Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Savendra Pratama
Abstrak :
Latar Belakang: Karies gigi merupakan penyakit yang dialami oleh masyarakat Indonesia, disebabkan oleh proses demineralisasi jaringan keras gigi. Saliva adalah faktor perlindungan alami terhadap karies yang dapat distimulasi oleh pengunyahan permen karet yang mengandung xylitol. Tujuan: Mengetahui pengaruh pengunyahan permen karet yang mengandung xylitol terhadap laju aliran saliva. Metode: Penelitian menggunakan metode cross-over. Total subyek 30 anak diberikan 3 macam perlakuan (pengunyahan parafin, 2 buah dan 4 buah permen karet yang mengandung xylitol) selama 5 menit. Pemeriksaan menggunakan gelas ukur salivary test kit GC. Hasil penelitian: Uji statistik ANOVA 1 arah menunjukkan perbedaan bermakna (p < 0,05) antara semua kelompok. Kesimpulan: Terjadi peningkatan laju aliran saliva dengan pengunyahan permen karet yang mengandung xylitol dan peningkatan terjadi seiring dengan penambahan jumlah permen karet yang mengandung xylitol.
Background: Dental caries is a common oral disease to the Indonesians, which is caused by demineralization of tooth?s hard tissues. Saliva is a natural protective agent against caries that can be stimulated by chewing xylitol chewing gum. Objective: To identify the effect of chewing xylitol chewing gum on salivary flow rate. Method: Cross-over method. Thirty children having decayed and filled tooth ≥ 3 teeth are given 3 kinds of treatment (chewing paraffin, chewing 2 pieces, and chewing 4 pieces of xylitol chewing gum) on a 5-minute basis. Salivary flow rates are evaluated using GC salivary test kit metric cups. Result: Statistical evalution of one-way ANOVA shows significant differences (p<0,05) between all groups. Conclusion: There is an increase of salivary flow rate after chewing xylitol chewing gum, and the increase is proportional to the amount of the chewing gum.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Rahmantiyo
Abstrak :
Latar Belakang: Lansia rentan terhadap penyakit gigi dan mulut maupun sistemik. Sampai saat ini, belum ada penelitian mengenai laju alir saliva (LAS) dan profil Candida sp pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Binaan Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta. Tujuan: mengetahui profil saliva dan Candida sp pada lansia di PSTW. Metode: Dilakukan pengukuran LAS dengan dan tanpa stimulasi pada subjek lansia. Kemudian sampel saliva tanpa stimulasi dikultur menggunakan media CHROMagarTM yang selanjutnya dilakukan identifikasi dan perhitungan koloni Candida sp. Hasil: Subjek yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 279 orang, yaitu 107 laki-laki, dan 172 perempuan. Sejumlah 160 subjek tidak memiliki penyakit sistemik, sedangkan subjek dengan 1, 2 dan ≥3 penyakit sistemik masing-masing adalah 70, 18 dan 31 subjek. Terdapat 226 subjek yang memiliki LAS normal dan 53 subjek hiposalivasi; 225 subjek memiliki LAS terstimulasi normal dan 74 subjek hiposalivasi.  Dari 48 sampel saliva ditemukan C. albicans, C. tropicalis, C. krusei, dan C. glabrata dengan 153, 84, 72, dan 100 koloni. Kesimpulan: Subjek penelitian ini didominasi oleh perempuan, kebanyakan subjek tidak memiliki penyakit sistemik dan tidak mengalami hiposalivasi. Candida albicans merupakan spesies yang paling sering ditemukan pada penelitian ini. ...... Background: Elderly is susceptible to systemic and oral disease. Until to now, there has been no research that discuss salivary flow rate (SFR) and Candida sp profiles in elderly at Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Binaan Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta. Objective: To determine the profiles of saliva and Candida sp in elderlies of PSTW. Methods: Stimulated and unstimulated SFR were measured. Then, unstimulated saliva samples were cultured using CHROMagarTM kit and the Candida colonies were counted and identified. Results: There were 279 elderly subjects composed of 107 males and 172 females. There were 160 subjects without systemic disease whereas subjects with 1, 2 and ≥3 systemic diseases were 70, 18, and 31 subjects respectively. There were 226 subjects with normal SFR and 53 hyposalivation subjects. Subjects with normal and hyposalivation in stimulated SFR were 53 and 74 subjects respectively. The saliva culture resulted with 153, 84, 72, and 100 colonies of C. albicans, C. tropicalis, C. krusei and C. glabrata. Conclusion:In this study, female subjects were dominant. Most subjects were without systemic disease and with normal SFR. Candida albicans was the most common species found in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan 30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511 (p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien.
