Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Naya Rizka Hafiza Rijal
Abstrak :
Fenomena shoushika atau menurunnya tingkat kelahiran merupakan salah satu isu yang krusial di Jepang. Rendahnya angka kelahiran, diikuti oleh meningkatnya angka harapan hidup, berdampak secara signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan di negara tersebut. Sebagai konsekuensi dari berkurangnya populasi penduduk di usia produktif dan menyusutnya jumlah penduduk secara keseluruhan, fenomena ini telah berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas negara sehingga memengaruhi pertumbuhan ekonomi Jepang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe melalui paket kebijakan Abenomics-nya mengeluarkan serangkaian kebijakan keluarga untuk mendorong angka kelahiran yang berfokus pada peningkatan fasilitas penitipan anak, cuti orang tua, dan pengurangan jam kerja. Meskipun demikian, kebijakan-kebijakan tersebut nyatanya tidak dapat memberikan hasil yang efektif. Sebaliknya, angka kelahiran cenderung menurun pada masa periode jabatan Abe. Melalui tulisan ini, penulis hendak mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tidak efektifnya implementasi kebijakan keluarga dalam menangani fenomena shoushika di Jepang. Berdasarkan hasil temuan, dapat diketahui bahwa hambatan budaya, konservatisme politik, dan silver democracy di Jepang telah memengaruhi tidak efektifnya kebijakan keluarga yang diluncurkan pemerintah Abe dalam menangani fenomena shoushika. ......The shoushika phenomenon or declining birth rates is a crucial issue in Japan. The low birth rate, coupled with rising life expectancy, has significantly impacted various aspects of life in the country. As a consequence of the dwindling working-age population and the shrinking population as a whole, this phenomenon has contributed to a decline in the country's productivity, affecting Japan's economic growth. To address this issue, Prime Minister Shinzo Abe’s government through its Abenomics policy package issued a set of family policies to boost birth rates that focused on increasing childcare facilities, parental leave, and reducing working hours. However, these policies did not produce effective results. On the contrary, the birth rate tended to decline during Abe's term. Through this paper, the author aims to identify the factors that influence the ineffective implementation of family policies in dealing with the shoushika phenomenon in Japan. Based on the findings, it can be seen that cultural barriers, political conservatism, and silver democracy in Japan have influenced the ineffectiveness of the family policies launched by Abe’s government in dealing with the shoushika phenomenon.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildan Ahmad Adani
Abstrak :
Shinzō Abe adalah Perdana Menteri Jepang yang ke-57 yang diangkat pada Desember 2012. Sebagai Perdana Menteri, Shinzō Abe berencana untuk merevisi Konstitusi 1947. Rencana revisi tersebut merupakan upaya untuk sesuatu yang lebih besar, yaitu untuk menjalankan hak pertahanan kolektif. Shinzō Abe ingin Jepang agar lebih proaktif dalam menjaga perdamaian dunia, dan menjalankan hak pertahanan kolektif dapat mewujudkannya. Namun, konstitusi menghalanginya untuk menjalankan hak tersebut. Di sisi lain, konflik Kepulauan Senkaku yang sedang Jepang hadapi dengan Cina dan Taiwan sedang berada di titik tertingginya. Ketiga pihak yang terlibat dalam konflik terus melakukan tindakan untuk menegaskan klaimnya. Shinzō Abe sedang berusaha untuk merevisi Konstitusi 1947 dengan memanfaatkan ketegangan konflik Kepulauan Senkaku sebagai justifikasi tindakannya. Ketegangan konflik tersebut merupakan bukti dari situasi regional yang buruk bagi Jepang, sehingga dapat dijadikan alasan untuk merevisi konstitusi, dan akhirnya menjalankan hak pertahanan kolektif. ......Shinzō Abe is Japanese 57th Prime Minister who was appointed in December 2012. As Prime Minister, he is planning to revise the 1947 Constitution. His revision plan is an attempt to do something even greater, which is to exercise the right of collective defense. Shinzō Abe wants Japan to be more proactive in keeping peace in the world, and exercising the right of collective defense can realize his vision. However, the constitution stands in the way of it. On the other hand, the Senkaku Islands territorial dispute between Japan, China, and Taiwan is on its highest point. Those three countries are consistently asserting their claims about the island’s ownership. Shinzō Abe is using the tension on the dispute to justify his plan to revise the 1947 Constitution. The tension on the dispute is proof that regional situation is not good for Japan, so it can be used to justify the constitution revision, and eventually exercise the right of collective defense.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Calista
