Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizsa Fauziah Ichwani
Abstrak :
Kasus pneumonia sampai saat ini masih menempati posisi pertama sebagai penyakit menular yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada balita di Indonesia. Kota Semarang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir belum menunjukkan adanya penurunan tren kasus pneumonia balita berdasarkan Profil Kesehatan Kota Semarang. Faktor iklim menjadi salah satu faktor risiko yang dapat mempengaruhi kerentanan pada host dan menghadirkan kondisi lingkungan yang mendukung patogen pneumonia untuk bertahan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara paparan variabilitas iklim (lama penyinaran matahari, suhu udara rata-rata, kelembaban relatif, curah hujan dan kecepatan angin maksimum) terhadap kejadian pneumonia balita di Kota Semarang pada tahun 2012 – 2021. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi deret waktu. Metode analisis meliputi univariat, bivariat dan multivariat. Penelitian ini menggunakan data sekunder kasus pneumonia balita dan data iklim Kota Semarang tahun 2012-2021. Pada hasil univariat mendapati bahwa rata-rata kasus tertinggi terjadi pada bulan Maret. Analisis pada data iklim memperoleh hasil rata-rata lama penyinaran matahari tertinggi terjadi pada bulan Agustus. Suhu udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober. Kelembaban relatif tertinggi terjadi pada bulan Januari-Februari. Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari-Februari. Rata-rata kecepatan angin maksimum tertinggi terjadi pada bulan Januari. Uji korelasi spearman menunjukkan hubungan yang signifikan (p < 0,05) pada lag 0 kelembaban relatif (r = 0,212) dan curah hujan (r = 0,198); lag 1 lama penyinaran matahari (r = - 0,206), suhu udara rata-rata (r = - 0,382), kelembaban relatif (r = 0,336), curah hujan (r = 0,283); lag 2 lama penyinaran matahari (r = - 0,270), suhu udara rata-rata (r = - 0,332), kelembaban relatif (r = 0,282), curah hujan (r = 0,185); lag 3 lama penyinaran matahari (r = - 0,240), curah hujan (r = 0,195). Uji multivariat GAMs poisson memperoleh hasil bahwa lama penyinaran matahari (lag 0, 1 dan 3), suhu udara rata-rata (lag 1 dan 3), kelembaban relatif (lag 3), curah hujan (lag 1) dan kecepatan angin maksimum (lag 2) berpengaruh terhadap pneumonia balita di Kota Semarang (R2 = 0,558; RMSE = 6,94). Berdasarkan hasil tersebut penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap variabilitas iklim dan pada Dinas Kesehatan diharapkan dapat mempertimbangkan pola variabilitas iklim pada bulan-bulan yang menunjukkan adanya potensi peningkatan kasus pada perencanaan penanggulangan dan kegiatan surveilans pneumonia balita di Kota Semarang. ......Until now, pneumonia cases still occupy the first position as an infectious disease that causes morbidity and mortality in children under five in Indonesia. The city of Semarang in the last 10 years has not shown a decrease in the trend of pneumonia cases under five based on the Semarang City Health Profile. Climatic factors are one of the risk factors that can affect the susceptibility of the host and present environmental conditions that support pneumonia pathogens to survive. This study aims to determine the correlation between exposure to climate variability (length of sunshine, average air temperature, relative humidity, rainfall and maximum wind speed) on the incidence of pneumonia under five in Semarang City in 2012 – 2021. This study used an ecological study design. time series. Methods of analysis include univariate, bivariate and multivariate. This study uses secondary data on cases of pneumonia under five and the climate data of Semarang City in 2012-2021. The univariate results found that the highest average case occurred in March. Analysis of climate data obtained the result that the highest average length of sunshine occurred in August. The highest average air temperature occurs in October. The highest relative humidity occurs in January-February. The highest average rainfall occurs in January-February. The highest average maximum wind speed occurs in January. Spearman correlation test showed a significant relationship (p < 0,05) at lag 0 relative humidity (r = 0.212) and rainfall (r = 0.198); lag 1 duration of sunshine (r = - 0.206), average air temperature (r = - 0.382), relative humidity (r = 0.336), rainfall (r = 0.283); lag 2 duration of sunshine (r = - 0.270), average air temperature (r = - 0.332), relative humidity (r = 0.282), rainfall (r = 0.185); lag 3 duration of sunshine (r = - 0.240), rainfall (r = 0.195). The multivariate test of GAMs Poisson obtained the results that the duration of sunlight (lags 0, 1 and 3), average air temperature (lags 1 and 3), relative humidity (lag 3), rainfall (lag 1) and maximum wind speed (lag 2) has an effect on pneumonia under five in the city of Semarang (R2 = 0.558; RMSE = 6.94). Based on these results, it is important for the community to increase awareness of climate variability and the Health Office is expected to consider the pattern of climate variability in the months that indicate a potential increase in cases in prevention planning and surveillance activities for pneumonia under five in Semarang City.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Sanca Lovandhika
Abstrak :
Penelitian ini mengkaji sebaran keteraturan permukiman di Kota Semarang Tahun 2012 yang dikaitkan dengan daya dukung wilayah untuk permukiman. Data sebaran permukiman diekstraksi dari citra satelit. Data daya dukung wilayah untuk permukiman didapatkan dengan menggunakan formula Muta?ali (2012). Analisis overlay dilakukan untuk melihat sebaran permukiman menurut kemiringan lereng dan jaringan jalan untuk mengkaji kesesuaian teori Kuffer et al. (2008), yang selanjutnya dikaitkan dengan daya dukung wilayah untuk permukiman. Permukiman Kota Semarang tersebar merata dari daerah pantai hingga perbukitan, dari kemiringan lereng landai hingga curam, dengan pola persebaran permukiman pada kawasan perkotaan Random dan pada kawasan non perkotaan Mengelompok. Jenis permukiman yang mendominasi adalah permukiman tidak teratur. Sebaran permukiman dipengaruhi oleh kemiringan lereng dan jaringan jalan. Semakin besar kemiringan lereng suatu wilayah semakin kecil luasan permukiman yang ditemukan. Semakin panjang kelas jalan lokal pada suatu wilayah semakin besar luasan permukiman yang ditemukan. Permukiman tidak teratur cenderung lebih mendominasi pada wilayah dengan daya dukung wilayah untuk permukiman tinggi, sedangkan pada wilayah dengan daya dukung untuk permukiman rendah proporsi permukiman teratur dan tidak teratur cenderung tidak jauh berbeda. Semakin tinggi daya dukung wilayah untuk permukiman pada suatu wilayah, semakin kecil persentase luasan permukiman pada kemiringan lereng curam yang didapati pada wilayah tersebut. ......This study discusses the orderliness of Semarang City settlements in 2012 and the relation with region rsquo s carrying capacity for settlements Settlements distribution data were extracted from satellite imagery Semarang City region rsquo s carrying capacity data were obtained using Muta rsquo ali rsquo s formula 2012 Overlay analysis is done to examine the settlements distribution according to slope elevation and road network it rsquo s compliance with Kuffer et al 2008 theory and it rsquo s relation to the region carrying capacity for settlements Settlements in Semarang City spread from coast to hills from gentle slope to very steep with random distribution in city zone and clustered distribution in non city zone Irregular type of settlements are dominant in Semarang City The distribution of settlements were influenced by slope This study discusses the orderliness of Semarang City settlements in 2012 and the relation with region?s carrying capacity for settlements. Settlements distribution data were extracted from satellite imagery. Semarang City region?s carrying capacity data were obtained using Muta?ali?s formula (2012). Overlay analysis is done to examine the settlements distribution according to slope elevation and road network, it's compliance with Kuffer et al. (2008) theory and it?s relation to the region carrying capacity for settlements. Settlements in Semarang City spread from coast to hills, from gentle slope to very steep, with random distribution in city zone and clustered distribution in non city zone. Irregular type of settlements are dominant in Semarang City. The distribution of settlements were influenced by slope elevation and road network. Bigger slope elevation in a region, fewer settlements were founded in that region. Longer local type road in a region, more settlements were found in that region. Irregular settlements disposed to be dominant in region with high region?s carrying capacity, in region with low region?s carrying capacity regular and irregular settlements almost had the same proportion. Higher region?s carrying capacity for settlements, fewer settlements which was founded in very steep slope.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unversitas Indonesia, 2014