Unstimulated Salivary Flow Rate Corresponds with Severity of Xerostomia: Evaluation using Xerostomia Questionnaire and Groningen RadiotherapyInduced Xerostomia Questionnaire.;Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan 30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511 (p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien.;Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan 30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511 (p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien.;Laju alir saliva tanpa stimulasi terkait dengan tingkat keparahan xerostomia: evaluasi dengan Kuesioner Xerostomia dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire. Radioterapi kanker kepala dan leher dapat mengakibatkan xerostomia; sel-sel asinar kelenjar saliva rusak sehingga kualitas dan kuantitas saliva menurun. Penilaian keparahan xerostomia menggunakan pemeriksaan obyektif dan subyektif. Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengukuran sekresi saliva tanpa stimulasi. Pemeriksaan subyektif dilakukan dengan pengisian kuesioner tentang mulut kering diantaranya Xerostomia Questionnaire (XQ) dan Groningen Radiotherapy-Induced Xerostomia Questionnaire (GRIX). Tujuan: Mengetahui hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dan penilaian keparahan xerostomia menggunakan dua kuesioner. Metode: Penelitian ini melibatkan 30 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di Instalasi Radiologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Januari-April 2013. Keparahan xerostomia dinilai menggunakan kuesioner xerostomia (XQ dan GRIX). Sekresi saliva tanpa stimulasi diukur selama 15 menit. Data dianalisis menggunakan uji Spearman Rank Correlation. Hasil: Ada hubungan negatif yang signifikan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX dengan nilai koefisien korelasi -0,452 (p<0,05) dan -0,511 (p<0,05). Simpulan: Ada hubungan antara sekresi saliva tanpa stimulasi dengan penilaian keparahan xerostomia menggunakan XQ dan GRIX pada pasien radioterapi kepala dan leher di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin rendah sekresi saliva tanpa stimulasi maka semakin parah xerostomia yang dirasakan pasien.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Faculty of Dentistry, Undergraduate Program;Journal of Dentistry Indonesia;Journal of Dentistry Indonesia, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vanya Aurellian Kusuma
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Early Childhood Caries (ECC) merupakan adanya satu atau lebih gigi berlubang, hilang, atau ditambal pada anak anak dengan usia sampai dengan 71 bulan. Mikroorganisme utama dari karies adalah Streptococcus mutans yang terklasifikasi menjadi empat, yaitu serotipe c, e, f, dan k. Menurut penelitian sebelumnya, ditemukan banyak Candida albicans pada plak anak dengan ECC, namun interaksinya dengan Streptococcus mutans belum diketahui secara pasti. Tujuan: Menganalisis kuantitas dan hubungan dari antigen Streptococcus mutans serotipe e dengan Candida albicans pada plak anak dengan karies dini serta bebas karies dikaitkan dengan laju alir saliva. Metode: Kuantitas antigen dari 36 sampel plak karies dan 14 sampel bebas karies diketahui melalui uji ELISA kemudian dikaitkan dengan laju alir saliva. Hasil: Perbandingan antara kuantitas kedua antigen pada laju alir saliva <30 detik didapatkan nilai 0,000 dan pada laju alir 30-60 detik sebesar 0,001. Hubungan antara kuantitas Streptococcus mutans serotipe e dan Candida albicans pada plak karies didapatkan nilai r = 0,639 dan r = 0,247 untuk plak bebas karies. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara kuantitas kedua antigen pada masing-masing tingkat laju alir saliva dan terdapat korelasi positif antara kuantitas antigen Streptococcus mutans serotipe e dengan Candida albicans pada plak karies dan plak bebas karies.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Oktasari
Abstrak :
ABSTRAK
Penyakit ginjal banyak dikaitkan dengan status kesehatan mulut dan kelainan dalam rongga mulut diantaranya perubahan karakteristik pada saliva yaitu laju alir saliva dan pH saliva. Tujuan: Untuk mengevaluasi dan membandingkan laju alir saliva dan pH saliva pada pasien dengan penyakit ginjal kronis PGK stadium Pre Dialisis dan Hemodialisis. Metode: Penelitian analitik observasional dengan metode potong lintang dengan jumlah partisipan sebanyak 32 anak penderita PGK terdiri dari dua kelompok: 16 anak PGK Pre Dialisis LFG > 15 ml / menit / 1,73 m2 dan 16 anak PGK hemodialisis LFG
ABSTRACT Kidney disease is associated with many abnormalities in the oral health status as well as with alterations salivary charateristics in salivary flow and salivary pH. The aim of this study was to evaluate and to compare salivary flow and salivary pH values in patients with chronic kidney disease CKD on stadium Pre Dialysis and Hemodialysis. Aim To evaluate and to compare salivary flow and salivary pH values in patients with chronic kidney disease CKD on stadium Pre Dialysis and Hemodialysis treatment. Method In a cross sectional study 32 patients were included was composed of two groups 16 patients with CKD Pre Dialysis GFR 15 ml min 1,73 m2 and 16 patients with CKD on hemodialysis GFR 15 ml min 1,73 m2 . Salivary flow and Salivary pH of unstimulated saliva were evaluated. Conclusion Salivary flow was no difference in stadium Pre Dialysis and Hemodialysis patients. Salivary pH was significantly lower in stadium Pre Dialysis patients, while the highest was in the Hemodialysis patiens findings observed in our study.
