Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eki Ubayakti
Abstrak :
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), hampir sebagian besar rakyat telah mengalami berbagai kesulitan hidup. Dari mulai penderitaan ekonomi, perlakuan yang semena-mena, sampai pada kenistaan hidup, semua berbaur menjadi suatu image yang sampai kinipun sulit untuk dilupakan, terutama bagi yang mengalaminya. Terlepas dari citra buruk yang disandang oleh Pemerintahan Militer Jepang itu, namun ada juga suatu kesempatan yang diberikan mereka yang telah membawa manfaat untuk sebagian dari masyarakat kita, yaitu dengan diberikannya pendidikan militer bagi pemuda-pemuda pribumi. Institusi militer ini dikenal di Sumatra Timur (sekarang Propinsi Sumatra Utara dikurangi. Tapanuli dan Sibolga) dengan nama Gyu-gun atau Tentara Sukarela. Maksud dari dibentuknya Gyu-gun adalah untuk membantu dan mempermudah tugas-tugas tentara Jepang dalam perang. Dalam skripsi ini penulis ingin melihat bagaimana Gyu-gun dibentuk di Sumatra Timur. Setelah menelusuri later belakang dan tujuan pembentukan Gyu-gun, kemudian penulis melihat adanya sesuatu yang istimewa dari hasil dibentuknya Gyu-gun, Dengan di bentuknya Gyu-gun di Sumatra Timur, maka untuk pertama kalinya dikenal pendidikan militer dalam arti sesungguhnya. Ini penting artinya, karena sebagian besar mantan anggota Gyu-gun inilah yang kemudian bergabung dalam TKR yang turut berperang dalam Perang Kemerdekaan, dan seba_gian dari mereka inilah yang kemudian menjadi instruktur-_instruktur dalam latihan kilat kemiliteran untuk calon-calon perwira TKR di Sumatra Timur.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12338
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Onny Wijayanti
Abstrak :
Tulisan ini merupakan suatu deskriptif kronologis mengenai Berdiri dan Rubarnya Negara Sumatera Timur (NST) sampai terbentuknya Negara Kesatuan. Cikal Bakal Berdiri_nya Negara Sumatera Timur berawal pada tahun 1938 sejak berdirinya Persatuan Sumatera Timur kemudian lambat laun membentuk Negara Sumatera Timur pada tahun 1947 dan kemudian meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur politis yang terlibat di dalam peristiwa tersebut, selain itu juga ingin mengetahui hal-hal apakah yang menyebabkan Negara Sumatera Timur (NST) relatif tidak lama berdiri dan kemudian meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12740
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cecep Effendi
Abstrak :
Sumatra Timor, sekalipun telah di kenal oleh orang-orang Eropa semenjak kontak mereka yang pertama di Asia Tenggara pada abad ke 16 tetap nerupakan daerah yang secara ekonomi terpencil dan secara politik tidak menarik perhatian. Daerah ini terbentang 400 Km dari Tamia_ng di sebelah Utara sampai ke Indragiri di Selatan. Sumatra Timur di penuhi oleh hutan belantara yang lebat di mana terdapat bukit bukit dari daerah pesisir sampai ke pegunungan Bukit Barisan. Penduduk Sumatra Timur terdiri dari penduduk Batak di pedalaman sebelah Utara penduduk Minangkabau di tepi-tepi sungai di Selatan dan penduduk Me_layu yang berbaur dan senantiasa di pengaruhi oleh penduduk Batak, . Aceh dam Minangkabau. Sampai pada pertengahan abad ke 19, di Sumatra Timur terdapat se_jumlah kerajaan kecil di daerah pesisir dan terdapat lebih banyak di daerah pedalaman. Wilayah kerajaan -kerajaan ini menjadi rebutan dan pengaruh antara Aceh di Utara dan Johor di Malaya. Dengan kedatangan perusahaan-perusahaan asing yang di rintis oleh Jacobus Nienhujs serta keterlibatan pemerintah kolonial Belanda, maka Sumatra Timur menunjukkan potensi besar sebagai daerah penghasil dari tanaman-taman exsport seperti tembakau dan karet. Dalam waktu yang kurang dari enam puluh tahun, Sumatra Timur mengalami perubahan yang dramatis. Pada tahun 1930 Sumatra Timur telah npnjadi daerah penghasil tembakau dan karet terbesar di Hindia Belanda. Bersamaan dengan meningkatnya penanaman tembakau, raja-raja Melayu di perkuat posisinya. Hal ini terjadi melalui kontrak yang mereka buat dengan fihak perusahaan-perusahaan perkebunan asing. Perluasan areal perkebunan tembakau, karet dan kopra, telah mempersempit lahan lahan pertanian rakyat setempat. Hal ini dalam tahun 1930an mengakibatkan terjadinya krisis kekurangan tanah yang serius dalam tahun 1920an. Meningkatnya perluasan areal daerah penanaman tembakau telah men_dorang perusahaan-perusahaan perkebunan untuk memenuhi. kebutuhan kuli kuli. Penduduk setempat yang hidup dalam pola pertanian berladang menolak untuk menjadi kuli-kuli perkebunan. Keengganan penduduk asli menjadi kuli-kuli perkebunan untuk mendatangkan kuli-kuli dari Cina dan kemudian dari Jawa. