Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitanggang, Ka`Bah D. Yanti
Abstrak :
Tesis ini mengungkapkan besarnya pengaruh masing-masing faktor lingkungan dan faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh paling besar pada perilaku konsumsi sagu, serta meninjau dampak perilaku konsumsi sagu pada lingkungan. Metode yang dilakukan adalah metode survei melalui kuesioner dan interview dengan pendekatan deskriptif kuantiatif. Variabel yang diamati adalah pengetahuan (X1), sikap (X2), keterbatasan bahan pangan (X3), harga bahan pangan (X4), nilai gizi pangan (Xs), dan Dukungan Pemerintah (X6), pada variabel perilaku konsumsi individu (Y). Hasil penelitian memperlihatkan untuk wilayah Jakarta besarnya pengaruhuh masing-masing faktor lingkungan adalah pengetahuan (X1) sebesar 52,9%, sikap individu (X2) sebesar 12,4%, keterbatasan bahan pangan (X3) sebesar 5%, harga bahan pangan (X4) sebesar 17,9%, nilai gizi bahan pangan (Xs) sebesar 7,2%, dan dukungan pemerintah (X6) sebesar 9,9%. Faktor lingkungan yang dominan pada wilayah Jakarta adalah faktor pengetahuan individu. Pada wilayah Papua, pengaruh pengetahuan (X1) sebesar 31,8%, sikap (X2) sebesar 6,2%, keterbatasan bahan pangan (X3) sebesar 66,1%, harga bahan pangan (X4) sebesar 19,1%, nilai gizi bahan pangan (Xs) sebesar 37,8%, dan dukungan pemerintah (X6) sebesar 23,7%. Faktor lingkungan yang dominan pada wilayah Papua adalah faktor keterbatasan bahan pangan. Berdasarkan kajian teori, perilaku konsumsi sagu dapat menjaga kestabilan ketahanan pangan dan menjaga ekosistem lingkungan. Karena tanaman sagu adalah tanaman asli hutan Indonesia yang tersedia cukup melimpah dan dapat tumbuh dilahan marginal basah dan kering. Membudidayakan tanaman sagu berarti menjaga keberlanjutan ekosistem hutan dan lingkungan, sebab tanaman sagu bukan merupakan monokultur. Sagu dapat tumbuh dengan baik bersama tanaman hutan lainnya......This thesis reveals the magnitude of the influence of each environmental factor and the environmental factor that has the greatest influence on sago consumption behavior, and examines the impact of sago consumption behavior on the environment. The method used is a survey method through questionnaires and interviews with a quantitative descriptive approach. The variables observed were knowledge (X1), attitudes (X2), limited food ingredients (X3), food prices (X4), nutritional value of food (Xs), and Government Support (X6), on individual consumption behavior variables (Y) . The results show that for the Jakarta area, the magnitude of the influence of each environmental factor is knowledge (X1) of 52.9%, individual attitudes (X2) of 12.4%, food limitations (X3) of 5%, food prices (X4 ) of 17.9%, the nutritional value of food (Xs) of 7.2%, and government support (X6) of 9.9%. The dominant environmental factor in the Jakarta area is the individual knowledge factor. In the Papua region, the effect of knowledge (X1) is 31.8%, attitude (X2) is 6.2%, limited food ingredients (X3) is 66.1%, food prices (X4) is 19.1%, the value of food nutrition (Xs) of 37.8%, and government support (X6) of 23.7%. The dominant environmental factor in the Papua region is the factor of food shortages. Based on theoretical studies, sago consumption behavior can maintain food security stability and protect environmental ecosystems. Because sago plants are native to Indonesian forests, they are abundantly available and can grow in wet and dry marginal lands. Cultivating sago plants means maintaining the sustainability of forest ecosystems and the environment, because sago palms are not a monoculture. Sago can grow well with other forest plants.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Djaka Soehendera
Abstrak :
