Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Purwastuti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22568
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syafvan Rizki
"Teleconference sebagai cara yang digunakan untuk melindungi saksi pada saat memberikan keterangan di persidangan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Teleconference juga bisa dikategorikan sebagai manifestasi bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada saksi pada kasus-kasus tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Akan tetapi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa semua bentuk perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dapat diberikan setelah adanya persetujuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara dalam Pasal 9 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1), bahwa pemeriksaan saksi melalui teleconference baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari hakim. Skripsi ini menganalisis siapa sesungguhnya yang berwenang dalam menentukan apakah seorang saksi diperiksa melalui teleconference atau tidak, khususnya pada Persidangan Tindak Pidana Terorisme Atas Nama Terdakwa Abu Bakar bin Abud Ba?asyir Alias Abu Bakar Ba?asyir Nomor Register Perkara 148/Pid.B/2011/PN.JKT.Sel. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode kepustakaan dengan metode pendekatan perudang-undangan dan pendekatan kasus.

Abstract
Teleconferencing as an option for protecting the witness when he or she gives his or her testimony on a trial has been regulated in article 9 paragraph (3) of Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victim. Teleconferencing as a form of protection that may provided for witness in certain cases refers to article 5, paragraph (1) of Law No.13/2006. However, as article 5 paragraph (2) has determined that all forms of protection refers to article 5 paragraph (1) allowed only after the approval of Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (The Body of Witness and Victim Protection). Although article 9 paragraph (3) jo. Article 9 paragraph (1) that the interrogation of witness via teleconference may be done only after receiving permission from the judge. This thesis mainly discussed about the authority to determine whether a witness examined via teleconference or not, especially on the trial of a terrorism crime in the name of offender Abu Bakar bin Abud Ba'asyir alias Abu Bakar Ba'asyir Case Number 148/Pid.B /2011/PN. JKT.Sel. This thesis is using the normative method research in statue approach and case approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S266
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ansari Nurmalinda
"Sejak awal lahirnya profesi jabatan Notaris, Notaris termasuk jabatan yang prestisius, mulia, bernilai keluhuran dan bermartabat tinggi. Oleh karena pengemban profesi Notaris dalam mengemban jabatannya harus dilandasi Undang-Undang Jabatan Notaris untuk menjaga mutu dari lembaga kenotariatan itu sendiri. Dalam pembuatan akta Notaris tentunya harus dihadiri oleh saksisaksi. Pada pembuatan akta Notaris dikenal dua jenis saksi yaitu saksi instumenter (instrumentaire getuigen) dan saksi pengenal (attesterend getuigen). Saksi pengenal adalah saksi yang berfungsi untuk menjelaskan kedudukan penghadap yang datang menghadap kepada Notaris manakala penghadap tersebut tidak dapat menunjukan identitasnya. Sehingga kedudukan saksi pengenal dalam akta Notaris mempunyai peranan yang penting, kedudukan itu pula yang melandasi dapat terdegradasinya keabsahan akta Notaris menjadi akta di bawah tangan apabila Notaris lalai dalam mencantumkan identitas saksi pengenal dalam aktanya. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normative dengan tipologi penelitian eksplanatoris Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan studi dokumen. Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa saksi pengenal mempunyai kedudukan yang berbeda dengan saksi instrumenter, karena syarat sebagai saksi pengenal dengan saksi intumenter tidaklah sama hal ini disebabkan oleh fungsi dari saksi-saksi itu sendiri. Pentingnya kedudukan saksi pengenal dalam akta Notaris menyebabkan apabila akta Notaris tersebut tidak mencantumkan identitas saksi pengenal dalam aktanya dapat menyebabkan akta tersebut menjadi akta di bawah tangan sehingga apabila perubahan kekuatan pembuktian tersebut dapat menyebabkan kerugian terhadap para pihak dalam akta, maka para pihak dapat menuntut ganti kerugian atas kesalahan Notaris yang bersangkutan.