S53200
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
B. Andang Prasetya A.
Abstrak :
Tesis ini adalah hasil dari penelitian yang dilakukan selama lebih kurang satu tahun. Titik berat penelitian ada pada perubahan fisik tata ruang dan tanggapan-tanggapan terhadap perubahan itu dalam konteks sejarah dan sosial politik yang sangat dinamis, dengan harapan dapat mengungkap wujud fisik perubahan tata ruang tersebut dari masa ke masa, faktor-faktor perubahan dan peran masing-masing golongan serta bagaimana perubahan terjadi dalam beragam tanggapan itu. Fokus penelitian ada pada perubahan wujud fisik suatu tata ruang dalam kaitannya dengan tanggapan masyarakat terhadap perubahan tersebut; membawa penelitian ke arah produksi dan konstruksi suatu tata ruang secara sosial. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menempuh jalur sebagaimana yang dilakukan Setha Low (1999) yaitu dengan melakukan pelacakan sejarah tata ruang dan memperhatikan dialektika antara konsep tata ruang (representation of space) yang mengejawantah dalam wujud fisik tata ruang dan wujud fsik yang digunakan atau dihidupi (representational space) oleh golongan-golongan dalam masyarakat, dalam konteks praktek-praktek keruangan. Metode yang digunakan dalam kerangka teori ini adalah metode kualitatif yang lebih menekankan pada pengamatan gejala-gejala sosial, praktekpraktek keruangan, dan wawancara mendalam terhadap informan. Dari penelitian yang dilakukan ini terungkap bahwa terdapat berbagai tanggapan dalam masyarakat berkaitan dengan kepentingan masing-masing golongan. Fator-faktor perubahan yang paling utama adalah dinamika kehidupan sosial politik yang melingkupi masyarakat, kecenderungan pertumbuhan ekonomi, dan peran pelaku-pelaku dalam masing-masing golongan. Dalam praktek keruangan dengan beragam tanggapan diungkapkan bagaimana perubahan itu dapat terjadi. Di satu sisi terdapat kekuasaan yang menentukan dominasi dan digunakannya suatu konsepsi mengenai ruang, di sisi lain terdapat konsepsi yang berkembang sebagai hasil dari penggunaan suatu ruang. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain, hanya mekanisme kontestasi keduanya sepenuhnya dipengaruhi konteks sosial-politik yang sedang berlangsung. Selain itu karakter tata ruang yang liat, dapat diubah dan berubah sewaktu-waktu bersama dengan citra yang diemban kawasan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoharman Syamsu
Abstrak :
Dalam menyongsong era globalisasi yang semakin luas dan bertanggung jawab pada Pemerintah-pemerintah Daerah di Indonesia, tekad ini telah dipancangkan melalui Undang-undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999. Artinya baik pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan, pemantauan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan mesti dinilai berdasarkan prinsip-prinsip efektivitas, akuntabilitas, dan objektivitas. Pada sisi penerimaan, utamanya untuk Penerimaan Asli Daerah, ditahap perencanaan, "Target" setiap jenis penerimaan, baik berasal dari pungutan pajak ataupun retribusi lainnya harus ditentukan berdasarkan kapasitas untuk memungutnya. Kemudian pada tahap evaluasi dan pertanggungjawaban, besarnya tingkat upaya (effort) dalam mengumpulkan penerimaan tersebut mesti menjadi titik perhatian utama. Tingkat upaya pengumpulan yang tinggi ataupun rendah, selanjutnya dapat dijadikan titik tolak untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk: (i) Mempertahankan tingkat upaya yang relatif tinggi, jika ini telah dicapai; (ii) Meningkatkan tingkat upaya tersebut, jika ternyata masih rendah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Daerah (Kabupaten/Kota) memiliki hak otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diharapkan dapat mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri sejalan dengan prefrensi masyarakat daerahnya. Oleh sebab itu maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harts dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya, dengan cara menggali secara maksimal potensi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berada dalam kewenangannya. Sesuai dengan UU Nomor 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa Keuangan Pemerintah Daerah bersumber dari PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan yang sah Sedangkan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari: (i) Hasil Pajak Daerah; (ii) Hasil Retribusi Daerah; (iii) Hasil Laba Badan Usaha Milik Daerah; (iv) Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya pasal 2 ayat 2, disebutkan bahwa Pemerintah Daeah Kabupaten/Kota dapat memungut 6 jenis pajak, salah satunya adalah Pajak Reklame. Melihat ke belakang, penerima dari Pajak Reklame ini, terutama untuk daerah-daerah perkotaan, cukup signifikan, namun di pihak lain penentuan besarnya target dari pajak ini sering kali belum realistik. Target Penerimaan yang semestinya ditetapkan berdasarkan potensi dan/atau kapasitas umumnya ditentukan agak arbitrer (tidak realistis), pada hal mestinya target penerimaan dari pajak tersebut adalah sama dengan kapasitas dari pajak itu sendiri. Berangkat dan hal tersebut di atas, penelitian ini bermaksud membahas masalah penetapan target tersebut melalui pelacakan terhadap kapasitas pajak sehingga Pemerintah Daerah memiliki pedoman yang objektif dalam penentuan target, dan jika telah dilakukan demikian, setiap penyimpangan realiasai terhadap taget dapat dicarikan kebijakan untuk perbaikannya. Daerah yang diplih menjadi daerah penelitian adalah Kota Semarang dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menghitung Potensi Penerimaan, Kapasistas Pengumpulan, dan Upaya Pengumpulan Penerimaan Pajak Reklame. 2. Memaparkan Sistem dan Prosedur Administrasi pemungutan Pajak Reklame di Daerah Kota Semarang, baik pada periode Pra maupun Pasca Peraturan Daerah Nomor 1/1998. 3. Menyajikan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan upaya pengumpulan pajak Reklame di kota Semarang. Ruang lingkup penelitian adalah selama tahun 1997/1998. Pungutan Pajak Reklame di Pemerintah Kota Semarang menjadi objek penelitian. Ini tidak lain karena dan pengamatan sementara yang dilakukan, Pemerintah Kota Semarang merupakan pionir yang menggunakan cara pengenaan pajak reklame dengan Ad-valoren Tax System. Cara mana selanjutnya oleh Pemerintah Indonesia dianggap sebagai suatu hal positif, dan oleh karenanya diinklusifkan dalam Undang-Undang Nomor 18/1998. Dan penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa; Pajak Reklame merupakan salah satu sumber keuangan Pemerintah Daerah yang cukup besar peranannya bagi pelaksanaan administrasi pemerintahan dan administrasi pembangunan bagi Pemerintah Kota Semarang. Cukup besarnya penerimaan dari pajak ini salah satunya adalah ditentukan oleh sistem pengenaan pajak itu sendiri kepada wajib pajaknya. Tarif Pajak Reklame di Kota Semarang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1998, dengan menggunakan sistem pengenaan "Ad valaren Tax", yaitu pengenaan pajak berdasarkan persentase terhadap Nilai Sewa Reklame (NSR) sebesar 20%. Nilai Sewa Reklame didapatkan dengan menjumlahkan Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR) dan Nilai Jual Objek Pajak Reklame (NJDPR). Penggunaan sistem seperti ini merupakan yang pertama pada Pemerintah-pemerintah Daerah di Indonesia. Karena secara prinsip sistem ini cukup baik, maka diharapkan digunakan pula oleh Pemerintah-pemerintah Daerah lain di kemudian hari. Oleh karena itulah Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 diinklusifkan di dalamnya. NSPR ditentukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek yaitu : (i) Lokasi atau Wilayah Strategis dan Kelas Jalan pemasangan Reklame; (ii) Jumlah Sudut Pandang untuk melihat Reklame; dan (iii) Luas Reklame itu sendiri. Selanjutnya keseluruhan variabel tersebut diberi bobot dan nilai. Nilai total dari satu reklame dikalikan dengan Nilai Titik Simpul (NTS) yang merupakan patokan untuk penentuan harga NSPR. diformulasikan dalam model adalah sebagai berikut : NTS = (wi.NL + w2.NK.T + w3.NSP + w4.NLR) dimana : NTS = Nilai Titik Simpul NL = Nilai Lokasi NKJ = Nilai Kelas Jalan NSP = Nilai Sudut Pandang NLR = Mai Luas Reklame wi = Bobot untuk Lokasi w2 = Bobot untuk Kelas Jalan w3 = Bobot untuk Sudut Pandang w4 = Bobot untuk Luas Reklame Harga Titik Simpul (HTS) ditentukan dengan dua cara. Pertama didasarkan kepada mekanisme pasar, yang dilaksanakan dengan cara lelang terbuka, dan kedua melalui pendekatan