Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gallagher, Daniel P.
Abstrak :
CONTENTS : - FOREWORD - INTRODUCTION - SECTION 1: THE FOUNDATION - CHAPTER ONE: THE SELF-AWARE LEADER’S ADVANTAGE - CHAPTER TWO: A PROVEN PATH FOR BECOMING A SELF-AWARE LEADER - CHAPTER THREE: THE FOUR PILLARS OF REINVENTION - SECTION TWO: THE APPLICATION - CHAPTER FOUR: PROFESSIONAL AUTHENTICITY - CHAPTER FIVE: PROFITABLE IMAGINATION - CHAPTER SIX: GENEROSITY QUOTIENT TM - CHAPTER SEVEN: THINK LIKE A GENERAL MANAGER - CHAPTER EIGHT: FEED A FAMILY VS. SOLVE WORLD HUNGER - CHAPTER NINE: WHO YOU KNOW AND WHO KNOWS YOU - CHAPTER TEN: CONNECT THE DOTS AND SPUR INNOVATION - CONCLUSION - APPENDIX: TRAINING THE SELF-AWARE LEADER - REFERENCES - INDEX - ABOUT THE AUTHORS
Alexandria, Virginia: American Society for Training & Development, 2012
e20442096
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Rödl, Sebastian
Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 2018
121 ROD s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Noviyanti
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan membeli atau keinginan untuk membeli lagi produk perawatan kulit khusus pria. Dengan mengetahui dampak faktor tersebut diharapkan pelaku pasar dapat memahami konsumen dengan lebih baik, karena memahami konsumen adalah kunci penting dari keberhasilan suatu strategi pemasaran. Faktor tersebut adalah Product Self Image Congruence, Physical Attractiveness Celebrity Endorser, Public-Self Consciousness berpengaruh pada Purchase Intention (Bagi Pria yang belum menggunakan produk skincare khusus pria) dan Repurchase Intention (Bagi pria pengguna skincare). dalam penelitian ini juga diteliti faktor stereotype terhadap pria yang memakai produk skincare sebagai faktor yang memoderasi hubungan variabel bebas dan variabel terikat. Penulis menggunakan SEM-PLS dengan aplikasi WrapPLS 3.0 dalam penelitian ini. Kuesioner telah disebar pada 299 responden yang terbagi dalam 150 responden pengguna skincare khusus pria dan 149 responden yang belum pernah memakai produk skincare khusus pria. Hasil dari penelitian ini adalah Self Image Congruence, Physical Attractiveness Celebrity Endorser, dan Public-Self Consciousness mempengaruhi secara signifikan dan positif terhadap purchase Intention atau repurchase Intention. Sedangkan variabel stereotype tidak memoderasi hubungan tersebut.
This study aims to find out the factors that influence purchase intention and repurchase intention on male skincare products. By knowing the impact of these factors, marketers are expected to be more understand the consumers, because it is the key of a marketing strategy successness. The factors are Product Self Image congruence, Physical Attractiveness Celebrity Endorser and Public Self-Consciousness effect on Purchase Intention (For Men who do not use male skincare products) or Repurchase Intention (For men who use Skincare product). This study also investigated factor stereotypes against men who using skincare products as a modereating factor which affect the relationship of independent variables and the dependent variable. The author used the SEM-PLS method with WrapPLS 3.0 software in this study. The questionnaire was distributed to 299 respondents. The respondens were divided into two groups (150 respondents who use skincare for men and 149 respondents who never use male skincare products). The results of this study are Product Self Image congruence, Physical Attractiveness Celebrity Endorser and Public Self-Consciousness affect purchase intention and repurchase Intention significantly and positively, While the stereotype does not moderate the relationship.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inez Gabrina
Abstrak :
