Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fauzara Pawa Pambika
Abstrak :
Melalui Perppu 1/2020 (UU 2/2020) pemerintah mengatur regulasi pemajakan ekonomi digital. Regulasi tersebut berusaha mengatur pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) melalui pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Namun, masih belum terdapat kelanjutan penerapan kebijakan PPh PMSE dan PTE. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tantangan dan strategi Indonesia dalam menerapkan kebijakan PPh ekonomi digital. Selain itu, turut dikaji kebijakan PPh ekonomi digital yang telah diterapkan di Prancis, Vietnam, dan India. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui studi kepustakaan serta studi lapangan berupa wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tantangan penerapan PPh ekonomi digital karena hingga saat ini UU PPh yang berlaku (UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan) dan P3B mendefinisikan BUT hanya dengan kehadiran fisik, belum mencakup kehadiran ekonomi signifikan. Kemudian, terdapat pula berbagai permasalahan internasional seperti, isu alokasi permajakan, double taxation, double counting, serta tax certainty. Isu tersebut berakibat pada belum tercapainya finalisasi konsensus PPh ekonomi digital secara global, yakni Pilar 1 OECD. Kendati demikian, Indonesia terus melakukan upaya strategi seperti persiapan dasar hukum mengadopsi Pilar 1 OECD dalam Pasal 32A UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, dan terus proaktif dalam pembahasan konsensus global. Kemudian, berdasarkan studi yang telah dilakukan, ditemukan di Prancis terdapat kebijakan DST untuk memajaki ekonomi digital, sementara Vietnam menggunakan mekanisme FCT, serta India dengan Equalization Levy. Namun, ketiga negara tersebut belum sepenuhnya berhasil menerapkan kebijakan PPh ekonomi digital sebab adanya penolakan dan ancaman dagang dari Amerika Serikat, serta masih perlunya penyempurnaan atas kebijakan yang ada. ......Through Perppu 1/2020 (Law 2/2020), government regulates taxation of digital economy. The provision seeks to regulate taxation on trade through electronics system (PMSE) through the imposition of Value Added Tax (VAT), Income Tax (PPh), and Electronic Transaction Tax (PTE). However, there is still no continuation of implementation PPh PMSE and PTE. This thesis aims to analyze Indonesia's challenges and strategies in implementing income tax policies on digital economy. Also, examine tax regulations that have been implemented in France, Vietnam, and India. This research uses qualitative approach also qualitative data collection techniques with literature and field studies through in-depth interviews. The results show there are challenges in implementing digital economy income tax since the applicable Income Tax Law (Law on Harmonization of Tax Regulations) and P3B define BUT only by physical presence, not covering significant economic presence. Then, there are issues of tax allocation, double taxation, double counting, and tax certainty. This issue caused finalization problem of global digital economy income tax consensus, OECD Pillar 1. Nevertheless, Indonesia continues to carry out various strategies such as preparing legal basis for adopting OECD Pillar 1 (Article 32A Income Tax Law) and continues to be proactive in discussing global consensus. In France, there is DST policy to tax digital economy, while Vietnam uses the FCT and India has an Equalization Levy. However, those three countries have not fully succeeded in implementing income tax policies on digital economy due to trade rejection and threats from United States, and the need to improve existing policies.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Meliana
Abstrak :
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis perubahan regulasi terkait penentuan kriteria Significant Economic Presence dalam pemajakan atas transaksi elektronik di Indonesia dan faktor-faktor yang dapat mendukung penerapan Significant Economic Presence di Indonesia. Analisis perubahan regulasi terkait penentuaan kriteria significant economic presence didasarkan pada kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2020 dan PMK 48/PMK.03/2020 serta kesesuaiannya dengan peraturan perpajakan internasional yang berlaku. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada narasumber yang relevan dengan permasalahan yang diangkat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan regulasi terkait penentuan kriteria significant economic presence dalam pemajakan atas pajak transaksi elektronik adalah untuk saling melengkapi dan tidak mengubah substansi yang sudah ditetapkan. Kriteria significant economic presence pada PP Nomor 80 Tahun 2019 ditujukan untuk penetapan atas PPMSE sedangkan pada UU Nomor 2 Tahun 2020 untuk pengenaan pajak atas PMSE. Kemudian pada PMK 48/PMK.03/2020 lebih dipersempit lagi lingkupnya dalam pengenaan pajak atas transaksi elektornik dengan menjabarkan nominalnya. Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai faktor pendukung dalam penerapan significant economic presence yaitu, hubungan perdagangan Indonesia dengan negara lain, sinergi antara lembaga pemerintah dan pemenuhan indikator- indikator dalam significant economic presence itu sendiri. ......This thesis aims to analyze changes in regulations related to determining the criteria for Significant Economic Presence in taxation of digital transaction in Indonesia and the factors that can support the application of Significant Economic Presence in Indonesia. Analysis of the regulatory changes related to the determination of significant economic presence criteria is based on the policies of Peraturan Pemerintah Number 80 Year 2019, Undang Undang Number 2 Year 2020, PMK 48 / PMK.03 / 2020 and their compatibility with applicable international tax regulations. This research uses a qualitative approach. The data collection technique was carried out by in-depth interviews with relevant sources with the issues raised. The results of this study indicate that regulatory changes related to determining the criteria for significant economic presence in taxation of digital transaction are to complement each other and not to change the substance that has been determined. The significant economic presence criteria in PP Number 80 of 2019 are aimed at determining PPMSE while in UU Number 2 of 2020 for the imposition of taxes on PMSE. Then in PMK 48 / PMK.03 / 2020 the scope is further narrowed in the imposition of taxes on digital service transactions by describing the nominal. The government needs to consider various supporting factors in the application of a significant economic presence, such as, Indonesia's trade relations with other countries, synergy between government institutions and the fulfillment of indicators in a significant economic presence itself.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zalfa Ghea Tamima
Abstrak :
Perkembangan teknologi memungkinkan perusahaan asing untuk beroperasi secara digital di negara lain dan memperoleh keuntungan usaha dari masyarakat negara lain tanpa perlu hadir secara fisik di sana. Salah satu sektor yang terdampak dari digitalisasi ini adalah sektor hiburan melalui tersedianya berbagai layanan konten dan/atau aplikasi melalui internet (layanan over the top atau “OTT”) yang membuat konten daring dapat diakses secara global tanpa penyedia layanannya perlu mendirikan tempat usaha di negara tersebut. Namun, pengaturan terkait layanan OTT di Indonesia cenderung masih berlandaskan kehadiran fisik untuk bisa membebankan kewajiban dan pertanggungjawaban kepada perusahaan asing secara hukum. Penelitian ini akan menggali bagaimana hukum Indonesia mengatur penyedia layanan OTT asing seperti Prime Video, WeTV, dan iQiyi yang beroperasi tanpa mendirikan bentuk usaha tetap dan bagaimana langkah yang dapat dilakukan negara untuk memperjelas kedudukan penyedia layanan OTT asing yang tidak hadir secara fisik di Indonesia. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dengan metode yuridis normatif, deskriptif kualitatif, dan deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum sebagai anggota World Trade Organization, Indonesia berkomitmen melakukan liberalisasi sektor layanan digital bagi pihak asing. Secara khusus, hukum Indonesia baru mengatur dalam aspek perpajakan dan pendaftaran sebagai perusahaan digital. Jika memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, penyedia layanan OTT dipersamakan dengan bentuk usaha tetap sehingga dapat dikenakan pajak penghasilan. Adapun langkah yang dapat dilakukan negara adalah merevisi aturan seputar bentuk usaha tetap dan menentukan kriteria konkret dari “kehadiran ekonomi signifikan” yang dapat mengacu pada panduan yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development dan G20 serta melakukan kerja sama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perdagangan dalam mengusahakan pembebanan kewajiban kepada penyedia layanan OTT asing melalui optimalisasi pangkal data ketiga lembaga. ......Technological developments allow foreign companies to operate digitally in other countries and gain business benefits from the people of other countries without the need to be physically present there. One of the sectors affected by this digitalization is the entertainment through the availability of various content and/or application services via the internet (over the top or “OTT” services) that makes online content globally accessible without the need for its service provider to establish a place of business in said country. However, regulations related to OTT services in Indonesia still tends to rely upon physical presence for foreign companies to bear obligations and be accountable by law. This research will explore how Indonesian law regulates foreign OTT service providers such as Prime Video, WeTV, and iQiyi that operate without a permanent establishment and what the state can do to clarify the position of foreign OTT service providers who are not physically present in Indonesia. Data collection in this study was carried out through literature study using juridical-normative, descriptive-qualitative and descriptive-analytical research methods. The research concludes that in general, as a member of the World Trade Organization, Indonesia is committed to liberalizing the digital service sector for foreign parties. Specifically, regulations surrounding OTT service providers under Indonesian law have only covered aspects of taxation and registration as a digital company. If they meet the criteria of “significant economic presence”, foreign OTT service providers can be treated as a permanent establishment, hence are subject to income tax. To clarity their position, the state may have to revise the regulation regarding permanent establishment and determine concrete criteria for the concept of “significant economic presence” which can refer to the guidelines issued by the Organisation for Economic Co-operation and Development and G20. Moreover, the state, through the Ministry of Communication and Informatics, the Ministry of Finance, and the Ministry of Trade can also work together optimizing their databases in an effort to impose obligations on the foreign OTT service providers.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library