Since the birth of notary department profession, notary is a prestigious, honor, dignity and worth of high dignity profession. Therefore because Notary profession based on Notary?s act to maintain notarys institution itself. In the manufacture of the Notary act should certainly be attended by the witnesses. In manufacturing Notary act known two witnesses which are named instumenter witness (instrumentaire getuigen) and identification witness (attesterend getuigen). Identification witness is a witness that serves to explain the client who came to the Notary and could not show his identity. As the witness identification of the Notary Act has an important role, this position can affect the validity of the Notary deed when the Notary is negligent to enter the identity of identification witness in the act. This research is a normative research, with the typology of normative explanatory research. Data used are secondary data consisting of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal material. Data collected through literature and documents studies. After the data is collected, then analyzed the data qualitatively.
The results of the research and discussion explaining that a witness identification has a different position with instrumenter witness, because the witness identification requirement and witness instumenter is not the same due to the function of the witnesses themselves. The importance of the position of witness identification in Notarial Deed cause if it does not include the identity of identification witnesses in the act can affect the probative force of the Notary deed. So if the probative force can cause harm to the parties to the deed, the parties can sue for damages to the Notary concerned."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T42467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Astrid Rita Anggreni
"Pengaturan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di negara hukum adalah mutlak diperlukan khususnya di Indonesia, sebagai sarana untuk menjamin ditegakannya HAM. Selain itu, menurut Soerjono Soekamto perlu pula ditingkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat, sehingga masing-masing anggotanya menghayati hak dan kewajibannya, secara tak langsung meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum sesuai dengan Undangundang Dasar 1945.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bagir Manan mengatakan bahwa keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung kepada penerapan penegakannya. Penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik, membuat peraturan perundang-undangan yang bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan. Penegakan hukum dari pelaksanaan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna, kelemahan utama bukan pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum masih sangat terbatas, penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T14584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dion Rizkian
"Tesis ini membahas mengenai penerapan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris berkaitan dengan tanggung jawab Notaris sebagai saksi di Pengadilan. Tanggung jawab yang harus dipikul oleh Notaris sehubungan dengan tindakan Notaris dalam menjalankan kewenangan dan kewajibannya mempergunakan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault) yaitu prinsip tanggung jawab atas prinsip umum yang berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Menjadi saksi dalam perkara perdata ataupun dalam perkara pidana adalah merupakan suatu kewajiban karena dengan jelas diatur dalam Undang- Undang. Notaris sebagai saksi dalam perkara perdata dan pidana ternyata menurut penelitian terdapat perbedaan dalam pengaturannya yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10. Tahun 2007. Pemberlakuan Peraturan Menteri ini dapat dipandang memperlemah pelaksanaan Pasal 66 karena jangka waktu pemberian persetujuan sejak diterimanya permohonan untuk Majelis Pengawas Daerah itu menjadi kendala bagi Majelis Pengawas Daerah dalam menjalankan tugasnya.

This thesis aimed to review all implementation aspects of Article 66 of Act No. 30/2004 about Notary Function regarding to their responsibilities as witness in a court where concerned on duty and authorities of all their law action uses liability based on fault principle. This principle means there is any notary responsibilities on common principle of criminal and civil laws where become witness is a mandatory and also ruled by Minister of Law and Human Rights Ordinance No. M.03.HT.03.10/2007. Conclusion of this thesis explains that above stated Minister of Law and Human Rights Ordinance could be diluting effectiveness of Article 66 implementation regarding in any time delays to approval for LocalSupervision Board (MPD) starting their jobs."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27413
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Turmudhi
"Tesis ini membahas perlindungan hukum terhadap whistleblower kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Penelitian tesis ini adalah penelitian ualitatif dengan metode pendekatan yuridis normative dengan disain deskriptif analisis. Penelitian dilatarbelakangi banyaknya whistleblower kasus korupsi yang dikriminalisasi dengan pidana yang melibatkan dirinya terutama pencemaran nama baik, selain itu banyak kasus whistleblower yang mendapat ancaman secara fisik oleh pihak-pihak yang dilaporkan atau diungkapkan ke publik. Kriminalisasi dan intimidasi terhadap whistleblower disebabkan karena Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak memberikan landasan hukum yang kuat dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi pengungkap fakta (whistleblower) terutama yang terlibat dalam tindak pidana. Perlindungan terhadap whistleblower secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 pada Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2), yang dinilai bertentangan dengan semangat whistleblower, karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistleblower, dimana yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menunjukkan bahwa yang menjadi sasaran utama dalam upaya perlindungan hukum dalam proses penegakkan hukum pidana adalah hanya terhadap saksi dan korban, sehingga whistleblower (peniup peluit) yang berhak mendapat perlindungan hukum harus memenuhi kualifikasi sebagai saksi, yaitu apa yang diungkapkan ke publik adalah suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Sedangkan yang hanya memenuhi kualifikasi sebagai pelapor, maka perlindungan yang diberikan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