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nakashima, Yu
Abstrak :
Background: Saliva has many properties and the buffering capacity is important for the neutralization of oral fluids. It is unclear whether stressful conditions directly affect salivary buffering capacity, and we investigated the impact of physical stress on salivary buffering capacity. Methods: Twelve participants were subjected to the physical stress of jogging and running. The salivary buffering capacity and flow rate of the participants were measured before and after exposure to stressful conditions. Salivary α-amylase activity was measured as a quantitative index of stress. Results: No change in buffering capacity was detected among each time point during the whole course under physically stressful conditions. Next, we examined the change in buffering capacity after jogging compared to baseline. Six participants showed an increase in buffering capacity (Group A), while the other six participants showed a decrease or no change (Group B) after jogging. Group B showed a decrease in flow rate and increases in α-amylase activity and protein level after jogging, whereas Group A showed no changes in these properties. Conclusions: The results suggest that salivary buffering capacity changes following exposure to physically stressful conditions, and that the changes are dependent on the stress susceptibility of individuals.
Kagoshima University. Faculty of Dentistry ; Kagoshima University Graduate School of Medical and Dental Sciences. Department of Preventive Dentistry, 2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nagata, Emi
Abstrak :
Saliva has many properties and the buffering capacity is important for the neutralization of oral fluids. It is unclear whether stressful conditions directly affect salivary buffering capacity, and we investigated the impact of physical stress on salivary buffering capacity. Methods: Twelve participants were subjected to the physical stress of jogging and running. The salivary buffering capacity and flow rate of the participants were measured before and after exposure to stressful conditions. Salivary α-amylase activity was measured as a quantitative index of stress. Results: No change in buffering capacity was detected among each time point during the whole course under physically stressful conditions. Next, we examined the change in buffering capacity after jogging compared to baseline. Six participants showed an increase in buffering capacity (Group A), while the other six participants showed a decrease or no change (Group B) after jogging. Group B showed a decrease in flow rate and increases in α-amylase activity and protein level after jogging, whereas Group A showed no changes in these properties. Conclusions: The results suggest that salivary buffering capacity changes following exposure to physically stressful conditions, and that the changes are dependent on the stress susceptibility of individuals.
2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Damayanti
Abstrak :
Latar Belakang: Di Indonesia, prevalensi kanker pada anak usia 0-14 tahun sekitar 0,4 per mil, dengan Leukemia Limfositik Akut (LLA) merupakan yang tertinggi. Kemoterapi fase induksi dan konsolidasi merupakan terapi untuk mengeliminasi sel kanker dengan efek samping penurunan laju alir dan pH saliva. Efek samping timbul pada hari ke 5-10 setelah kemoterapi dan berlangsung selama 7-14 hari. Tujuan: Menganalisis pengaruh probiotik Lactobacillus casei terhadap laju alir dan pH saliva pada anak penderita LLA yang sedang menjalani kemoterapi, sebelum dan setelah berkumur probiotik. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan uji eksperimental klinis yang dilakukan pada 11 partisipan anak penderita LLA yang sedang menjalani kemoterapi fase induksi dan konsolidasi. Pemeriksaan klinis status oral dan wawancara mengenai adanya mulut kering juga dilakukan. Pengambilan sampel saliva dilakukan pada pagi hari antara pukul 09.00-11.00 WIB, sebelum dan setelah berkumur probiotik selama 7 dan 14 hari. Setiap partisipan diinstruksikan untuk berkumur probiotik selama 2x30 detik, pagi dan malam, selama 14 hari. Analisis data menggunakan GLM Repeated Measure karena data terdistribusi normal (p<0,05), untuk membandingkan laju alir dan pH saliva sebelum dan setelah berkumur probiotik selama 7 hari hingga 14 hari. Hasil: Sebanyak 11 partisipan, 9 (81,8%) LLA berisiko tinggi, dan risiko standar 2 (8,2%), 7 (63,6%) partisipan memiliki keluhan mulut kering. Sebelum berkumur probiotik, laju alir dan pH saliva masing-masing