogue between Catholic religion and local religion (gawai) generates a new belief. However, the process of that dialogue does not cause conflicts nor blames each other. Either the Catholic religion or local culture respects each other. Openness and tolerance of the Catholic religion to the local beliefs make gawai still exists.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
D1181
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Masyarakat Bayan selalu percaya terhadap simbol-simbol tertentu dalam mempertahankan tradisinya. Kebiasaan tersebut membuat masyarakat Bayan lebih tenang, aman dan sejahtera. Kepercayaan yang dilakukan oleh masyarakatnya masih berdasarkan keyakinan tradisional dari leluhur disebut kepercayaan Wetu Telu.
2014
902 JPSNT 21:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library