kepakaran, yang oleh Pemda Kota Semarang disebut Harga Jabatan. Selanjutnya ditentukan Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR), yaitu dengan mengalikan Nilai Titik Simpul dengan Harga Titik Simpul, yang diformulasikan sebagai berikut : NSPR = NTS x HTS Dimana : NTS = Nilai Tittik Simpul dan HTS = Harga Titik Simpul NJOPR Ditentukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yaitu : (i) Biaya Pembuatan Reklame; (ii) Biaya Pemasangan Reklame; (iii) Biaya Pemeliharaan dan Operasional Reklame selama terpasang, dan (iv) Biaya Pembongkaran Reklame. Secara sederhana dapat dirumuskan Sebagai berikut NJOPR = eBB + eBP + eBM + eBR Dimana: NJOPR = Nilai Jual Objek Pajak Reklame eBB eBP eBM eBR Estimasi Biaya Pembuatan - Estimasi Biaya Pemasangan - Estimasi Biaya Pemeliharaan - Estimasi Biaya Pembongkaran Untuk semua titik pemasangan reklame ditentukan oleh satu tim yang personalianya berasal dari dinas dan instansi terkait. Diantaranya yaitu: Dinas Pendapatan Daerah sendiri, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertamanan, dan Satuan Polisi Pamong Praja. Tim menentukan semua kriteria untuk pemasangan reklame, misalnya luas, tinggi, jenis reklame dan lain-lain dari setiap titik yang sudah ditentukan, untuk kemudian disusun dalam satu tabel dan ditetapkan Melalui Surat Keputusan Walikota. Dengan Mekanisme yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang ini Potensi Penerimaan Pajak Reklame tahun anggaran 1997/1998 mencapai Rp 245.964.107,53 dengan jumalah titik pemasangan yang terjual'sebanyak 317 buah. Lebih dari 750 titik pemasangan reklame belum dipasangi reklame atau kurang diminati oleh konsumen. Kapasitas Pemungutan Pajak Reklame Pemerintah Daerah Kota Semarang pada tahun anggaran tersebut adalah sebesar Rp 900.132.560,- sementara pada tahun tersebut realisasi penerimaan Pajak reklame sudah mencapai Rp 1.746,386.000,- . Hal ini menunjukan bahwa tingkat Upaya Pemungutan Pajak Reklame Pemerintah Daerah Kota Semarang secara relatif sudah berada di atas 100 %, terbukti sudah mencapai 194,01%. Namun jika dibandingkan dengan besarnya potensi yang dimiliki Realisasi ini masih di bawah 10%. Tarif efektif yang sudah diterapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang sudah di atas dan rata-rata daerah lainnya yaitu sebesar Rp 5.509.100,- untuk setiap reklame terpasang, sementar tarif efektif rata-rata 2 daerah Kota lainnya (Surakarta dan Tegal) di Propinsi rawa Tengah =sing-miming bare sebesar Rp 928.880,- dan Rp 351.680,- untuk setiap reklame terpasang di kota tersebut. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah; Berkaitan dengan prosedur dan sistem pengenaan Pajak Reklame di Kota Semarang dengan basis yang hampir sama dengan kota-kota lain di propinsi Jawa Tengah dan beberapa kota lain di luar jawa tangah, jika diperbandingkan memberikan hasil yang lebih tinggi, maka akan lebih baik jika sistem pengenaan "Ad-valoren Tax" ini disosialisasikan pada Pemerintah Daerah lain di Indonesia, terutama daera-daerah Kota. Untuk Pemerintah Daerah Kota Semarang yang sudah menerapkan sistem "Advaloren Tax" ini rekomendasi adalah sebagai berikut: 1. Untuk sistem penetuan harga titik simpul yang selama ini dilakukan dengan mekanisme pasar (melalui pelaksanaan lelang terbuka) danlatau dengan pendekatan kepakaran (barga jabatan) akan lebih mudah jika harga titik simpul ini diambil dari harga jual tanah tertinggi pada kawasan/lokasi yang bersangkutan. 2. Untuk meningkatkan potensi penerimaan Pajak Reklame, Pemerintah Daerah Kota Semarang harus segera melakukan lelang terbuka terhadap titik-titik pemasangan reklame yang belum terjual dan atau titik pemasangan reklame yang sudah habis masa kontraknya. 3. Pelaksanaan lelang untuk titik-titik pemasangan reklame seperti yang penulis ungkapkan pada poin 2 dilaksanakan harus lebih dari 1 kali dalam setahun, umpamanya setiap semester atau setiap triwulan. 4. Untuk meningkatkan kapasitas penerimaan pajak reklame oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang harus segera melengkapi sarana dan prasarana pemungutan pajak ini, terutama seperti kendaraan operasional roda 4 (empat) atau roda 2 (dua) serta perangkat keras dan lunak lainnya. 