Karya tulis ini menguraikan pengaruh program pembangunan terhadap aspek kehidupan penduduk desa Tabbeyan, khususnya akses mereka terhadap sumber daya, terutama sagu. Sebagai responnya, media 'sistem' kekerabatan yang ada kemudian diaktifkan oleh banyak penduduk dalam rangka mempermudah perolehan sumber daya (ekonomi). Perolehan sumber daya itu dianggap bertambah sulit (atau bertambah dibutuhkan), antara lain, karena adanya proses pembangunan yang dilaksanakan di desa Tabbeyan. Tesis ini seolah-olah berfokus pada kaitan antara tiga aspek yang nampaknya otomatis berhubungan sebab-akibat; yaitu aspek program pembangunan, aspek 'sistem' kekerabatan dan aspek perolehan sumber daya (ekonomi, terutama sagu). Padahal bila diamati dengan seksama, uraian tesis ini berusaha menghindari anggapan terjadinya hubungan sebab akibat secara otomatis di antara ketiga aspek tersebut. Fokus perhatian untuk analisa dan uraian tesis ini berlingkup pada aspek kekerabatan. Gejala proses kekerabatan itu sendiri pada sisi tertentu berkaitan dengan beberapa hal yang patut diberi perhatian, antara lain, apakah 'sistem' penggunaan nama fam (suku bosena) di belakang nama seseorang memang baru digunakan atau sudah dari sejak dulu. Hal lain misalnya, terjadi pula berbagai 'aturan' kekerabatan yang bila dilihat dari sudut disiplin hukum adat harusnya ditaati dan dilaksanakan, namun seringkali dilanggar. Namun demikian, metode kajian terhadap 'sistem' kekerabatan ini bukan semata-mata dilaksanakan demi 'sistem' itu sendiri, tetapi akan disusuri kaitannya-langsung maupun tidak-dengan proses sosial lainnya. Jadi, kajian pada aspek kekerabatan itu dikaitkan dengan kegiatan ekonomi, upaya pelaksanaan pengamanan di desa, maupun dengan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pemilik lang bina (hak milik atas tanah) serta hubungan-hubungan lainnya. Contohnya, ketika penduduk Tabbeyan mulai merasakan kelangkaan sagu (akhir 1988), maka sebagian dari mereka kemudian sengaja 'mengaktifkan' ikatan kekerabatan yang sudah ada, dan sebagian lagi mulai mengikutinya. Dengan memiliki hubungan kerabat pada pemilik lang bina (hak milik atas tanah), maka orang yang bersangkutan merasa ikut berwewenang untuk memperoleh sagu dari para kerabatnya. Dan, pada beberapa kesempatan upaya 'pengaktifan' ikatan kekerabatan ini juga dilakukan berkenaan dengan perolehan sumber daya (ekonomi) lain, seperti pinang, sirih, bahkan juga rokok, supermie dan sardines. Namun demikian, pengaktifan ikatan kekerabatan yang ada pun, pada kenyataannya, tidak selalu menjadi media yang ampuh dalam mendapatkan berbagai sumber daya tersebut. Kadangkala, ikatan kekerabatan nampak tidak diperdulikan oleh beberapa orang pemilik lang bina (hak milik atas tanah). Pengertian sistem dalam konteks 'sistem kekerabatan' pada tesis ini, lebih dilihat sebagai sesuatu yang dinamis, kadangkala (mungkin) 'bulat' namun seringkali bisa pula 'lonjong' maupun tidak selalu membentuk keteraturan. Karena pada kenyataannya, paling tidak seperti yang terurai pada karya tulis ini, terdapat berbagai variasi pada 'sistem' kekerabatan yang ada. Analisa yang diterapkan pada karya tulis ini adalah lebih berlandaskan pada hasil-hasil kerja lapangan (field work) yang kemudian dapat disebut sebagai analisa terhadap data primer, dan tidak terlalu bertumpu pada analisa terhadap data tersier (yakni berupa teori general tertentu). Namun demikian, pada bagian-bagian tertentu, kajian ini dilengkapi pula dengan analisa terhadap data sekunder, misalnya mengenai asumsi-asumsi tertentu yang dimunculkan dari suatu kajian etnografis.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuning Hanurawati
Abstrak :
ABSTRAK
Glukoamilase menghidrolisis ikatan a-1,4 dan a-1,6 pada ujung non-reduktif dari pati.

Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan aktivitas glukoamilase dari A. awamori UICC 314 yang ditumbuhkan pada medium Sakai modifikasi dengan enam sumber karbohidrat yang berbeda. Pengukuran aktivitas glukoamilase dengan metode Nishise et al. (1988), dan konsentrasi glukosa dengan metode Somogyi-Nelson.

Dalam waktu fermentasi 24 jam urutan tinggi ke rendah aktivitas glukoami1ase dihasilkan dari tepung beras, tepung ubi, maizena, tapioka, soluble starch dan tepung sagu; pada tepung sagu dan soluble starch aktivitas berbeda nyata dengan tepung beras, tepung ubi, maizena, dan tapioka; aktivitas pada soluble starch juga berbeda nyata dengan tepung sagu; pada tapioka aktivitas tidak berbeda nyata dengan tepung beras dan tepung ubi, sedangkan dengan maizena berbeda nyata; pada tepung beras, tepung ubi, dan maizena hasilnya tidak berbeda nyata.

Dalam waktu fermentasi 48 jam tidak ada perbedaan aktivitas glukoamilase pada semua sumber karbohidrat.

Aktivitas glukoamilase berbeda dalam waktu fermentasi 24 dan 48 jam pada tepung beras, tepung ubi, maizena, dan tepung sagu; sedangkan pada tapioka dan soluble starch tidak ada perbedaan. ABSTRACT
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kambuy, Edoardus
Abstrak :
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan peranan pemerintah Kabupaten Merauke dalam pelaksanaan proyek pembangunan, dalam rangka melestarikan kembali hutan tanaman sagu pada alam habitatnya sebagai pembangunan yang berkelanjutan (suistainability development) serta menyiapkan bahan makanan "pati sagu" (basic need) bagi masyarakat kampung Wapeko. Lokasi yang dipilih adalah Kampung Wapeko, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Propinsi Papua. Secara spesifik, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan peranan pemerintah kabupaten dalam pelaksanaan proyek pembangunan budidaya tanaman sagu dan mengidentifikasi serta menjelaskan faktor-faktor pendukung dan penghambatnya. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukan bahwa (1) penerapan prinsip-prinsip partisipatoris dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan budidaya tanaman sagu di Kampung Wapeko memperoleh antusiasme yang besar dan masyarakat Kampung Wapeko, (2) Peran pemerintah dalam pelaksanaan proyek pembangunan budidaya tanaman sagu di Kampung Wapeko yang langkah-langkahnya didasari pada kewenangan pemerintah dalam administrasi penyelenggaraan pemerintahan yang meliputi: tersusunnya struktur organisasi proyek, tersedianya aparat pelaksana, tersedianya dana, serta pelaksanaan proyek pembangunan disusun melalui proyek, yang dilakukan melalui pelelangan proyek kepada para pengusaha (swasta) dalam pelaksanaannya. Di samping itu, hasil penelitian lapangan menunjukan bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan yaitu faktor pendukung dan penghambat. (1) Faktor pendukung dalam pelaksanaan pekerjaan dilokasi antara lain: Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pekerjaan, lahan penanaman telah disiapkan oleh masyarakat, tersedianya dana oleh pemerintah, aparat pemerintah kampung serta organisasi masyarakat kampung mendukung pelaksanaan kegiatan proyek, tersedianya bibit anakan sagu oleh masyarakat, serta aparat pelaksana proyek telah ditunjuk oleh kepala Dinas Kehutanan untuk melaksanakan kegiatan proyek, dukungan sarana kerja yang memadai oleh Dinas Kehutanan, pelaksana proyek dilapangan oleh CV. Shindra Jaya dan pengawasan yang ketat oleh manejer baik secara vertikal maupun secara horizontal dalam pelaksanaan pekerjaan. (2) Faktor penghambat dalam pelaksanaan kegiatan proyek pada lokasi penelitian antara lain, kebijakan