Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Ikram
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979
959.81 IKR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005
959.8 SEJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985
992.82 IND g (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Priyadi
Yogyakarta: Ombak, 2012
959.8 SUG s (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agus Hermanto
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang munculnya konflik tanah antara warga Mesa Mulyadadi dan pengelola Perkebunan Karet Ciseru-Cipari yang memuncak dalam bentuk tindakan kolektif warga berupa penebangan pohon dan perusakan asset perkebunan pada tanggal 14 dan 15 Desember 1999. Selain itu juga menjelaskan proses pengorganisasian dan mobilisasi massa yang dilakukan warga desa untuk memperjuangkan kembalinya tanah yang dikuasai pengelola kebun dan penyelesaian yang dicapai dari konflik yang terjadi. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan didasarkan pada sumber-sumber tertulis dan lisan baik primer maupun sekunder. Dengan pendekatan strukturistik, penelitian ini menitikberatkan pada peran individu atau kelompok di dalam struktur sosial yang memungkinkan terjadinya peruhahan sosial. Para petani yang terlibat dalam sengketa tanah menghimpun diri dalam organisasi Ketanbanci yang dipimpin oleh Radjiman Tirtadikrama. Dengan menggunakan "kendaraan" Ketanbanci mereka di era Reformasi berjuang mengambil kembali hak atas tanah yang dikuasai pengelola kebun selama masa Orde Baru. Analisis terhadap apa yang disebut sebagai insiden 14 dan 15 Desember 1999, menggunakan teori tindakan kolektif untuk menjelaskan hubungan-hubungan sosial organisasi petani Ketanbanci dengan berbagai kelompok selama konflik berlangsung baik dalam aspek kepentingan, organisasi, mobilisasi, maupun menemukan peluang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus tanah di Mulyadadi pada dasarnya bersumber dari adanya perbedaan persepsi mengenai bukti kepemilikan tanah antara warga petani desa dan Perkebunan Karet Ciseru-Cipari. Perbedaaan persepsi tersebut ditimbulkan oleh rendahnya tingkat pendidikan warga desa ditambah kurangnya pemahaman warga terhadap regulasi pertanahan. Protes warga petani desa dipicu oleh munculnya ketimpangan sosial yaitu adanya ketidakadilan dalam ganti rugi dan distribusi tanah (lahan) pengganti di tahun 1973, yaitu sejak pengelola Perkebunan Ciseru-Cipari mengambil alih tanah warga. Praktek penguasaan tanah warga oleh pengelola kebun yang tidak dibenarkan oleh aturan hukum menyebabkan banyak warga yang kehilangan lahan garapan sebagai penopang hidup. Terbentuknya perkumpulan petani Ketanbanci di awal era Reformasi merupakan peluang bagi warga untuk menyalurkan aspirasi dan tuntutan terhadap perlakuan tidak adil itu. Atas dasar senasib dan sependeritaan, Ketanbanci terbukti menjadi wadah perjuangan yang efektif bagi warga Mulyadadi untuk mengambil tanah yang dahulu terampas. Namun, dalam perjalanannya, perjuangan warga tersebut berbenturan dengan kepentingan perkebunan yang bersikukuh mempertahankan tanah warga. Perbenturan inilah yang kemudian menimbulkan insiden 14 dan 15 Desember 1999.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T25181
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siswantari
Abstrak :
Disertasi ini membahas tentang Strategi-strategi Perhimpoenan Kaoem Betawi pada masa kepemimpinan M. Masserie dan Abdul Manaf, dalam meningkatkan kesejahteraan Kaoem Betawi dan keindonesiaan. Perhimpoenan Kaoem Betawi merupakan organisasi pertama yang dibentuk oleh orang Betawi yang diakui sebagai badan hukum pada tahun 1923. Perhimpoenan ini mengalami perkembangan dari organisasi yang bersifat lokal menjadi organisasi yang mengedepankan keindonesiaan. Pembentukan Perhimpoenan tidak lepas dari adanya mitos masa kesuburan orang Betawi yang membuat Orang Betawi bergerak untuk mencapai kembali kejayaan tersebut, ditambah