Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Natasya Putri
Abstrak :
Dalam penelitian ini dikembangkan kolagen dan hidroksiapatit untuk rekayasa jaringan tulang dari limbah pengolahan ikan. Kolagen diekstraksi dari kulit salmon norway (Salmon salar) meggunakan metode Acid Soluble Collagen (ASC) sementara hidroksiapatit disintesis dari tulang ikan tuna dengan menggunakan metode kalsinasi pada suhu 600°C dan 800°C. Material dievaluasi untuk sifat fisika-kimia, kolagen dievaluasi dengan fourier transform infrared spectroscopy(FTIR), differential scanning calorimetry (DSC), dan scanning electron microscopy with energy dispersive X-ray (SEM-EDX). Kolagen hasil ekstraksi memiliki morfologi dalam bentuk lembaran dengan yield 0,8%. Persentase karbon yang didapatkan dari kolagen yang diekstraksi adalah 47% dan termasuk dalam kelas standar, sementara persentase karbon/nitrogen yaitu 2,63% yang sedikit lebih rendah dari standar. Hidroksiapatit yang telah disintesis dievaluasi dengan fourier transform infrared spectroscopy (FTIR), scanning electron microscopy with energy dispersive X-ray (SEM-EDX), dan X-ray diffraction (XRD). Hidroksiapatit yang diperoleh setelah proses kalsinasi menunjukkan struktur yang serupa yaitu kristal bubuk. HAp yang dikalsinasi pada suhu 600°C dan 800°C tidak memiliki pita sesempit HAp standar, namun lebih sempit daripada HAp yang dikalsinasi pada suhu 600°C. Rasio atom Ca/P HAp 600°C dan 800°C yaitu 2,15 dan 2,01 secara berurutan. Penelitian menunjukkan bahwa kolagen dari kulit salmon dan hidroksiapatit dari tulang tuna memiliki kualitas baik dan aplikasi luas dalam rekayasa jaringan tulang. ......In this research, collagen and hydroxyapatite were developed for bone tissue engineering from fish processing waste. Collagen was extracted from the skin of Norwegian salmon (Salmon salar) using the Acid Soluble Collagen (ASC) method, while hydroxyapatite was synthesized from tuna bones using the calcination method at 600°C and 800°C. Materials were evaluated for physico-chemical properties, collagen was evaluated by fourier transform infrared spectroscopy (FTIR), differential scanning calorimetry (DSC), and scanning electron microscopy with energy dispersive X-ray (SEM-EDX). The synthesized hydroxyapatite was evaluated by fourier transform infrared spectroscopy (FTIR), scanning electron microscopy with energy dispersive X-ray (SEM-EDX), and X-ray diffraction (XRD). Extracted collagen have a sheet looking morphology with yield of 0.8%. The percentage of carbon obtained from extracted collagen is 47%, while the percentage of carbon/nitrogen is 2.63% which is slightly lower than the standard. The hydroxyapatite obtained after the calcination process shows a similar structure which is powder crystals. HAp calcined at 600°C and 800°C did not have a band as narrow as standard HAp, although HAp calcined at 800°C had narrower bands than HAp calcined at 600°C. The atomic ratios of Ca/P HAp at 600°C and 800°C are 2.15 and 2.01 respectively. The research findings indicate that collagen from salmon skin and hydroxyapatite from tuna bones are expected to have broad applications in bone tissue engineering.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahrotunisa
Abstrak :
Kemajuan pada bidang bioteknologi saat ini telah banyak memanfaatkan protein dan peptida sebagai agen terapeutik untuk berbagai macam penyakit. Salah satu protein peptida terapeutik yaitu kalsitonin salmon yang digunakan untuk mengobati hiperkalsemia pada penderita hiperparatiroid. Namun, dalam penghantarannya kalsitonin salmon masih memiliki kekurangan, seperti mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan saat diberikan secara peroral dan ketidaknyamanan saat menggunakan kalsitonin injeksi maupun intranasal. Penghantaran transdermal menjadi salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghantarkan kalsitonin salmon secara efektif. Pada penghantaran transdermal, kalsitonin salmon memiliki hambatan penetrasi seperti bobot molekul yang besar dan sifatnya yang hidrofilik, sehingga diperlukan formula yang tepat untuk menghantarkan kalsitonin salmon melalui rute transdermal seperti memformulasikannya dalam pembawa Nanostructured Lipid Carrier (NLC). Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan sediaan transdermal kalsitonin dalam pembawa NLC yang dapat meningkatkan penetrasi kalsitonin dan memenuhi persyaratan stabilitas. Enam formula NLC (F1-F6) dibuat dengan metode emulsi ganda dengan penguapan. Formula dikarakterisasi pada ukuran partikel, indeks polidispersitas, zeta potensial, efisiensi penjerapan, dan morfologi partikel. Kemudian, NLC kalsitonin salmon diformulasikan dalam pembawa emulgel. Emulgel NLC kalsitonin salmon dilakukan uji penetrasi in vitro dan studi stabilitas. Hasil penelitian ini menunjukan formula NLC rasio 75:25 lipid padat dan lipid cair dengan konsentrasi kalsitonin salmon 0,04% (F3) merupakan formula optimal, dengan karakteristik ukuran partikel 135,6 nm, indeks polidispersitas 0,1, potensial zeta 34,7 mV, efisiensi penjerapan 99,6%, dan morfologi menunjukkan vesikel berbentuk speris. Berdasarkan hasil uji penetrasi, emulgel NLC kalsitonin menghasilkan peningkatan lima kali lipat dibandingkan dengan emulgel kalsitonin non-NLC. Selain itu, studi stabilitas menggambarkan kadar kalsitonin setelah enam bulan masing-masing 46,09-68,59% dan 43,45-60,59% pada kondisi penyimpanan 5º±3ºC dan 25º±2ºC dengan kelembaban relatif 60%±5%. ......Currently advances in biotechnology has been using proteins and peptides as therapeutic agents. One of therapeutics protein peptide is salmon calcitonin that is used to treat hypercalcemia in hyperparathyroid. However, calcitonin still has limitations in its delivery, such as being easily degraded by digestive enzymes when using perorally, and causing discomfort when using injectable or intranasal. Transdermal delivery is one of the alternative methods that can effectively deliver salmon calcitonin. In transdermal delivery, salmon calcitonin has obstacles to penetration such as hydrophilic and large molecular weight, thus an appropriate formula is needed to deliver through the transdermal route such as formulating in a Nanostructured Lipid Carrier (NLC) carrier system. The aim of this study was to produce calcitonin transdermal in NLC system that can increase the penetration and met the stability requirements. Six formulas of calcitonin NLC were prepared by the double emulsion-evaporation method, then all formulas were characterized in terms of particle size, polydispersity index, zeta potential, entrapment efficiency, and morphology. Salmon Calcitonin NLC were then formulated into NLC-based emulgel. Further, in vitro penetration and stability of NLC calcitonin emulgel studies were conducted. The result showed that formula NLC using 75:25 ratio of solid lipid to liquid lipid with 0.04% drug concentration (F3) was optimal, with a particle size of 135.6 nm, an polydispersity index 0.1, the zeta potential of -34.7 mV, entrapment efficiency of 99.6%, and spherical vesicle morphology. According to the percutaneous penetration study, the NLC salmon calcitonin emulgel resulted in a fivefold enhancement compared to the non-NLC salmon calcitonin emulgel. Moreover, the stability study illustrated salmon calcitonin levels after six months were 46.09-60.95% and 43.45-68.59% at storage conditions of 5º±3ºC and 25º±2ºC with relative humidity 60%±5%, respectively.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Satria Pinandita
Abstrak :
Luka bakar merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak kepada kerusakan permanen pada korban. Masalah ini memiliki dampak lebih buruk terhadap negara negara berkembang yang padat penduduk layaknya indonesia. Dengan tingginya ketersediaan sumber daya alam, kolagen bisa menjadi salah satu solusi masalah luka bakar di Indonesia. Dalam penelitian ini kami melakukan sintesis biopolimer kolagen-alginat untuk digunakan sebagai pembalut luka bakar melalui proses kimiawi berdasarkan sifat kelarutan material. Kolagen berhasil disintesis dari kulit ikan salmon dengan rendemen kolagen sebanyak 4% dari berat awal kulit ikan salmon. Agar didapatkan pembalut luka bakar berbentuk lembaran, ekstrak kolagen selanjutnya di crosslink dengan alginat. Oleh karenanya, biopolimer kolagen-alginat yang terbentuk ditambahkan dengan anti-bakteri nanopartikel seng oksida (ZnO) dan perak nitrat (AgNO3) sebanyak 0,5% dengan tujuan meningkatkan sifat anti-bakteri dari pembalut luka yang dibuat. Karakterisasi kimiawi menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) menunjukan bahwa kolagen hasil ekstraksi kulit