Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mutiara Jeany Rahayu Pertiwi
"Infeksi pada pasien kanker payudara yang menerima kemoterapi mielosupresif mengakibatkan kebutuhan akan hospitalisasi sehingga meningkatkan biaya kesehatan. Pemberian seftazidim dapat mempersingkat durasi neutropenia dan lama hari rawat inap. Analisis efetivitas-biaya (AEB) merupakan salah satu metode farmakoekonomi yang penting untuk menentukan obat efektif dengan biaya yang lebih rendah. Penelitian dilakukan untuk membandingkan total biaya medis langsung dan efektivitas yang dilihat dari lama hari rawat penggunaan seftazidim generik A dan B, serta menentukan seftazidim yang lebih cost-effective pada pasien kanker payudara stadium awal dan lanjut di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2012.
Desain penelitian yang digunakan adalah non eksperimental dengan studi perbandingan. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif terhadap data sekunder berupa catatan rekam medik serta data administrasi tahun 2012. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. Jumlah pasien yang dilibatkan dalam analisis sebanyak 9 pasien, yaitu 7 pasien menggunakan seftazidim generik A dan 2 pasien menggunakan seftazidim generik B.
Median total biaya medis langsung kelompok generik A pada pasien kanker stadium awal maupun lanjut berturut-turut sebesar Rp Rp 15.930.407,45 dan Rp Rp 15.962.519,25, lebih tinggi dibanding generik B, berturut-turut sebesar Rp 6.716.225,21 dan Rp 7.147.956,92. Median lama hari rawat kelompok generik A pada pasien kanker stadium awal maupun lanjut berturut-turut 7 hari dan 10 hari, lebih panjang dibanding generik B, berturut-turut 3 hari dan 4 hari. Berdasarkan AEB diketahui seftazidim generik B lebih cost-effective dibanding generik A.

Infections among breast cancer patients receiving myelosuppressive chemotherapy led to hospitalization thus increased the health cost. Early administration of ceftazidime shortened duration of neutropenia and hospitalization days. Cost-effectiveness analysis (CEA) as one of pharmacoeconomic methods was important to determine treatment attaining effect for lower cost. This study was conducted to compare the total direct medical cost and effectiveness, which was measured from length-of-stay (LOS), of ceftazidime generic A and B usage, and to decide which ceftazidime that was more costeffective in early-stage and late-stage breast cancer patients at National Cancer Center Dharmais Hospital Jakarta year 2012.
The study design was nonexperimental with comparative study. Data were collected retrospectively on secondary data from medical records and administrative data in 2012. Samples were taken by using total sampling method. The number of samples were 9 patients, which included 7 patients with ceftazidime generic A and 2 patients with ceftazidime generic B.
The total direct medical cost of ceftazidime generic A in early-stage and late-stage breast cancer patients, respectively Rp 15.930.407,45 and Rp 15.962.519,25, were higher than generic B, respectively Rp 6.716.225,21 and Rp 7.147.956,92. Median LOS of ceftazidime generic A in early-stage and late-stage breast cancer patients, respectively 7 days and 10 days, were longer than generic B, respectively 3 days and 4 days. According to CEA result, ceftazidime generic B was more cost-effective than generic A.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S47002
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ganda Ilmana
"Latar belakang: Demam neutropenia dan komplikasinya adalah salah satu penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pasien anak dengan kanker, termasuk di RSCM. Selain antibiotik empiris, tata laksana lain seperti stratifikasi risiko, eskalasi dan modifikasi antibiotik, inisiasi antijamur dan penggunaan GCSF belum disusun menjadi suatu algoritme khusus sehingga praktiknya masih bervariasi. Salah satu antibiotik empiris yang banyak direkomendasikan adalah piperasilin tazobaktam. Tata laksana yang seragam direkomendasikan untuk menjaga kualitas layanan dan memperbaiki luaran.
Tujuan: Mengetahui efektivitas algoritme Kiara dibandingkan tanpa algoritme dalam tata laksana demam neutropenia risiko tinggi pada anak dengan luaran bebas demam, kenaikan absolute neutrophil count (ANC) >500/µL dalam 7 hari, dan pertumbuhan mikroorganisme serta resistensi antibiotik.