lagi dengan adanya kemunduran orang Betawi akibat berkurangnya tanah pekarangan, membuat orang Betawi bergerak untuk mencapai kemajuannya dengan mendirikan Perhimpoenan Kaoem Betawi. Faktor kemunculan Perhimpoenan Kaoem Betawi, tidak lepas dari pengaruh perkembangan kota Batavia pada awal abad ke-20 yang menjadi pusat pendidikan, pemerintahan dan ekonomi Hindia Belanda. Kota Batavia telah pula menjadi pusat gerakan politik pribumi, dimana berbagai organisasi kedaerahan telah tumbuh dan berkembang. Hal itu membawa Orang Betawi tidak mau ketinggalan turut pula aktiv menyuarakan aspirasi politiknya. Metodologi yang digunakan dalam disertasi ini adalah narativisme. Narativisme merupakan metodologi dalam filsafat sejarah yang digunakan untuk merekonstruksi masa silam. Menafsirkan masa lampau dengan mengaitkan berbagai fakta dari masa silam yang semula tidak koheren dan tanpa struktur menjadi satu kesatuan yang menyeluruh. Temuan penelitian ini adalah : lewat peranan M. Masserie dan Abdul Manaf, Perhimpoenan Kaoem Betawi telah menumbuhkan solidaritas Betawi untuk kemajuan Kaoem Betawi dan keindonesiaan. Berbagai strategi dilakukan untuk kemajuan Masyarakat Betawi dan keindonesiaan, diantaranya melalui Surat Kabar, Pendidikan, Gemeenteraad Batavia, dan menjalin kerjasama dengan gerakan organisasi pergerakan lainnya. ...... This study discussed about the strategies of the Association of Betawi Community (Kaoem Betawi) during the leadership period of Masserie and Abdul Manaf, for improving welfare of Betawi people (Kaoem Betawi) and Indonesianness. The Association of Betawi Community (Kaoem Betawi) was the first organization formed by the Betawi people to be recognized as a legal entity in 1923. This association experienced developments from local organization into organization that prioritized Indonesianness. The formation of the Association could not be separated from the myth of the fertility period of the Betawi people. This caused the movement to regain the glory, added with the decline of the Betawi people due to the reduction of the yard, made the Betawi people moving to achieve the progress by establishing The Association of Betawi Community ( Kaoem Betawi). The emergence factor of the Association of Betawi Community ( Kaoem Betawi) was inseparable from the influence of the development of the Batavia city in the early of 20th century which became the center of education, government and the economy of the Dutch East Indies. The Batavia city had also become the center of the indigenous political movement, where the various regional organizations had grown and developed. That made the Betawi people did not want to miss and also actively voiced their political aspirations. The methodology used in this dissertation was narativism. Narativism was a methodology in historical philosophy used to reconstruct the past and interpreting the past by relating various facts from the past that were previously incoherent and without structure into a single whole. The research result was finding the role of M. Masserie and Abdul Manaf for The Association of Betawi Community which had grown Betawi solidarity for the advancement of the Betawi Community and Indonesianness. Various strategies were carried out for the advancement of the Betawi society and Indonesianness, including by Newspaper, Gemeenteraad Batavia Education, and cooperating with other movement organizations.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2608
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alian
Abstrak :