Abstrak :
Jepang sejak pasca Perang Dunia dikenal sebagai negara pasifis. Hal ini terkait Pasal 9 Konstitusi Jepang yang menjadi dasar identitas Jepang. Kebijakan luar negeri Jepang tampak berfokus pada instrumen dan kebijakan ekonomi dalam mencapai kepentingan nasional. Semenjak Shinzo Abe menjabat sebagai Perdana Menteri di tahun 2012, literatur dan media menyoroti perubahan dalam kebijakan luar negeri Jepang yang diawali oleh pengajuan revisi Abe terhadap Pasal 9 sebagai tonggak identitas Jepang. Selain itu, kepemimpinannya turut disoroti sebagai Perdana Menteri dengan masa jabat terlama di Jepang. Untuk menelaah dinamika kebijakan luar negeri Jepang di era kedua Abe, tulisan ini memetakan 44 literatur dalam bentuk artikel jurnal dengan metode taksonomi yang dikategorisasikan ke lima tema utama, yaitu (1) elemen domestik dalam kebijakan luar negeri, (2) hubungan luar negeri Jepang, (3) isu keamanan dalam kebijakan luar negeri Jepang, (4) isu ekonomi dalam kebijakan luar negeri Jepang, dan (5) isu sosial budaya dalam kebijakan luar negeri Jepang. Dari tinjauan kelima tema utama ini, penulis memetakan konsensus, perdebatan, refleksi, dan sintesis untuk menelaah dan memaknai temuan dari persebaran literatur. Literatur-literatur utamanya memperlihatkan kontra terhadap pandangan negatif media massa dan literatur lainnya terhadap Jepang di era kepemimpinan Shinzo Abe. Penulis menemukan bahwa dinamika perubahan yang terjadi dalam kebijakan luar negeri Jepang di era Abe pada periode 2012-2020 dapat dijelaskan oleh faktor geopolitik dan signifikansi Abe sebagai pemimpin negara yang terletak pada peran pengatur proses pembentukan kebijakan luar negeri dalam politik domestik Jepang. Dari temuan tersebut, tulisan ini merekomendasikan beberapa analisis lanjutan dan pentingnya untuk tidak terfokus hanya pada unit analisis struktur ataupun individu, tetapi faktor domestik menjadi signifikan pula untuk dieksplorasi dalam analisis kebijakan luar negeri. ......Japan has been known as a pacifist country since the post-World War II period, largely due to Article 9 of the Japanese Constitution, which serves as the foundation of Japan's identity. Japan's foreign policy appears to prioritize economic instruments and policies to pursue national interests. Since Shinzo Abe assumed the position of Prime Minister in 2012, literature and media have highlighted changes in Japan's foreign policy, initiated by Abe's proposal to revise Article 9 as a cornerstone of Japan's identity. Additionally, his leadership has been noted for being the longest-serving Prime Minister in Japan. To examine the dynamics of Japan's foreign policy in Abe's second era, this paper maps 44 literature pieces in the form of journal articles, using a taxonomy method categorized into five main themes: (1) domestic elements in foreign policy, (2) Japan's foreign relations, (3) security issues in Japan's foreign policy, (4) economic issues in Japan's foreign policy, and (5) socio-cultural issues in Japan's foreign policy. From the review of these five main themes, the author identifies consensus, debates, reflections, and syntheses to analyze and interpret the findings from the distribution of literature. The main literature shows contrasting views against the negative perceptions of mass media and other literature towards Japan during Shinzo Abe's leadership. The author finds that the dynamics of change in Japan's foreign policy during Abe's era from 2012 to 2020 can be explained by geopolitical factors and Abe's significance as a leader shaping foreign policy processes in Japan's domestic politics. Based on these findings, this paper recommends several further analyses and emphasizes the importance of not solely focusing on structural or individual units of analysis, but also exploring domestic factors in foreign policy analysis.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library