Metode: Uji klinis terbuka, terandomisasi dengan kontrol pada anak 0-18 tahun dengan demam neutropenia risiko tinggi, sejak Januari-Mei 2024. Kelompok uji mendapat antibiotik empiris piperasilin-tazobaktam. Eskalasi, modifikasi antibiotik, antijamur, dan G-CSF diberikan sesuai algoritme. Kelompok kontrol mendapat seftazidim serta tata laksana tanpa menggunakan algoritme. Pasien dipantau selama 7 hari.
Hasil: Terkumpul 58 subjek, terbanyak adalah pasien tumor padat dengan gejala infeksi saluran pencernaan. Komplikasi dialami oleh 8 subjek, setengahnya merupakan kasus pneumonia, dengan 75% merupakan pasien malnutrisi, 37,5% menggunakan akses sentral dan 87,5% memiliki hasil kultur yang positif. Hasil kultur positif terbanyak adalah pada urin (14,5%), feses (10,2%), dan darah (6%). Kuman gram negatif terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae (37%), Acinetobacter sp (20%), dan Escherichia coli (14,2%), sedangkan kuman gram positif terbanyak adalah Staphylococcus aureus (40%), Enterococcus faecalis (30%), dan Staphylococcus epidermidis (20%). Resistensi seftazidim didapatkan lebih tinggi (50% vs 31,1%) dan eskalasi-modifikasi antibiotik lebih banyak di kelompok kontrol.
Simpulan: Algoritme Kiara tidak lebih baik dalam hal lama demam dan capaian kondisi bebas demam dalam 7 hari pemantauan. Pemberian GCSF di kelompok uji yang lebih selektif terbukti dapat meningkatkan kadar ANC >500/µL, sama baik dengan kelompok kontrol yang menggunakan GCSF dua kali lebih banyak.

Background: Neutropenic fever and its complications are one of the main causes of high morbidity and mortality in pediatric cancer patients, including in Cipto Mangunkusumo Hospital. Apart from empiric antibiotics, other management such as risk stratification, antibiotic escalation and modification, antifungal initiation, and use of GCSF have not been compiled into a specific algorithm so practice still varies. Piperacillin-tazobactam is one of treatment choice in children with neutropenic fever. Local guidelines are recommended to maintain quality of care and improve outcomes.
Objective: To determine the effectiveness of the Kiara algorithm versus without algorithm in the management of high-risk febrile neutropenia in children with outcomes of fever-free, increase in absolute neutrophil count (ANC) >500/µL in 7 days, as well as the growth of bacteria and antibiotic resistance.
Methods: Open, randomized clinical trial with controls in children aged 0-18 years with high-risk febrile neutropenia, from January-May 2024. Experimental groups received piperacillin-tazobactam empirically. Escalation and modification of antibiotics, antifungals, and G-CSF were administered according to the algorithm. The control group received ceftazidime and treatment without an algorithm. Patients were followed up to 7 days of monitoring.
Results: A total of 58 subjects were included, most of whom were solid tumor patients with symptoms of digestive tract infections. Complications were experienced by 8 subjects, half of them were pneumonia and 75% were malnourished, 37,5% with central venous catheter and 87,5% had positive culture. Highest bacteria growth is in urine (14,5%), feces (10,2%), and blood (6%). The majority of gram-negative bacteria are Klebsiella pneumoniae (37%), Acinetobacter sp (20%), and Escherichia coli (14,2%) while the gram-positive bacteria are Staphylococcus aureus (40%), Enterococcus faecalis (30%), and Staphylococcus epidermidis (20%). Antibiotic resistance was higher in the control group (50% vs 31,1%) as well as the antibiotic escalation and modification rate.