Femvertising (iklan yang menampilkan perempuan dengan citra positif dan memberdayakan) merupakan strategi pemasaran yang saat ini cukup marak digunakan oleh perusahaan. Dengan femvertising, diharapkan perusahaan akan terhubung dengan lebih baik dengan target konsumen dan mendapatkan sikap yang positif terhadap brand mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel anteseden dari attitude toward femvertising yaitu perceived congruence, perceived authenticity, public self-consciousness, social anxiety dan need for emotion dan bagaimana pengaruh sikap terhadap femvertising pada brand attitude, purchase intention dan e-WOM intention. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada 294 sampel, data diolah untuk kemudian dianalisis menggunakan SEM dan aplikasi AMOS. Hasil analisis menunjukkan bahwa perceived congruence, perceived authenticity dan public self-consciousness berpengaruh positif terhadap attitude toward femvertising, sedangkan social anxiety tidak berpengaruh secara signifikan dan need for emotion berpengaruh signifikan namun tidak secara positif. Ditemukan juga bahwa attitude toward femvertising berpengaruh positif secara signifikan terhadap brand attitude, purchase intention dan e-WOM intention. Penelitian ini memberikan kontribusi secara akademik dan implikasi manajerial mengenai strategi pemasaran dan periklanan dengan menggunakan isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender untuk menciptakan sikap yang positif sehingga berujung pada niat membeli. ......Femvertising (ads that present women with an empowered and positive image) is a marketing strategy that is currently being widely used by companies. With femvertising, it is hoped that companies will better connect with target consumers and gain a positive attitude towards their brand. This study aims to analyze the antecedent variables of attitudes towards femvertising, namely perceived congruence, perceived authenticity, public self-consciousness, social anxiety and need for emotion and how attitudes towards femvertising influence brand attitudes, purchase intentions and e-WOM intentions. The research was carried out by distributing questionnaires to 294 samples, then the data was processed and analyzed using SEM and the AMOS application. The results show that perceived congruence, perceived authenticity and public self-consciousness have a positive effect on attitudes towards femvertising, while social anxiety has no significant effect and need for emotion has a significant but not positive effect. It was also found that attitudes towards femvertising has a significant positive effect on brand attitudes, purchase intentions and e-WOM intentions. This research contributes academically and has managerial implications regarding marketing and advertising strategies by using the issue of women's empowerment and gender equality to create positive attitudes that lead to purchase intentions.
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dikha Ayu Kurnia
Abstrak :
Penyandang DMT2 memiliki beban fisik dan psikologis pada status kesehatannya setelah menyandang DMT2, yang dapat mempengaruhi pencapaian HbA1c < 7% masih belum optimal. Oleh sebab itu, salah satu keberhasilan dalam mencegah komplikasi kronik adalah pengukuran kesadaran diri status kesehatan penyandang DMT2 yang berlangsung selama seumur hidup. Status kesehatan merupakan kondisi yang menggambarkan kesehatan baik secara fisik dan mental. Sayangnya, penyandang DMT2 belum dapat menilai dirinya sendiri dan memantau status kesehatan karena belum ada instrumen yang mudah dipakai dan digunakan sebagai alat evaluasi. Instrumen tersebut diperlukan untuk mengukur status kesehatan diri agar penyandang DMT2 dapat memperluas kesadaran dirinya sehingga akan terlibat aktif dalam perawatan kesehatan. Penelitian ini bertujuan mengembangkan instrument kesadaran diri status kesehatan. Penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pertama adalah pengembangan instrument; tahap kedua adalah uji validitas secara empirik; dan tahap ketiga adalah penormaan dan interpretasi instrumen. Tahap pengembangan instrumen terdiri dari validasi konstruk oleh 3 pakar, merancang instrumen, dan uji validitas isi rancangan instrumen oleh 6 pakar. Pada tahap uji validitas secara empirik, uji validitas konstruk melibatkan 602 penyandang DMT2 dengan komplikasi kronik. Hasil penelitian tahap 1 mendapatkan 100 butir pernyataan (CVI 1) mencakup 4 dimensi, yaitu kemitraan perawat, dialog, pola kesadaran diri, dan status kesehatan. Uji Confirmatory Factor Analysis (CFA) pada tahap dua menghasilkan 77 butir pernyataan yang fit unidimensional mengukur kesadaran diri status kesehatan. Tahapan ketiga menghasilkan skala dan skor kesadaran diri yang mudah dijumlahkan oleh penyandang DMT2 dengan terdiri dari kesadaran diri rendah (0-23), kesadaran diri sedang (31-57) dan kesadaran diri tinggi (58-77). ......People with T2DM have a physical and psychological burden on their health status