5. Walaupun secara relatif upaya pemungutan Pajak Reklame oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang sudah lebih tinggi dari Pemerintah Daerah Kota lainnya di Propinsi Jawa Tengah dan beberapa kota lainnya yang dijadikan sebagai pembanding, namun harus tetap mensosialisasikan sistem pengenaan ini terutama kepada lingkungan internal Pemerintah Daerah dan kepada masyarakat umum khususnya yang menjadi objek dan/atau subjek pajak reklame ini. 6. Untuk lebih meningkatkan upaya pemungutan pajak Reklame di kota Semarang ini harus melakukan penelitian dan penelaahan lebih lanjut.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T7697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Chandra Adinugraha
Abstrak :
Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian utama telah diberikan pada masalah lingkungan global yang semakin meruncing, khususnya perubahan iklim. Permasalahan ini juga menjadi isu di Indonesia khususnya di Kota Semarang yang menghasilkan sekitar 1.276 ton sampah per hari pada tahun 2019. Emisi GRK dari sektor pengelolaan limbah di Kota Semarang menyumbang 16,67% dari total emisi GRK yang dihasilkan kota Semarang di tahun 2018. Emisi GRK dari pengelolaan sampah dapat berasal dari beberapa tahapan, seperti pengumpulan, transportasi, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis emisi GRK dan tahapan pengelolaan sampah yang bersifat hotspot dari keseluruhan sistem pengelolaan sampah Kota Semarang di tahun 2023, sehingga dapat diberikan rekomendasi untuk mengurangi emisi GRK. Perhitungan emisi GRK dilakukan dengan menggunakan Metode IPCC 2006 Tier 1 dan software Emission Quantification Tool (EQT) versi 2018 yang dikembangkan Institute for Global Environmental Strategies (IGES). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, emisi GRK masing-masing dari tahapan transportasi sampah, komposting, daur ulang sampah, black soldier fly (BSF), sampah tidak terkelola, kebakaran landfill, dan landfilling adalah 13.836,729 ton CO2-eq, 3.650,054 ton CO2-eq, -74.080,228 ton CO2-eq, 31,473 ton CO2-eq, 18,123 ton CO2-eq, 8.482,856 ton CO2-eq dan 357.939,942 ton CO2-eq. Keseluruhan emisi GRK dari sistem pengelolaan sampah Kota Semarang di tahun 2023 adalah 309.878,948 ton CO2-eq, dengan hotspot emisi adalah tahap landfilling. Rekomendasi yang diberikan adalah mengurangi timbulan sampah yang masuk ke TPA Jatibarang dan mengaktifkan kembali fasilitas komposting yang tengah berhenti beroperasi di TPA Jatibarang. ......In the last few decades, major attention has been given to increasingly increasing global environmental problems, especially climate change. This problem is also a concern in Indonesia, especially in the city of Semarang, which produces around 1,276 tons of waste per day in 2019. GHG emissions from the waste management sector in Semarang City contributed 16.67% of the total GHG emissions produced by Semarang City in 2018. GHG emissions from waste management can come from several stages, such as collection, transportation, processing, and final disposal of waste. This research aims to analyse GHG emissions and hotspot waste management stages of the entire Semarang City waste management system in 2023, so that recommendations can be provided to reduce GHG emissions. GHG emissions calculations were carried out using the IPCC 2006 Tier 1 Method and the 2018 version of the Emission Quantification Tool (EQT) software developed by the Institute for Global Environmental Strategies (IGES). Based on research that has been carried out, the respective GHG emissions from waste transportation, composting, waste recycling, black Soldier fly (BSF), unmanaged waste, landfill fire, and landfilling are 13,836.729 tons CO2-eq, 3,650.054 tons CO2-eq, -74,080.228 tons CO2-eq, 31.473 tons CO2-eq, 18.123 tons CO2-eq, 8,482.856 tons CO2-eq and 309.878,948 tons CO2-eq. Overall GHG emissions from the Semarang City waste management system in 2023 are 309,878.948tons CO2-eq, with the emission hotspot being the landfill stage. The recommendation given is to reduce the amount of waste entering the Jatibarang landfill and reactivate the composting facility which is currently no longer operating at the Jatibarang landfill.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library