ikan salmon memiliki gugus yang serupa dengan kolagen komersil. Penambahan alginat serta nanopartikel ZnO dan AgNO3 tidak berpengaruh secara kimiawi pada kolagen, terlihat dari tidak adanya gugus baru yang muncul pada hasil FTIR. Penambahan antibakteri terbukti meningkatkan sifat antibakteri berdasarkan pengujian antibakteri yang dilakukan. Antibakteri nanopartikel ZnO dan AgNO3 juga terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram-positif (S.aureus) maupun gram-negatif (E.coli). ......Burn injury is one of the health problems that can cause permanent damage to the victim. This problem causes a worse impact in developing countries that are densely populated like Indonesia. With the high availability of natural resources, collagen can be another solution for a burn injuries in Indonesia. In this study, we synthesized a collagen-alginate biopolymer to be used as a burn wound dressing through a chemical process based on the solubility properties of the material. Collagen was successfully synthesized from salmon skin with a yield of 4% of the initial weight of salmon skin. The collagen extract was crosslinked with alginate to obtain a sheet-shaped Universitas Indonesia burn dressing. Then, the formed collagen-alginate biopolymer was added with 0.5% zinc oxide (ZnO) nanoparticles and silver nitrate (AgNO3) to increase the anti-bacterial properties of the wound dressings. The collagen extracted from salmon skin had similar chemical groups to commercial collagen, as confirmed through Fourier Transform Infrared spectroscopy (FTIR). The addition of alginate, as well as ZnO nanoparticles and AgNO3, had no chemical effect on the collagen, as seen from the absence of new chemical groups that appeared in the FTIR results. The addition of antibacterial was proven to increase the antibacterial properties based on the antibacterial testing carried out. Antibacterial nanoparticles ZnO and AgNO3 were also proven to be able to inhibit the growth of gram-positive (S. aureus) and gram-negative (E.coli) bacteria.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Horianto
Abstrak :
Hidrogel berbasis kolagen alginat merupakan material yang menjanjikan dalam mempercepat penyembuhan luka bakar. Namun, hidrogel yang disintesis dengan kolagen-alginat tidak memiliki sifat antibakteri yang baik untuk menunjang kecepatan penyembuhan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengembangkan hidrogel dari ekstrak kulit salmon dengan penambahan propolis sebagai antimikroba. Kolagen diekstrak dari kulit ikan salmon dengan proses kimiawi dengan hidrolisis dan pelarutan kolagen dalam asam. Selanjutnya, pembuatan hidrogel dilakukan dengan menambahkan kolagen hasil ekstrak dan alginat dengan komposisi rasio volume 3:1. Propolis ditambahkan kedalam kolagen-alginat sebanyak 2%. Rendemen hasil ekstrak kolagen dari kulit ikan salmon sebesar 4%. Pengujian FTIR menunjukkan bahwa kolagen hasil ekstraksi memiliki gugus-gugus fungsi yang serupa dengan kolagen komersial. Rasio transmisi pada gugus amida III kolagen hasil ekstraksi dengan transmisi pada bilangan gelombang 1450 cm-1 mendekati 1 sehingga dapat dinyatakan struktur triple helix pada kolagen hasil ekstraksi tidak termodifikasi. Penambahan propolis pada hidrogel tidak memengaruhi ikatan kimia kolagen pada hidrogel kolagen-alginat dengan bukti hasil FTIR dan SEM. Penambahan propolis terbukti meningkatkan sifat antibakteri dari hidrogel. Hal ini terlihat dari terhambatnya aktivitas bakteri gram positif S. aureus yang sering ditemukan pada fase awal luka bakar. ......Collagen alginate-based hydrogel is a promising material in accelerating burn healing. However, the hydrogel synthesized with collagen-alginate did not have good antibacterial properties to support the healing rate. The main objective of this study was to develop a hydrogel from salmon skin extract with the addition of propolis as an antimicrobial. Collagen is extracted from salmon skin by a chemical process by hydrolysis and dissolving collagen in acid. Next, the hydrogel was made by adding the extracted collagen and alginate with a volume ratio composition of 3:1. Propolis was added to the collagen-alginate as much as 2%. The yield of collagen extract from salmon skin is 4%. The FTIR test showed that the extracted collagen had similar functional groups to commercial collagen. The transmission ratio of the extracted amide III group of collagen with transmission at a wave number of 1450 cm-1 is close to 1 so that the triple helix structure of the extracted collagen can be expressed unmodified. The addition of propolis to the hydrogel did not affect the chemical bonds of collagen in the collagen-alginate hydrogel with evidence of FTIR and SEM results. Addition of propolis has been shown to increase the antibacterial properties of the hydrogel. This can be seen from the inhibition of the activity of gram-positive bacteria S. aureus which is often found in the initial phase of burns.