after having T2DM, which can affect the achievement of HbA1c < 7% is still not optimal. Therefore, one of the successes in preventing chronic complications is the measurement of self-consciousness of the health status of people with T2DM that lasts for a lifetime. Health status is a condition that describes health both physically and mentally. Unfortunately, people with T2DM have not been able to assess themselves and monitor their health status because there is no instrument that is easy to use and use as an evaluation tool. Instruments are needed to measure health status so that people with T2DM can expand their self-consciousness so that they will be actively involved in health care. This study aims to develop a self-consciousness of health status instrument. The research is divided into three stages, namely the first stage is instrument development; the second stage is empirical validity testing; and the third stage is instrument normalization and interpretation. The instrument development stage consists of construct validation by 3 experts, designing the instrument, and testing the content validity of the instrument design by 6 experts. In the empirical validity stage, the construct validity test involved 602 people with T2DM with chronic complications. The results of phase 1 research obtained 100 statement items (CVI 1) covering 4 dimensions, namely nurse partnership, dialogue, self-awareness patterns, and health status. Confirmatory Factor Analysis (CFA) test in stage two resulted in 77 unidimensional fit statement items measuring health status self-awareness. The third stage resulted in a self-awareness scale and score that is easily summarized by people with T2DM and consists of low self-awareness (0-23), moderate self-awareness (31-57), and high self-awareness (58-77).
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Kendro
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh citra merek mewah terhadap preferensi konsumen. Citra merek mewah diketahui mampu memenuhi kebutuhan konsumen akan status sosial dan kekayaan melalui aura kesuksesan dan kemakmuran yang dipancarkan pada penggunanya (Mandel, Petrova, & Cialdini, 2006; Heine & Trommsdorff, 2010). Lebih jauh, Public self-consciousness diduga mampu meningkatkan efek pengaruh citra merek mewah terhadap preferensi konsumen karena dapat membuat seseorang lebih sensitif terhadap pendapat orang lain sehingga cenderung menyesuaikan standar diri dengan standar sosial yang ada (Kassin, Fein, & Markus, 2013). Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain 2 (citra merek: mewah vs non-mewah, within) x 2 (isi kopi: ditukar vs asli, between) mixed design. Dalam penelitian ini, digunakan produk berupa kopi dengan dua merek yang memiliki citra mewah dan non-mewah. Partisipan (n = 63) diminta memberikan rating kopi dan menentukan pilihan di antara kedua merek yang ada. Kemudian efek moderasi dari public self-consciousness diukur menggunakan Revised Self-Consciousness Scale yang dikembangkan oleh Scheier dan Carver (1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa merek dengan citra mewah mendapatkan skor rating kopi yang lebih tinggi dari merek non-mewah secara signifikan, F (1,61) = 25,142; p < 0,01; η2 = 0,292. Sebaliknya, tingkat public self-consciousness tidak memprediksi pengaruh citra merek terhadap rating kopi mewah, R2 = 0,003; F(1,61) = 0,212, p > 0,05 maupun non-mewah, R2 = 0,007; F(1,61) = 0,414, p > 0,05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa citra merek mewah mempengaruhi preferensi konsumen secara, namun tidak dimoderasi oleh public self-consciousness. ...... The objective of this study was to determine the effect of luxury brand image to consumer preferences. The image of the luxury brand known to met consumer needs for social status and wealth through the aura of success and prosperity which its emitted at (Mandel, Petrova, and Cialdini, 2006; Heine & Trommsdorff, 2010). Furthermore, public self-consciousness thought to be able to increased the effect of the luxury brand image influence on consumer preferences because it could make a person more sensitive to other people's opinions that tend to adjust themselves to the standard of the existing social standards (Kassin, Fein, & Markus, 2013). This study was an experimental research with 2 (brand image: luxury vs. non-luxury, within) x 