Strategi dan taktik Belanda untuk menguasai Indonesia yang sebelum Perang Dunia [I merupakan jajahannya yang bernama Hindia Belanda, telah mendorongnya untuk membentuk negara-negara bagian di wilayah Republik Indonesia. Negara Sumatera Selatan adalah salah satu dari negara federal yang berhasil dibentuk Belanda. Proses pembentukan Negara Sumatera Selatan (NSS) dimulai sejak Belanda berhasil memukul mundur kekuatan Republik di Palembang tanggal I Januari 1947. Setelah itu daerah ini langsung di bawah kekuasaan RECOMBA (Regerings Commissarissen Voor Bestuursaangelegenheden. Komisaris Negara Urusan Pemerintahan Sipil Belanda) dipimpin oleh Mr. H.J. Wijnmalen. Permasalahan pokok yang akan dicari jawabannya tewat studi ini adalah pertama, mengapa ada dukungan di dalam masyarakat Palembang terhadap berdirinya Negara Sumatera Selatan ? Kedua, bagaimana proses pembentukan Negara Sumatera Setatan ? Ketiga, bagaimana sistem pemerintahannya dan keempat, fakrorfaktor apa yang menyebabkan bubarnya Negara tersebut ? Data yang digunakan terdiri dari data primer dan skunder. Data primer meliputi dokumen berupa arsiparsip baik arsip yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan. Penelitian ini juga memanfaatkan koran-koran atau majalah-majalah sejaman. Sedangkan data skunder terdiri dan buku-buku acuan yang relevan dengan topik permasalahan. Berdirinya Negara Sumatera Selatan tidak terlepas dan dukungan kelompok masyarakat yang melihat kesempatan dalam Negara Sumatera Selatan untuk tampil menjadi pemimpin yang di dalam Republik sulit dicapai. Para pendukung itu menurut Recomba Wijnmalen terdiri clan "kelompok Raden" anggota keluarga terkemuka dari kesultanan Palembang. Tokoh-tokohnya antara lain Raden Hanan, Raden Mohammad Akip dan Raden Sulaiman. Suatu hal yang dapat diharapkan Belanda dalam mendukung politik federal adalah mentalitas kedaerahan. Mereka tidak senang terhadap pengaruh yang sangat besar dari orang-orang yang berasal dari "luar daerah " Palembang. Para pemegang pimpinan di Palembang adalah tokoh-tokoh yang berasal dari Minangkabau yaitu Dr. A.K. Gani dan Dr.M. Isa. Penduduk Palembang yang lain mendukung Negara Sumatera Selatan adalah Abdul Malik. Ia sebenarnya bukan dari keluarga Raden tetapi orang Sekayu. Keterlibatan Abdul Malik dalam Negara Sumaatera Selatan setelah bergabung dengan badan persiapan pembentukan daerah istimewa Sumatera Selatan balm Desember 1947. Walaupun Malik bukan dari kelompok Raden, namun ia juga orang Palembang yang berhadapan dengan tokoh Republik yang menuntut Belanda didominasi oleh elemen-elemen acing. Karir Abdul Malik terns menanjak sehingga ia menempati posisi-posisi penting, menjadi ketua Dewan Penasehat sejak tanggal 6 - April 1948. Pada tanggal 17 Agustus 1948 Dewan Penasehat menyatakan keinginannya kepada pemerintah federal untuk meinbentuk Negara Sumatera Selatan, serta meminta kepada pemerintah agar Dewan Penasehat diakui. sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Negara Sumatera Selatan. Berdasarkan usul ini, maka pada tanggal 30 Agustus 1948 Negara Sumatera Selatan diresmikan dan Abdul Malik diangkat menjadi Wall Negara. Dalam menjalankan tugas, Abdul Malik dibantu oleh kepala-kepala departemen yang bertanggung jawab kepadanya. Bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat, Wall Negara memegang kekuasaan membuat undang-undang. Namun demikian campur tangan Belanda dalam pemerintahan cukup besar. Dua dari lima departemen dipimpin oleh orang Belanda yaitu Departemen Kemalcmuran dan Departemen Kehakiman masing-masing dipimpin oleh Ir. H.A. Polderman dan Mr. F.P. Stocker. Selain itu selcretarts umurn Negara Sumatera Selatan dijabat oleh G.W. van Der Swalm dan Mr. K.E. Breslau menjadi anggota kabinet. Wilayah negara hanya meliputi keresidenan Palembang, kira-kira seperempat dari wilayah Sumatera Selatan. Dalam bidang perekonomian Negara Sumatera Selatan mengandalkan hasil pertanian karet, minyak bumi dan batubara. Akan tetapi peadapatan negara tidak dapat memenuhi anggaran negara. Setelah memperhatikan berbagai tuntutan penduduk yang menghendaki pembubaran Negara Sumatera Selatan, maka pada tanggal 18 Maret 1950 Abdul Malik menyerahkan kekuasaan kepada komisaris RIS Dr.M. Isa.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T200
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ratna Nurhajarini