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Daniela
Abstrak :
Dalam beberapa tahun terakhir, perawatan yang ditawarkan oleh klinik estetika seperti injeksi DNA salmon semakin populer. Bahan DNA salmon diklaim memiliki fungsi anti-aging dengan membuat kulit lebih kencang dan mengatasi hiperpigmentasi di kulit. Dokter dalam hal ini berperan penting sebagai pihak pemberi layanan di klinik estetika. Injeksi DNA salmon yang merupakan pelayanan estetika medis awamnya dinilai hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis dermatologi dan venereologi. Sebab, dokter spesialis dermatologi dan venereologi menempuh pendidikan spesialis tambahan. Kurikulum pendidikannya juga mencakup metode seperti subsisi, elevasi, microneedling yang biasa digunakan dalam estetika medis. Meskipun begitu, dokter umum juga dapat menangani permasalahan kulit. Ketika menempuh pendidikan dokter, dokter umum juga diwajibkan menguasai kurikulum kulit. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, tidak terdapat batasan bagi dokter umum dalam konteks pelayanan injeksi DNA salmon. Sedangkan bagi dokter spesialis dermatologi dan venereologi, terdapat Standar Kompetensi Dokter Dermatologi dan Venereologi Indonesia dengan area kompetensi yang lebih rinci yang berpengaruh ke kewenangan dokter spesialis dermatologi dan venereologi sebagai pemilik sertifikat kompetensi spesialis. Dalam peraturan perundang- undangan belum diatur secara jelas mengenai batasan kewenangan antara dokter umum dan dokter spesialis dalam pelayanan estetika medis. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, penelitian ini akan membahas mengenai kompetensi dan kewenangan yang dimiliki dokter dalam pelayanan injeksi DNA salmon. Dari penelitian ini ditemukan bahwa kewenangan dokter umum dan spesialis masih bersinggungan ketika dihadapkan pada pelayanan estetika medis seperti injeksi DNA salmon. Batasan kompetensi dan kewenangan dokter dalam pelayanan estetika medis yang buram ini dapat dihindari dengan diaturnya mengenai estetika medis secara khusus. ......In recent years, treatments offered by aesthetic clinics such as salmon DNA injections have become increasingly popular. The salmon DNA ingredient is claimed to have an anti-aging function by making the skin firmer and overcoming hyperpigmentation in the skin. The doctor in this case plays an important role as the service provider at the aesthetic clinic. Salmon DNA injection, which is a lay medical aesthetic service, is considered to only be performed by dermatologists. This is because dermatologists undergo additional specialist education. The education curriculum also includes methods such as subsection, elevation, microneedling which are commonly used in medical aesthetics. However, general practitioners can also treat skin problems. During their medical education, general practitioners are also required to master the skin curriculum. Based on the Indonesian Doctors Competency Standards, there are no restrictions for general practitioners in the context of salmon DNA injection services. As for dermatologists, there are Indonesian Dermatology and Venereology Physician Competency Standards with more detailed competency areas that affect the authority of dermatology and venereology specialists as owners of specialist competency certificates. The legislation has not clearly regulated the limits of authority between general practitioners and specialists in medical aesthetic services. By using the normative juridical research method, this research will discuss the competence and authority of doctors in salmon DNA injection services. From this research, it is found that the authority of general practitioners and dermatologists still intersect when faced with medical aesthetic services such as salmon DNA injection. The blurred boundaries of competence and authority of doctors in medical aesthetics services can be avoided by regulating medical aesthetics specifically.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Agustini Kurniawati