perencanaan pelaksanaan proyek oleh bupati tidak disesuaikan dengan pedoman umum DAK-DR dari pemerintah pusat, sehingga banyak hambatan dalam pengawasan secara langsung melalui monitoring proyek, pengawasan lapangan, datangnya musim kemarau anakan sagu yang ditanam mati karena lahan yang ditanam kering, kebakaran, adanya indikasi korupsi, dan juga tergantung penunjukan kontraktor dalam melaksanakan kegiatan proyek sedangkan dilokasi penanaman antara lain, pembibitan serta penyemaian anakan sagu yang kurang memenuhi persyaratan tanam, jangka waktu pelaksanaan maupun persiapan lahan serta pembibitan peluang waktu terlalu sempit, tidak ditempatkan tenaga teknis, kurang adanya pengawasan yang ketat oleh pimpinan, kurang adanya kordinasi kerja, lahan tanaman anakan sagu tanah agak tinggi dan tanah tanah hujan sehingga sewaktu musim panas tanah kering. Dari hasil penelitian lapangan dapat disimpulkan bahwa pembangunan sosial melalui kebijakan proyek pembangunan budidaya tanaman sagu, pada pelaksanaan pekerjaan dari awal hingga akhir kegiatan telah dilaksanakan oleh CV. Shindra Jaya, baik secara administrasi proyek maupun pelaksanaan phisik lapangan, kebijakan pembangunan melalui proyek budidaya tanaman sagu merupakan salah satu kegiatan pembangunan sosial, waktu pelaksanaan kegiatan terlalu sempit antar waktu pembibitan dan kegiatan lahan, tata cara pelaksaaan pekerjaan dilapangan oleh kontraktor asal kerja, perencanaan biaya pelaksanaan melalui dana DAK-DR, kepemimpinan dalam pengawasan kurang ketat, petugas PPL tidak ditempatkan pada lokasi lahan serta merangkap sebagai pengawas lapangan, datangnya musim panas hingga tanaman mati, kontraktor harus serius serta keberpihakan kepada masyarakat dalam kegiatan proyek. Terhadap hasil penelitian di atas beberapa hasil penting direkomendasikan dafam penelitian ini adalah (1) Peran pemerintah sebagai fasilitator dalam penyiapan dana serta perencanaan sosial untuk kepentingan masyarakat, (2) peran pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia masyarakat kampung untuk Iebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan oleh masyarakat sendiri, (3) perlu adanya koordinasi aparat pemerintah dengan masyarakat tentang atam dan kondisi daerah, (4) perencanaan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat mengarahkan pada perencanaan sosial melalui kebijakan pembangunan, (5) Dukungan dana kelanjutan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk menjaga dan memelihara tanaman anakan sagu, (6) Memberdayakan masyarakat dalam kegiatan proyek swakelola, (7) Kepemimpinan sangat menentukan arah dan strategi pelaksanaan tugas, (8) Pengawasan yang ketat oleh pimpinan baik secara vertikal maupun horizontal, (9) penunjukan kontraktor yang harus berkualitas dan mampu.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T21695
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athoillah Azadi
Abstrak :
ABSTRAK
Polylactide acid (PLA) telah banyak diteliti dan telah digunakan sebagai material yang dapat digunakan untuk plat penyambung tulang (miniplate). Namun, PLA memiliki degradasi yang lambat pada fase kristal dapat menyebabkan beberapa komplikasi pada jaringan. Miniplate berfungsi sebagai penyambung tulang rusak yang dapat ditransplantasikan ke dalam tubuh tanpa adanya penolakan dari tubuh. Pati sagu (Metroxylon sago) sebagai polimer biodegradable yang keberadaanya melimpah di Indonesia, memiliki kemampuan degradasi yang baik dan tidak beracun, berpotensi memperbaiki sifat degradasi dari PLA. Penelitian ini bertujuan menganalisa karakteristik implan miniplate yang terbuat dari campuran PLA/pati sagu dengan compatibilizer