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999
959.82 DWI s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Yulfarida
Abstrak :
Pasca runtuhnya Orde Baru, isu pemekaran wilayah di Indonesia ramai muncul ke permukaan. Maluku Utara muncul sebagai salah satu wilayah yang menuntut otonomi daerah dan terlepas dari provinsi induknya, Maluku. Gagasan ini muncul setelah upaya pengajuan pembentukan Provinsi Maluku Utara pada tahun 1958 tidak mendapat tanggapan dan gagasan ini tenggelam pada masa Orde Baru. Pada masa Presiden Habibie, pemerintah pusat dan daerah sama-sama setuju mengenai pembentukan Provinsi Maluku Utara. Tantangan kemudian muncul antara pemerintah pusat dengan masyartakat dan elite lokal Maluku Utara, di mana pemerintah pusat dinilai lambat dan tidak serius oleh masyarakat dan elite lokal Maluku Utara dalam memroses pengesahan Undang-Undang. Sedangkan pemerintah pusat menilai tindakan masyarakat dan elite lokal Maluku Utara yang melakukan demo sepanjang awal tahun 1999 terlalu berlebihan. Persaingan elite lokal antar dua kesultanan kembali mengemuka yang terwujud dalam perdebatan dalam penentuan ibukota provinsi, serta konflik sosial dan konflik politik yang terjadi setelah Maluku Utara dibentuk. Kehidupan awal Maluku Utara sebagai provinsi baru diwarnai konflik sosial hingga diberlakukannya darurat sipil. Selain itu, pemilihan gubernur pertama menjadi bukti kebangkitan demokrasi lokal yang mengarah pada primordialisme. Pembentukan Provinsi Maluku Utara ini membawa dampak bagi berkembangnya kesejahteraan rakyat di Maluku Utara dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi provinsi. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah kontemporer yang menggunakan metode wawancara dan penelusuran arsip sezaman. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi sejarah pembentukan Provinsi Maluku Utara serta sejarah politik lokal di Indonesia.
After the fall of New Order, issues of formation of new provinces in Indonesia emerged. North Maluku appeared as one of regions which claimed for a regional autonomy to be separated from its main province, Maluku. These ideas emerged after efforts in requesting the establishment of the new province on 1958 had not been responded by the central government and so these ideas were concealed in New Order era. In the era of President Habibie 39 s leadership, central and local governments had come to an agreement to establish North Maluku Province. Thus many challenges rose between central government and local society along with its elites who perceived that the central government had been too slow and had not taken the matter seriously in order to legalise the laws of new province establishment. On the other hand, the central goverment perceived the measures taken by the local society and elites by doing demonstrations during first half 1999 to be an exaggeration. Local elite rivalries between the two sultanates reappeared as manifested in the debates in the determination of the provincial capital, as well as the social conflicts and political conflicts that occurred after the North Moluccas were formed. After establishing a new province, the early establishment of North Maluku was marked with social conflicts and this led to civilian emergencies. In addition to that, the first election of governor became a proof of rising local democratization, which directed to primordialism. The establishment of North Maluku brought about impacts in an increase in the society welfare, due to the growth of the province economy. This is a contemporary historical research, which uses methods by interviews and taking notes of historical archives. This research is done in hopes of contributing for historical studies of the establishment of North Maluku Province and the history of local politics in Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69702
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library