Conclusion: The Kiara algorithm was not proven to be better in achieving fever-free conditions within 7 days of monitoring. The more selective administration of GCSF in the algorithm was proven to increase ANC levels to >500/µL, comparable to the control group with twice GCSF use.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titania Nur Shelly
"Latar Belakang: Kondisi bakteremia merupakan penyebab sepsis yang mengancam jiwa, sehingga deteksi awal terhadap etiologi bakteremia sangat penting. Pengetahuan mengenai pola resistensi bakteri terhadap berbagai antimikroba dapat berguna sebagai landasan bagi pengobatan empirik pasien dengan dugaan sepsis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil dan pola resistensi bakteri yang diperoleh dari isolat darah terhadap antibiotik sefalosporin generasi tiga di LMK FKUI pada tahun 2001-2006. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data hasil kultur darah positif dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (LMK-FKUI) tahun 2001-2006 yang dimasukkan ke dalam piranti lunak WHOnet 5.4. Dari seluruh isolat, dibandingkan antara persentase bakteri gram positif dan negatif dan dilakukan pendataan pola resistensi bakteri yang ada di dalam darah terhadap sefalosporin generasi tiga. Pada seftriakson, analisis dilakukan pada 2 periode, yaitu 2001-2003 dan 2004-2006. Data yang diperoleh kemudian dianalisis. Hasil: Dari data yang ada, didapatkan 791 isolat darah positif, yang terdiri dari 66,37% bakteri gram negatif dan 33,63% bakteri gram positif. A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, dan E.aerogenes merupakan bakteri gram negatif tersering. Pada keempat bakteri tersebut, yang resisten terhadap sefotaksim adalah sebesar 10%; 27,4%; 14,3%; 20,5%, sedangkan terhadap seftazidim ialah 8%;9,5%; 22,9%; 9,4%; terhadap seftizoksim, jumlah isolat sebanyak 1,9%; 22,4%; 10,5%; 4,2%. Pada bakteri gram positif, S.aureus dan S.epidemidis merupakan bakteri tersering. Dari data yang di bagi pada 2 periode, pola kepekaan bakteri dalam darah cenderung meningkat tajam pada K.pneumonia dari 41,7% menjadi 81,2%. Kesimpulan: Dari hasil kultur darah di LMK FKUI 2001-2006, bakteri gram negatif merupakan bakteri tersering yang ditemukan pada kultur darah di LMK FKUI periode 2001-2006. Bakteri gram negatif terbanyak yang didapatkan adalah A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, dan E.aerogenes. Akan tetapi, bakteri yang paing sering ditemukan diantara seluruh isolat adalah stafilokokus koagulase negatif. Didapatnya isolat A.anitratus dan stafilokokus koagulase negatif pada perlu dipertimbangkan kemaknaannya secara klinis sebagai penyebab sepsis karena beberapa penelitian menyampaikan bahwa adanya kedua bakteri merupakan kontaminan yang sering didapatkan pada kultur darah. Kurangnya data mengenai riwayat pasien dan penanganan spesimen, serta teknis pengerjaan kultur menyebabkan hasil sulit diinterpretasikan.

Introduction: Bacteremia is one of the common etiology of sepsis, so that its early detection is important. Knowledge about bacteria resistance pattern toward various antimicrobial therapies is essential to give empirical therapy for patients with sepsis in clinical practice. The objective of this research is to know the bacterias profile and resistance pattern from blood culture towards third generation cephalosporins in Clinical Microbiology Laboratory Faculty of Medicine, University of Indonesia (CML-FMUI) 2001-2006. Methods: We used positive blood culture datas in CML-FMUI 2001-2006, from software WHOnet 5.4. The proportion of negative- and positive-gram bacteria isolates were collected. Their resistance pattern towards third generation cephalosporins was made in table and diagram. the resistance pattern towards ceftriaxone was made in 2 periodes of time (2001-2003 and 2004- 2006). In discussion, we analyzed the datas compared to other researches. Results: From all 791 positive-isolates, gram negative bacteria accounted for 66,37%, higher than 33,63% of gram-positive bacteria. A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, and E.aerogenes was the most common negative-gram bacterias isolated from blood culture. Their resistance pattern towards cefotaxime were 10%; 27,4%; 14,3%; 20,5%, towards ceftazidime were 8%;9,5%; 22,9%; 9,4% and towards ceftizoxime were 1,9%; 22,4%; 10,5%; 4,2%. Two most frequent positive-gram bacterias were S.aureus and S.epidermidis. Toward ceftriaxone, there was dramatic changes of K.pneumonia’s resistance pattern in 2 periodes, from 41,7% to 81,2%. Conclusions: Negative-gram bacteria was the major bacteria in blood culture result in CMLFEUI 2001-2006. The most frequent of these bacteria were A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, and E.aerogenes. However, the highest number of isolates among all blood culture results was Coagulase-negative staphylococci. Isolations of A.anitratus and Coagulase-negative staphylococci need to be evaluated clinically as the cause of sepsis, because some studies suggested that those organisms were the common blood culture contaminants. Lack of data about patients history, specimen handling, and methods of blood culture made the positive blood culture results difficult to be interpreted."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library