Poly ethylene glycol (PEG) menggunakan metode injection molding pada berbagai variasi temperatur injeksi. Proses pencampuran PLA dengan pati sagu dan PEG menggunakan metode solution blending. Penelitian ini menggunakan material pati sagu sebagai pengisi (filler) pada PLA dengan prosentase 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% dari berat campuran PLA/pati sagu. Compatibilizer PEG 10% dan 20% berat ditambahkan ke dalam campuran PLA/pati sagu dan digunakan untuk mencetak miniplate pada temperatur injeksi 150 oC, 160 oC, 170 oC, dan 180 oC. Sifat mekanik, sifat biodegradabilitas, struktur, sifat termal, serta morfologi dari produk miniplate berhasil dianalisis. Pada campuran PLA/pati sagu menunjukkan bahwa keseragaman distribusi dan ikatan antarmuka pati sagu dan PLA menjadi penyebab pada penurunan kekuatan tarik, kekuatan bending, serta modulus elastisitas dibandingkan dengan PLA murni. Penambahan compatibilizer PEG memberikan pengaruh pada peningkatan ikatan antarmuka pati pada matrik PLA, peningkatan kemampuan tarik, penurunan temperatur lebur (Tm) dan temperatur transisi kaca (Tg), serta meningkatkan derajat kristalinitas (Xc) dari miniplate. Peningkatan temperatur injeksi akan meningkatkan laju degradabilitas. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pencetakan optimum miniplate dengan injection molding berada pada temperatur 170 oC pada penambahan PEG 10%.
ABSTRACT
Polylactide acid (PLA) has been widely studied as a material for bone joint plates (miniplate). However, slow degradation of PLA on crystal phase could resulting several complications in the tissue. Miniplate function as a connective bone fracture which can be transplanted without repudiaton from the human body. Sago starch (Metroxylon sago) as abundant biodegradable polymer available in Indonesia, has better degradation properties and also non-toxic, potentially can improve the degradation properties of PLA. The purpose of the study was to characterize miniplate implants made of PLA/sago starch coupled with Poly ethylene glycol (PEG) as compatibilizer using injection molding methods at various injection temperatures. The solution blending method is used for the preparation. This study uses sago starch as filler in the PLA matrix with a percentage of 10 wt%, 20 wt%, 30 wt%, 40 wt% and 50 wt%. PEG 10 wt% and 20 wt% was added to PLA/sago starch then used to production at injection temperatures of 150 oC, 160 oC, 170 oC, and 180 oC. Mechanical and thermal properties, biodegradability, structure, and morphology of the miniplate products were analyzed. On PLA/sago starch blend shown that uniformity distribution of sago starch and interface bonds causing decrease tensile and bending strength, also modulus of elasticity compared with pure PLA. Added PEG as a compatibilizer effecting enhancement on interface starch bonds on PLA matrix, increasing drawability, decreasing melting temperature (Tm) and glass transition temperature (Tg), and increasement of crystallinity (Xc). Increasing injection temperatures will promote degradability rate. Research finds the optimum molding temperature using injection molding are at 170 oC in addition 10% PEG.
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Papua provinci has a potential biodiversity including local food sources. Local food in Papua that has been used as main sources of carbohydrate for the local people are sago, millet and root crops (sweet potato, taro and yam). Root crops are mostly cultivated and consumed by local people in the lowland to highland area, while the people staying at beach area generally consume sago as a primary food...