2 (content of coffee: original vs. exchanged, between) mixed design. In this study, coffee products with two different brands that has an image of luxury and non-luxury were used. Participants (n = 63) were asked to give ratings of coffee and chose between the two existing brands. Then the moderating effect of public self-consciousness was measured using the Revised Self-Consciousness Scale developed by Scheier and Carver (1985). The results in this study showed that the brand with luxury image got a significantly higher coffee rating score than non-luxury brands, F (1,61) = 25.142; p <0.01; η2 = 0.292. In contrast, the level of public self-consciousness does not predict the effect of brand image on luxury coffee rating, R2 = 0.003; F (1,61) = 0.212, p> 0.05 and non-luxury, R2 = 0.007; F (1,61) = 0.414, p> 0.05. Therefore, it could be concluded that the image of the luxury brand affected consumer preferences, but were not moderated by the public self-consciousness.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55532
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Embun Kenyowati Ekosiwi
Abstrak :
Tesis ini, dengan mendapat inspirasi dan acuan utama dari buku Andrew Bowie, Aesthetics and Subjectivity (1990) bermaksud mencari pengetahuan dari agar mendapatkan pemahaman tentang konsep Subyektivitas dalam Seni pada pemikiran Immanuel Kant, Hegel dan Nietzsche, yang termasuk dalam masa Idealisme Jerman dan awal Romantisisme. Subyektivitas yang dimaksud adalah Subyektivitas metafisis maupun Epistemologis. Yang dimaksud subyektivitas metafisis adalah manusia, melalui kesadarannya, yang mengalami seni (pencipta maupun penikmat). Yang dimaksud subyektivitas epistemologis adalah manusia melalui putusannya, sebagai ukuran kebenaran dalam seni. (Adorno 1984). Subyektivitas pada pemikiran Kant adalah permasalahan keberadaan manusia sebagai keberadaan yang otonom (Otonomous Being) dalam berhadapan dengan dunia di luarnya (alam). Bagaimana status kesadaran (self-consciousness) dalam berhadapan dengan dunia luar. Status kesadaran ini menentukan bentuk-bentuk cara mengetahui (forms of cognition). Bagaimana subyektivitas dapat menjadi landasan bagi keberadaannya sendiri, bagaimana subyektivitas dapat membentuk obyektivitas yang dapat dipertahankan tanpa mendasarkan pada asumsi akan adanya obyektivitas yang mendahului. (Bowie 1990: 15). Pada Kant, subyektivitas dalam seni adalah subyektivitas universal (intersubyektif universal), ketika seseorang menyukai sesuatu obyek (alam dan karya seni) tanpa pamrih (disinteresred). Sikap tanpa pamrih pada Kant berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan (pleasure), tidak terkait pada eksistensi obyek. Subyektivitas pada pemikiran Hegel adalah permasalahan identitas subyek dan obyek yang sama dalam Rah absolut. Ini dikarenakan bahwa proses berpikir dan proses realitas (dunia) adalah identik. Proses ini menampakan dirt pada seni (Bowie : 1990, 116). Proses ini ditampilkan melalui refleksi, Kesadaran suatu subyek, tanpa kehadiran kesadaran lain akan tetap berada dalam keadaan tidak ada refleksi dan tidak akan mencapai refleksi sadar. (Bowie 1990 : 118). Kesadaran Aku sangat tergantung pada obyektifikasi Aku. Subyektivitas dalam pemikiran Nietsche adalah permasalahan kesadaran sebagai pertahanan diri (self preservation). (Bowie: 1990, 208). Subyek, si Alat, adalah konstruksi pikiran, tidak berbeda statusnya dengan 'materi', 'benda', 'angka', maka adalah suatu fiksi regulatif Sintesa menjadi subyek ini dan efek sintesa dari luar sebagai obyek merupakan manifestasi 'kehendak untuk berkuasa' yang terjadi terhadap satu sama lain. (Bowie 1990: 247). Subyektivitas tidak dapat menjadi landasan kebenaran, meskipun keberadaan subyek serdiri tak dapat ditolak. Subyektivitas dalam seni pada Immanuel Kant yang terdapat dalam teorinya tentang selera, adalah subyektivitas universal ketika seorang menyukai obyek tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan tidak terkait dengan eksistentensi obyek. Dengan demikian bersifat a priori. Obyek yang disukai dengan cara demikian disebut indah. Dan yang indah adalah yang tanpa konsep disukai secara universal. Pada Hegel subyektivitas dalam Seni adalah proses perwujudan 'The Ideal dalam bentuk materi yang tercerap secara inderawi (sensuous material) melalui refleksi. Karena pada Hegel proses obyektivikasi Subyek (kesadaran) adalah melalui negasi dan terjadi secara terus menerus. Pada Nietzsche subyektivitas dalam Seni menampakkan diri dalam perwujudan fisiologis pada subyek individual, dan memuncak pada kehendak untuk berkuasa. Perbandingan di antara ketiganya adalah sebagai berikut : 1. Subyek pada Kant adalah subyek transendental. yaitu kesadaran yang memiliki kategeri-kategori yang ikut membentuk realitas. 