Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
Clara Emily Jessica
"Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan kebijakan mengenai aborsi di Prancis pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan François Hollande. Aborsi atau yang dalam Bahasa Prancis disebut dengan LInterruption Volontaire de Grossesse, secara resmi adalah tindakan legal di mata hukum yang ditandai dengan deklarasi Hukum Veil tahun 1975 pada masa pemerintahan Valery Giscard dEstaing. Pelegalan aborsi ini menjadi salah satu momentum bersejarah bagi Republik Kelima di Prancis. Pelegalan aborsi menandai bahwa pemerintah mengakui hak para wanita untuk dapat memilih akan pilihan yang diambil terhadap tubuhnya. Dalam perkembangan dan praktiknya di masyarakat, hukum aborsi mengalami beberapa perubahan dan perkembangan. Perkembangan hukum aborsi ini memiliki karakteristik yang berbeda antara pemerintah yang satu dengan yang lainnya berdasarkan pengaruh ideologi politik dan kepentingan otoritas publik pada masa kedua pemerintahan.
Dengan menggunakan metode penelitian kebijakan dan teknik studi kepustakaan, penelitian ini memaparkan perkembangan kebijakan aborsi pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan Francois Hollande dan kondisi sosial masyarakat pada kedua masa untuk menguraikan keterkaitan ideologi politik kedua pemerintahan. Kebijakan yang dibuat keduanya akan berdampak pada praktik aborsi di masyarakat. Melalui analisis dengan konsep ideologi politik dan konteks pada masa kedua pemerintahan, hasilnya adalah bahwa ideologi politik dan kondisi sosial budaya mempengaruhi keduanya dalam membuat kebijakan dan kebijakan aborsi. Kebijakan yang diterapkan dalam masa pemerintahan Nicolas Sarkozy lebih mempersulit wanita melakukan aborsi dibandingkan dengan pada masa Francois Hollande."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Rizky Adianti Putri
"Artikel ini membahas tentang pidato Presiden Prancis Nicolas Sarkozy yang berjudul Le bilan de lannee 2008, en particulier laction de la France a la présidence de lUE au moment de la crise financière mondiale, et sur les defis annoncés pour 2009 notamment en terme demploi. Pidato ini disampaikan pada tanggal 31 Desember 2008 sebagai pidato akhir tahun yaitu, les voeux du président de la Republique yang berisi evaluasi tahun 2008 serta pembahasan sikap Prancis terhadap krisis finansial 2008. Tujuannya adalah untuk melihat apakah ada atau tidak pernyataan yang cenderung rasis dalam pidato ini yang sering ditemukan pada pidato lain Sarkozy, mengingat saat itu dia juga menjabat sebagai presiden Uni Eropa. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dan metodenya adalah analisis wacana kritis dengan mengunakan teori analisis wacana kritis dari Wodak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan rasis tidak nampak di sepanjang pidatonya. Temuan adalah pernyataan-pernyataan yang mengandung ajakan untuk meningkatkan solidaritas dan nasionalisme.
This article discusses the speech of French President Nicolas Sarkozy entitled Le bilan de lannee 2008, en particulier laction de la France a la presidence de lue moment de la crise financiere mondiale, et sur les défis annoncés pour 2009 notamment en terme demploi . This speech was delivered on December 31, 2008 as a year-end speech namely, les voeux du président de la Republique which contained an evaluation of 2008 as well as a discussion of Frances attitude towards the 2008 financial crisis. in this speech, bearing in mind that at the time he also served as president of the European Union and at that time France and other European countries were facing a financial crisis. The approach used is qualitative and the method is critical discourse analysis using the theory of critical discourse analysis from Wodak. The results showed that racist statements did not appear throughout his speech. The findings are statements which contain an invitation to increase solidarity and nationalism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Hutabarat, Leonard
"French people celebrate the reawakening of French interest in national politics following the high voter turnout for the first round of the presidential election on 22 April 2007. The near record turnout as erasing the memory of 2002 when huge numbers abstained and a high vote for extremists led to National Front leader jean-Marie Le Pen qualifying for the second round. Centre-right candidate Nicolas Sarkozy faced Socialist Segolene Royal in the run-off of France's presidential election. The battle between these two very different visions for the future of France has commenced in earnest, ahead of the final and decisive round on 6 May. For the first time, one of the top candidates is a woman. Segolene Royal's bid has ignited a debate about the place of women in a country traditionally dominated by men. Nicolas Sarkozy is the youngest president since Valery Giscard d'Estaing won in 1974 at the age of 48 - Jacques Chirac and Francois Mitterrand were both in their 60s when they entered the Elysee Palace. French praise their country's democratic performance in second round presidential election and express the hope that the victor, Nicolas Sarkozy, can unite a divided France. The election of Nicolas Sarkozy was based on the desire to turn the page, the wish for renewal. It creates a new order. The victory of 6 May is a victory of progress for the France."