adalah 0,56±0,17 dan 6,79±0,22. Setelah 14 hari berkumur probiotik, hasil menunjukkan peningkatan yang signifikan pada laju alir saliva menjadi 0,9±0,28 (p<0,05), sedangkan pH saliva meningkat namun tidak signifikan menjadi 6,99±0,51 (p>0,05). Kesimpulan: Berkumur probiotik selama 14 hari secara signifikan dapat meningkatkan laju alir saliva dan meningkatkan serta menjaga kestabilan pH saliva pada anak penderita LLA yang sedang menjalani kemoterapi. ......Background: In Indonesia, prevalence of cancer in children aged 0-14 years is around 0.4 per mil, and Acute Lymphocytic Leukemia (ALL) is the highest. Induction and consolidation chemotherapy phase were therapy to eliminate cancer cells with side effects of decreasing salivary flow and salivary pH. Side effects appear on day 5-10 after chemotherapy and last for 7-14 days. Objective: To analyze effect of probiotics Lactobacillus casei on salivary flow and pH in children with ALL undergoing chemotherapy, before and after probiotics gargling. Methods: A randomized clinical trial was conducted on 11 participants children with ALL on induction and consolidation phases in chemotherapy. Clinical examination of the oral status and interview regarding the presence of dry mouth were also done. Saliva samples were collected in the morning between 09.00-11.00 a.m., before and after 7 and 14 days probiotics gargling. Each participant was instructed to gargle probiotics for 2x30 secs, morning and night, for 14 days. Data analysis using GLM Repeated Measure because the data was normally distributed (p<0.05). Results: A total of 11 participants, 9 (81.8%) were ALL high risk, and standard risk 2 (8.2%), 7 (63.6%) participants had dry mouth sensation. Before gargling probiotics, salivary flow and salivary pH were 0.56±0.17 and 6.79±0.22, respectively. After 14 days of probiotics gargling, results showed significant increase in salivary flow to 0.9±0.28 (p<0.05), while salivary pH changed unsignificantly to 6.99±0.51 (p>0.05). Conclusion: Probiotics gargling for 14 days can significantly increase salivary flow and improve stability of salivary pH in children with ALL undergoing chemotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ganesha Asturini
Abstrak :
Latar Belakang: Remaja adalah salah satu kelompok populasi yang paling terpengaruh dalam tiga beban malnutrisi di Indonesia. Berbagai penelitian telah membuktikan hubungan antara status nutrisi dengan kesehatan gigi mulut. Penelitian dalam kariologi belakangan ini banyak mengeksplorasi bakteri Veillonella terkait interaksinya dengan Streptococcus dalam pembentukan biofilm. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dan status kesehatan gigi mulut, laju alir saliva dan kuantifikasi relatif bakteri Veillonella parvula dalam saliva. Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang analitik, dengan subyek 49 anak laki-laki dan 52 perempuan direkrut dari sebuah Pesantren SMP di Depok, Jawa Barat untuk dilakukan pemeriksaan gigi mulut, status antropometri berat badan, tinggi badan dan IMT serta pengambilan saliva tanpa stimulasi untuk perhitungan laju alir saliva. Kuantifikasi bakteri relatif dilakukan dengan metode RT-PCR untuk mengidentifikasi bakteri V parvula. Hasil: Terdapat korelasi positif lemah antara IMT dan kuantifikasi relatif bakteri V parvula (r= 0.2, p=0.04), namun tidak ditemukan korelasi bermakna antara IMT dan indeks plak serta IMT dan laju alir saliva tanpa stimulasi. Kesimpulan: Terdapat korelasi lemah bermakna antara IMT dan kuantifikasi relatif V parvula, sementara itu terdapat korelasi lemah dan tidak bermakna antara IMT dan indeks plak maupun IMT dan laju alir saliva. Penelitian berikutnya perlu mengeksplorasi hubungan IMT dengan berbagai parameter status kesehatan gigi mulut dengan mempertimbangkan berbagai faktor risiko perancu dan mengidentifikasi spesies-spesies Veillonella lainnya. ......Background: Until recently, the triple burden of malnutrition remains a major health issue in Indonesia and adolescents are one of the most affected population. Oral cavity is the main gate of the digestive system and studies have shown the association between nutritional status and oral health. Objectives: This study aimed to analyze the correlation between body mass index and oral health status, unstimulated salivary flow rate and relative quantification of Veillonella parvula in saliva. Method: In a cross-sectional study design, 49 male and 52 female students aged 12-14 year-old were recruited from an Islamic Boarding School in Depok, West Java and clinically examined for