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elmi Kamsiati
Abstrak :
ABSTRAK
Plastik merupakan bahan pengemas yang banyak digunakan namun berdampak buruk bagi lingkungan karena sulit terdegradasi di alam. Teknologi produksi plastik biodegradable atau bioplastik yang dibuat dari bahan alami dan ramah lingkungan sudah mulai dikembangka. Plastik biodegradable berbahan dasar pati relatif lebih mudah diproduksi dan bahan buku mudah diperoleh. Pati ubi kayu dan sagu memilki potensi sebagai bahan buku plastik biodegradable ditinjau dari ketersediaan dan karakteristiknya. selain pati sebagai bahan utama, diperlukan pula plastisizer atau bahan pemlastis dan bahan penguat struktur untuk menghasilkan plastik biodegradable dengan karakteristik yang baik. tahapan produksinya meliputi pencapuran, pemanasan, dan pencetakan. Plastik biodegradable berbahan dasar pati dapat digunakan sebagai bahan pengemas yang ramah lingkungan dan berpeluang besar di kembangkan.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2017
630 JPPP 30:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
This research was conducted to study the effect of the mixtures of sago waste and chicken excreta fermented utilization in rations on broiler performance, carcass physical quality as well as the meat chemical quality. The mixture of sago waste and chicken excreta was fermented in 48 hours using effective microorganism-4. The research was biological experiment using the respective fermented materials in broiler rations with level of 0% (R0), 4% (Rl), 8% (R2) and 12% (R3). Each dietary treatment had five replications of five broiler chickens each. Variables was observed were broiler performance (feed consumption, body weight gain and feed conversion), carcass physical quality (live weight, carcass percentage, abdominal fat percentage) and chemical quality of meat (water contents, fat and protein). Data were analysed using Analysis of Variance of one way Completely Randomized Design, and differences between means were tested using Duncan Multiple Range Test. The results indicated that the use of fermented mixtures up to 8% in broiler rations had increased body weight, live weight and carcass percentage, and fat flesh content and it was better than birds receiving control ration. The use of 12% fermented materials in the ration had no significant effect on feed consumption, abdominal fat percentage, as well as water contents and protein of the flesh.
580 AGR 19 (1-4) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Numberi Johni Jonatan
Abstrak :
This study aimed to analyze the heat release rate from the combustion process of bioethanol from sago waste to determine the viability and feasibility of low-concentration bioethanol as an alternative fuel. The heat release rate, exhaust gas, and flame temperature were measured using a cone calorimeter, and bioethanol combustion was conducted using the pilot ignition method, with an ethanol quality range of 60–70%. The analysis that the heat release rate of 60% bioethanol combustion ranged from 20 to 140 kW/m2, while a lesser range resulted from 70% bioethanol combustion (18–45 kW/m2). The flame temperature for 60% bioethanol was found to be 440°C, while the smoke and orifice temperature was 150°C. The combustion of 70% bioethanol produced a flame temperature of 450°C and a smoke and orifice temperature of 120°C after approximately 6 min of combustion. This study contributes a solution for meeting the energy demand in rural areas, where the access to and availability of major fuel resources are limited. In addition, from the obtained results, this research concluded that bioethanol made from sago waste is suitable as a clean and alternative fuel for household applications in rural areas.
Depok: Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, 2017
UI-IJTECH 8:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sofyan Rasyad
Abstrak :
ABSTRAK Sagu (Metroxylon sp) merupakan sumber karbohidrat yang cukup potensial, dan merupakan salah satu sumber daya hayati yang lestari (renewable) dan mempunyai prospek yang dapat membantu memecahkan masalah pangan dan energi. Industri pengolahan sagu yang terdapat di Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat umumnya berkapasitas antara 300 ? 