Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ririen Aryani
Abstrak :
ABSTRAK
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan bank syariah di Indonesia, potensi yang muncul untuk terjadinya sengketa dalam perbankan syariah juga semakin tinggi, sehingga menjadi penting bagi perbankan syariah maupun masyarakat pengguna jasa perbankan syariah untuk memahami secara benar bagaimana pengaturan kewenangan lembaga penyelesaian sengketa pada perbankan syariah. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1989, Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan mempunyai kewenangan absolut sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah. Namun 2 (dua) tahun setelah diundangkannya UU Peradilan Agama tersebut, muncullah Undang-Undang (UU) Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 memberikan choice of law, bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat juga dilakukan melalui Peradilan Umum, apabila para pihak menghendaki dalam akad. Dengan adanya ketidakpastian hukum tersebut, keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 93/PUU-X/2012 yang menghapus Penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 tersebut. Berdasarkan hal tersebut terdapat beberapa permasalahan hukum yaitu bagaimana pengaturan kewenangan lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia diatur dan bagaimanakah implementasi dari putusan MK No. 93/PUUX/ 2012 serta tantangan dan potensinya. Permasalahan-permasalahan tersebut diteliti dengan menggunakan metode penelitian sosio legal, yang merupakan penelitian hukum yang menggunakan pendekatan metodologi ilmu sosial dalam arti yang luas. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama, putusan MK No. 93/PUU-X/2012 telah mengembalikan Kompetensi Absolut sebagai lembaga penyelesaian sengketa Perbankan syariah beserta derivasinya. Kedua, implementasi putusan MK No. 93/PUUX/ 2012 belum sempurna, terlihat dari masih adanya perkara eksekusi jaminan Hak tanggungan dan hipotek yang diselesaikan di Pengadilan Negeri. Ketiga, masih adanya tantangan dalam penerapan putusan MK No. 93/PUU-X/2012 tersebut, yang terlihat dari masih adanya ketidakpahaman masyarakat akan kompetensi absolut peradilan agama sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia.
ABSTRACT
Along with the rapid growth of Islamic banks in Indonesia, the potential that arises for disputes in Islamic banks are also getting higher, so that it becomes important for Islamic banking and the community users of Islamic banking services to understand correctly how the rules of the institution competence for dispute settlement in Islamic banking. Based on Law No. 3 of 2006 on amendments to Law No 7 of 1989, Religious Courts as judicial institutions have absolute competence as a dispute settlement institution on Islamic banks. However, 2 (two) years after the promulgation of the Law on Religious Court, legalized of Law on Sharia Banking No. 21 of 2008, for giving the choice of law, that Islamic banking dispute resolution can be solved through the General Courts if the parties want in the contract. With the legal uncertainty, the Constitutional Court Decree issued No. 93/PUU-X/2012 which removes the explanation of article 55 paragraph (2) Sharia Banking Law No. 21 of 2008. Based on these, there are legal issues, that are how the regulation of authority for sharia banking dispute settlement institutions in Indonesia and how the implementation of the Constitutional Court decree No. 93 / PUU-X / 2012 and its challenges and potential. These problems are examined using the socio-legal research method, which is legal research that uses a methodology approach of social science in a broad sense. From the research, it can be concluded that first, the Constitutional Court decree No. 93 / PUU-X / 2012 has returned Absolute Competence as an Islamic Banking dispute settlement institution and its derivatives. Second, the implementation of the Constitutional Court Decree No. 93/PUU-X/2012 has not been perfect, it can be seen from the cases of execution of guarantees Mortgage and mortgage rights that are settled in the District Court. Third, there are still challenges in the implementation of the Constitutional Court Decree No. 93/PUU-X/2012, which can be seen from the incomprehension of the community about the absolute competence of the religious court as an institution for dispute settlement on Islamic banking in Indonesia.
2019
T52958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Azzahra Hanifah
Abstrak :
Penyelesaian sengketa perbankan syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sempat menimbulkan dualisme antara kewenangan Pengadilan Niaga dan Pengadilan Agama, khususnya dalam perkara kepailitan yang melibatkan perbankan syariah. Undang-undang tersebut membolehkan bank syariah untuk memilih Pengadilan Niaga sebagai forum penyelesaian sengketanya. Padahal sengketa perbankan syariah yang timbul berdasarkan suatu akad syariah tentulah harus diselesaikan dengan ketentuan syariah pula demi melindungi tujuan hukum Islam maupun hak-hak umat Islam. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 kemudian menegaskan bahwa kewenangan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama, sekaligus mencabut kewenangan Pengadilan Niaga untuk menangani sengketa perbankan syariah karena mengandung ketidaksesuaian antara perjanjian yang mendasari sengketa dengan mekanisme penyelesaian sengketanya. Penelitian yang dilakukan dengan metode yuridis-normatif ini berfokus untuk menganalisis kesesuaian antara akad dan penyelesaian sengketa dalam Putusan Nomor 10/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. Putusan tersebut menunjukkan bahwa terdapat prinsip dasar hukum Islam dan perbankan syariah yang terpaksa disimpangi karena penggunaan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu hubungan antara bank syariah dan nasabah yang menurut hukum Islam merupakan hubungan kemitraan menjadi hubungan kreditor-debitor. Hal ini berimplikasi pada perubahan kedudukan para pihak dan juga paradigma dalam memandang perikatan berdasarkan akad syariah yang dalam kasus ini merupakan Akad Pembiayaan Murabahah. Oleh karena itu, sengketa pembiayaan syariah haruslah diselesaikan di Pengadilan Agama apabila para pihak memang hendak menempuh jalur litigasi.
Sharia banking dispute resolution stipulated in Law Number 21 of 2008 concerning Sharia Banking has created a dualism between the authority of the Commercial Court and the Religious Court, especially in bankruptcy cases involving Islamic banks. The law allows Islamic banks to choose the Commercial Court as a forum for resolving their disputes. Whereas sharia banking disputes that arise based on a sharia contract must be settled with sharia provisions as well to protect the objectives of Islamic law and the rights of Muslims. The decision of the Constitutional Court Number 93/PUU-X/2012 then confirmed that resolving sharia banking disputes was the authority of the Religious Court. The decision revoked the authority of the Commercial Court to handle sharia banking disputes because it contained a discrepancy between the agreements underlying the dispute and the dispute settlement mechanism. This juridical-normative research focuses on analyzing the suitability between the contract and settlement of disputes in Decision Number 10/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. The verdict shows that there are basic principles of Islamic law and Islamic banking which are forced to be deviated because of the use of Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy, namely the relationship between Islamic banks and customers which according to Islamic law is a partnership relationship into a creditor-debtor relationship. This has implications for changes in the position of the parties and also the paradigm of looking at the engagement based on the sharia contract which in this case is the Murabahah Financing Agreement. Therefore, sharia financing disputes must be resolved in the Religious Courts if the parties really want to take the litigation path.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library