the Greene and Vermillion’s debris index. The unstimulated salivary flow rate was determined (ml/min). Anthropometric examinations were carried out for body weight, body height and body mass index per age according to the standards from Ministry of Health Regulations. Real-time polymerase chain reaction was used to quantify the presence of Veillonella parvula. Results: There is a significant correlation between BMI and relative expression of salivary Veillonella parvula (r= 0.2, p=0.04), however no correlations were found between BMI and OH status, and BMI and unstimulated salivary flow rate. Conclusion: This study demonstrated that there is no linear relationship between BMI and salivary flow rate and/or OH status, however a weak but significant correlation was found between BMI and salivary V parvula. Further studies are needed to investigate relationships between BMI and other nutrition parameters with oral health indicators in the adolescent populations, while considering other Veillonella species.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Marwah Septami Sikumbang
Abstrak :
Latar Belakang: Pada tahun 2018 ditemukan angka prevalensi karies anak di Indonesia mencapai 90,2%. Sebelumnya saliva diketahui dapat digunakan sebagai biomarker karies dengan menguji kuantitatif bakteri, identitas konsentrasi protein, karakteristik psikokimia serta karakteristik biokimia. Tujuan: Menganalisis konsentrasi malondialdehyde pada saliva anak ECC (early childhood caries) dan bebas karies serta kaitannya dengan skor dmf-t, OHI-S, viskositas saliva dan laju alir saliva. Metode: Mengukur konsentrasi malondialdehyde pada 33 sampel saliva anak tersimpan (22 sampel saliva anak ECC dan 11 sampel saliva anak bebas karies) dengan ELISA. Hasil: Analisis Mann Whitney antara konsentrasi malondialdehyde pada saliva ECC dan anak bebas karies didapatkan nilai p=0 serta didapatkan nilai p=0 dan r= -0,641 saat dilakukan analisis Spearman. Analisis Kruskal Wallis pada konsentrasi malondialdehyde anak dengan skor dmf-t berbeda didapatkan nilai p=0,014 serta didapat nilai p=0,004 dan r=0,488 saat dilakukan analisis Spearman. Tidak terdapat perbedaan bermakna serta korelasi antara konsentrasi malondialdehyde terhadap skor OHI-S, viskositas dan laju alir saliva berbeda. Kesimpulan: Konsentrasi malondialdehyde pada saliva anak ECC berbeda dengan konsentrasi malondialdehyde anak bebas karies, semakin tinggi konsentrasi malondialdehyde maka semakin parah karies yang dialami anak. Anak dengan skor dmf- t yang berbeda memiliki konsentrasi malondialdehyde yang berbeda pula. Semakin tinggi skor dmf-t semakin tinggi pula konsentrasi malondialdehyde. Tidak ditemukan hubungan antara konsentrasi malondialdehyde pada anak bebas karies dan ECC terhadap skor OHI- S, viskositas saliva dan laju alir saliva. ......Background: In 2018, prevalence rate of children’s caries in Indonesia reached 90,2%. Previously, saliva was known as a caries biomarker by testing quantitative bacteria, protein concentration identity, psychochemical and biochemical characteristics. Objective: Analyze malondialdehyde concentration in children’s saliva with ECC (early childhood caries) and caries-free and its relation to dmf-t score, OHI-S, salivary viscosity and salivary flow rate. Methods: Measuring malondialdehyde concentration from 33 stored children’s saliva samples (22 samples ECC and 11 samples caries-free) using ELISA. Results: Mann Whitney analysis between malondialdehyde concentration from ECC children’s saliva and caries free children obtained p=0 and then p=0, r= -0,641 for Spearman analysis. Kruskal Wallis analysis of malondialdehyde concentrations in children with different dmf-t scores obtained p=0,014 and p=0,004, r=0,488 for Spearman analysis. There was no significant difference and there was no significant correlation between malondialdehyde concentration and OHI-S score, viscosity and different salivary flow rates. Conclusion: Malondialdehyde concentration in ECC children’s saliva was different from malondialdehyde concentration in caries free children, higher malondialdehyde concentration show worse caries experienced in children. Children with different dmf-t scores had different malondialdehyde concentrations. Higher dmf-t score show higher malondialdehyde concentration. There was no relation between malondialdehyde concentration in caries-free children and ECC to OHI-S score, salivary viscosity and salivary flow rate.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia , 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library