This thesis discusses the legal protection of the whistleblower cases of corruption based on Law No. 13 of 2006 on Protection of Witnesses and Victims. This thesis research is qualitative research methods with normative juridical approach to the design of descriptive analysis. Research background of many whistleblower cases of corruption are criminalized by the criminal himself chiefly involving defamation. In addition, there are many cases of whistleblowers who receive physical threats by those who report or disclose to the public.Criminalization, and intimidation against whistleblowers is because Act No. 13 of 2006 on Protection of Witnesses Victims do not provide a strong legal basis in an effort to provide legal protection for expressing facts (whistleblower) mainly involved in the crime. Protection against whistleblowers is explicitly regulated in Law Number 13 Year 2006 on Article 10 Paragraph (1) and Paragraph (2), which is considered contrary to the spirit of the whistleblower, as this article does not satisfy the principle of protection against a whistleblower, which is concerned remains to be convicted criminal when engaged in crime. While that is only qualified as a reporter, then the protection afforded by the Law Number 31 Year 1999 on Eradication of Corruption."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28724
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wulansari
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22517
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rosmala Dewi
"Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Instrumenter Dalam Akta Notaris diperlukan karena seringnya saksi instrumenter terseret dalam suatu perkara yang berkaitan dengan akta Notaris. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan data kepustakaan, dibuatlah tesis ini. Perlindungan hukum bagi saksi instrumenter seharusnya diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris karena fungsinya berkaitan dengan akta Notaris. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban ternyata tidak cukup untuk memberikan perlindungan hukum bagi saksi instrumenter. Dengan demikian diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang melindungi secara khusus hak-hak saksi instrumenter.

The protection of law of Instrumenter Witnesses on the notarial deed is needed because often instrumenter witnesses dragged into a case relating to the notary. By using the method of normative legal with the data of literature this tesis are discussed. Legal protection for witnesses instrumenter should be regulated in a law position of notary because the functions connected with notary. Regulations number 13 of 2006 about the protection of witnesses and the victim was not enough to give legal protection for witnesses instrumenter. Therefore, need a regulation which specifically protects the rights of witnesses instrumenter."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31529
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Enita Safitri
"Melalui penelitian kepustakaan dan metode perbandingan serta atas analisa Perundangan. Penulis hendak membahas kedudukan saksi dalam Perkawinan yang ditinjau dari segi Hukum Islam dan UU. NO. 1 Th. 1974 JO.PP. 9/1975. Menurut Hukum Islam setiap Perkawinan harus dihadiri oleh dua orang saksi yang telah memenuhi syarat, sebagai salah satu rukun Perkawinan. Suatu Perkawinan yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi maka nikahnya dianggap tidak sah. Sedangkan menurut UU. NO. 1 Th. 1974 Perkawinan di-lakukan menurut masing-masing Agama dan Kepercayaan,tetapi-harus dilengkapi dengan dua orang saksi dan pegawai penca-tat sesuai dengan ketentuan Pasal 2 (1) UU NO.1 Th. 1974 JO.PP. 9/1975. Oleh karena itu jika terjadi Perkawinan tanpa dihadiri oleh saksi-saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh Pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam & yang beragama lain. (bukan beragama Islam) ke Pengadilan Negeri. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>