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola kependudukan, mayoritas penduduk asli Melayu dan Batak berubah minoritas sementara pendatang Jawa menjadi penduduk mayoritas di Sumatra Timur. Untuk menjamin, bahwa kuli-kuli yang di datangkan dengan biaya perusahaan-perusahaan perkebunan, pemerintah kolonial Belanda atas desakan dari perusahaan-perusahaan perkebunan., memberlakukan peraturan' yang memberikan sangsi kepada kuli-kuli yang tidak bekerja sebagaimana yang tercantum dalam kontrak mereka atau yang melarikan diri dari pekerjaan mereka. Peraturan ini terkenal sebagai Poenale Sanctie. Kuli-kuli yang menarik diri atau tidak memenuhi kewajiban kerja mereka dapat dikenakan sangsi hukuman penjara. Depresi ekanomi yang terjadi pada akhir tahun 1920-an memberi pukulan tidak hanya terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan asing harus memotong areal produksi, mengurangi jumlah tenaga kerja serta menurunkan harga, akan tetapi juga memukul kehidupan penduduk yang bergantung kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Tanah jaluran yaitu tanah-tanah yang di tinggalkan oleh perusahaan-penisahaan per_kebunan setelah masa panenan selesai untuk digarap oleh para petani peladang. Seperti yang di ketahui, penanaman teuibakau mempergunakan tanah-tanah perkebunannya secara berorasi setiap tahun. Tanah yang telah dipetik hasil tembakaunya ditinggalkan untuk berpindah kepada tanah baru yang masah kosong. Berkurangnya tanah-tanah jaluran se_bagai akibat menurunnya areal produksi perusahaan perkebunan telah menimbulkan persaingan di antara penduduk setempat yaitu Batak dan Melayu yang mengklaim mmiiliki hak-hak istimewa sebagai penduduk asli atas tanah-tanah di Sumatra Timur dengan bekas-bekas kuli-kuli kontrak yang menetap dan bekerja di Sumatra Timur dari pada pulang kembali ke kampumg halaman mereka di Jawa. Sikap raja-raja Melayu dan Batak yang lebih memberikan perhatian kepada keuntungan yang mereka dapat peroleh dari perusahaan-perusahaan perkebunan asing ketimbang terhadap kepentingan rakyat Sumatra-Timur, di samping kegagalan pemerintah kolonia1 Belanda untuk memberikan perlindungan terhadap kuli-kuli di perkebunan-perkebunan, telah mendorong pembentukan organisasi-organisasi pergerakan di Sumatra Timor pada tahun 1910an dan 1920an. Masalah-masalah kekurangan tanah yang di alami oleh penduduk Batak dan Melayu serta keresahan kuli kuli perkebunan sebagai akibat tindakan yang tidak berperikenanusiaan dari assistent-assistent perkebunan telah menjadi bahan pemberitaan surat-surat kabar lokal di Sumatra Timur. Perbaikan sarana komunikasi yang menghubungkan Jawa dan Sumatra Timur, memungkinkan masuknya berbagai ide-ide baru seperti Islam reformis, Komunisme dan Nasionalisme ke Sumatra Timur. Sekalipun damikian persoalan yang dominan tetap di tandai oleh keresahan terhadap exsploitasi perusahaan-perusahaan perkebunan terhadap kuli-kuli maupun menyempttmya lahan-lahan pertanian di Sumatra Timur. Di samping itu, organisasi-organisasi pergerakan di Sumatra Timur di dominasi oleh pemimpin-pemimpin yang berasal dari Jawa, Minangkabau. Penelitian ini berusaha melihat usaha yang dilakukan oleh para pemimpin organisasi pergerakan di Sumatra Timur dalam menyalurkan keresahan-keresahan penduduk menghadapi tekanan ekonomi perkebunan yang memperoleh dukungan pemerintah kolonial Belanda. Penelitian ini juga memberikan perhatian pada masalah-masalah yang mempengaruhi perluasan surat kabar-surat kabar di Sumatra Timur, ketidak puasan terhadap raja-raja setempat serta meluasnya tindak kekerasan sebagai akibat pe berlakuan Poenale Sanctie di perkebunan-perkebunan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S12208
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sayuti Fitri
Abstrak :
ABSTRAK
Proklamasi kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, diikuti dengan keputusan-keputusan membentuk 3 (tiga) wadah perjuangan (PNI, KNI dan BKR) membutuhkan waktu lama untuk direalisasikan di Sumatera. Bahkan BKR tidak sempat terbentuk di wilayah ini. Mr. M. Hasan sebagai gubernur dan dr. Amir sebagai wakil gubernur bersikap ragu-ragu untuk menjalankan keputusan-keputusan pemerintah pusat itu.