2007
JKWE-3-2-2007-42
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Reno Ade Saputra
"
ABSTRAKDalam aspek sejarah, Prancis selalu memiliki hubungan yang erat dengan imigran. Pasca-PD II, imigran memiliki peran yang sangat penting dalam upaya restrukturisasi ekonomi di Prancis. Sejak saat itu pula, imigran Magribi masuk ke Prancis secara sporadis. Saat itu, masuknya imigran ke industri Prancis memberikan keuntungan yang besar bagi Prancis yang tengah mengalami krisis demografi akibat perang. Meskipun demikian, masalah mengenai imigran Magribi mulai muncul seiring dengan terjadinya krisis ekonomi di Prancis, seperti krisis 1973, krisis 2004, hingga krisis 2008. Permasalahan paling utama yang berkaitan dengan imigran Magribi pada masa krisis ekonomi, yakni isu mengenai pengangguran dan kekerasan. Pada masa pemerintahan Sarkozy, Prancis terkena dampak krisis ekonomi global yang pada akhirnya memengaruhi bidang ketenagakerjaan di Prancis. Masalah utama saat itu, yakni tingginya jumlah pengangguran. Terlebih, data menunjukkan bahwa pekerja imigran Magribi menjadi pihak yang paling tidak diuntungkan pada masa krisis, dengan tingginya jumlah pemutusan hubungan kerja yang mereka alami. Hal ini mengindikasikan bahwa pekerja imigran Magribi menjadi korban utama krisis ekonomi. Aspek pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan sangat penting untuk menjelaskan keadaan sosial-ekonomi para pekerja imigran Magribi.
ABSTRACTIn the historical aspect, France always closely related to the immigrants. Since the post-World War II, immigrants play an important role in France's efforts to restructure the economy. Since post-World War II, immigrants entered sporadically to France (especially Maghreb migrants). Immigrants at that time entered into the industry and were considered very beneficial because France was experiencing a demographic crisis due to the war. However, the problem of immigrants always appear when France suffered an economic crisis, such as during the 1973 crisis, the crisis of 2004, until the crisis of 2008. Issues that arise are generally caused by high unemployment and violence. In the Sarkozy administration (2007 -2012), France affected by the global economic crisis that led to employment problem. The biggest problem is the high number of unemployed. In the aspect of ethnicity, the Maghreb migrant workers always have the higher risk of being unemployed index than migrant workers from other countries. This indicates that the Maghreb immigrants become main victims of the economic crisis. Aspects of occupation, education, and income are important subjects to determine the social and economic conditions of Maghreb migrant workers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S66904
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mona Rahmawati Wibowo
"
ABSTRAKKondisi demografis berupa peningkatan angkatan usia tua, yang berasal dari generasi baby-boom, mengharuskan pemerintah untuk menyiapkan pendanaan pensiun yang mencukupi di masa mendatang. Dalam rangka memenuhi tujuan tersebut, pemerintah Prancis yang saat itu dipimpin oleh Nicolas Sarkozy, mencanangkan beberapa perubahan dalam sistem pensiun. Krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008 ikut menjadi alasan pendorong pemerintah dalam melakukan reformasi tersebut. Perubahan besar dalam sistem pensiun ini adalah penundaan masa pensiun selama dua tahun yang kemudian mendapat penolakan dari masyarakat Prancis dan berujung pada pemogokan dan demonstrasi di berbagai kota. Pemerintah akhirnya memutuskan konsesi kecil dalam reformasi kebijakan pensiun yang dilakukan namun tidak mengubah rencana utama yaitu penundaan usia pensiun selama dua tahun. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif untuk memaparkan perkembangan kebijakan sistem pensiun pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy. Melalui pengumpulan data kepustakaan, peneliti meninjau reaksi masyarakat yang muncul pasca diumumkannya rencana perubahan kebijakan pensiun serta meninjau dinamika kebijakan pensiun dan implementasinya.Setelah mengulas pembahasan di atas, penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika kebijakan yang terjadi sejak adanya rencana perubahan kebijakan hingga perubahan dilakukan, bersifat cukup dinamis karena pemerintah melakukan perubahan besar pada awal reformasi sebelum kemudian menambahkan perubahan kecil setelah adanya gerakan resistensi. Hal ini juga mempengaruhi dinamika reaksi masyarakat yang juga ditemukan bersifat cukup dinamis. Masyarakat pada awalnya memberikan reaksi yang cukup besar dengan melibatkan jumlah massa yang banyak dan kemudian mereda setelah kebijakan akhir diterbitkan. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Firdania Iryanti
"Sebagai negara yang meregulasi praktik prostitusi, Prancis memiliki serangkaian kebijakan dan masalah seputar legalitas Pekerja Seks Komesial (PSK). Setelah penandatangan konvensi PBB (mengenai eksploitasi manusia) pada tahun 1949, Prancis resmi menjadi negara abolisionis yang melarang praktik muncikari dan transaksi seksual berbayar yang melibatkan pihak ketiga. Larangan ini kemudian yang menjadi dasar pembuatan kebijakan pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan François Hollande. Penelitian ini membandingkan kebijakan mengenai regulasi praktik prostitusi pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan masa pemerintahan François Hollande dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan. Penelitian ini membuktikan bahwa keputusan Sarkozy untuk mengimplementasikan la Loi pour la Sécurité Intérieure (le délit de racolage) pada tahun 2003 menimbulkan masalah karena PSK menjadi pihak yang dikriminalisasi. Di sisi lain, keputusan Hollande untuk menghapus kebijakan Sarkozy dan menerapkan la Loi de Pénalisation de Client de Prostituée juga tidak menyelesaikan masalah karena mengkriminalisasi pelanggan jasa prostitusi. Pada akhirnya, penelitian ini membuktikan bahwa Sarkozy dan Hollande memiliki pendekatan berbeda dalam menanggulangi masalah prostitusi, namun tujuan akhir dari keduanya adalah untuk menghapus budaya prostitusi di Prancis secara bertahap.
As a state that regulates prostitution, France has a set of policies and problems on the legalities of commercial sex workers (CSWs). After ratifying a UN convention (on abolishing slavery and human trafficking) in 1949, France banned pimping activities and third-party sexual transactions, thus officially becoming an abolitionist state. This ban became the precedent for regulations made by the Nicolas Sarkozy and François Hollande administration respectively. This research compares the regulations on prostitution by both administrations using qualitative method and literature review. This research shows that Sarkozy’s decision to implement la Loi pour la Sécurité Intérieure (le délit de racolage) in 2003 was problematic as it criminalises CSWs. On the other hand, Hollande’s decision to reverse Sarkozy’s policy and enact la Loi de Pénalisation de Client de Prostituée also fails to offer a solution as it instead criminalises patrons of prostitution. Finally, this research proves that although both Sarkozy and Hollande have different approaches to curb prostitution, their goal is to gradually suppress prostitution culture in France."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library