2. Subyek pada Hegel adalah keberadaan yang asali yang selalu berada dalam keadaan bergerak menuju obyek. 3. Subyek pada Nietzsche adalah merupakan fiksi yang dibentuk oleh pikiran, namun memiliki manifestasi yang nyata pada tubuh yang merupakan perwujudan dari kehendak untuk berkuasa Subyektivitas dalam seni pada Kant adalah persoalan keabsahan putusan (judgment) terhadap yang indah, Putusan yang indah hanya menyangkut subyek yang membuat putusan dan bersifat subyektif , menyangkut perasaan. Subyektivitas dalam seni pada Hegel adalah seni sebagai perwujudan yang Ideal yang berada pada jiwa subyektif. Sedangkan subyektivitas dalam seni Dada Nietzsche adalah .merupakan kehendak yang memanifestasi dalam ketubuhan kits sebagai usaha untuk mempertahankan diri dalam keberadaan sebagai manusia. Tanggapan terhadap subyektivitas, muncul melalui argumentasi Bowie, mengacu Habermas, bahwa pokok persoalan modernitas dilihat oleh postmodemisme sebagai permasalahan subyektivitas.Persoalan estetika modern juga bukan masalah keindahan lagi meiainkan masalah subyektivitas. Subyektivitas dalam seni pada Kant mendapat pembelaan dari Gadamer, bahwa putusan tentang seni juga menyangkut pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan kognitif dan pengetahuan moral, namun tetap :nenyampaikan pengetahuan sebagai transmisi kebenaran. Namun Adorno mengkritik bahwa subyektivitas yang mengklaim validitas universal dan tanpa konsep adalah tidak rnungkin. Validitas universal demikian, mengandaikan adanya konsep. Subyektivitas dalam seni pada Hegel, seolah berusaha mengatasi subyektivitas dalam seni pada Kant, tetapi sesungguhnya kembali ke dalam subyektivitas karena Idealisme mengklaim bahwa apa yang subyektif adalah obyektif, menurut Heidegger, Subyektivitas dalam seni pada Nietzsche, sesungguhnya bukan merupakan persoalan estetika, tetapi lebih persoalan metafisika, karena seni dikembalikan pada kehendak sebagai dorongan mendasar yang ada pada manusia. Tanggapan penulis mengenai masalah subyektivitas adalah bahwa subyektivitas merupakan persoalan yang dapat dipertahankan sejauh dapat dikompromikan dengan pandangan-pandangan lain, baik pandangan yang mendukung maupun yang menolak. Maka subyektivitas adalah titik tolak ,yang mencukupi dan sah bagi dunia seni. Salah satu argumentasi lagi adalah bahwa ilmu pengetahuan yang memperoleh landasan dari positivisme pun pada akhirnya mempertanyakan obyektivitasnya sendiri, terutama pada ilmu-ilmu manusia dan budaya, karena faktor subyektivitaslah yang sesungguhnya dapat memunculkan obyektivitas.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T1626
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karima Shehab
Abstrak :
ABSTRAK
Luxury goods di Indonesia semakin dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, hal ini dapat dilihat dari nilai pasar luxury goods yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun seiring meningkatnya produk luxury fashion yang masuk ke Indonesia, penjualan produk tiruan pun ikut meningkat. Penelitian ini melihat bagiamana pandangan negatif terhadap barang tiruan mampu mempengaruhi intensi konsumen untuk membeli luxury fashion product yang orisinil. Dengan melibatkan variabel-variabel lain yaitu, Public Self-Consciousness, Self-Esteem, Brand Consciousness dan Ethical Idealism. Sampel penelitian ini adalah Generasi Y dengan rentang umur 18 ndash; 35 yang berdomisili di daerah Jabodetabek dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia, yang memiliki luxury fashion products. Peneliti menggunakan analisis Structural Equation Modelling SEM . Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Generasi Y memiliki pandangan negative terhadap barang tiruan yang tinggi namun belum tentu memiliki keingin untuk membeli luxury product yang orisinil, perkiraan peneliti hal ini disebabkan karena pendapatan yang belum cukup.Luxury goods di Indonesia semakin dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, hal ini dapat dilihat dari nilai pasar luxury goods yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun seiring meningkatnya produk luxury fashion yang masuk ke Indonesia, penjualan produk tiruan pun ikut meningkat. Penelitian ini melihat bagiamana pandangan negatif terhadap barang tiruan mampu mempengaruhi intensi konsumen untuk membeli luxury fashion product yang orisinil. Dengan melibatkan variabel-variabel lain yaitu, Public Self-Consciousness, Self-Esteem, Brand Consciousness dan Ethical Idealism. Sampel penelitian ini adalah Generasi Y dengan rentang umur 18 ndash; 35 yang berdomisili di daerah Jabodetabek dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia, yang memiliki luxury fashion products. Peneliti menggunakan analisis Structural Equation Modelling SEM . Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Generasi Y memiliki pandangan negative terhadap barang tiruan yang tinggi namun belum tentu memiliki keingin untuk membeli luxury product yang orisinil, perkiraan peneliti hal ini disebabkan karena pendapatan yang belum cukup.
ABSTRACT
Luxury goods in Indonesia are increasingly easily in the public, this can be seen from the luxury goods market value continues to increase from year to year. But along with the increasing fashion luxury products in Indonesia, sales of counterfeits products also increased. This study sees how the negative feel towards counterfeit luxury goods can affect the intention of consumers to buy an original fashion luxury product. By involving other variables which are, Public Self Consciousness, Self Esteem, Brand Consciousness and Ethical Idealism. The sample of this research is Generation Y with age range 18 35 domiciled in Jabodetabek area and several other big cities in Indonesia, which have fashion fashion products. Researchers used Structural Equation Modeling SEM analysis. The results shows that Generation Y has high negative view of counterfeit luxury goods but does not necessarily have an intention to buy the original luxury product, the researchers estimate this is due to insufficient income.
2017
S67422
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Tsabitah
Abstrak :
ABSTRACT
Skripsi ini menguji kesesuaian brand personality dengan actual dan ideal self self-congruence konsumen terhadap pembentukan emotional brand attachment, yang juga dipengaruhi oleh product involvement, self-esteem, dan public self-consciousness sebegai variabel moderator. Penelitian ini juga meneliti perbedaan pengaruh independen variabel terhadap emotional brand attachment merek yang bersifat fungsional dan simbolis. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk memahami dampak relatif actual self dan ideal self konsumen terhadap emotional brand attachment. Untuk memenuhi tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode kuantitatif untuk menganalisis pengaruh dan kekuatan actual dan ideal self-congruence terhadap emotional brand attachment, serta pengaruh variabel moderator pada hubungan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada level individu, product involvement, self-esteem, dan public self-consciousness dapat meningkatkan self-congruence yang dilakukan konsumen terhadap emotional brand attachment.
ABSTRACT
This thesis tests consumers 39 actual and ideal self congruence in the construction of emotional brand attachment, which also influenced by product involvement, self esteem, and public self consciousness as moderating variables. This thesis also seeks the difference of impact of the independent variables to the dependent variables, based on the product rsquo s functional or symbolic nature. The goal of this testing is to understand the relative impact of the consumer rsquo s actual and ideal self for their emotional brand attachment. To achieve that, this thesis uses quantitative method to analyze the influence and strength between actual and ideal self congruence and emotional brand attachment, including the influence that the moderating variables have over the main variable rsquo relationship in this research. The outcome of this testing shows that, on individual level, product involvement, self esteem, and public self consciousness increases the consumers rsquo self congruence, therefore simultaneously increasing emotional brand attachment.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library