Faktor mendasar membuat mereka ragu-ragu adalah kenyataan bahwa ada polarisasi yang tajam/tinggi menjelang akhir pemerintah Belanda, antara kerajaan (Swapraja atau Ze1f-Bestuur: Melayu, Simalungun dan raja-raja karo). di satu pihak dan kaum nasionalis di pihak lain. Pendudukan Jepang tetap menghidupkan konflik

M. Hasan dan dr. Amir ragu apakah masyarakat yang selama ini diperintah sultan dan raja secara ketat apakah akan mendukung atau tidak segala kebijaksanaan yang akan diambil. Di samping itu, ketidakjelian Hasan dan Amir dalam mencari dukuagan di kalangan nasionalis yang dapat diajak bekerjasama, juga merupakan faktor penghambat.

Perjuangan kemerdekaan di Sumatera timur secara dominan dijalankan oleh badan-badan perjuangan atau laskar rakyat. Masing-masing partai politik yang berdiri sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 mempunyai badan perjuangan atau laskar rakyatnya tersendiri. Partai Nasio_nalis Indonesia (PNI) adalah partai yang paling aktif membina laskar rakyat. Mereka membentuk Nasional Pelopor Indonesia (NAPINDO).

Dalam NAPINDO, kepemimpinannya sebagian besar dipegang oleh para kaum nasionalis dari masa pemerintah kolonial Belanda, para nasionalis yang telah memanfaatkan badan-badan bentukan militer Jepang dan para pemuda nasionalis yang bergerak di bawah tanah.

Di dalam perjuangannya, di samping melakukan perlawanan bersenjata, NAPINDO juga mendirikan pusat-pusat perekonomian rakyat--seperti PUSERA --yang telah terbentuk sejak jaman pendudukan Jepang. Tujuan utama pendirian PUSERA adalah untuk menghidupkan perekonomian rakyat dan memperlemah pere_konomian Jepang.

Dua strategi--perlawanan bersenjata dan mendidikan pusat-pusat ekonomi--yang secara konsisten dijalankan oleh lasykar NAPINDO, yang menjadi faktor yang menentukan berdiri dan tegaknya proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur.
1990
S12648
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library