400 kg tepung sagu kering setiap harinya. Untuk mendapatkan tepung tersebut dibutuhkan air sebanyak 41.943,5 liter. Sebanyak 14.335,9 liter terbuang merupakan air buangan sisa pengolahan sagu, dam sebanyak 0.420,9 liter air terbawa bersama ampas dan terbawa bersama pati sebanyak 24.543,6 liter. Untuk mengetahui pengaruh air buangan industri sagu terhadap kualitas badan air penerima, dilakukan analisis laboratorium di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian Bogor. Pengambilan sampel air dilakukan sebelum dan sesudah pencemaran terjadi serta dilaksanakan pada musim hujan dan musim kemarau. Analisis statistikk untuk mengolah data dilakukan dengan metode Uji Beda dan dilanjutkan dengan Uji T. Hasil analisis air buangan sisa industri pengolahan sagu tidak memperlihatkan adanya unsur beracun atau kandungan logam, beberapa parameter memperlihatkan nilai yang cukup tinggi seperti Daya Hantar Listrik (DHL) 847,0 mikromhos per cm, Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) BB4,6 mg/liter, Kebutuhan Oksigen Biokima (BOD) 582,2 mg/liter dan padatan tersuspensi 808,0 mg/liter. Parameter lainnya memperlihatkan nilai yang kecil dibawah nilai baku mutu air limbah. Dengan tingginya nilai BOD dan COD diperkirakan air buangan sisa industri dapat mempengaruhi kualitas air sungai tersebut. Hasil analisis kualitas air sungai Cikasungka yang dilanjutkan dengan Uji statistik menunjukkan adanya beda nyata beberapa parameter di musim kemarau seperti COD, Alkalinitas, Salinitas dan Kesadahan, sedangkan parameter lainnya tidak tidak memperlihatklan perbedaan nyata. Pada musim hujan parameter BOD, COD, SAR dan Salinitas memperlihatkan perbedaan nyata sedangkan lainnya tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, bahkan beberapa parameter tidak dapat dibedakan karena nilainya kecil. Sungai Cidurian memperlihatkan adanya perbedaan nyata antara sebelum terjadi pencemaran dengan sesudah adanya pencemaran pada parameter Oksigen terlarut (DO) dan zat padat total pada musim hujan, sedangkan di musim kemarau hanya parameter DOD yang memeperlihatkan perbedaan nyata. Parameter lainnya tidak menunjukkan perbedaan nyata antara sebelum dan sesudah terjadinya pencemaran, bahkan beberapa parameter tidak dapat dibedakan karena nilai yang didapat kecil. Dari hasil Analisis dapat disimpulkan bahwa air buangan industri sagu pada waktu masuk ke badan air penerima dapat menimbulkan pencemaran terlihat dari tingginya nilai DOD dan COD. Pencemaran yang ditimbulkan air buangan sisa pengalahan sagu tidak berpengaruh terhadap kualitas badan air yang diperuntukkan bagi keperluan pertanian dan perikanan. Walaupun demikian tidaklah berarti air buangan dapat dibuang begitu saja ke perairan karena air sungai tersebut juga merupakan sumber air minum bagi masyarakat banyak.
ABSTRACT Sago (Metroxylon sp) is a potential carbohydrate resources and one of renewable resources that could solve food and energy problem. In Bogor, West Java, capacity of the sago processing industries are usually between 300 - 400 kg dry sago starch per day. To produce this amount of sago starch, 41.943,5 liters of water is required where 14.335,9 liters of the water are disposed as liquid waste and B.420,9 liters are discarded together with solid waste. In order to find out the effect of waste water of sago industries to the quality of water stream river, water analysies was carried out at Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industry Hasil Fertanian Bogor. Sample was collected from the Cikasungka river and Cidurian river. From each river sample was taken before and after pollution during the rainy and dry season. Difference test method and T test were used for data analysies. Analysis of waste water taken from the industries before disposed to the river showed that there was no metal and poisonous element found, although some indicators showed high value of DHL (847,0 micromhos/cm), COD (884,6 mg/liter), BOD (582,2 mg/liter) and suspended solid (808,0 mg/liter). The result of water analysis of Cikasungka river during the dry season indicated that there is significant difference among parameters such as COD, Alkalinity, Salinity and Hardness. While in the rain season, parameters, such as BOD,COD,SAR and Salinity showed significant difference for both before and after pollution. Water analysis of Cidurian river during the rainy season showed that there was significant difference between DO and total solid for before and after pollution. In the dry season only BOD content showed significant difference. Due to the high value of BOD and COD it is presumed that sago industry waste water could effect the quality of the river stream water. Based on the standard quality of waste water for Agriculture and Fishery, it is obvious that pollution caused by the waste water of sago industries does not influence the quality of river stream water that is used for Agriculture and Fishery. However this does not mean that sago industries waste water can be discarded directly to the river, because the river is also used as drinking water resources for the people.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library