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Selain bergantung pada berbagai faktor prognosis, kesintasan pasien mieloma multipel MM aktif juga ditentukan oleh diagnosis yang lebih dini. Perkembangan kriteria diagnostik MM dari sebelumnya yaitu kriteria Durie-Salmon DS menjadi kriteria International Myeloma Working Group IMWG 2003 dilakukan sebagai upaya mendiagnosis lebih dini MM aktif, namun karena berbagai keterbatasan sumber daya, upaya pemenuhan kriteria diagnostik berdasarkan DS serta IMWG 2003 tidak dapat dilakukan secara konsisten di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diketahui proporsi pemenuhan diagnosis MM berdasarkan kriteria diagnostik DS dan IMWG 2003 serta dampaknya pada kesintasan pasien MM di Indonesia.Tujuan: Mendapatkan data proporsi dan kesintasan pasien MM aktif yang memenuhi kriteria diagnostik DS dan IMWG 2003 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM dan Rumah Sakit Kanker Dharmais RSKD .Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan teknik analisis kesintasan pada pasien MM aktif yang berobat di RSCM dan RSKD selama tahun 2005-2015. Data disajikan dalam kurva Kaplan Meier dan tabel kesintasan dengan interval kepercayaan IK 95 .Hasil: Studi ini melibatkan 102 pasien MM aktif yang data penunjang diagnosis tersedia dan memiliki kesintasan >1 bulan. Sebesar 56,9 pasien memenuhi kriteria diagnostik DS dan 72,5 memenuhi kriteria IMWG 2003. Median Overall Survival OS pasien berdasarkan kriteria DS sama dengan IMWG 2003yaitu 77,8 bulan. Overall Survival tahun ke-1, ke-3, ke-5 pasien MM yang memenuhi kriteria DS adalah 89,9 , 77,5 , dan 54,8 sedangkan pasien MM yang memenuhi kriteria IMWG 2003 adalah 87,5 , 75,6 , dan 55,9 .Simpulan: Proporsi pasien MM aktif yang memenuhi kriteria diagnostik IMWG 2003 lebih tinggi daripada yang memenuhi kriteria DS. Kesintasan menyeluruh pasien MM aktif yang memenuhi kriteria diagnostik DS sama dengan yang memenuhi kriteria IMWG 2003. ABSTRACT Background Besides other prognostic factors, survival in active multiple myeloma MM patients is determined by earlier diagnosis. Development of MM diagnostic criteria from Durie Salmon DS to International Myeloma Working Group IMWG 2003 criteria as part of efforts to diagnose earlier active MM patients, unfortunately due to resources constraints, the fullfillment of DS and IMWG 2003 diagnostic criteria can not be done consistently in Indonesia. Therefore, it is important to describe the proportion of fulfillment MM diagnosis based on DS and IMWG 2003 diagnostic criteria as well as its impact on survival of active MM patients in Indonesia.Aim To describe the proportion and survival rate of active MM patients in Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais National Cancer Hospital based on Durie Salmon and International Myeloma Working Group IMWG 2003 diagnostic criteria.Methods We conducted a retrospective cohort study with survival analysis in active MM patients in RSCM and RSKD during 2005 2015. Data were presented in Kaplan Meier curve and survival table with 95 confidence interval.Results This study involved 102 active MM patients whose initial supporting data were available and who survived 1 month. There were 56.9 patients who met DS criteria and 72.5 patients who met IMWG 2003 criteria. Median overall survival OS based on DS and IMWG 2003 diagnostic criteria were similar 77.8 months . The 1st, 3rd, and 5th year survival of patients who met DS criteria were 89.9 , 77.5 , and 54.8 . The 1st, 3rd, and 5th year survival for patients who met on IMWG 2003 criteria were 87.5 , 75.6 , and 55.9 .Conclusion The proportion of active MM patients who fulfilled IMWG 2003 diagnostic criteria was higher than DS diagnostic criteria. Survival of active MM patiens who met DS and IMWG 2003 criteria were similar.Keywords Active multiple myeloma survival Durie Salmon diagnostic criteria IMWG 2003 diagnostic criteria
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library